Dalam beberapa kasus yang menyangkut suaminya, ada beberapa hal pula yang membuat Mustika tidak nyaman. Banyak rahasia yang ia sendiri tidak yakin apakah itu sebuah rahasia atau hanya sebuah hal yang Dedeng coba untuk tutupi dari Mustika. Meski begitu, Mustika mencoba untuk menyimpan hal-hal tersebut sendirian lantaran ia tahu bahwa suaminya tidak melulu perihal dirinya dan Nina. Apalagi sejak beberapa tahun lalu ketika Pak Hartono–pemiliki Surat Kabar Tempoe sebelum Dedeng, meninggal karena kecelakaan. Dedeng makin jarang berada seranjang dengannya. Mustika sendiri sampai hampir lupa bau suaminya lantaran Dedeng yang terlalu lama mengurusi urusan terkait surat kabar.
Tetapi akhir-akhir ini, ketidaknyamanan itu malah bercabang dan hampir berbunga. Ketidaknyamanan itu hadir dari lingkungan yang ia sebut rumah; termasuk rumahnya sendiri, Helenina, bahkan Dedeng–terlebih, pada Dedeng.
Selama ini Mustika kira Dedeng hanya terlalu lelah menimpalinya setiap kali ia berbicara soal Nina. Namun yang baru ia sadari setelah bertahun-tahun adalah ... mungkin Dedeng memberikan apapun yang terbaik untuk Nina karena Mustika yang memintanya untuk begitu, tapi tidak perah terlintas di memorinya bahwa Dedeng melakukan hal tersebut untuk anaknya. Ia sebegitu bodoh untuk menyadari bahwa Dedeng tidak pernah memberikan cinta pada Nina sepenuhnya, atau bahkan lebih tepatnya tidak sama sekali. Hal ini timbul karena semalam tak sengaja ia melihat Dedeng yang melihat Nina dari luar pintu kamar Nina seperti melihat sebuah kantong penuh sampah. Mustika sempat menangkap sesuatu selain rasa enggan dari Dedeng meski sepintas lalu, namun itu bukanlah cinta sama sekali.
Pagi ini Mustika sudah ingin buka mulut, mungkin akan memulai perkelahian. Namun anehnya, selain kata selamat pagi, Mustika tidak bisa mengeluarkan kata apa-apa lagi. Melihat cekung tepat di bawah mata Dedeng dan pucatnya bibir yang ia sempat kecup pagi tadi malah cukup melemahkan hatinya yang penasaran tentang perasaan yang dimiliki oleh Dedeng untuk anaknya sendiri.
“Tak henti polisi keluar masuk kantor sedari kemarin-kemarin.” Dedeng menikmati telur ceplok setengah matang di atas nasi goreng kecap buatan Mustika.
“Apa hendaknya?” tanya Mustika sambil menuangkan teh hangat untuk suaminya.
“Entah. Mereka pikir Aisyah mungkin tak bohong dan aku bisa jadi menyembunyikan kepala Zainuddin.” Dedeng tertawa sebelum menempelkan bibirnya pada cangkir. “Jenaka.”
Mustika menatap Dedeng dari samping lumayan lama, memperhatikan Dedeng yang tidak terlalu terganggu dengan menyebutkan kepala Zainuddin sebagai sebuah lelucon. Dalam hatinya ia resah, namun hak apa yang ia punya sehingga ia resah apdahal suaminya yang ia tahu adalah lelaki baik-baik?
“Apa Akang takkan pulang hari ini?”
“Mungkin, Neng. Entahlah.” Jelas sudah Dedeng lihat wajah Mustika yang bermuram setelah jawabannya. Hati Dedeng remuk seketika melihat wajah yang ia kasihi sedalam-dalamnya muram dengan usaha untuk tidak. Dengan tarikan napas panjang, Dedeng meraih tangan Mustika dan berkata, “Akang mencoba pulang malam ini, ya? Buatkan saja pepes tahu dan balado telur untuk Akang.”
