"Dari Tuhan kembali ke Tuhan.""Ayo kita bermain!"Meski selalu menampakkan ketidakpekaan dan ketidakpedulian, sebenarnya Mustika selalu menjadi istri yang pemerhati. Setiap Dedeng pulang, Mustika selalu mencium bau dupa di balik jas suaminya. Meski begitu, ia tak pernah sebegitu terkejutnya dengan bau itu karena ia sudah sering menciumnya selama ini ketika mengandung anak tunggalnya.Namun akhir-akhir ini, perhatiannya dipertanyakan karena keluarganya bertingkah aneh. Dari mulai Dedeng yang sering sekali tidak pulang ke rumah, dan Helenina yang tiba-tiba ... kesurupan.
View MoreDedeng merasa telinganya terasa basah meski air tidak sampai masuk ke dalam telinganya. Ia menggeleng, mencoba menggeser posisinya untuk tidur lebih nyaman. Namun air dan gelombangnya yang menyentuh-nyentuh pergelangan tangannya membuat kelopak matanya mengerjap dan pikirannya menyatu setelah berlama-lama terlelap. Pandangannya masih kabur ketika ia menyadari bahwa ia berada di sebuah rawa dengan tanaman air yang mengambang di atasnya. Dengan cepat Dedeng menyadarkan diri, menarik tubuhnya untuk duduk dan memastikan kepalanya tidak salah menangkap pemandangan.Dedeng mendongak. Langit yang menaunginya sangat gelap, malah seperti tak ada langit. Pohon-pohon pinus tegak berdiri berdampingan di samping rawa yang luas. Suara hutan lengkap dengan gemeretakan misterius dari ranting-ranting dan sahut binatang malam terdengar. Hutan sangat lembab, membuat Dedeng merasakan sesak yang amat di dada.Di tengah-tengah suasana hening itu ada kecipak air d
Dedeng tidak pernah bercerita tentang teman di Garut. Sebenarnya, ia tak pernah bercerita mengenai apapun tentang Garut. Dedeng menghindari percakapan itu, begitu pula dengan Amin yang tidak berusaha untuk mengorek kisah Dedeng selama berada di Garut. Dalam pikirannya, Dedeng adalah seorang saudagar kaya raya, atau seorang pemilik kebun berhektar-hektar di kampung. Namun tidak sama sekali. Ia hanya seorang buruh tani yang dipanggil kacung oleh warga desa yang sebenarnya sama-sama seorang buruh tani.Amin mengendarai mobil sudah berjam-jam lamanya. Ia tidak pernah menyangka bahwa sesungguhnya apa yang disebut “kelokan di seberang sana” oleh seorang penjaga warung di pinggiran jalan yang rupanya mengenal Dedeng adalah sebuah jalan berkilometer jauhnya sampai ke sebuah rumah tak berpagar dengan nuansa Jawara Batavia dengan cat pelitur cokelat yang mengilap dan lampu gantung yang terbuat dari besi asli.Terparkir kemudian mobil milik
“Min, banyak yang salah dari suami saya.”Polisi tidak akan menjadi sangat patuh dan main dorong di tangga menuju mobil patrolinya jika bukan karena bukti. Itu yang pertama kali terlintas di pikiran Mustika ketika ia melihat tiga polisi dari balik jendela kamar anaknya di lantai dua berlarian menuju mobil mereka.Kecurigaan memang tidak pernah meninggalkan hati Mustika yang resah selama ia menikah dengan Dedeng, namun kali ini curiga sudah tidak bisa diredam lagi. Ada sesuatu yang lebih salah dari yang biasa ia maklumi seperti sebelum-sebelumnya. Ada sesuatu yang lebih gila dari kegilaan yang pernah ia temui dari seorang Dedeng yang nekat tapi penakut. Seolah yang selama ini ia kenal bukan suaminya, melainkan cangkangnya saja. Segala cinta yang dikemukakan dan diaksikan Dedeng seolah tak mampu membendung rasa penasaran Mustika untuk tidak memercayai lelaki yang sudah bertahun-tahun seranjang dengannya itu.
