Share

Pusaka Leluhur

Penulis: Kelaras ijo
last update Terakhir Diperbarui: 2025-04-24 07:11:09

Perjalanan menuju makam leluhur Reza dilakukan pagi-pagi buta. Udara masih berkabut tipis, seakan alam pun enggan melepas mereka pergi. Ki Harjo memimpin di depan, membawa kendi kecil berisi air kembang dan seikat daun kelor. Wirya membawa tongkat kayu tua berukir, sementara Reza menggenggam kotak warisan pusaka milik leluhurnya. Bu Darmi ikut di belakang, membawa sesajen kecil dan dupa.

Makam itu terletak di pinggir hutan, di sebuah bukit kecil yang jarang dikunjungi warga. Menurut cerita orang-orang tua, tempat itu dulunya merupakan pemakaman para tetua desa, namun lama tak terurus hingga akhirnya tertutup semak dan pohon-pohon liar. Tapi anehnya, satu makam selalu tampak bersih dan tak pernah ditumbuhi rumput: makam Buyut Reksonegoro—kakek buyut Reza.

Begitu mereka sampai di depan makam itu, udara terasa lebih berat. Sunyi. Seolah alam menahan napasnya.

Ki Harjo menancapkan tongkat kecil di tanah dan mulai membaca doa-doa Jawa Kuno. Wirya menaburkan air bunga tujuh rupa di sekit
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terkait

  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Tanda dari Leluhur

    Suasana rumah Bu Darmi pagi itu masih terasa berat. Reza belum berkata sepatah kata pun sejak malam tadi. Ia hanya duduk di serambi, menatap kosong ke arah pohon jambu yang daunnya bergoyang pelan ditiup angin pagi.Ki Harjo keluar dari bilik semedinya, langkahnya pelan tapi penuh wibawa. Ia berdiri di belakang Reza, lalu menepuk pundaknya dengan ringan.“Sudah datang, ya?” tanyanya tenang.Reza menoleh pelan. “Ki… tadi malam… ada seseorang. Wajahnya… seperti kakek tua. Tapi bukan manusia biasa. Dia bilang ‘pulang’... hanya itu.”Ki Harjo mengangguk. “Kakek buyutmu, Reza. Ia datang dalam bentuk yang hanya bisa dilihat oleh yang telah ditunjuk. Kau bukan lagi orang biasa. Kau telah membuka pintu yang selama ini tertutup.”Bu Darmi yang datang membawa teh panas pun duduk di sebelah Reza. Wajahnya serius.“Rumah yang dimaksud dalam mimpimu… adalah makamnya,” kata Bu Darmi pelan. “Dan kalau benar dia memintamu datang ke sana… artinya, ada sesuatu yang harus kau ambil. Warisan, bukan dalam

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-24
  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Warisan yang Terbangun

    Angin sore di kaki bukit mulai berhembus aneh. Udara terasa lebih dingin, seperti ada sesuatu yang ikut pulang bersama Reza dan Ki Harjo. Meski langit masih cerah, perasaan tak nyaman menyelimuti sepanjang perjalanan turun dari makam leluhur. Reza menggenggam cincin hitam itu erat, sementara kain merah tua disimpan dalam buntalan kecil di tas kanvas lusuh. Tapi entah kenapa, sejak cincin itu masuk ke tangannya… ia merasa seperti dilihat oleh sesuatu dari balik bayang-bayang hutan. “Ki… ada yang ngikutin kita, ya?” tanya Reza pelan, tanpa menoleh ke belakang. Ki Harjo tidak menjawab. Ia hanya meludah ke tanah dan mencubit daun kemuning dari kantong bajunya, lalu mengusapkannya ke tengkuk Reza. “Jangan lihat ke belakang. Jangan ucapkan apapun lagi sebelum sampai rumah Bu Darmi.” Langkah mereka semakin cepat. Tapi suasana sekitar seakan berubah. Bayangan pohon memanjang tak wajar, bunyi daun kering seperti diinjak sesuatu yang tak terlihat, dan udara menjadi pengap… seolah mereka te