Wajah Mustika seketika berwarna cerah, entah karena darahnya mengalir lancar karena hormon kebahagiaan memancar di sekujur tubuhnya atau karena senyumnya mekar seperti bunga baru. “Ada masakan lain?”
“Apapun yang Neng suka setelahnya.”
Mustika tersenyum lagi, lalu memeluk suaminya dengan sangat erat. Sudah lama sekali ia tak mendengar manisnya Dedeng bertutur padanya. Sepertinya, Mustika akan jatuh cinta lagi pada Dedeng yang telah bertahun-tahun membuatnya jatuh di tempat yang menyenangkan.
Setelah acara rayu-merayu, Dedeng menghabiskan nasi goreng kecapnya dan pergi menuju kator surat kabar yang pagi-pagi sudah ribut perihal sebuah karya dari seorang pujangga misterius mengenai keadilan dan kemerdekaan bagi umat manusia. Agak memusingkan, memang. Namun surat kabarnya sudah dikirimi sebuah karya puitis penuh harap dan penuh intrik. Dedeng yakin, cuan mengalir di tengah-tengah perselisihan nantinya.
***
Nina berjongkok. Kedua tangannya ada di atas dengkul dan dagunya bertumpu di antara kedua tangannya. Ia menunduk sambil memperhatikan ulat daun hijau besar yang menggeliat di tanah karena tubuhnya terbalik. Setelah memperhatikan ulat tersebut lamat-lamat, ia akhirnya menjulurkan tangannya untuk kemudian mencapit ulat itu dengan ibu jari dan jari telunjuknya, mengangkatnya hingga sejajar degan matanya.
Sekali lagi ia memperhatikan ulat yang ada di tangannya, kali ini si ulat menggulung tubuhnya. Lama-lama, capitannya mengeras dan saling dorong. Ulat itu mulai menggeliat, tapi kedua jari Nina makin menjepit tubuh ulat itu hingga kemudian tubuh itu terbelah dua, jatuh bersama-sama kembali ke tanah sambil terus menggeliat.
Setelah aksinya itu, Nina baru tertawa.
Agak lucu menurutnya melihat sesuatu yang sudah nyaris mati masih berusaha untuk diri mereka sendiri meski mereka tahu cahaya langit sudah mulai pudar dari pandangan mereka.
“Nina!”
Nina menoleh ke belakang. Terlihat seorang anak lelaki dengan kemeja putih dan celana pendek yang senada dipadukan dengan kaos kaki putih yang menutupi betis dan sepatu pantofel hitam yang terlihat sedikit kebesaran berlari dengan dua tangkai bunga lili oranye di tangan kirinya. Masih bisa ia lihat tanah menumpuk di sekitar sepatu pantofel hitam yang mengilap itu. Dengan napas yang masih tersengal, lelaki itu berkata, “Ada Ibu tanam lili di belakang rumah. Elok sekali. Warnanya seperti sore, kau tahu? Satu, untukmu.”
Nina bangkit dari posisinya, menghadap anak lelaki yang sepertinya lebih tua darinya. Dirasakan jarinya masih lengket karena darah atau cairan apapun yang keluar dari ulat hijau yang baru ia belah. Nina mengemut jemarinya yang lengket itu hingga rasanya tak lagi lengket. “Memangnya, hendakmu apa sampai memberi Nina bunga sebegini bagusnya?”
Tidak seperti kebanyakan anak-anak kecil di umurnya, Nina sudah sedikit mumpuni soal bahasa, mengingat ayahnya menyekolahkannya bersama anak-anak Belanda. Di zaman itu, seseorang yang mampu berbahasa akan lebih dihargai dan terpandang daripada keturunan konglomerat. Bagi Nina, keduanya sudah ada di tangan. Makanya, Nina kecil sangat diagung-agungkan. Ditambah lagi karena ayahnya juga seorang pujangga dan pemilik percetakan surat kabar “Tempoe” di Jakarta. Tentu Nina sudah dihujani banyak bahasa dan peribahasa daripada kasih sayang.
“Ibu bilang bunga elok untuk gadis elok.” Begitu kata Ismail dengan susah payah setelah kedua orang tuanya membujuk anak sepuluh tahun itu untuk merayu gadis kecil.
Orang tua Ismail cukup yakin bahwa anak tampannya bisa memenangkan hati primadona cilik beserta keluarganya ini. Apalagi gadis kecil ini terkenal baik dan ramah.
Dengan tampang yang agak ragu, Nina mengambil satu dari dua bunga lili oranye yang disodorkan kepadanya dengan riang. “Terima kasih.”
Ismail terlihat begitu canggung dan tidak nyaman. Di otaknya hanya berisi hafalan dari bagaimana cara menggoda perawan khas ayahnya, dan caranya norak sekali.
“Nina sering melihat Akang di beranda sekolah bersama Anak-anak Olanda.”
“Baik sekali kau mau memperhati saya di beranda sekolah.”
Nina hanya tersenyum, menggoyang-goyangkan tubuhnya ke kiri-kanan hingga baju terusan berwarna kuning cerah dengan kerah lebar berwarna putih itu ikut bergerak dengan menggemaskan. “Akang!”
Ismail menaikkan kedua alisnya. Seruan Nina cukup membuat dirinya terlonjak. “Ya?”
“Hompimpa alaium gambreng!” Nina mengayunkan tangannya dengan cepat sambil bernyanyi dan menunjukkan telapak tangan ketika nyanyian berhenti. Karena hal itu juga, Ismail ikut menggerakkan tangannya dan menunjukkan punggung tangannya ketika nyanyian Nina berhenti. Ismail sendiri tidak mengerti kenapa ia bisa dengan refleksnya mengeluarkan tangan setelah nyanyian itu masuk ke telinganya. “Akang kalah! Akang yang jaga, ya?!”
“Nina ingin main petak umpet, iya?”
Nina berlarian sambil tertawa. Namun yang membuat Ismail terpaku dan menganga adalah karena Nina bergerak sangat cepat dan menghilang dibalik semak pembatas menuju sebuah perkebunan karet tepat di hadapannya. Meski begitu, ia masih mendengar suara tawa Nina di mana-mana seolah ia tengah berada di sebuah pertunjukan lenong di tengah kota dengan pengeras suara di sekelilingnya.
Rasanya seluruh bulu Ismail tegak, terutama bulu kuduk. Tetapi ayahnya bilang tidak ada makan malam jika ia tidak berhasil membuat Nina ingin bermain dengannya keesokan hari. Dan menu makan malam hari ini adalah Bacem Ayam masakan ibunya. Jika ia tidak berhasil, maka hari ini akan menjadi hari paling buruk baginya. Atas banyaknya pertimbangan yang ada di pikirannya, ia memutuskan untuk menyusul Nina ke dalam perkebunan karet meski rasanya kakinya tak sanggup.
Sejingga lili yang kini ia pegang, cahaya langit mulai lama-lama hilang. Ada sebagian yang percaya bahwa gerbang neraka sedang terbuka dan tidak ada yang diperizinkan beribadah meskipun suara adzan sudah berkumandang.
Ismail yang sesekali mendengar derak ranting patah di kanan-kirinya agak was-was. Ia menautkan jemarinya dengan bunga lili yang masih ada di tangannya. Ia memaksakan diri meski matanya sudah mulai menggelap (sebenarnya itu adalah langitnya, bukan matanya) dengan pertimbangan makan malam yang sangat menggiurkan.
“Nina?” panggil Ismail sambil sesekali mendongak karena ia mendengar kepakan sayap meski tak melihat wujudnya. “Mari kita sudahkan. Bukankah ini maghrib?”
Ismail berjalan, entah kemana. Semua tempat terlihat sama, dan bau karet makin menyesakkan dadanya. Ia hanya ingin pulang sekarang. Senja memang menyenangkan jika ia pandang di atas balkon rumahnya, tapi menakutkan jika dilihat dari bawah begini.
“Akang.”
Ismail terkesiap, sempat ia tahan napasnya karena keterkejutannya. Beberapa kali ia mencoba menjabarkan keterkejutan dengan kata-kata yang berbeda karena Nina hari ini. “Astaga, Nina.”