Dedeng mengendara dengan cepat, berkilo-kilo sudah ia tempuh dari pagi setelah ia melihat jasad Ismail hingga nyaris jam empat sore, itu pun masih setengah jalan yang ia lalui. Agak ugal-ugalan, Dedeng berhasil menerobos lajur meski nyaris mati di tempat karena hampir terhimpit truk gandeng. Ada yang berdusta pada Dedeng. Dalam hati yang sebenar-sebenarnya, Dedeng tidak tahu siapa yang berdusta, dan dusta mana yang lebih besar di antara dusta yang saling berkesinambungan ini. Salahkah mempertahankan dusta demi sesuatu yang mampu membahagiakan keluarganya? Dedeng rasa tidak. Atau memang mungkin Dedeng tidak ingin segala hal yang ia bangun runtuh seketika hanya karena ia berlari dan berdusta. Dalam perjalanan, ia tahu betul mungkin kantor tengah was-was dan setengah hancur lantaran ketidakberadaan dirinya di dalam kantor. Apalagi, berita terkini mengenai Ismail mencuat di mana-mana. Jika Surat Kabar Tempoe tidak menyegerakan suntingan, aka
Mustika memucat bibirnya hingga sekujur tubuh. Telah dua jam ia bolak-balik di gerbang rumahnya lantaran menunggu anak semata wayangnya yang izin bermain siang tadi. Masalahnya, Mustika bersumpah ia masih melihat Nina di seberang jalan bermain di dekat pohon besar. Sepersekian detik kemudian, ia tak melihat apapun selain lambaian daun yang meronta minta dilepaskan dari dahannya. Mustika masih sempat bersantai beberapa jam karena sebelumnya anaknya tidak pernah pergi jauh. Anak itu terlalu penakut untuk sekedar jauh dari pandangan orang tuanya. Meski kadang Mustika agak cemas lantaran Nina adalah selembut-lembutnya hati seorang anak manusia yang pernah ia temui di muka bumi. Namun hari ini berbeda. Hingga berkumandang adzan maghrib pun, tidak ada batang hidung Mustika terlihat oleh pandangannya. Hal itu menyebabkan Mustika mengirim para pembantu rumahnya untuk mencari di sekitar rumah, termasuk di jalan-jalan yang sering disambangi Nina k
Dalam beberapa kasus yang menyangkut suaminya, ada beberapa hal pula yang membuat Mustika tidak nyaman. Banyak rahasia yang ia sendiri tidak yakin apakah itu sebuah rahasia atau hanya sebuah hal yang Dedeng coba untuk tutupi dari Mustika. Meski begitu, Mustika mencoba untuk menyimpan hal-hal tersebut sendirian lantaran ia tahu bahwa suaminya tidak melulu perihal dirinya dan Nina. Apalagi sejak beberapa tahun lalu ketika Pak Hartono–pemiliki Surat Kabar Tempoe sebelum Dedeng, meninggal karena kecelakaan. Dedeng makin jarang berada seranjang dengannya. Mustika sendiri sampai hampir lupa bau suaminya lantaran Dedeng yang terlalu lama mengurusi urusan terkait surat kabar. Tetapi akhir-akhir ini, ketidaknyamanan itu malah bercabang dan hampir berbunga. Ketidaknyamanan itu hadir dari lingkungan yang ia sebut rumah; termasuk rumahnya sendiri, Helenina, bahkan Dedeng–terlebih, pada Dedeng. Selama ini Mustika kira Dedeng hanya terlalu lelah menim
Sudah seminggu kakinya terjerat pasung. Kapan terlepas sedikit saja, ia memberontak dan menghantukkan kepalanya berkali-kali ke jeruji besi. Perawakannya masih sama seperti ia terakhir kali; sangat berantakan dan menyedihkan. Namun ada baiknya sedikit lantaran beberapa perawat hilir-mudik bergantian mengurus Aisyah. Terhitung seminggu sebelum ia berada di rumah sakit jiwa, Aisyah diselamatkan oleh Dedeng dari rumahnya yang terbakar. Hari ini, rumah itu sudah tinggal tanahnya saja lantaran semua hal termasuk pohon asem yang ada di pekarangan rumahnya sudah bubuk jadi abu. Karena tidak memiliki ahli waris, akhirnya tanah tersebut diberikan kepada Dedeng atas pertimbangan bahwa Dedeng adalah orang yang berjasa dalam kehidupan keluarga Ishak selama ini. Pertimbangan lain mengenai Aisyah adalah perkara pelik lantaran setelah kobaran api meluluhlantakkan rumah keluarga Ishak, Aisyah sadar dan segera menerjang Dedeng yang masih terkulai di depa
Pemakaman dihadiri oleh banyak sanak saudara, kolega kerja, bahkan orang-orang yang menyaksikan kecelakaan tersebut ikut hadir di pemakaman. Kebanyakan dari mereka malah asing menurut Ishak, namun mereka tetap berbelasungkawa. Berkat berita yang mencuat dan menjadi sampul depan Surat Kabar Tempoe, upacara pemakaman Zainuddin malah lebih mirip seperti acara hajatan. Simpati bertebaran, bunga malah bermekaran di kubur Zainuddin yang masih seperti timbunan tanah basah. Uang yang dihasilkan dari pemakaman itu pun tidak main-main. Banyak amplop tebal yang masuk ke baskom plastik berisi beras dan bunga melati. Namun Ishak dan Aisyah sama sekali tidak berbahagia dengan hal itu, dan memang seharusnya begitu. Derai airmata dengan gilanya jatuh berdesakan dari aliran yang sudah kacau di pipi Aisyah. Sembab pada mata Ishak juga belum hilang meski Ishak mencoba untuk menjamu tamu sebagai tuan rumah yang baru kehilangan percik warna dalam kehidupan rumah tangga. &n
Makanan di atas meja makan masih akan tetap dingin meskipun Aisyah mencoba untuk menghidangkannya malam sekali hingga Zainuddin merengek minta makan. Teh yang selalu ia sediakan di meja di depan pelataran rumahnya masih akan tetap dingin meskipun Aisyah mencoba untuk menghangtkannya berkali-kali. Dalam hati, Aisyah masih ingin berharap bahwa suaminya akan pulang dari kerjanya yang bisa berhari-hari. Hal ini ia lakukan demi sebuah salam dan ketukan sepatu di luar rumah untuk membersihkan kotoran di alasnya. Sebenarnya tanpa hidangan itu ia buat pun, Ishak takkan pulang sampai atasannya benar-benar puas dengan cetakan mereka. Memang, setiap cetakan dari Surat Kabar Tempoe memiliki keabsahan yang jauh lebih akurat dari surat edaran pemerintah sekalipun. Hal ini dikarenakan kompetensi Dedeng–Direktur Utama Surat Kabar Tempoe dalam mengupas sebuah informasi yang tidak bisa ditampik, bahkan meski mengada-ada sekalipun. Aisyah juga tidak pernah keberatan mengenai hal
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments