Makanan di atas meja makan masih akan tetap dingin meskipun Aisyah mencoba untuk menghidangkannya malam sekali hingga Zainuddin merengek minta makan. Teh yang selalu ia sediakan di meja di depan pelataran rumahnya masih akan tetap dingin meskipun Aisyah mencoba untuk menghangtkannya berkali-kali. Dalam hati, Aisyah masih ingin berharap bahwa suaminya akan pulang dari kerjanya yang bisa berhari-hari.
Hal ini ia lakukan demi sebuah salam dan ketukan sepatu di luar rumah untuk membersihkan kotoran di alasnya. Sebenarnya tanpa hidangan itu ia buat pun, Ishak takkan pulang sampai atasannya benar-benar puas dengan cetakan mereka. Memang, setiap cetakan dari Surat Kabar Tempoe memiliki keabsahan yang jauh lebih akurat dari surat edaran pemerintah sekalipun. Hal ini dikarenakan kompetensi Dedeng–Direktur Utama Surat Kabar Tempoe dalam mengupas sebuah informasi yang tidak bisa ditampik, bahkan meski mengada-ada sekalipun. Aisyah juga tidak pernah keberatan mengenai hal itu, kecuali dengan rasa rindu akan tidur seranjang dengan suaminya. Namun tidak dengan Zainuddin. Zainuddin beberapa kali harus kena tipu ibunya lantaran ia berdiri di depan jendela samping pintu rumah dengan sekotak kapur di tangannya. Dahulu, ayahnya akan pulang lebih cepat esok harinya jika ia melihat kapur sebagai media anaknya untuk menggambar di kamarnya habis. Maka dari itu, Zainuddin selalu menggunakan trik ini untuk “memanggil” ayahnya pulang. Maka dari itu pula, ibunya harus menipu anaknya berkali-kali dengan alasan yang berbeda-beda karena kegigihan anaknya.
Akan tetapi malam ini, Aisyah kehabisan alasan untuk menipu anaknya. Tak terpikir di siang hari untuk menipu anaknya hingga tertidur memelas di pangkuannya. Makanan juga sengaja tidak ia tambahkan di meja makan malam ini, hanya ada untuknya dan anaknya. Meja makan pun terasa lebih sepi daripada biasanya, tidak ada rengekan Zainuddin yang menuntut ayanya pulang ke rumah. Mungkin bukan Aisyah yang menyerah, namun anaknya sendiri yang menyerah untuk merengek padanya meminta ayahnya kembali ke rumah.
Atas pertimbangan dari keheningan yang sangat aneh di meja makan tadi, Aisyah membungkus makan malam kali ini di sebuah kertas makan dan memasukkan kertas-kertas tersebut ke dalam plastik hitam. Senyumnya mengembang ketika ia menghampiri anaknya yang baru saja diterima bersekolah di Sekolah Olanda berkat Dedeng. Anaknya tengah berputar-putar melihat seragamnya yang putih dan sederhana. Anak itu melakukannya setiap malam dalam seminggu penuh. Mungkin girang sekali ia mendapatkan sesuatu yang begitu bagus dan apik daripada sebuah celana pendek lusuh dan kaos bekas ayahnya yang dikecilkan oleh ibunya.
“Zainuddin,” panggil Aisyah, membawa bungkusan makanan yang sudah ia ikat ujungnya. “Mari kita temui Ayah?”
“Temui Ayah?” Zainuddin melepaskan seragamnya dari tangan setelah setengah jam berputar-putar, seolah melupakan kesenangan yang sedari tadi ia ciptakan ketika ia melihat dirinya menggunakan seragam itu. “Mari, mari! Nuddin hendak melihat Ayah bekerja!”
Girang anaknya membuat Aisyah tersenyum. Lantas tangannya mengulur pada anaknya yang masih sepinggang, disambut dengan bahagia yang teramat dari sang putra yang berjalan menuju kantor surat kabar ayahnya dengan nyanyian Olanda yang baru ia pelajari di sekolah. Jika mereka tidak bisa melihat Ishak di sela-sela makan di meja makan, maka mereka bisa melihatnya berada di sela-sela kerja di meja kerja.
Dalam perjalanan mereka, ada satu anjing yang sedaritadi melolong menemani mereka berdua. Meski agak menakutkan, suara itu tidak terdengat dekat. Itulah mengapa Aisyah tidak terlalu terburu-buru dengan langkahnya, meski lolongan itu seperti sebuah musik yang berputar dari jauh karena ia bisa mendengarnya di seluruh penjuru. Karena Kantor Surat Kabar Tempoe sangat dekat dengan rumahnya, Aisyah dan Zainuddin menempuh perjalanan selama lima belas menit. Waktu itu pun tak terasa karena Zainuddin terus-terusan menyanyi dan menari di pinggir jalan sambil melambai pada pohon-pohon yang dekat dengan jalan kecil menuju kantor ayahnya. Kebahagiaan itu sempat terhenti karena Aisyah bersumpah ia melihat sebuah pohon yang batangnya bergerak. Ya, batangnya, bukan rantingnya. Pohon itu terlalu jauh untuk terlihat dengan jelas, ia hanya melihat bayangan hitam tinggi serupa pohon tanpa ranting dan daun. Batang besar itu bergerak ke kanan setengah batang ke atas, seperti tengah menoleh. Aisyah mematung, tidak menyadari bahwa ia mencengkram pegangan anaknya hingga anaknya merengek. Di detik-detik yang singkat itu, ia rasanya ingin bersumpah lagi bahwa ia melihat seutas senyum lebar dengan gigi runcing rapat dan mata kuning menyalak ke arahnya. Aisyah takut setengah mati, namun lidahnya kelu dan dan hatinya beku. Tidak ada barang satu ayat pun yang bisa ia pikirkan apalagi keluarkan dari bilah bibirnya yang mengatup. Untungnya, rengekan anaknya menyelamatkannya dari penglihatan yang melihat batang itu makin merunduk dan merunduk hingga nyaris menyentuh tanah. Setelah kemudian ia mendengar rengekan anaknya, barulah Aisyah menyadari bahwa ia hanya melihat sebuah batang yang rantingnya bergoyang-goyang. Jadi, dengan perasaan lega yang sangat, ia kembali membawa anaknya sampai ke kantor surat kabar.
“Ayah!” Zainuddin melihat ayahnya yang tengah menghisap cerutu besar di mulutnya. Ishak tersedak oleh asap yang ia hisap sendiri setelah ia berhasil menemukan figur anaknya yang bersuara sangat bahagia. Ia tidak menyangka anaknya sampai kemari, ditambah melihatnya menghisap cerutu milik kawannya karena ia sendiri belum cukup mampu membeli cerutu.
“Anak Ayah?! Betulkah jauh kemari untuk Ayah?” Ishak berjongkok untuk menangkap anaknya yang berlari dan mengangkat anak itu dalam pelukannya. Berputar-putar mereka menyebabkan anak itu terbahak kegelian. “Rindu Ayah dengan kau, Nak.”
“Pula, Ayah!”
Dari kejauhan, Aisyah berdiri. Ia memperhatikan dua lelaki kesayangannya bercengkrama dengan penuh cinta. Dari kejauhan itu pula, ia tersenyum pada Ishak yang juga tersenyum ke arahnya. Aisyah mengangkat plastik hitam yang ia bawa, menunjukkan pada suaminya. Dalam hatinya, ia sangat bersyukur pernah berada pada dunia yang segelap-gelapnya dan diangkat oleh seorang malaikat tak bersayap bernama Dedeng Koswara menuju tempat yang seterang-terangnya sampai sekarang.
“Tahu? Nuddin tadi bertemu banyak teman di jalan!” seru Zainuddin tiba-tiba, tepat setelah Ishak menurunkan anaknya dari gendongan.
Ishak menaikkan kedua alisnya. “Oh, iya? Siapa mereka?”
“Banyak, Yah! Anak-anak! Bernyanyi bersama Nuddin!”
Aisyah yang baru saja sampai di hadapan suaminya bertanya melalui mimik wajah. Suaminya menggeleng, membuat Aisyah makin heran. “Mas, saya bawakan makanan. Mas sudah makan?”
“Kebetulan sekali! Mas baru hendak membeli dengan kawan.”
“Bolehkah Mas membatalkannya? Saya bawa cukup untuk beberapa. Boleh Mas bagi pula dengan kawan Mas itu.”
Ishak menoleh ke arah kawannya yang sudah menunggu di tangga, dekat pintu masuk kantor. “Oy, Bung! Istri saya! Bawakan ia makan untuk kita rupanya!”
Dari situ, sebuah tawa hadir dari keluarga yang sudah tiga hari tak bertegur sapa dari pelataran kantor dengan duduk meleseh. Aisyah dan Zainuddin hanya saling bermain satu sama lain, sementara Ishak dan kawannya memakan bekal yang disediakan istrinya. Potret sebuah keluarga itu dipandang lamat-lamat oleh Dedeng dari bingkai pintu masuk kantor. Tersenyum ia melihat keempat manusia yang bercengkrama, terlebih pada Zainuddin yang anteng dengan ibunya.
“Astaga! Mengapa saya lupa membawakan minum untuk Mas?” Aisyah nampak bingung. “Saya tak memiliki kesiapan untuk berjalan kemari, Mas. Maafkan saya.”
“Usah khawatir engkau, Aisyah. Kedatangan kau dan Zainuddin tanpa buah tangan pun tak mengapa untuk saya. Lagipula, ada dekat sekali warung Bi Inah di setapak jalan ini, dekat perempatan jalan. Bolehlah kita membelinya di sana nanti.” Ishak segera menyela Aisyah yang sudah ingin bergerak berdiri kembali ke rumah.
“Biarkan saya membelinya.” Dedeng akhirnya berjalan mendekat ke arah Ishak dan keluarganya, mengancingi jas garis-garis dari seorang desainer terkenal dari Olanda.
Ishak segera berdiri, bahkan tangannya masih memegang paha ayam yang sudah habis separuh. “Pak, tidak usah! Kami akan beli sendiri.”
“Saya memaksa, Ishak. Lagipula, belum sempat saya berterima kasih atas engkau yang menolong surat kabar yang hilir-mudik beritanya.”
Istri Ishak ikut berdiri di belakang Ishak, tersenyum sambil membungkuk badan sekali. Perawakan Dedeng membuat Aisyah terkesima. Pantas saja Dedeng masyhur di kalangan konglomerat dan Olanda, rupanya Dedeng memang memiliki pesona yang menyilaukan mata. “Kami yang tak tahu terima kasih dengan Bapak. Menumpang kami di jalur Bapak.”
“Tolong, jangan begitu, Aisyah. Senang betul saya pernah mengenal kalian semua sebagai keluarga yang berjuang demi diri.
Oh, iya! Sekalian saja saya ajak pula Zainuddin berkeliling sekitaran kantor, jika tidak keberatan?”
Ishak menarik anaknya yang tengah main plastik hitam di belakangnya. “Tentu, Pak! Beruntung ia bisa bergandengan dengan Bapak mengitari sekeliling!”
Bagi Ishak, Dedeng lebih dari sekedar seorang manusia yan berbuat baik. Ia adalah sebagaimana penampilan seorang malaikat tak bersayap. Dedeng menarik tangan keluarga Ishak dari kematian dan kemiskinan yang sedang melahap mereka dengan nikmat kala itu. Dedeng bahkan bersusah payah untuk membuat Zainuddin masuk ke Sekolah Olanda yang sama dengan anaknya meski Zainuddin sudah berusia delapan tahun. Bagi Ishak, Dedeng adalah satu-satunya orang yang bisa ia doakan keberadaan dan kesehatannya.
Zainuddin awalnya kebingungan. Namun setelah menengok setelan Dedeng yang tak memiliki garis bekas setrika (tak seperti baju kantor ayahnya), Zainuddin terkesima, sama seperti Aisyah yang terkesima akan pesona Dedeng dengan setelannya. Anak itu lantas mengangguk dan maju sedikit-sedikit mendekati Dedeng.
“Mari, Nak. Kita belikan minum untuk ayahmu.” Dedeng mengulurkan tangan pada Zainuddin, lalu menoleh sejenak ke arah ayahnya. “Kami pergi dulu. Sejenak saja. Kau boleh teruskan makanmu.”
Dedeng bersama dengan Zainuddin kemudian pergi dari kantor yang bising suara mesin cetak surat kabar menuju jalanan yang tak kalah bising dari kantornya. Perjalanan mereka hanya ditemani suara kendaraan dan tawa Olanda yang baru pulang dari kerja mereka. Zainuddin sendiri sibuk melambai pada pepohonan dan tertawa pada setiap gemericik air yang jatuh dari tempat tinggi di parit semenara Dedeng sibuk memperhatikan Zainuddin yang tawanya menular padanya.
“Zainuddin menyukai sekolah?” tanya Dedeng secara tiba-tiba.
“Sangat, Paman!” Zainuddin dengan riangnya mengangguk, melompat-lompat saking senangnya ia dengan sekolah yang baru ia jalani selama seminggu.
“Engkau bertemu dengan banyak kawan?”
“Banyak sekali, Paman! Mereka bahkan mengikuti saya sampai kemari! Bernyanyi-nyanyi mereka di depan rumah, mengelilingi saya sampai kemari!”
Dedeng terdiam setelah itu. Meski jalanan ramai, tidak mungkin seorang anak kecil menyalahartikan bunyi mesin dan roda dengan sebuah nyanyian dari anak-anak di mana di antara mereka, tidak ada anak-anak lagi kecuali Zainuddin. Di keramaian itu, bulu kuduk Dedeng berdiri dan sekujur tubuhnya bergetar akibat angin dingin yang semilir ke tengkuknya. Angin tersebut bukan sekedar bergulung dan lewat, melainkan seperti ada sesuatu yang meniup hawa dingin itu pelan-pelan persis ke belakang tengkuknya.
“Paman?” Zainuddin yang terheran melihat Dedeng yang mematung, mencoba menyadarkan Dedeng dari apapun yang membuatnya berdiri kaku.
Dedeng mengedip sekali dan menurunkan matanya pada Zainuddin yang mendongak padanya. Melihat wajah heran Zainuddin, Dedeng berjongkok, memosisikan diri berhadapan dengan Zainuddin. Sambil menunjuk sebuah warung dengan lampu petromak remang-remang, Dedeng bertanya, “Zainuddin lihat warung di depan sana?”
Zainuddin lantas menoleh ke arah yang dimaksud. Dengan jelas ia lihat sebuah warung kecil yang terbuat dari bambu yang disusun seperti sebuah kotak kecil berada di seberang jalan. “Kita beli di sana?”
Dedeng mengangguk. “Pintar! Kau tunggulah hingga lampu di ujung sana berwarna merah, baru kita berjalan ke seberang. Mengerti?”
Zainuddin mengangguk riang, merasa mendapatkan sebuah tugas penting dari orang yang penting. Fokusnya tidak lepas dari lampu lalu lintas di perempatan yang ramai pengendara namun sepi pejalan kaki. Dedeng kembali tersenyum menengok tingkah anak lelaki itu.
Tiba saat lampu lalu lintas berubah menjadi merah, Zainuddin berlari ke arah seberang dengan riang. Dedeng sendiri tengah merogoh kantongnya untuk mencari cerutu yang rupanya ia tinggalkan di meja kerja kantornya hingga ia belum menyusul Zainuddin yang berlarian ke seberang jalan. Dalam waktu sesingkat-singkatnya, jalanan ramai itu dikejutkan dengan bunyi roda yang berdecit dan suara besi yang tergeret di aspal. Semua orang terkesiap, semua orang tak siap. Termasuk Zainuddin yang termangu menatap sebuah mobil dengan lampu besar mengarah tepat kepada tubuhnya yang terpaku. Mobil yang kehilangan kendali bahkan kehilangan bannya itu meminggir ke kanan, membawa serta Zainuddin yang berada di bawah badan mobil, terseret tubuhnya sekian meter. Jalanan berubah tak kondusif, bahkan beberapa pengendara keluar dari kendaraan untuk mengikuti jejak darah dari bawah mobil yang kehilangan kendali dan menabrak warung bambu di seberang. Beberapa orang mulai berkerumun, membantu pengendara untuk keluar dari mobilnya. Yang lain membantu beberapa pengunjung warung dan pemilik warung yang terluka ringan. Namun tidak ada yang berani menolong Zainuddin yang tubuhnya masih mengejang seperti seekor kupu-kupu yang kehilangan sayap, tapi pada kasus ini, Zainuddin mengejang lantaran ia kehilangan kepalanya. Sebagian tubuh Zainuddin terlepas dan berceceran di jalan, membikin ngeri beberapa pasang mata dan bahkan ada yang menepi karena ingin memuntahkan isi perut mereka.
Di seberang jalan yang sepi lantaran keramaian lebih menyukai tragedi, ada Dedeng yang sama sekali tidak bergerak dari tempatnya. Ia menarik cerutu dari kantong dalam jasnya dan menyalakan pemantik yang ada di saku celananya, seolah tidak peduli pada potret keramaian yang terjadi di hadapannya. Ia menyalakan cerutunya dengan satu tangan, sementara bibirnya mencengkram erat cerutu yang sedang ia nyalakan. Ia menghisap cerutu itu dalam-dalam, lama sekali sebelum ia menghembuskan apa yang tersisa dari semua asap yang berhasil ia masukkan ke paru-parunya. Di tangan satunya dengan tiba-tiba terdapat sebuah plastik hitam besar di mana kerumunan lalat hijau mengerubungi tepat di atasnya. Dari plastik itu menetes darah yang masih kental-kentalnya ke arah aspal yang sudah bernoda merah akibat tubuh Zainuddin.
“Ada apa?” tanya Dedeng dengan lagak santainya. Usai mengernyit lantaran merasa tak tertarik dengan kerumunan dan suara orang-orang muntah di balik pohon pinggir jalan, akhirnya Dedeng berbalik. Ia berjalan menjauhi kerumunan–menjauhi kantornya pula, membawa sebuah kantong plastik hitam besar yang hanya ia yang tahu isinya.
Pemakaman dihadiri oleh banyak sanak saudara, kolega kerja, bahkan orang-orang yang menyaksikan kecelakaan tersebut ikut hadir di pemakaman. Kebanyakan dari mereka malah asing menurut Ishak, namun mereka tetap berbelasungkawa. Berkat berita yang mencuat dan menjadi sampul depan Surat Kabar Tempoe, upacara pemakaman Zainuddin malah lebih mirip seperti acara hajatan. Simpati bertebaran, bunga malah bermekaran di kubur Zainuddin yang masih seperti timbunan tanah basah. Uang yang dihasilkan dari pemakaman itu pun tidak main-main. Banyak amplop tebal yang masuk ke baskom plastik berisi beras dan bunga melati. Namun Ishak dan Aisyah sama sekali tidak berbahagia dengan hal itu, dan memang seharusnya begitu. Derai airmata dengan gilanya jatuh berdesakan dari aliran yang sudah kacau di pipi Aisyah. Sembab pada mata Ishak juga belum hilang meski Ishak mencoba untuk menjamu tamu sebagai tuan rumah yang baru kehilangan percik warna dalam kehidupan rumah tangga. &n
Sudah seminggu kakinya terjerat pasung. Kapan terlepas sedikit saja, ia memberontak dan menghantukkan kepalanya berkali-kali ke jeruji besi. Perawakannya masih sama seperti ia terakhir kali; sangat berantakan dan menyedihkan. Namun ada baiknya sedikit lantaran beberapa perawat hilir-mudik bergantian mengurus Aisyah. Terhitung seminggu sebelum ia berada di rumah sakit jiwa, Aisyah diselamatkan oleh Dedeng dari rumahnya yang terbakar. Hari ini, rumah itu sudah tinggal tanahnya saja lantaran semua hal termasuk pohon asem yang ada di pekarangan rumahnya sudah bubuk jadi abu. Karena tidak memiliki ahli waris, akhirnya tanah tersebut diberikan kepada Dedeng atas pertimbangan bahwa Dedeng adalah orang yang berjasa dalam kehidupan keluarga Ishak selama ini. Pertimbangan lain mengenai Aisyah adalah perkara pelik lantaran setelah kobaran api meluluhlantakkan rumah keluarga Ishak, Aisyah sadar dan segera menerjang Dedeng yang masih terkulai di depa
Dalam beberapa kasus yang menyangkut suaminya, ada beberapa hal pula yang membuat Mustika tidak nyaman. Banyak rahasia yang ia sendiri tidak yakin apakah itu sebuah rahasia atau hanya sebuah hal yang Dedeng coba untuk tutupi dari Mustika. Meski begitu, Mustika mencoba untuk menyimpan hal-hal tersebut sendirian lantaran ia tahu bahwa suaminya tidak melulu perihal dirinya dan Nina. Apalagi sejak beberapa tahun lalu ketika Pak Hartono–pemiliki Surat Kabar Tempoe sebelum Dedeng, meninggal karena kecelakaan. Dedeng makin jarang berada seranjang dengannya. Mustika sendiri sampai hampir lupa bau suaminya lantaran Dedeng yang terlalu lama mengurusi urusan terkait surat kabar. Tetapi akhir-akhir ini, ketidaknyamanan itu malah bercabang dan hampir berbunga. Ketidaknyamanan itu hadir dari lingkungan yang ia sebut rumah; termasuk rumahnya sendiri, Helenina, bahkan Dedeng–terlebih, pada Dedeng. Selama ini Mustika kira Dedeng hanya terlalu lelah menim
Mustika memucat bibirnya hingga sekujur tubuh. Telah dua jam ia bolak-balik di gerbang rumahnya lantaran menunggu anak semata wayangnya yang izin bermain siang tadi. Masalahnya, Mustika bersumpah ia masih melihat Nina di seberang jalan bermain di dekat pohon besar. Sepersekian detik kemudian, ia tak melihat apapun selain lambaian daun yang meronta minta dilepaskan dari dahannya. Mustika masih sempat bersantai beberapa jam karena sebelumnya anaknya tidak pernah pergi jauh. Anak itu terlalu penakut untuk sekedar jauh dari pandangan orang tuanya. Meski kadang Mustika agak cemas lantaran Nina adalah selembut-lembutnya hati seorang anak manusia yang pernah ia temui di muka bumi. Namun hari ini berbeda. Hingga berkumandang adzan maghrib pun, tidak ada batang hidung Mustika terlihat oleh pandangannya. Hal itu menyebabkan Mustika mengirim para pembantu rumahnya untuk mencari di sekitar rumah, termasuk di jalan-jalan yang sering disambangi Nina k
Dedeng mengendara dengan cepat, berkilo-kilo sudah ia tempuh dari pagi setelah ia melihat jasad Ismail hingga nyaris jam empat sore, itu pun masih setengah jalan yang ia lalui. Agak ugal-ugalan, Dedeng berhasil menerobos lajur meski nyaris mati di tempat karena hampir terhimpit truk gandeng. Ada yang berdusta pada Dedeng. Dalam hati yang sebenar-sebenarnya, Dedeng tidak tahu siapa yang berdusta, dan dusta mana yang lebih besar di antara dusta yang saling berkesinambungan ini. Salahkah mempertahankan dusta demi sesuatu yang mampu membahagiakan keluarganya? Dedeng rasa tidak. Atau memang mungkin Dedeng tidak ingin segala hal yang ia bangun runtuh seketika hanya karena ia berlari dan berdusta. Dalam perjalanan, ia tahu betul mungkin kantor tengah was-was dan setengah hancur lantaran ketidakberadaan dirinya di dalam kantor. Apalagi, berita terkini mengenai Ismail mencuat di mana-mana. Jika Surat Kabar Tempoe tidak menyegerakan suntingan, aka
“Min, banyak yang salah dari suami saya.”Polisi tidak akan menjadi sangat patuh dan main dorong di tangga menuju mobil patrolinya jika bukan karena bukti. Itu yang pertama kali terlintas di pikiran Mustika ketika ia melihat tiga polisi dari balik jendela kamar anaknya di lantai dua berlarian menuju mobil mereka.Kecurigaan memang tidak pernah meninggalkan hati Mustika yang resah selama ia menikah dengan Dedeng, namun kali ini curiga sudah tidak bisa diredam lagi. Ada sesuatu yang lebih salah dari yang biasa ia maklumi seperti sebelum-sebelumnya. Ada sesuatu yang lebih gila dari kegilaan yang pernah ia temui dari seorang Dedeng yang nekat tapi penakut. Seolah yang selama ini ia kenal bukan suaminya, melainkan cangkangnya saja. Segala cinta yang dikemukakan dan diaksikan Dedeng seolah tak mampu membendung rasa penasaran Mustika untuk tidak memercayai lelaki yang sudah bertahun-tahun seranjang dengannya itu.
Dedeng tidak pernah bercerita tentang teman di Garut. Sebenarnya, ia tak pernah bercerita mengenai apapun tentang Garut. Dedeng menghindari percakapan itu, begitu pula dengan Amin yang tidak berusaha untuk mengorek kisah Dedeng selama berada di Garut. Dalam pikirannya, Dedeng adalah seorang saudagar kaya raya, atau seorang pemilik kebun berhektar-hektar di kampung. Namun tidak sama sekali. Ia hanya seorang buruh tani yang dipanggil kacung oleh warga desa yang sebenarnya sama-sama seorang buruh tani.Amin mengendarai mobil sudah berjam-jam lamanya. Ia tidak pernah menyangka bahwa sesungguhnya apa yang disebut “kelokan di seberang sana” oleh seorang penjaga warung di pinggiran jalan yang rupanya mengenal Dedeng adalah sebuah jalan berkilometer jauhnya sampai ke sebuah rumah tak berpagar dengan nuansa Jawara Batavia dengan cat pelitur cokelat yang mengilap dan lampu gantung yang terbuat dari besi asli.Terparkir kemudian mobil milik
Dedeng merasa telinganya terasa basah meski air tidak sampai masuk ke dalam telinganya. Ia menggeleng, mencoba menggeser posisinya untuk tidur lebih nyaman. Namun air dan gelombangnya yang menyentuh-nyentuh pergelangan tangannya membuat kelopak matanya mengerjap dan pikirannya menyatu setelah berlama-lama terlelap. Pandangannya masih kabur ketika ia menyadari bahwa ia berada di sebuah rawa dengan tanaman air yang mengambang di atasnya. Dengan cepat Dedeng menyadarkan diri, menarik tubuhnya untuk duduk dan memastikan kepalanya tidak salah menangkap pemandangan.Dedeng mendongak. Langit yang menaunginya sangat gelap, malah seperti tak ada langit. Pohon-pohon pinus tegak berdiri berdampingan di samping rawa yang luas. Suara hutan lengkap dengan gemeretakan misterius dari ranting-ranting dan sahut binatang malam terdengar. Hutan sangat lembab, membuat Dedeng merasakan sesak yang amat di dada.Di tengah-tengah suasana hening itu ada kecipak air d