“Nina takut.”
“Dengan apa?”
Nina menunjuk apa yang ada di hadapannya, yang dibelakangi oleh Ismail.
Tubuh Ismail seketika terasa dingin, tapi tubuhnya tetap ingin berbalik untuk sesuatu yang membuatnya merinding ini. Namun ketika ia berbalik, tidak ada apapun kecuali pohon karet. Ismail memicing, memastikan bahwa ia melihat apa yang Nina lihat. “Apa, Nina?”
“Lebih dekat lagi, Kang.”
Ismail mengambil langkah. “Mana?”
“Selangkah lagi.”
“Dima–”
Ismail tak menyadari bahwa langkah selanjutnya terasa kosong. Tidak ada pijakan di bawahnya. Ia merasakan tubuhnya turun ke bawah. Kaki kiri yang tadi melangkah ke depan malah membengkok hingga ke atas. Karena jatuhnya tidak menyamping, tubuhnya tidak sempat berguling dan kaki yang menjadi tumpuannya malah patah ke atas. Belum sempat ia berteriak karena kesakitan, sebuah ranting dari pohon karet tua yang sudah tumbang yang runcing di ujung jurang menembus mulutnya yang menganga.
Tubuh Ismail mengejang dan menggeliat-geliat, persis seperti ulat hijau yang Nina belah tubuhnya tadi. Nina terus memperhatikan tubuh Ismail yang bergerak-gerak. Ada suara sekarat di antara gerakan itu, seperti tercekik oleh darah yang ia keluarkan sendiri. Seperti mulut yang terhalau oleh bola pingpong yang tak sengaja tertelan ketika kau bermain bersama temanmu. Namun kali ini, mulutnya tersedak oleh ranting hingga menembus kepala. Bisa Nina lihat ujung ranting itu di antara rambut Ismail yang rapih dengan minyak rambut.
“Dari Tuhan kembali ke Tuhan.” Nina tidak bergerak, hanya memicing sedikit untuk memastikan tubuh itu tidak bergerak-gerak lagi. “Gambreng!”
Nina sedikit merekah senyum, sebelum kemudian ia kembali pada wajah penuh kesenangan namun hampa.
“Semoga mereka menemukan sisa-sisa darimu. Agar setidaknya ada yang bersedih atas hilangnya lili di pelataran yang gembur. Hendaknya matahari jatuh ke kuburanmu ketika peti mati digiring jatuh ke lubang.” Suara yang dikeluarkan oleh Nina tidak seperti sebuah suara yang harusnya dikeluarkan oleh gadis berumur enam tahun. Suaranya lebih seperti ketika kalian mendengar sebuah radio dengan sinyal yang jelek dari seorang lelaki tua, ditumpuk dengan seorang wanita dewasa.
Lalu setelah berlama-lama tenggelam dalam pemandangan jurang dan tubuh yang membeku, Nina pergi sambil membawa dua bunga lili oranye.
