Sudah seminggu kakinya terjerat pasung. Kapan terlepas sedikit saja, ia memberontak dan menghantukkan kepalanya berkali-kali ke jeruji besi. Perawakannya masih sama seperti ia terakhir kali; sangat berantakan dan menyedihkan. Namun ada baiknya sedikit lantaran beberapa perawat hilir-mudik bergantian mengurus Aisyah.
Terhitung seminggu sebelum ia berada di rumah sakit jiwa, Aisyah diselamatkan oleh Dedeng dari rumahnya yang terbakar. Hari ini, rumah itu sudah tinggal tanahnya saja lantaran semua hal termasuk pohon asem yang ada di pekarangan rumahnya sudah bubuk jadi abu. Karena tidak memiliki ahli waris, akhirnya tanah tersebut diberikan kepada Dedeng atas pertimbangan bahwa Dedeng adalah orang yang berjasa dalam kehidupan keluarga Ishak selama ini.
Pertimbangan lain mengenai Aisyah adalah perkara pelik lantaran setelah kobaran api meluluhlantakkan rumah keluarga Ishak, Aisyah sadar dan segera menerjang Dedeng yang masih terkulai di depan teras rumah tetangga. Beruntung bagi Dedeng terlepas dari jeratan Aisyah bahkan sebelum Aisyah melukai Dedeng karena para warga menarik Aisyah untuk mengikat kaki dan tangan Aisyah yang berkali-kali mencoba untuk melepaskan diri dan tak segan-segan melukai orang-orang yang mendekatinya. Mustika bersikeras untuk membawa Aisyah ke rumahnya dan mengurus Aisyah di sana dengan pertimbangan bahwa rumahnya memiliki banyak kamar dan cukup pembantu untuk mengurus Aisyah, namun Dedeng terlalu takut istrinya akan terluka. Begitu pun dengan warga yang sudah melihat sendiri bagaimana kelakuan Aisyah selama mereka mengevakuasi Dedeng dan Aisyah dari rumah Aisyah yang terbakar.
Semua orang tidak bersedia karena takut akan membahayakan keluarga mereka, maka dari itu Dedeng memutuskan untuk mengirimnya ke rumah sakit jiwa dan membiayainya selama ia berada dalam pengawasan.
Lalu datang kemudian sebuah kabar burung.
Sejak Dedeng ditemukan oleh warga bertindihan di pekarangan bersama Aisyah di bawah pohon asem, banyak yang berspekulasi bahwa mereka menjalin hubungan. Hal itu kemudian merambat sampai ke rumor bahwa Dedeng dan Aisyah adalah alasan Ishak membunuh dirinya di hadapan Dedeng saat hari pemakaman anaknya. Apalagi ketika orang-orang mendengar bahwa Dedeng membiayai segala keperluan Aisyah di rumah sakit jiwa, makin menggila kabar itu hingga pelosok kampung di Batavia; Dedeng Koswara telah main api dengan istri sahabatnya hingga Tuhan mengirim api betulan ke rumah di mana keluarga istri tersebut mati. Dedeng sudah berkali-kali menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi, bahkan beberapa surat kabar termasuk Surat Kabar Tempoe sudah menceritakan kronologi kebakaran tersebut. Namun lagi, tidak semua kicau bisa diatur bunyinya.
Sebenarnya, hanya orang-orang dekat yang paham bagaimana Dedeng dan cara Dedeng mencintai Mustika dengan amat sangat. Lantas, tak mungkin ia mengkhanati seseorang yang untuk mati saja ia rela.
Sayap kiri rumah sakit jiwa mendadak ramai semenjak kedatangan Aisyah. Pasalnya, Aisyah selalu berbicara seorang diri dan tertawa setelahnya. Aisyah mengaku pada beberapa dokter bahwa Zainuddin sering muncul di malam hari dengan baju yang sama dengan yang ia pakai di hari kematiannya. Meski begitu, Zainuddin nampak sangat mengenaskan lantaran Aisyah tak mampu melihat wajah Zainuddin karena Zainuddin kehilangan kepalanya. Zainuddin sering sekali meminta ibunya untuk mencari di mana kepalanya, dan berharap bahwa ibunya akan memenggal kepala Dedeng seperti Dedeng mengambil kepala Zainuddin.
