Pemakaman dihadiri oleh banyak sanak saudara, kolega kerja, bahkan orang-orang yang menyaksikan kecelakaan tersebut ikut hadir di pemakaman. Kebanyakan dari mereka malah asing menurut Ishak, namun mereka tetap berbelasungkawa. Berkat berita yang mencuat dan menjadi sampul depan Surat Kabar Tempoe, upacara pemakaman Zainuddin malah lebih mirip seperti acara hajatan. Simpati bertebaran, bunga malah bermekaran di kubur Zainuddin yang masih seperti timbunan tanah basah. Uang yang dihasilkan dari pemakaman itu pun tidak main-main. Banyak amplop tebal yang masuk ke baskom plastik berisi beras dan bunga melati.
Namun Ishak dan Aisyah sama sekali tidak berbahagia dengan hal itu, dan memang seharusnya begitu. Derai airmata dengan gilanya jatuh berdesakan dari aliran yang sudah kacau di pipi Aisyah. Sembab pada mata Ishak juga belum hilang meski Ishak mencoba untuk menjamu tamu sebagai tuan rumah yang baru kehilangan percik warna dalam kehidupan rumah tangga.
Dari seusai pemakaman hingga jamuan terakhir di rumah Ishak yang ramai, Ishak mencoba untuk mengangkat kepalanya dan menjadi baik-baik saja. Di saat sunyi itu, Dedeng dan istrinya datang dengan baju serba hitam. Mustika memakai selendang sutra hitam yang menutup sebagian dari rambut panjangnya. Sengaja Dedeng hadir terakhir agar ia bisa menemui Ishak secara langsung. Dari saku celana bahannya, ia keluarkan segepok duit yang sudah dibungkus amplop dan memasukkannya ke dalam baskom yang sudah tak terlihat lagi berasnya karena tertimbun amplop lain.
“Ambil uang Bapak dan pergi dari sini,” kata Ishak, sama sekali tak memberikan hormat seperti ketika terakhir kali ia bertemu dengan Dedeng. Wajahnya menghadap ke arah lantai yang bercorak. Kesedihannya meraung di relung jiwanya, mengantarkan benci yang teramat sangat pada figur Dedeng yang terlihat sama sekali tak terganggu oleh ketiadaan Zainuddin di samping orang tua mereka. “Jika saja saya tidak mengizinkan ia untuk pergi berjalan dengan Bapak ... tidak akan ia mengalami derita sampai sebegini beratnya...”
“Mas...” Aisyah tidak berani melawan amarah Ishak yang dari kemarin ia tahan demi kelancaran pemakaman anak semata wayangnya. Ia juga tidak bisa menampik bahwa ada sedikit rasa benci yang memercik di hatinya ketika ia melihat Dedeng baik-baik saja sementara Zainuddin harus terkubur tanpa kepala.
“Ishak–”
“Tidak. Jangan kau panggil aku dengan namaku, Dedeng! Di mana engkau ketika anakku diseret bermeter-meter dari tempatnya berdiri?! Bahkan tidak ada batang hidungmu mampir kepadaku ketika anakku tersangkut di bawah mobil–” Ishak berhenti setelah ia merasa ada yang mencekat tenggorokannya. Mungkin Ishak tak sanggup mengutarakan apa yang ada di pikirannya. Pasalnya, setelah beberapa menit ia menunggu air minum datang bersama anaknya, yang ia dapatkan rupanya hanya sebuah kabar bahwa anaknya terseret mobil yang kehilangan kendali dan bahkan kehilangan kepalanya. “Terpaksa ... terpaksa kami mengubur jasad anak kami tanpa wajah yang bisa kami pandangi untuk terakhir kali!”
Dedeng hanya bisa merunduk. Ia terima semua kemarahan Ishak atas apa yang terjadi pada anaknya. Gejolak apapun yang terjadi pada hatinya tidak boleh divalidasi. Orang yang kehilanganlah yang berhak memvalidasi perasaan tidak terima mereka hari ini. Maka dari itu, Dedeng membisu bahkan setelah dihina di muka umum.
Mendengar suara sunyi yang gaduh tanpa Dedeng mencoba melawan amarahnya, Ishak malah semakin dibutakan kesedihan dan berlari menerjang Dedeng yang tidak menyiapkan apa-apa selain kepasrahannya. Dedeng jatuh telentang dengan Ishak yang berada di atasnya. Ishak memukul wajah Dedeng beberapa kali. Kekacauan itu untungnya segera dikerubungi dan dilerai.
“Mas, Istighfar, Mas!” Begitu seruan istrinya sambil menarik-narik lengan suaminya yang terus menghantam wajah Dedeng yang sama sekali tidak melawan.
Beberapa orang kemudian menarik paksa Ishak menjauh dari Dedeng, sementara Aisyah dibawa pergi oleh beberapa perempuan yang masih sempat berada di sana.
“Mengapa, Deng?!” seru Ishak. Tubuh Ishak melemas, ia menangis sejadinya meski tubuhnya masih ditahan oleh beberapa warga. “Mengapa kau tinggalkan anakku bersakit-sakit di sana ... mengapa ...”
Mustika menghampiri suaminya yang telentang dengan lebam di mana-mana. Dedeng sendiri mengangkat tangannya, mengisyaratkan istrinya yang setengah panik untuk berhenti mengkhawatirkannya karena ia baik-baik saja dan meyakinkan Mustika dengan mimik wajahnya bahwa ia harus menyelesaikan hal ini sendirian. Kemudian, Dedeng bangkit meski harus sempoyongan kepalanya.
“Berkecil hatilah pada saya jika itu bisa membuat deritamu luntur pelan-pelan, Saudaraku.” Dedeng mengelap darah dari bibirnya yang pecah-pecah. “Tetapi ... dengan sangat yang teramat saya pintakan pada kau untuk menjadi kuat setelah ini. Tengok istrimu yang sudah terkatung-katung memaklumi perasaan hancurmu, Ishak! Ia perlu kau disisinya.”
“Beginilah engkau, Saudaraku. Berentet kebencian kusampaikan padamu ... tapi masih saja gigih kebaikan di dalam hatimu. Pantas apa yang bisa kuterima setelah membuat tampangmu jadi begitu selain kematian yang memanggilku?” Ishak akhirnya dilepaskan satu-satu oleh para lelaki yang menahan tubuhnya untuk kembali mendekat kepada Dedeng.
Bersedih seluruh penghuni dan tamu yang ada di rumah Ishak ketika mereka melihat hancur-hancurnya Ishak bahkan setelah sebelumnya sempat tersenyum mengantar beberapa tamu keluar dari rumahnya. Beginilah seorang bapak yang baru saja ditinggal anaknya tanpa perpisahan seharusnya terlihat.
Ishak menengok ke arah Dedeng yang masih terengah-engah menahan sakit di wajahnya. Ia seperti merasa tengah mengkhianati dirinya sendiri, mengkhianati istrinya, dan bahkan anaknya. Bagaimana bisa ia berniat untuk menebas leher Dedeng dengan begitu entengnya atas sesuatu yang Tuhan berikan untuknya? Akankah ia menjadi tidak tahu malu dengan membunuh satu-satunya manusia yang betul-betul peduli dengannya?
‘Berakhirlah engkau di neraka, Ishak’, begitu batin Ishak ketika melihat Dedeng dan istrinya.
“Dedeng ... tolong jagakan istriku untukku,” kata Ishak sebelum ia mengeluarkan pisau cukur dari balik lengan bajunya yang panjang dan menggorok lehernya sendiri dengan pisau cukur tersebut.
Segala hal lagi-lagi terasa begitu cepat. Semua orang terkesiap, bahkan Dedeng sendiri hanya mampu mengulurkan tangan sebelum ia mematung melihat keteguhan hati Ishak untuk membunuh dirinya sendiri di hari pemakaman anaknya. Istri yang baru sempat minum seteguk air putih kemudian berteriak hingga bergetar suaranya. Di hadapan istri yang tengah bermuram durja, Ishak tambah beban duka yang masih mampir di hati Aisyah. Semua orang terdiam. Semua orang menangis dalam diamnya. Selain tangan Aisyah yang memeluk Ishak yang tersedak darahnya sendiri, semua orang tidak bisa bergerak.
Pemakaman kembali dibuka sekali lagi. Polisi mendesak penjelasan dari Aisyah yang bajunya masih bernoda darah suaminya yang mengering. Di sana, kembali berkumpul sanak saudara. Hanya satu orang yang tak hilir-mudik dan menemani Ishak sampai tanah basah dari kubur anaknya ikut membasahi lubang ayahnya; Dedeng Koswara.
***
Setelah hari pemakaman, tepatnya seminggu setelahnya, Dedeng kembali datang ke rumah Ishak untuk menengok Aisyah. Dikabarkan kemudian oleh tetangganya, sudah seminggu itu pula Aisyah tak kunjung keluar dari rumahnya. Rumah itu pun tidak pernah menyalakan lampu ketika malam hari. Sebenarnya, Dedeng mencoba untuk memberi ruang pada Aisyah yang terpukul atas kematian dua orang tercintanya. Tetapi menurut Dedeng, ruang itu sudah cukup lama ia beri hingga yang ia sadari adalah ia malah mengabaikan permintaan temannya.
Maka atas pertimbangan Dedeng hari itu, ia pergi ke rumah Ishak untuk menengok Aisyah. Kali ini ia sendirian selepas bekerja. Sedikit agak malam, namun tidak terlalu larut. saat Dedeng memarkir mobilnya tepat di depan rumah Aisyah, ia sempat dikejutkan dengan suara anak-anak yang bernyanyi sebuah lagu yang tak ia ketahui. Suaranya lirih, namun masih sangat menyenangkan. Dedeng rasa, mungkin itu adalah suara radio tetangga Aisyah yang terlalu besar. Mencoba untuk menampik semua kemungkinan mengenai keberadaan makhluk lain selain dirinya, Dedeng turun dari mobil dan mengetuk pintu rumah.
“Aisyah?” panggil Dedeng, memastikan bahwa Aisyah berada di dalam rumahnya. Namun selain suara Burung Koreak di atas dahan pohon beringin di belakang rumah Ishak, tidak ada lagi yang menjawab. Dedeng kian khawatir, apalagi setelah mengingat apa yang dilakukan Ishak bisa juga dilakukan Aisyah.
Tidak mendapatkan jawaban, Dedeng mencoba untuk membuka pintu dengan menarik gagangnya ke bawah. Dari aksinya itu, Dedeng tidak mendapatkan perlawanan apa-apa dari pintu. Malah, pintu itu terbuka dan berderit begitu jarang namun lantang. Jadi selama ini, Aisyah tidak pernah mengunci pintunya?
Menyerbak seketika bau amis darah dan bau busuk seperti mayat ikan yang sudah mengembung. Dedeng tak lagi mengeja perihal benar atau tidak masuk ke dalam sebuah rumah seorang janda yang mendiang suaminya adalah karib, ia segera masuk untuk mencari di mana Aisyah berada. Janji untuk menjaga istri dari kawan yang ditinggal menjanda ia ingat meski ia tidak diberi kesempatan untuk menerima apalagi menolak.
“Aisyah?!” Dedeng berseru sambil mengecek seluruh pintu yang bisa ia buka. Dari kamar depan hingga kamar mandi, ia tidak bisa menemukan Aisyah. Kecurigaan akan sesuatu terjadi pada Aisyah makin kuat ketika ia mendapati beberapa barang tergeletak sama seperti ketika pemakaman digelar.
“Aisyah–!” Tirai yang menutup ruang makan dan dapur ia buka. Saat itulah bau busuk menggagalkan aksi Dedeng yang ingin mengitari ruang terakhir yang belum ia sambangi. Dari sekian banyak kegelapan yang ia datangi, baru kali ini Dedeng berhadapan dengan kegelapan hingga rasanya matanya buta.
Dedeng merogoh saku celananya. Meski tidak terlalu mampu menerangi seisi ruangan, setidaknya Dedeng mampu melihat apa yang ada di hadapannya. Tepat berada di hadapannya adalah sebuah meja makan. Beberapa makanan bekas pemakaman masih ada di sana dan terlihat bintik-bintik putih di beberapa kue dan belatung di berbagai makanan basah. Dedeng menahan napasnya untuk menghindari dirinya mengeluarkan makan malam dari warung makan tadi.
“Aisyah?” Sekali lagi ia memanggil nama Aisyah, kali ini sedikit pelan, bahkan cenderung berbisik. Langkahnya maju pelan-pelan sambil tangan yang memegang pemantik berputar searah dengan bola mata yang ingin menatap. Langkah kecilnya kemudian terhadang oleh sesuatu yang agak lembut namun padat, seperti seonggok daging. Dedeng persis menginjak sesuatu tersebut, menyebabkan Dedeng mengangkat kakinya dan mundur selangkah. Api ia arahkan ke apapun yang barusan ia injak, dan hasilnya malah luar biasa mencengangkan. Ia baru saja menginjak bangkai tikus yang sudah mengembung. Pada tubuh tikus itu terdapat sebuah gigitan besar, seperti seseorang yang meninggalkan bekas gigitan di sebuah roti; rapih dan tidak tercabik. Dari sana, Dedeng sudah tidak bisa berpikir jernih selain menemukan Aisyah dan pergi dari sini.
Dedeng kembali melangkah, kali ini ke sisi kanan. Baru sekali ia melangkah menuju dapur, seluruh tubuhnya terlonjak lantaran suara gebrakan yang sangat besar persis terdengar di telinga kiri Dedeng. Suaranya seperti sebuah palu yang dilempar ke meja makan, nyaring sekali. Hal itu kemudian malah membuat Dedeng menegang dan melepaskan pemantik yang ada di tangannya. Entah bagaimana bisa, namun api malah menjalar ke taplak meja kotak-kotak di atas meja makan dan menyebabkan kobaran yang lumayan besar. Karena kobaran itu Dedeng baru bisa melihat apa yang terjadi di ruangan tersebut. Beberapa tikus tergeletak di lantai, darah dibiarkan mengering di berbagai sudut, dan semua laci didesakkan oleh beberapa bangkai ikan.
Dedeng mematung sepersekian detik sebelum ia menyadari bahwa lidah api sudah menjulur hendak menjalar ke arahnya. Dedeng berbalik dengan niat ingin berlari dari rumah itu. Namun dengan tubuhnya yang berbalik, Aisyah sudah berada di hadapannya dengan wajah pucat, mata cekung hitam dengan bola mata yang memerah, dan bibir serta gigi yang memerah (Dedeng berasumsi bahwa itu adalah darah dari tikus yang ia gigit). Aisyah tersenyum lebar padanya sambil mendongak.
“Pendosa kau, Dedeng!” Aisyah mencengkram kedua lengan Dedeng dan melempar Dedeng hingga menubruk meja makan yang sudah mulai dilalap api.
Dedeng tersungkur dan terguling hingga meja makan terbelah dua akibatnya meski api tak sempat melahap pakaiannya. Belum sempat Dedeng mengumpulkan nyawanya kembali, Aisyah sudah melompat ke atas Dedeng dan mencekik lehernya.
“Pendosa! Pendosa! Pendosa! Pendosa!” Aisyah terkekeh besar. “Dia sudah datang dan dia akan memimpin kehancuran! Berkat kau, Dedeng Koswara!”
Beberapa patahan meja makan menjadi penyelamat Dedeng malam itu. Dedeng meraih kaki meja dengan kobaran api di ujungnya yang sudah terlepas dan menghantamnya tepat ke kepala Aisyah. Aisyah sendiri tak sempat mengaduh, melainkan terkapar di atas Dedeng dengan luka di kepala. Perkelahian itu mengejutkan dan melelahkan, namun lebih mengejutkan lagi jika ia mati bersama Aisyah di dalam rumah karena api sudah melalap ruang makan dan dapur.
Dedeng mendorong tubuh Aisyah dari atas badannya, bergelinding sekali sebelum bangkit. Ia tak serta-merta pergi meninggalkan Aisyah yang masih terkapar dengan tikus-tikus di sekitarnya, ia menarik Aisyah dan membopong tubuh Aisyah sampai ke luar rumah.
“Tolong! Tolong!” Dedeng berseru ketika ia sudah sampai pelataran rumah. Dadanya sesak penuh asap dan baru ia rasa nyeri di sekujur tubuhnya lantaran terpelanting tinggi hingga membelah meja makan. Tepat di samping pohon asem di pekarangan rumah Aisyah, Dedeng ambruk dengan masih membopong Aisyah.
Tetangga mendengar teriakan minta tolong Dedeng meski terlambat. Mereka semua keluar dengan santai, namun segera berlari ke arah Dedeng dan Aisyah ketika mereka tahu bahwa kemungkinan dua orang ini sedang tidak baik-baik saja. Mereka mencoba untuk mengangkat Dedeng dan Aisyah keluar dari pekarangan itu ketika kemudian mereka harus menunda niat baik mereka karena dikejutkan dengan genteng-genteng yang roboh. Pekerjaan mereka malah bertambah ketika mereka melihat jilatan api di atas atap yang sudah bolong. Beberapa mengambil air dari sumur di belakang rumah Aisyah untuk disiramkan ke dalam rumah, sementara yang lainnya menarik Dedeng dan Aisyah menjauh.
Beberapa orang kembali berkumpul untuk kesekian kalinya di rumah Ishak, dan ketiga acara itu adalah acara bencana yang tak direncanakan.
Sudah seminggu kakinya terjerat pasung. Kapan terlepas sedikit saja, ia memberontak dan menghantukkan kepalanya berkali-kali ke jeruji besi. Perawakannya masih sama seperti ia terakhir kali; sangat berantakan dan menyedihkan. Namun ada baiknya sedikit lantaran beberapa perawat hilir-mudik bergantian mengurus Aisyah. Terhitung seminggu sebelum ia berada di rumah sakit jiwa, Aisyah diselamatkan oleh Dedeng dari rumahnya yang terbakar. Hari ini, rumah itu sudah tinggal tanahnya saja lantaran semua hal termasuk pohon asem yang ada di pekarangan rumahnya sudah bubuk jadi abu. Karena tidak memiliki ahli waris, akhirnya tanah tersebut diberikan kepada Dedeng atas pertimbangan bahwa Dedeng adalah orang yang berjasa dalam kehidupan keluarga Ishak selama ini. Pertimbangan lain mengenai Aisyah adalah perkara pelik lantaran setelah kobaran api meluluhlantakkan rumah keluarga Ishak, Aisyah sadar dan segera menerjang Dedeng yang masih terkulai di depa
Dalam beberapa kasus yang menyangkut suaminya, ada beberapa hal pula yang membuat Mustika tidak nyaman. Banyak rahasia yang ia sendiri tidak yakin apakah itu sebuah rahasia atau hanya sebuah hal yang Dedeng coba untuk tutupi dari Mustika. Meski begitu, Mustika mencoba untuk menyimpan hal-hal tersebut sendirian lantaran ia tahu bahwa suaminya tidak melulu perihal dirinya dan Nina. Apalagi sejak beberapa tahun lalu ketika Pak Hartono–pemiliki Surat Kabar Tempoe sebelum Dedeng, meninggal karena kecelakaan. Dedeng makin jarang berada seranjang dengannya. Mustika sendiri sampai hampir lupa bau suaminya lantaran Dedeng yang terlalu lama mengurusi urusan terkait surat kabar. Tetapi akhir-akhir ini, ketidaknyamanan itu malah bercabang dan hampir berbunga. Ketidaknyamanan itu hadir dari lingkungan yang ia sebut rumah; termasuk rumahnya sendiri, Helenina, bahkan Dedeng–terlebih, pada Dedeng. Selama ini Mustika kira Dedeng hanya terlalu lelah menim
Mustika memucat bibirnya hingga sekujur tubuh. Telah dua jam ia bolak-balik di gerbang rumahnya lantaran menunggu anak semata wayangnya yang izin bermain siang tadi. Masalahnya, Mustika bersumpah ia masih melihat Nina di seberang jalan bermain di dekat pohon besar. Sepersekian detik kemudian, ia tak melihat apapun selain lambaian daun yang meronta minta dilepaskan dari dahannya. Mustika masih sempat bersantai beberapa jam karena sebelumnya anaknya tidak pernah pergi jauh. Anak itu terlalu penakut untuk sekedar jauh dari pandangan orang tuanya. Meski kadang Mustika agak cemas lantaran Nina adalah selembut-lembutnya hati seorang anak manusia yang pernah ia temui di muka bumi. Namun hari ini berbeda. Hingga berkumandang adzan maghrib pun, tidak ada batang hidung Mustika terlihat oleh pandangannya. Hal itu menyebabkan Mustika mengirim para pembantu rumahnya untuk mencari di sekitar rumah, termasuk di jalan-jalan yang sering disambangi Nina k
Dedeng mengendara dengan cepat, berkilo-kilo sudah ia tempuh dari pagi setelah ia melihat jasad Ismail hingga nyaris jam empat sore, itu pun masih setengah jalan yang ia lalui. Agak ugal-ugalan, Dedeng berhasil menerobos lajur meski nyaris mati di tempat karena hampir terhimpit truk gandeng. Ada yang berdusta pada Dedeng. Dalam hati yang sebenar-sebenarnya, Dedeng tidak tahu siapa yang berdusta, dan dusta mana yang lebih besar di antara dusta yang saling berkesinambungan ini. Salahkah mempertahankan dusta demi sesuatu yang mampu membahagiakan keluarganya? Dedeng rasa tidak. Atau memang mungkin Dedeng tidak ingin segala hal yang ia bangun runtuh seketika hanya karena ia berlari dan berdusta. Dalam perjalanan, ia tahu betul mungkin kantor tengah was-was dan setengah hancur lantaran ketidakberadaan dirinya di dalam kantor. Apalagi, berita terkini mengenai Ismail mencuat di mana-mana. Jika Surat Kabar Tempoe tidak menyegerakan suntingan, aka
“Min, banyak yang salah dari suami saya.”Polisi tidak akan menjadi sangat patuh dan main dorong di tangga menuju mobil patrolinya jika bukan karena bukti. Itu yang pertama kali terlintas di pikiran Mustika ketika ia melihat tiga polisi dari balik jendela kamar anaknya di lantai dua berlarian menuju mobil mereka.Kecurigaan memang tidak pernah meninggalkan hati Mustika yang resah selama ia menikah dengan Dedeng, namun kali ini curiga sudah tidak bisa diredam lagi. Ada sesuatu yang lebih salah dari yang biasa ia maklumi seperti sebelum-sebelumnya. Ada sesuatu yang lebih gila dari kegilaan yang pernah ia temui dari seorang Dedeng yang nekat tapi penakut. Seolah yang selama ini ia kenal bukan suaminya, melainkan cangkangnya saja. Segala cinta yang dikemukakan dan diaksikan Dedeng seolah tak mampu membendung rasa penasaran Mustika untuk tidak memercayai lelaki yang sudah bertahun-tahun seranjang dengannya itu.
Dedeng tidak pernah bercerita tentang teman di Garut. Sebenarnya, ia tak pernah bercerita mengenai apapun tentang Garut. Dedeng menghindari percakapan itu, begitu pula dengan Amin yang tidak berusaha untuk mengorek kisah Dedeng selama berada di Garut. Dalam pikirannya, Dedeng adalah seorang saudagar kaya raya, atau seorang pemilik kebun berhektar-hektar di kampung. Namun tidak sama sekali. Ia hanya seorang buruh tani yang dipanggil kacung oleh warga desa yang sebenarnya sama-sama seorang buruh tani.Amin mengendarai mobil sudah berjam-jam lamanya. Ia tidak pernah menyangka bahwa sesungguhnya apa yang disebut “kelokan di seberang sana” oleh seorang penjaga warung di pinggiran jalan yang rupanya mengenal Dedeng adalah sebuah jalan berkilometer jauhnya sampai ke sebuah rumah tak berpagar dengan nuansa Jawara Batavia dengan cat pelitur cokelat yang mengilap dan lampu gantung yang terbuat dari besi asli.Terparkir kemudian mobil milik
Dedeng merasa telinganya terasa basah meski air tidak sampai masuk ke dalam telinganya. Ia menggeleng, mencoba menggeser posisinya untuk tidur lebih nyaman. Namun air dan gelombangnya yang menyentuh-nyentuh pergelangan tangannya membuat kelopak matanya mengerjap dan pikirannya menyatu setelah berlama-lama terlelap. Pandangannya masih kabur ketika ia menyadari bahwa ia berada di sebuah rawa dengan tanaman air yang mengambang di atasnya. Dengan cepat Dedeng menyadarkan diri, menarik tubuhnya untuk duduk dan memastikan kepalanya tidak salah menangkap pemandangan.Dedeng mendongak. Langit yang menaunginya sangat gelap, malah seperti tak ada langit. Pohon-pohon pinus tegak berdiri berdampingan di samping rawa yang luas. Suara hutan lengkap dengan gemeretakan misterius dari ranting-ranting dan sahut binatang malam terdengar. Hutan sangat lembab, membuat Dedeng merasakan sesak yang amat di dada.Di tengah-tengah suasana hening itu ada kecipak air d
Meski selalu menampakkan ketidakpekaan dan ketidakpedulian, sebenarnya Mustika selalu menjadi istri yang pemerhati. Seperti ketika ia memerhatikan suaminya yang belakang ini jarang pulang ke rumah, bisa berhari-hari atau berminggu-minggu. Alasannya sederhana; suaminya kelewat sibuk menjadi reporter dadakan demi sebuah percetakan surat kabar yang dipercayakan oleh atasannya yang telah lama meninggal. Mustika tidak pernah curiga, terlebih karena sahabat suaminya selalu memiliki alibi yang sama dengan suaminya ketika suaminya tidak sempat setor wajah ke rumah. “Nina! Mari, makan dulu!” Mustika membelah kesunyian malam selepas maghrib. Sajian sudah lebih dulu hadir di antara meja panjang yang terbuat dari kayu jati. Ada beberapa menu yang mengepul asap putih bergulung-gulung, sebagian lagi asap yang sama namun terlihat memencar lantaran makanan yang dingin–eskrim. Dihampirinya anak gadis yang tengah menumpuk boneka-bonekanya di depan duduknya yang bersila.