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-24
  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Ketika Mereka Muncul

    Malam itu, desa seperti dibungkus hawa dingin yang tak biasa. Kabut turun lebih pekat dari biasanya, dan bulan tak tampak meski langit tak berawan. Hening, terlalu hening—seolah seluruh alam menahan napas. Bahkan jangkrik pun enggan bersuara.Dan tepat saat jam menunjukkan pukul dua dini hari, dentuman samar terdengar dari arah rawa.Keesokan harinya, kabar duka mengguncang warga. Pak Samin, pria paruh baya yang terbiasa mencari rumput untuk kambingnya, tidak pulang sejak sore kemarin. Istrinya panik dan melapor ke perangkat desa. Warga pun mengadakan pencarian.Mereka menemukan sabit Pak Samin tergeletak di pinggir rawa, namun tubuhnya tak ditemukan. Anehnya, di sekeliling sabit itu, tanah seperti terbakar… dan jejak rumput menghitam membentuk lingkaran sempurna. Salah satu warga bahkan sempat melihat bekas seretan besar menuju dalam rawa, tapi tak ada bekas kaki manusia.“Kayak ditarik sesuatu yang besar…” gumam warga dengan wajah pucat.Belum habis duka itu, kabar lain menyusul. Se

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-24
  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Tanda-Tanda dari Dunia Lain

    Sepekan setelah kunjungan ke makam leluhur Reza, suasana di desa mulai terasa berubah. Langit sering mendung tanpa hujan, kabut turun lebih awal dari biasanya, dan malam terasa lebih panjang dari yang semestinya.Ki Harjo dan Bu Darmi mulai mencium gelagat tidak biasa. Binatang peliharaan mendadak sakit, ayam-ayam bertelur dengan warna darah, dan suara gamelan samar sering terdengar dari arah rawa saat tengah malam.Namun gangguan nyata baru benar-benar terasa saat Pak Sarto, seorang petani yang tiap pagi mencari rumput di ujung barat desa, tak kunjung pulang. Istrinya, Bu Sari, melapor ke balai desa dengan wajah panik. Pencarian dilakukan keesokan harinya. Hasilnya? Nol besar. Yang mereka temukan hanyalah cap kaki yang berhenti tiba-tiba di tengah rerumputan basah, seperti orang itu hilang begitu saja dari dunia nyata.“Ini bukan hilang biasa, Ki…” ujar Bu Darmi pelan sambil menatap Ki Harjo.Ki Harjo mengangguk. “Tirai mereka mulai terbuka…”Beberapa hari kemudian, seorang warga ber

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-25
  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Perjalanan ke Segel Pertama

    Pagi itu, udara terasa lebih berat dari biasanya. Embun di pucuk daun masih belum sempat menguap, saat Ki Harjo sudah berdiri di depan rumah Bu Darmi dengan kain lurik dan ikat kepala hitam. Di tangannya tergenggam tongkat kayu cendana yang sudah terlihat tua, tapi memancarkan aura aneh. Reza keluar dari rumah dengan ransel kecil di punggung, wajahnya tegang tapi tekadnya sudah bulat.“Kita mulai hari ini,” kata Ki Harjo tanpa basa-basi. “Segel pertama terletak di tengah-tengah hutan sebelah timur, di sebuah petilasan tua yang ditutupi akar beringin.”Reza mengangguk. “Apa yang akan kita lakukan di sana?”“Membuka kembali segel yang sudah mengendur. Tapi untuk melakukannya, kita harus melalui ujian. Bukan dari bangsa lelembut… tapi dari tempat itu sendiri.”Perjalanan dimulai. Mereka melewati jalan setapak yang biasa dilalui para petani—tapi semakin jauh ke dalam, semak-semak mulai merapat, pepohonan makin gelap, dan hawa menjadi lembab serta mencekam. Bahkan suara burung pun tak terd