Hal ini tentu langsung disampaikan pada Dedeng. Beberapa dokter memaklumi apa yang Aisyah sampaikan karena menarik kronologi kejadian yang diceritakan oleh surat kabar dan Dedeng sendiri, bahwa Dedenglah yang membawa Zainuddin pergi dan entah mengapa terlepas dari jangkauannya. Meski nampak tak peduli, Dedeng mencoba untuk memercayai apapun yang dikatakan dokter lantaran ia tak ingin makin banyak kabar burung yang tersebar di lingkungan rumahnya.
Hari ini seperti yang sudah-sudah, Dedeng mengintip dari balik jeruji. Kuku-kuku Aisyah sudah lama hilang lantaran terlalu sering menggaruk-garuk pasung, berharap pasung tersebut terbuka dengan garukan sederhana yang menyakiti dirinya sendiri. Dibandingkan dengan ruangan lain pun, ruangan Aisyah adalah ruangan yang paling gelap, namun menurut dokter dan perawat adalah ruangan yang paling ramai. Hanya ada satu cahaya yang masuk dikarenakan jeruji yang tak memiliki penutup. Aisyah berada di pojok ruangan, menghindari cahaya tersebut.
“Bagaimana keadaannya?” tanya Dedeng pada Willem, dokter keturunan Belanda yang baru sebulan ditugaskan di rumah sakit jiwa di mana Aisyah ditempatkan.
“Histeris ia ketika cahaya dinyalakan. Matahari pun enggan ia tengok, apalagi pencahayaan yang lebih-lebih. Kecenderungannya meluka diri sendiri sangat tinggi, apalagi kala kami menyinggung masalah keluarganya.” Dokter Willem menggeleng, miris melihat pasiennya. Seumur hidupnya bekerja (meski baru sebulan), baru kali ini ia melihat seseorang sangat terpuruk dan hancur hingga jiwanya sama sekali tak bisa dibenahi.
“Bolehkah saya berbicara pada Aisyah?”
“Jika engkau memang berkenan, Tuan. Agak sulit kami coba untuk mendekatinya. Beberapa perawat kami terluka karenanya.”
“Barangkali dengan saya ia bisa?”
Dokter Willem mengangguk. Ia lantas mengeluarkan kunci dari dalam kantong celananya dan membuka kunci jeruji.
Suara jeruji menyebabkan Aisyah terhentak, kemudian mendongak. Dari matanya yang kabur, ia bisa melihat sosok pria tinggi yang berkelas dengan sepatu pantofel mengilap dan jas hitam yang terlihat necis. Namun cahaya yang masuk ke matanya membuatnya cukup buta untuk meraba wajah yang membelakangi cahaya.
“Aisyah ...” Dedeng memanggil dengan rintih. Wajahnya terlihat begitu sedih hingga menekuk seluruh wajah.
Dokter Willem memantau hingga ia menemukan tatapan Dedeng diiringi sebuah senyuman, seolah meminta ruang untuk mereka berdua berbicara. Dokter Willem membalas senyuman tersebut dengan sebuah anggukan, lalu menyingkir dari kamar Aisyah. Meski ada berbagai hal yang ingin ia pantau dari interaksi mereka berdua, ia menganggap bahwa tidak ada benarnya menguping pembicaraan yang mungkin mampu membawa Aisyah menuju kesembuhannya.