Mustika memucat bibirnya hingga sekujur tubuh. Telah dua jam ia bolak-balik di gerbang rumahnya lantaran menunggu anak semata wayangnya yang izin bermain siang tadi. Masalahnya, Mustika bersumpah ia masih melihat Nina di seberang jalan bermain di dekat pohon besar. Sepersekian detik kemudian, ia tak melihat apapun selain lambaian daun yang meronta minta dilepaskan dari dahannya. Mustika masih sempat bersantai beberapa jam karena sebelumnya anaknya tidak pernah pergi jauh. Anak itu terlalu penakut untuk sekedar jauh dari pandangan orang tuanya. Meski kadang Mustika agak cemas lantaran Nina adalah selembut-lembutnya hati seorang anak manusia yang pernah ia temui di muka bumi. Namun hari ini berbeda. Hingga berkumandang adzan maghrib pun, tidak ada batang hidung Mustika terlihat oleh pandangannya. Hal itu menyebabkan Mustika mengirim para pembantu rumahnya untuk mencari di sekitar rumah, termasuk di jalan-jalan yang sering disambangi Nina k
Dedeng mengendara dengan cepat, berkilo-kilo sudah ia tempuh dari pagi setelah ia melihat jasad Ismail hingga nyaris jam empat sore, itu pun masih setengah jalan yang ia lalui. Agak ugal-ugalan, Dedeng berhasil menerobos lajur meski nyaris mati di tempat karena hampir terhimpit truk gandeng. Ada yang berdusta pada Dedeng. Dalam hati yang sebenar-sebenarnya, Dedeng tidak tahu siapa yang berdusta, dan dusta mana yang lebih besar di antara dusta yang saling berkesinambungan ini. Salahkah mempertahankan dusta demi sesuatu yang mampu membahagiakan keluarganya? Dedeng rasa tidak. Atau memang mungkin Dedeng tidak ingin segala hal yang ia bangun runtuh seketika hanya karena ia berlari dan berdusta. Dalam perjalanan, ia tahu betul mungkin kantor tengah was-was dan setengah hancur lantaran ketidakberadaan dirinya di dalam kantor. Apalagi, berita terkini mengenai Ismail mencuat di mana-mana. Jika Surat Kabar Tempoe tidak menyegerakan suntingan, aka
“Min, banyak yang salah dari suami saya.”Polisi tidak akan menjadi sangat patuh dan main dorong di tangga menuju mobil patrolinya jika bukan karena bukti. Itu yang pertama kali terlintas di pikiran Mustika ketika ia melihat tiga polisi dari balik jendela kamar anaknya di lantai dua berlarian menuju mobil mereka.Kecurigaan memang tidak pernah meninggalkan hati Mustika yang resah selama ia menikah dengan Dedeng, namun kali ini curiga sudah tidak bisa diredam lagi. Ada sesuatu yang lebih salah dari yang biasa ia maklumi seperti sebelum-sebelumnya. Ada sesuatu yang lebih gila dari kegilaan yang pernah ia temui dari seorang Dedeng yang nekat tapi penakut. Seolah yang selama ini ia kenal bukan suaminya, melainkan cangkangnya saja. Segala cinta yang dikemukakan dan diaksikan Dedeng seolah tak mampu membendung rasa penasaran Mustika untuk tidak memercayai lelaki yang sudah bertahun-tahun seranjang dengannya itu.
Dedeng tidak pernah bercerita tentang teman di Garut. Sebenarnya, ia tak pernah bercerita mengenai apapun tentang Garut. Dedeng menghindari percakapan itu, begitu pula dengan Amin yang tidak berusaha untuk mengorek kisah Dedeng selama berada di Garut. Dalam pikirannya, Dedeng adalah seorang saudagar kaya raya, atau seorang pemilik kebun berhektar-hektar di kampung. Namun tidak sama sekali. Ia hanya seorang buruh tani yang dipanggil kacung oleh warga desa yang sebenarnya sama-sama seorang buruh tani.Amin mengendarai mobil sudah berjam-jam lamanya. Ia tidak pernah menyangka bahwa sesungguhnya apa yang disebut “kelokan di seberang sana” oleh seorang penjaga warung di pinggiran jalan yang rupanya mengenal Dedeng adalah sebuah jalan berkilometer jauhnya sampai ke sebuah rumah tak berpagar dengan nuansa Jawara Batavia dengan cat pelitur cokelat yang mengilap dan lampu gantung yang terbuat dari besi asli.Terparkir kemudian mobil milik
Dedeng merasa telinganya terasa basah meski air tidak sampai masuk ke dalam telinganya. Ia menggeleng, mencoba menggeser posisinya untuk tidur lebih nyaman. Namun air dan gelombangnya yang menyentuh-nyentuh pergelangan tangannya membuat kelopak matanya mengerjap dan pikirannya menyatu setelah berlama-lama terlelap. Pandangannya masih kabur ketika ia menyadari bahwa ia berada di sebuah rawa dengan tanaman air yang mengambang di atasnya. Dengan cepat Dedeng menyadarkan diri, menarik tubuhnya untuk duduk dan memastikan kepalanya tidak salah menangkap pemandangan.Dedeng mendongak. Langit yang menaunginya sangat gelap, malah seperti tak ada langit. Pohon-pohon pinus tegak berdiri berdampingan di samping rawa yang luas. Suara hutan lengkap dengan gemeretakan misterius dari ranting-ranting dan sahut binatang malam terdengar. Hutan sangat lembab, membuat Dedeng merasakan sesak yang amat di dada.Di tengah-tengah suasana hening itu ada kecipak air d
Meski selalu menampakkan ketidakpekaan dan ketidakpedulian, sebenarnya Mustika selalu menjadi istri yang pemerhati. Seperti ketika ia memerhatikan suaminya yang belakang ini jarang pulang ke rumah, bisa berhari-hari atau berminggu-minggu. Alasannya sederhana; suaminya kelewat sibuk menjadi reporter dadakan demi sebuah percetakan surat kabar yang dipercayakan oleh atasannya yang telah lama meninggal. Mustika tidak pernah curiga, terlebih karena sahabat suaminya selalu memiliki alibi yang sama dengan suaminya ketika suaminya tidak sempat setor wajah ke rumah. “Nina! Mari, makan dulu!” Mustika membelah kesunyian malam selepas maghrib. Sajian sudah lebih dulu hadir di antara meja panjang yang terbuat dari kayu jati. Ada beberapa menu yang mengepul asap putih bergulung-gulung, sebagian lagi asap yang sama namun terlihat memencar lantaran makanan yang dingin–eskrim. Dihampirinya anak gadis yang tengah menumpuk boneka-bonekanya di depan duduknya yang bersila.
Makanan di atas meja makan masih akan tetap dingin meskipun Aisyah mencoba untuk menghidangkannya malam sekali hingga Zainuddin merengek minta makan. Teh yang selalu ia sediakan di meja di depan pelataran rumahnya masih akan tetap dingin meskipun Aisyah mencoba untuk menghangtkannya berkali-kali. Dalam hati, Aisyah masih ingin berharap bahwa suaminya akan pulang dari kerjanya yang bisa berhari-hari. Hal ini ia lakukan demi sebuah salam dan ketukan sepatu di luar rumah untuk membersihkan kotoran di alasnya. Sebenarnya tanpa hidangan itu ia buat pun, Ishak takkan pulang sampai atasannya benar-benar puas dengan cetakan mereka. Memang, setiap cetakan dari Surat Kabar Tempoe memiliki keabsahan yang jauh lebih akurat dari surat edaran pemerintah sekalipun. Hal ini dikarenakan kompetensi Dedeng–Direktur Utama Surat Kabar Tempoe dalam mengupas sebuah informasi yang tidak bisa ditampik, bahkan meski mengada-ada sekalipun. Aisyah juga tidak pernah keberatan mengenai hal
Pemakaman dihadiri oleh banyak sanak saudara, kolega kerja, bahkan orang-orang yang menyaksikan kecelakaan tersebut ikut hadir di pemakaman. Kebanyakan dari mereka malah asing menurut Ishak, namun mereka tetap berbelasungkawa. Berkat berita yang mencuat dan menjadi sampul depan Surat Kabar Tempoe, upacara pemakaman Zainuddin malah lebih mirip seperti acara hajatan. Simpati bertebaran, bunga malah bermekaran di kubur Zainuddin yang masih seperti timbunan tanah basah. Uang yang dihasilkan dari pemakaman itu pun tidak main-main. Banyak amplop tebal yang masuk ke baskom plastik berisi beras dan bunga melati. Namun Ishak dan Aisyah sama sekali tidak berbahagia dengan hal itu, dan memang seharusnya begitu. Derai airmata dengan gilanya jatuh berdesakan dari aliran yang sudah kacau di pipi Aisyah. Sembab pada mata Ishak juga belum hilang meski Ishak mencoba untuk menjamu tamu sebagai tuan rumah yang baru kehilangan percik warna dalam kehidupan rumah tangga. &n