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-25
  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Tawa dari Balik Kabut

    Pagi itu, udara desa terasa berat. Kabut turun lebih tebal dari biasanya, menyelimuti setiap sudut jalan, ladang, dan pepohonan. Matahari bahkan tampak enggan menampakkan diri. Ki Harjo, Reza, dan Bu Darmi berdiri di depan gerbang kecil menuju makam leluhur yang terletak di tengah hutan keramat. Tak banyak bicara, hanya saling tatap penuh makna. Reza menggenggam erat buntelan kain berisi bunga tujuh rupa dan dupa, sementara Ki Harjo membawa kendi air dan tongkat kayunya. "Kau sudah siap, Le?" tanya Ki Harjo pelan, namun tegas. Reza mengangguk. "Saya siap, Ki." Perjalanan menuju makam tak jauh, namun suasananya berbeda. Angin tak bergerak, tapi dedaunan gemeretak. Suara burung pun lenyap—digantikan bisikan-bisikan lirih dari arah hutan. Saat mereka tiba di pemakaman tua, Reza langsung mengenali nisan kakek buyutnya. Nisan itu berbeda—besar, terbuat dari batu andesit, dan dililit akar pohon beringin kecil. Kabut seakan memusat pada titik itu. Ki Harjo menancapkan tongkatnya ke tana

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-25
  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Tawa dari Balik Kabut

    Udara pagi itu terasa jauh lebih dingin dari biasanya. Kabut tipis yang menyelimuti desa seolah menyimpan sesuatu yang belum terungkap. Di balik embun yang menempel di dedaunan dan aroma tanah basah yang menusuk hidung, Reza memandangi sebuah jalur setapak yang jarang dilewati. Di sanalah, konon, segel kedua tersembunyi.Ki Harjo sudah menyiapkan segala sesuatu sejak subuh. Bunga tujuh rupa, dupa, air dari tujuh mata air, dan kain mori yang sebelumnya digunakan untuk membungkus sesaji. Reza, yang kini tampak lebih tenang namun matanya menyiratkan ketegangan, berdiri di samping Bu Darmi yang terus menerus merapal doa.“Perjalanan kali ini tidak seperti yang pertama,” ucap Ki Harjo, sembari menyalakan dupa. “Segel kedua dijaga oleh sesuatu yang tidak bisa kita lawan dengan senjata atau mantra.”Reza menelan ludahnya. “Lalu, dengan apa kita menghadapinya, Ki?”“Keberanian... dan hati yang bersih,” jawab Ki Harjo singkat.Mereka menyusuri jalur setapak yang semakin lama terasa sunyi dan m

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-25
  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Darah Penjaga Segel

    Langit menggantung kelabu, nyaris tanpa cahaya. Kabut dari rawa makin merangsek masuk ke desa, membawa hawa dingin yang menusuk tulang. Malam itu, udara terasa berat, dan keheningan yang menggantung bukan keheningan biasa—seolah alam menahan napas menanti sesuatu yang mengerikan akan datang.Reza duduk bersila di depan api kecil yang menyala redup. Wajahnya murung. Di belakangnya, Ki Harjo tengah membuat lingkar pelindung dari abu dupa dan bunga tujuh rupa, mengitari tubuh Reza dengan mantra-mantra pelindung. Bu Darmi menyiapkan ramuan dari akar-akaran dan air dari sumber mata air tua, yang katanya bisa menguatkan jiwa dalam menghadapi gangguan astral.“Segel kedua... dijaga oleh penjaga yang tak lagi berbentuk manusia,” ucap Ki Harjo pelan.Reza menoleh, bulu kuduknya berdiri.“Penjaga segel itu... dulunya manusia?” tanyanya.“Ya. Ia dulunya penjaga pertama tanah larangan. Karena melanggar sumpah, dia dihukum menjadi penunggu segel. Abadi, tanpa wujud pasti, hanya bisa dilihat oleh o

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-26

Bab terbaru

  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Kebangkitan Sang Penguasa Rawa”

    Angin malam itu menderu lebih kencang dari biasanya. Awan hitam menutupi rembulan, membuat seluruh desa tenggelam dalam kegelapan yang pekat. Pepohonan berderak keras seolah tengah berbisik satu sama lain, membawa kabar buruk yang sulit diterjemahkan.Bu Darmi yang menjaga desa malam itu merasakan firasat aneh. Ia memandangi langit gelap dari serambi rumahnya sambil memeluk erat selendang lusuh pemberian gurunya dahulu — satu-satunya benda yang membuatnya merasa sedikit aman.“Kenapa angin seperti ini...?” gumam Bu Darmi, matanya tajam memandang ke arah hutan kecil yang menjadi gerbang ke rawa terlarang.Suara gemuruh mendadak terdengar. Bukan gemuruh petir, melainkan seperti suara ribuan langkah kaki... dan di antaranya, suara genderang serta gemerincing gamelan.Dari kegelapan, kabut tebal mulai merayap perlahan, menyelimuti tanah, menelusup ke sela-sela rumah warga. Suasana desa mendadak berubah: sepi, namun terasa seperti ribuan pasang mata tengah mengintai dari kegelapan.Warga y

  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Amarah Sang Putri

    Langit di atas desa semakin gelap. Putaran pusaran awan hitam yang terbentuk akibat ulah Putri Tanjung Biru makin membesar, seakan hendak menelan seluruh tanah di bawahnya. Kilatan-kilatan cahaya berwarna ungu tua sesekali menyambar di dalam pusaran, menggetarkan tanah dan membuat pohon-pohon tua berderak, daunnya luruh ke tanah.Di tengah lapangan desa, Putri Tanjung Biru berdiri dengan angkuh. Rambut panjangnya yang biru keperakan melayang liar tertiup angin badai. Matanya menyala, memancarkan cahaya kehijauan menyeramkan. Di belakangnya, sosok-sosok bangsa lelembut telah mengambil bentuk nyata — ada yang menyerupai manusia dengan tubuh membusuk, ada yang setengah hewan, ada pula yang hanya berupa kabut kelabu mengambang.Bu Darmi menggenggam rajahnya lebih erat, gemetar, namun tetap bertahan di sisi Reza dan Ki Harjo. Sementara itu, Ki Harjo menancapkan tongkat kayu pulosari ke tanah, membentuk lingkaran perlindungan samar yang berpendar lemah di bawah kaki mereka."Ki Harjo... kek

  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Sang Putri Tanjung Biru

    Malam itu, langit di atas desa tampak jernih. Bulan purnama menggantung utuh, sinarnya menghamparkan cahaya keperakan di atas tanah, seolah memberkati keberhasilan yang baru saja diraih Reza, Ki Harjo, dan Bu Darmi.Mereka bertiga duduk di serambi rumah Bu Darmi, menikmati malam yang damai, sesekali menyesap teh hangat dan berbincang ringan tentang harapan masa depan desa."Kita berhasil, Bu," ucap Reza sambil menghela napas lega.Ki Harjo mengangguk pelan. "Untuk sementara, Nak. Tapi ingat, tanah ini sudah lama dikunci oleh kekuatan-kekuatan yang lebih tua dari yang kau bayangkan."Bu Darmi hanya tersenyum tipis, meski dalam hatinya ada sebersit kekhawatiran yang belum sepenuhnya lenyap.Namun, ketika jarum jam hampir menunjuk ke pukul dua dini hari, angin kencang mendadak berhembus dari arah rawa. Bukan angin biasa — hembusannya dingin menggigit, membawa aroma anyir dan tanah basah.Bersamaan dengan itu, suara gamelan tua terdengar lirih dari kejauhan. Nada-nadanya ganjil, seperti l

  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Kemenangan Semu

    Tubuh Reza bergetar hebat.Bukan karena takut, melainkan karena kekuatan besar yang mulai bangkit dari dalam dirinya.Saat segel pusaka mencakar tanah, sebuah aura kuno yang selama ini tersegel dalam darahnya terlepas.Udara di sekitarnya bergetar, suara-suara gaib mengerang, seolah makhluk dari zaman purba bangkit bersama amarah Reza.Dari balik kegelapan, sosok samar seorang kakek renta bermantel putih muncul di belakang Reza.Itu adalah roh buyutnya — sang penjaga rahasia kuno keluarga.Wajahnya bijaksana, namun matanya memancarkan ketegasan luar biasa."Cucuku... kini saatnya. Ambil seluruh warisan darah kita. Jadilah perisai baru bagi tanah ini!"Reza mengepalkan tangannya, merasakan darah leluhurnya mendidih bagaikan lava.Tubuhnya perlahan diselimuti cahaya keemasan redup, membentuk pola-pola kuno di kulitnya.Setiap tarikan napasnya kini terasa berat, namun penuh kekuatan.Pemimpin bangsa lelembut itu meringis sinis."Tak peduli siapa leluhurmu, manusia! Semuanya akan berlutut

  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun    "Pertempuran di Gerbang Desa"

    Malam itu, langit Desa Waringin Sepuh menggulung dalam warna hitam pekat. Awan bergemuruh seperti amarah dewa yang tak terbendung. Angin bertiup liar, membawa aroma anyir darah dan tanah basah. Di batas desa, di depan gerbang tua yang sudah retak-retak, Bu Darmi berdiri dengan tubuh gemetar. Sisa-sisa kekuatan yang ia gunakan untuk mempertahankan batas pelindung desa nyaris habis. Peluh membanjiri wajahnya, tapi sorot matanya tetap tajam. Di hadapannya, makhluk-makhluk kegelapan sudah berkumpul. Ada sosok-sosok berkulit abu-abu, bertaring panjang, berambut api, bertubuh raksasa, hingga rombongan siluman anjing bertaring hitam. Jumlah mereka tak terhitung, mendesak, meraung, menjerit. Mereka lapar... lapar akan jiwa manusia. Seketika, tanah bergetar keras. Bu Darmi hampir saja jatuh, ketika cahaya putih menyilaukan tiba-tiba meledak dari ujung jalan desa. Semua makhluk itu mendadak berhenti, tubuh mereka gemetar, mulut mereka menggeram ketakutan. Karena di sana, berdiri Re

  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Pewaris yang Bangkit

    Di sebuah sungai keramat di luar Desa Waringin Sepuh, di tengah kabut tebal yang membeku di atas air, Reza berlutut di atas batu datar. Tubuhnya gemetar hebat, bukan hanya karena dingin, tapi karena energi aneh yang mengalir dari sungai itu menembus daging dan tulangnya. Ki Harjo berdiri di belakangnya, menggenggam sebuah tongkat kayu tua yang ujungnya bersinar samar. Wajah Ki Harjo serius, lebih serius dari sebelumnya. Suasana begitu hening, bahkan suara serangga pun seolah takut berbunyi. "Dengarkan aku baik-baik, Reza," suara Ki Harjo berat, menggema di antara kabut. "Di sungai ini, semua warisan leluhur, semua kekuatan tanah dan darah desa ini akan menguji dirimu." Reza mengangguk perlahan, walau hatinya penuh kecemasan. "Jika kau layak," lanjut Ki Harjo, "kau akan diberi kekuatan untuk menantang bangsa lelembut itu. Tapi jika kau gagal..." Ki Harjo tidak melanjutkan kata-katanya. Ia hanya menatap Reza dalam-dalam, sorot matanya berkata lebih keras dari kata-kata: "Kau

  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   "Malam Seribu Bayangan"

    Malam itu, Desa Waringin Sepuh benar-benar seperti berada di ambang kiamat.Angin berhenti berhembus, seakan bumi sendiri menahan napas menunggu apa yang akan terjadi.Di langit, tidak ada bintang, tidak ada rembulan. Hanya hitam kelam tak bertepi, seolah dunia telah kehilangan semua cahaya harapan.Bu Darmi duduk bersila di tengah pendopo desa, dikelilingi lingkaran lilin dan dupa.Keringat dingin membasahi tubuh tuanya, tapi ia tetap bertahan.Matanya terpejam, bibirnya tak henti-henti melafalkan doa-doa kuno, mantra pelindung yang diwariskan turun-temurun oleh leluhurnya.Namun, dari kejauhan, dari batas hutan yang mengelilingi desa, datang suara gemuruh yang semakin lama semakin keras.Suara itu seperti ribuan langkah kaki, teratur dan penuh tekad.Tanah mulai bergetar, genting-genting rumah berderak pelan seolah akan runtuh.Dan akhirnya, mereka muncul.Bangsa lelembut—dalam berbagai wujud mengerikan—menyerbu desa.Dari hutan, rawa, dan kebun karet, mereka datang berbondong-bondo

  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Penjaga Terakhir

    Sejak kepergian Reza dan Ki Harjo, Desa Waringin Sepuh seolah kehilangan cahaya.Hari-hari berlalu dalam selimut ketakutan. Udara desa yang biasanya hangat berubah menjadi berat dan dingin, membuat bulu kuduk warga berdiri tanpa sebab.Bu Darmi, satu-satunya penjaga yang tersisa, berusaha sekuat tenaga mempertahankan ketenangan. Ia membakar dupa dan kemenyan setiap sore di empat penjuru desa, membacakan doa-doa kuno yang diajarkan nenek moyangnya.Namun, kekuatan Bu Darmi tidak cukup untuk menahan amarah yang sudah bangkit.Malam pertama setelah ritual penyucian Reza, seorang pemuda, Toni, ditemukan pingsan di tepi rawa. Tubuhnya penuh bekas cakaran aneh, seperti dicabik oleh cakar makhluk besar. Ketika ia siuman, Toni hanya bisa berteriak-teriak histeris, matanya kosong tanpa fokus."Mereka... mereka menari di atas air... mereka memanggilku...," gumam Toni sambil terisak.Warga yang ketakutan mulai mengunci diri di rumah masing-masing sebelum senja. Tidak ada yang berani keluar, bahk

  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Penyucian Jiwa dan Kegelapan yang Mengintai"

    Sinar mentari pagi baru saja mengintip dari balik pegunungan jauh ketika Reza dan Ki Harjo melangkahkan kaki meninggalkan desa. Udara masih basah oleh embun, dan kabut tipis menggantung rendah, seolah-olah menahan langkah mereka untuk pergi.Bu Darmi berdiri di ambang pintu, menatap kepergian mereka dengan mata sendu yang diselimuti kecemasan. Ia tahu perjalanan ini bukan sekadar perjalanan biasa. Ini adalah awal dari perubahan besar—bagi Reza, bagi desa, dan mungkin, bagi seluruh wilayah yang dihuni oleh bangsa lelembut.Dengan membawa bekal secukupnya, serta beberapa kain putih yang telah dirituali, Reza mengikuti Ki Harjo menembus hutan tua yang berada di luar batas desa. Hutan yang bahkan di siang bolong pun terasa gelap dan lembap. Burung-burung pun tampaknya enggan berkicau, seolah mengetahui bahwa hari ini ada sesuatu yang sedang bergerak di antara semak-semak tua itu.Sementara itu, di dalam desa, setelah Reza dan Ki Harjo pergi, sesuatu mulai berubah.Angin yang bertiup teras

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status