“Aisyah,” Dedeng kembali memanggil Aisyah, kali ini dengan nada sedikit tegas. Didekatinya Aisyah yang masih menekuk lutut, memeluknya dirinya sendiri meski pasung masih memisahkan kaki dan tangannya bersama. Dedeng mendekat dengan hati-hati menuju kegelapan yang sepertinya digemari oleh Aisyah. Setelah beberapa langkah diambil, Dedeng berjongkok dengan tempo yang sama. Dari jarak sedekat itu, ia mampu mencium bau yang sama yang ia cium di rumah Aisyah beberapa waktu lalu.
“PENDOSA!” Aisyah seketika berteriak dan menarik kerah Dedeng. Sekali ia hantukkan kepala pada kepala Dedeng dengan kencang, lalu tertawa dengan suara serak.
Dedeng memperbaiki kerahnya dan menggeret tubuhnya mendekat kepada Aisyah. Ia bekap mulut Aisyah yang tak bisa diam dengan cekikikannya yang serak dan basah dan mendorong tubuh Aisyah dengan tangan yang tengah membekap hingga terpojok di tembok. Dedeng mendekatkan bibirnya pada telinga Aisyah dan bekata, “Kau pikir merinding hingga menggigil aku kau buat? Tidak, Wanita Gila! Ada lebih banyak hal gila menimpa hidupku dan engkau hanya gila terendah yang mencoba mengorek kelemahanku!”
Ada tawa dari balik bekapan Dedeng yang makin kuat pada tubuh kecil Aisyah sebelum kemudian Aisyah melemas dan tak sadarkan diri. Dengan dingin, Dedeng melepaskan bekapannya dengan melempar kepala Aisyah hingga menghantuk ujung ranjang. Dedeng bangkit, melihat Aisyah seolah melihat seonggok daging busuk.
“Nasib baik kau kutahan di sini karena darahmu tak berguna bahkan jika itu segar.” Dedeng melihat telapak tangannya dengan jijik dan mengelapkannya pada celana pensilnya. Dengan perasaan yang sia-sia, Dedeng berbalik menuju jeruji untuk keluar.
Selama langkahnya yang hanya beberapa itu, ia rasa pandangannya makin jauh menuju jeruji. Semakin ia mempercepat langkah, semakin ia merasa jauh dari jeruji itu. Lama-lama, langkah cepatnya berubah menjadi sebuah langkah panjang dan buru-buru; berlari. Tangannya menjulur, berusaha meraih jeruji yang hanya sejengkal. Namun ia seperti berlari di tempat, dan itu menguras banyak energinya.
Dedeng memberhentikan langkahnya. Kedua dengkulnya sudah sangat lemas. Ia baru saja merasakan bahwa ia sedang dipermainkan oleh Aisyah. Maka dari itu pula, Dedeng berbalik untuk kembali menemui Aisyah.
Tetapi, Aisyah sudah ada tepat di hadapannya ketika ia berbalik ke belakang. Manik matanya merah dengan urat-urat di setiap sisi bola mata yang bisa dijangkau oleh Dedeng. Ia tersenyum dengan lebar. Dari sela-sela giginya ada cairan hitam yang keluar, kental dan deras. “Enggankah kau kembali tunduk, Dedeng Koswara?!”
Aisyah kembali tertawa. Dari mulutnya keluar lagi cairan hitam pekat hingga mengotori sepatu Dedeng yang mengilap. Sambil menari, ia mundur perlahan dari Dedeng yang masih kebingungan dan mematung melihat betapa menjijikkan dan mengerikan Aisyah saat ini. Dari ujung celana yang Aisyah kenakan, muncul sedikit api kecil yang lama-lama mulai memanjat naik ke atas. Api itu terlalu cepat untuk Dedeng ketahui hingga kemudian yang ia lihat adalah Aisyah yang terbakar sebadan-badan sambil menari riang dan tertawa. Yang mampu Dedeng lakukan hanyalah berbalik dan meraih jeruji besi, mengetuk-ngetuknya beberapa kali.
“Tolong! Tolong!” Begitu seru Dedeng.
Dari ujung koridor, ia bisa mendengar sebuah tawa yang disahut oleh tawa lainnya. Tawa itu kemudian makin menggelegar ketika sahutan makin menggila dari tiap-tiap kamar di koridor itu. Suara tawa mereka kencang dan memekakkan telinga Dedeng, namun tak sampai sekencang Aisyah yang masih terbakar di belakangnya.
Beberapa petugas termasuk Dokter Willem berlari menghampiri Dedeng yang rupanya terkunci.
“Dok, tolong, Dok! Aisyah ter–” Dedeng menunjuk Aisyah ketika kemudian semua hal terdengar hening. Bahkan ketika ia berbalik pun, ia hanya melihat Aisyah tak sadarkan diri dengan posisi meringkuk. Dedeng menyadari seberapa sunyinya koridor ini selain dengan suaranya yang sangat tiba-tiba. Tak heran mengapa Dokter Willem tidak masuk ke dalam ketika Aisyah berteriak di hadapan wajahnya di kali pertama ia mendekati Aisyah. Dengan setengah berbisik, Dedeng melanjutkan kalimatnya, “... –bakar...”
Dokter Willem dan beberapa perawat masuk ke dalam dan mengecek kondisi Aisyah yang tak sadarkan diri dengan kepala bersandar di ujung ranjang besi. Dari kejauhan itu, Dedeng menatap lamat-lamat Aisyah yang tak sadarkan diri, masih dengan perasaan jijik yang sama.
Iya.
Dedeng takut setengah mati. Bahkan setelah perlindungan dari berbagai jimat dari dukun yang ia percaya, sekian banyak tumbal yang ia persembahkan untuk segala iblis yang ia sembah, gangguan itu masih saja menghantuinya. Yang lebih mengenaskannya lagi, Dedeng tidak serta-merta dibunuh dan dijadikan makan malam iblis. Ia hanya dipermainkan dengan perasaan takutnya yang mencekat tenggorokan namun tak bisa dikeluarkan. Hal itu malah menambah kekhawatiran bahwa suatu hari, akan ada hal yang terjadi pada keluarganya dan kala itu terjadi, Dedeng mungkin tidak siap menghadapinya sendiri.
***
“Kenapa engkau begitu berbakti pada janda sahabatmu?” Itu pertanyaan pertama Amin setelah Dedeng menceritakan apa yang baru saja terjadi pada hari minggu ketika ia menjenguk Aisyah di rumah sakit jiwa.
Dedeng mendongak melihat langit yang masih kelabu di malam hari meski tak ada rintik yang jatuh. Di sela-sela jarinya ada cerutu besar yang hanya ia bakar tanpa dihirup, seperti tak punya tenaga untuk menghirupnya. “Aku bahkan tak tahu apakah ia betulan sahabatku atau tidak. Ia hanya sempat kuangkat dari kemiskinan dan dengan sangat cepat diambil satu-satu kebahagiaannya.”
“Lantas mengapa kau terus-terusan berlagak seperti suaminya?” Pertanyaan dari Amin malah makin memosisikan ia di pojokan dilema, menyendiri bersama pilihan antara meninggalkan atau mengurus hingga akhir hayat.
“Seorang wanita menjanda dan bersedih-sedih karena kuasa Tuhan. Kalau bukan karena Tuhan adalah zat egois, lantas apa lagi?” tanya Dedeng kembali, akhirnya buka mulut setelah guntur pertama hadir dan kilatnya membelah langit. Hujan kemudian langsung menghujam hingga tanah dan jalanan kering tertutup jejaknya.
“Astaghfirullah, Deng! Segala hal adalah kuasa-Nya yang paling baik. Allah tidak akan memberikan ujian pada hamba yang tidak mampu melewatinya.” Amin sedikit terkejut dengan apa yang baru saja dilontarkan Dedeng.
“Aku hanya memperbaiki pekerjaan Tuhan yang sudah kepalang. Mana pantas aku meninggalkan seorang wanita yang sudah gila hanya karena kabar burung?”
Dari situ Amin sudah tak berani menyela lagi. Dalam pikirannya, mungkin Tuhan mengirimkan seseorang yang tak beriman pada-Nya untuk mengurus seorang janda yang tengah terguncang jiwanya untuk kemudian saling menyembuhkan. Rahasia Tuhan sangat besar dan luas, Amin sendiri tak mampu meraba rencana-Nya.
Dedeng injak bekas cerutu yang sama sekali tak ia sentuhkan ke bibir, mematikan api dan asap di jalanan basah. Pikirannya akhir-akhir ini selalu dijejal banyak hal hingga ia sendiri lupa yang mana yang harus ia prioritaskan.
“Aku pulang dulu, Bung. Sudah berapa hari aku menginap hingga pakaianku bau tinta begini,” kata Dedeng setelah berdiam berdua di serambi.
“Hati-hati, Bung.”
Kalimat terakhir dari Amin hanya ia balas dengan senyum seadanya, itu pun tak terlihat oleh Amin yang sudah kepalang dipunggungi Dedeng.
Dedeng tidak lantas pulang ke rumah pada hari itu. Terhitung pukul dua dini hari, Dedeng baru sampai di rumah dengan mengendarai mobil model baru. Jasnya terlihat agak kusam dan rambutnya berantakan, terlihat seperti seorang pengusaha yang tak pulang beberapa hari (karena kenyataannya memang begitu).
“Kang, Akang bilang hendak menginap di kantor?” Mustika berjalan menuruni tangga dan berhenti di salah satu anak tangga yang memiliki dua cabang di kanan-kiri setelah sebelumnya ia sempat mengintip di balik jendela kamarnya sebuah mobil mulus Ford Model A mendekat dari gerbang rumahnya yang luas. Matanya masih setengah mengatup lantaran ia terbangun dengan suara gerbang yang terbuka. Bahkan, perapian yang sempat menghangatkan dirinya sudah tinggal abunya saja.
“Ternyata Akang sudah selesai dari pekerjaan." Hanya begitu jawaban suaminya sebelum membuka jas kerjanya dan menarik dasinya untuk sedikit memberikan ruang pada lehernya yang tegang. Beberapa hari belakangan ada kasus kematian yang penyebabnya simpang siur. Akhirnya, polisi mengizinkan surat kabar Dedeng untuk bekerjasama menumpas kasus yang kelewat misterius ini.Dan cerita baru saja dimulai dari sini.
Dalam beberapa kasus yang menyangkut suaminya, ada beberapa hal pula yang membuat Mustika tidak nyaman. Banyak rahasia yang ia sendiri tidak yakin apakah itu sebuah rahasia atau hanya sebuah hal yang Dedeng coba untuk tutupi dari Mustika. Meski begitu, Mustika mencoba untuk menyimpan hal-hal tersebut sendirian lantaran ia tahu bahwa suaminya tidak melulu perihal dirinya dan Nina. Apalagi sejak beberapa tahun lalu ketika Pak Hartono–pemiliki Surat Kabar Tempoe sebelum Dedeng, meninggal karena kecelakaan. Dedeng makin jarang berada seranjang dengannya. Mustika sendiri sampai hampir lupa bau suaminya lantaran Dedeng yang terlalu lama mengurusi urusan terkait surat kabar. Tetapi akhir-akhir ini, ketidaknyamanan itu malah bercabang dan hampir berbunga. Ketidaknyamanan itu hadir dari lingkungan yang ia sebut rumah; termasuk rumahnya sendiri, Helenina, bahkan Dedeng–terlebih, pada Dedeng. Selama ini Mustika kira Dedeng hanya terlalu lelah menim
Mustika memucat bibirnya hingga sekujur tubuh. Telah dua jam ia bolak-balik di gerbang rumahnya lantaran menunggu anak semata wayangnya yang izin bermain siang tadi. Masalahnya, Mustika bersumpah ia masih melihat Nina di seberang jalan bermain di dekat pohon besar. Sepersekian detik kemudian, ia tak melihat apapun selain lambaian daun yang meronta minta dilepaskan dari dahannya. Mustika masih sempat bersantai beberapa jam karena sebelumnya anaknya tidak pernah pergi jauh. Anak itu terlalu penakut untuk sekedar jauh dari pandangan orang tuanya. Meski kadang Mustika agak cemas lantaran Nina adalah selembut-lembutnya hati seorang anak manusia yang pernah ia temui di muka bumi. Namun hari ini berbeda. Hingga berkumandang adzan maghrib pun, tidak ada batang hidung Mustika terlihat oleh pandangannya. Hal itu menyebabkan Mustika mengirim para pembantu rumahnya untuk mencari di sekitar rumah, termasuk di jalan-jalan yang sering disambangi Nina k
Dedeng mengendara dengan cepat, berkilo-kilo sudah ia tempuh dari pagi setelah ia melihat jasad Ismail hingga nyaris jam empat sore, itu pun masih setengah jalan yang ia lalui. Agak ugal-ugalan, Dedeng berhasil menerobos lajur meski nyaris mati di tempat karena hampir terhimpit truk gandeng. Ada yang berdusta pada Dedeng. Dalam hati yang sebenar-sebenarnya, Dedeng tidak tahu siapa yang berdusta, dan dusta mana yang lebih besar di antara dusta yang saling berkesinambungan ini. Salahkah mempertahankan dusta demi sesuatu yang mampu membahagiakan keluarganya? Dedeng rasa tidak. Atau memang mungkin Dedeng tidak ingin segala hal yang ia bangun runtuh seketika hanya karena ia berlari dan berdusta. Dalam perjalanan, ia tahu betul mungkin kantor tengah was-was dan setengah hancur lantaran ketidakberadaan dirinya di dalam kantor. Apalagi, berita terkini mengenai Ismail mencuat di mana-mana. Jika Surat Kabar Tempoe tidak menyegerakan suntingan, aka
“Min, banyak yang salah dari suami saya.”Polisi tidak akan menjadi sangat patuh dan main dorong di tangga menuju mobil patrolinya jika bukan karena bukti. Itu yang pertama kali terlintas di pikiran Mustika ketika ia melihat tiga polisi dari balik jendela kamar anaknya di lantai dua berlarian menuju mobil mereka.Kecurigaan memang tidak pernah meninggalkan hati Mustika yang resah selama ia menikah dengan Dedeng, namun kali ini curiga sudah tidak bisa diredam lagi. Ada sesuatu yang lebih salah dari yang biasa ia maklumi seperti sebelum-sebelumnya. Ada sesuatu yang lebih gila dari kegilaan yang pernah ia temui dari seorang Dedeng yang nekat tapi penakut. Seolah yang selama ini ia kenal bukan suaminya, melainkan cangkangnya saja. Segala cinta yang dikemukakan dan diaksikan Dedeng seolah tak mampu membendung rasa penasaran Mustika untuk tidak memercayai lelaki yang sudah bertahun-tahun seranjang dengannya itu.
Dedeng tidak pernah bercerita tentang teman di Garut. Sebenarnya, ia tak pernah bercerita mengenai apapun tentang Garut. Dedeng menghindari percakapan itu, begitu pula dengan Amin yang tidak berusaha untuk mengorek kisah Dedeng selama berada di Garut. Dalam pikirannya, Dedeng adalah seorang saudagar kaya raya, atau seorang pemilik kebun berhektar-hektar di kampung. Namun tidak sama sekali. Ia hanya seorang buruh tani yang dipanggil kacung oleh warga desa yang sebenarnya sama-sama seorang buruh tani.Amin mengendarai mobil sudah berjam-jam lamanya. Ia tidak pernah menyangka bahwa sesungguhnya apa yang disebut “kelokan di seberang sana” oleh seorang penjaga warung di pinggiran jalan yang rupanya mengenal Dedeng adalah sebuah jalan berkilometer jauhnya sampai ke sebuah rumah tak berpagar dengan nuansa Jawara Batavia dengan cat pelitur cokelat yang mengilap dan lampu gantung yang terbuat dari besi asli.Terparkir kemudian mobil milik
Dedeng merasa telinganya terasa basah meski air tidak sampai masuk ke dalam telinganya. Ia menggeleng, mencoba menggeser posisinya untuk tidur lebih nyaman. Namun air dan gelombangnya yang menyentuh-nyentuh pergelangan tangannya membuat kelopak matanya mengerjap dan pikirannya menyatu setelah berlama-lama terlelap. Pandangannya masih kabur ketika ia menyadari bahwa ia berada di sebuah rawa dengan tanaman air yang mengambang di atasnya. Dengan cepat Dedeng menyadarkan diri, menarik tubuhnya untuk duduk dan memastikan kepalanya tidak salah menangkap pemandangan.Dedeng mendongak. Langit yang menaunginya sangat gelap, malah seperti tak ada langit. Pohon-pohon pinus tegak berdiri berdampingan di samping rawa yang luas. Suara hutan lengkap dengan gemeretakan misterius dari ranting-ranting dan sahut binatang malam terdengar. Hutan sangat lembab, membuat Dedeng merasakan sesak yang amat di dada.Di tengah-tengah suasana hening itu ada kecipak air d
Meski selalu menampakkan ketidakpekaan dan ketidakpedulian, sebenarnya Mustika selalu menjadi istri yang pemerhati. Seperti ketika ia memerhatikan suaminya yang belakang ini jarang pulang ke rumah, bisa berhari-hari atau berminggu-minggu. Alasannya sederhana; suaminya kelewat sibuk menjadi reporter dadakan demi sebuah percetakan surat kabar yang dipercayakan oleh atasannya yang telah lama meninggal. Mustika tidak pernah curiga, terlebih karena sahabat suaminya selalu memiliki alibi yang sama dengan suaminya ketika suaminya tidak sempat setor wajah ke rumah. “Nina! Mari, makan dulu!” Mustika membelah kesunyian malam selepas maghrib. Sajian sudah lebih dulu hadir di antara meja panjang yang terbuat dari kayu jati. Ada beberapa menu yang mengepul asap putih bergulung-gulung, sebagian lagi asap yang sama namun terlihat memencar lantaran makanan yang dingin–eskrim. Dihampirinya anak gadis yang tengah menumpuk boneka-bonekanya di depan duduknya yang bersila.
Makanan di atas meja makan masih akan tetap dingin meskipun Aisyah mencoba untuk menghidangkannya malam sekali hingga Zainuddin merengek minta makan. Teh yang selalu ia sediakan di meja di depan pelataran rumahnya masih akan tetap dingin meskipun Aisyah mencoba untuk menghangtkannya berkali-kali. Dalam hati, Aisyah masih ingin berharap bahwa suaminya akan pulang dari kerjanya yang bisa berhari-hari. Hal ini ia lakukan demi sebuah salam dan ketukan sepatu di luar rumah untuk membersihkan kotoran di alasnya. Sebenarnya tanpa hidangan itu ia buat pun, Ishak takkan pulang sampai atasannya benar-benar puas dengan cetakan mereka. Memang, setiap cetakan dari Surat Kabar Tempoe memiliki keabsahan yang jauh lebih akurat dari surat edaran pemerintah sekalipun. Hal ini dikarenakan kompetensi Dedeng–Direktur Utama Surat Kabar Tempoe dalam mengupas sebuah informasi yang tidak bisa ditampik, bahkan meski mengada-ada sekalipun. Aisyah juga tidak pernah keberatan mengenai hal