Perjalanan lima orang pemuda dari kota di Desa Pulo Majeti untuk mengungkap misteri dibalik meninggalnya teman mereka bernama Faiz yang tidak wajar. Mereka menemukan banyak hal mencurigakan setelah datang ke desa itu. Mulai dari pak kades yang kaya raya dengan bisnisnya yang tidak diketahui, hingga larangan-larangan dan pantangan memasuki beberapa area terlarang, salah satunya hutan yang dijaga ketat oleh seorang kakek tua. Ikuti kisah mereka mengungkap misteri dibalik Desa Pulo Majeti!
Lihat lebih banyak“Nak Syifa, mau nggak temenin Ibu belanja ke warung Bu Laila? Kebetulan hari ini udah buka,” kata Bu Lastri dengan suara lembutnya.Syifa dengan senang hati mengangguk mendengar kata ‘warung’. “Tentu aja mau, Bu,” sahutnya. Jalan-jalan di desa di pagi hari adalah favoritnya, apalagi jika Bu Lastri yang meminta untuk ditemani.Bu Lastri tersenyum sumringah dan keduanya lantas berjalan keluar rumah. Hari ini Bu Lastri memiliki sedikit rejeki lebih, jadi ia ingin membelikan anak-anak di rumahnya jajanan khas desa mereka.Bu Laila yang sebelumnya tutup warung kini mulai menjajakan kuenya lagi. Bu Lastri sangat suka kue buatannya dan ia yakin teman-teman Faiz juga akan suka.Begitu tiba di sana, Syifa merasa takjub melihat banyaknya orang mengantri untuk membeli di warung Bu Laila, bahkan ada Bu Kades juga.“Iya, lho, katanya lebih enak kalau dimasak.”“Iya, tapi saya biasanya ditumis aja, Bu. Lebih gurih.”“Eh, saya juga, kalau bisa tambahin kecap biar lebih enak.”Syifa hanya tersenyum m
Glen membalikkan badannya secara spontan karena terkejut dan ternyata pemilik suara itu adalah Pak Kades.Glen buru-buru mengubah ekspresinya, tidak ingin Pak Kades sampai mencurigainya. Tatapannya sekarang begitu tajam terarah pada Glen.“Apa yang kamu lakukan di sini?” Pak Kades mengulang pertanyaannya dengan suara ditekan.“Eh, Pak Kades,” kata Glen sambil cengengesan demi menghilangkan rasa gugupnya. “Anu Pak, saya mau ke toilet, kata Mawar toiletnya ada di sekitar sini,” kata Glen beralasan.Pak Kades menghela napas keras. Dari rautnya saja, jelas bahwa dia tidak suka melihat kehadiran Glen di sana. “Itu bukan tempatnya. Toiletnya ada di sana, tepat di samping tangga.” Pak Kades menunjuk pintu toilet yang sebelumnya sengaja Glen lewati.Glen kembali cengengesan. “Oh, di sana ternyata. Aduh, maaf ya Pak, saya salah arah. Maklum, ini pertama kalinya saya ke sini. Kebetulan tadi saya dan teman saya abis bantuin Dinda dan Mawar bikin video, Pak,” cerocos Glen panjang lebar.Pak Kades
Rania, Salsa, dan anak-anak lainnya dengan cepat mengenali kakek tua itu—Kakek Apung—meskipun dengan topi yang menutupi sebagian wajahnya.“Kek,” sapa mereka bergantian.Kakek Apung tersenyum dan duduk di tepi batu besar yang menjorok ke sungai. “Kalian semua lagi nangkap ikan, ya?”"Iya, Kek, ini udah lumayan dapat banyak,” kata Rania, menunjuk ember di sampingnya.Kakek Apung mengangguk ringan, lantas berdiri di tempatnya. “Ya sudah, tapi kalau sudah sore baiknya segera pulang. Jangan tinggal sampai Magrib, ya.”“Baik, Kek,” sahut Rania, diikuti yang lainnya.Mereka lantas bergegas mengambil peralatan dan segala macam barang yang mereka bawa. Rania dan Adel membawa ember ikan, sementara Salsa yang tidak kuat membawa sesuatu yang berat memilih untuk membawa jaring dan sandal mereka yang basah.Kakek Apung terlihat sudah berjalan menjauh menyisiri sisi sungai dan Rania pun mengisyaratkan yang lainnya untuk pergi.Mereka berjalan sambil bergidik karena kedinginan, terlebih angin sore t
“Tamu? Siapa?”Pria muda itu menggeleng. “Tidak tau, Pak Suro cuma nyuruh aku buat jemput kamu,” jelasnya.Mawar menghela napas kesal dan tidak punya pilihan jika perintah itu sudah datang dari ayahnya. Ia lantas menoleh pada Dinda. “Aku pulang duluan ya, thank’s udah bantuin aku bikin videonya. Kamu lanjut aja bikin video kalau mau, nanti aku liat hasilnya.”Dinda mengangguk dan melambaikan tangannya. “Iya, kamu pulang aja sana. Jangan sampai ayah kamu nunggu lama.”“Hm, iya.” Sekilas, Mawar menatap Azriel dan Glen yang terpaku di tempat sebelum bergegas mendekati pria muda tadi. Tetapi sebelum melangkah pergi, ia kembali menoleh pada Dinda. “Besok kamu datang ke rumahku, ya!”“Iya!” balas Dinda setengah berteriak.Mawar pun pergi bersama pria muda tadi, sementara Dinda mulai mengecek hasil videonya di kameranya.Karena penasaran, Glen tidak bisa menahan dirinya untuk bertanya, “Dinda, tadi itu siapa? Pria yang ngajak Mawar pulang tadi?”“Oh, itu, dia itu orang kepercayaannya Pak Sur
“Maksud Ibu, Mawar suka sama Faiz?” Glen hampir tidak bisa mempercayai pendengarannya. Pasalnya Mawar itu terlihat seperti tipe perempuan yang tidak berperasaan. Atau mungkin, Glen dan Azriel terlalu cepat mengambil kesimpulan mengenai sikapnya.Bu Lastri mengangguk dengan lesu. “Iya, dari dulu Mawar sudah suka sama Faiz. Suka banget malah. Tapi Faiz sendiri sudah punya pacar, namanya Hanin.”“Kami juga cuma tahu tentang Hanin, Bu,” kata Azriel, dan yang lainnya mengangguk membenarkan.Ekspresi Bu Lastri terlihat semakin nestapa saat melanjutkan ceritanya, “Dulu keluarga Mawar terus ngedesak Faiz buat nikahin Mawar, tapi Faiz tetap nggak mau karena dia lebih milih Hanin. Terus nggak lama berselang, Hanin tiba-tiba mengalami kecelakaan dan meninggal di tempat. Faiz benar-benar patah hati saat itu, dan akhirnya memilih untuk merantau dan menetap di Jakarta.”Bu Lastri menatap teman-teman putranya dan tersenyum sendu. “Padahal dulu Faiz katanya ingin menikah dengan Hanin, tapi apa dikata
“Sembunyi cepet!”Azriel dan Glen buru-buru bersembunyi dibalik batang pohon yang cukup lebar saat Mawar hendak beranjak dari tempatnya.Dengan selendang hitam, Mawar terlihat menutupi sebagian wajahnya dan keluar dari area pemakaman dengan langkah lebar. Matanya sembab dan merah, sementara wajahnya menunjukkan kesedihan yang mendalam.Azriel terpaku melihat ekspresi sang gadis—yang mana, seratus persen berbanding terbalik dengan pertemuan pertama mereka. Dia tidak terlihat seperti gadis dingin dan masa bodoh seperti waktu itu, melainkan gadis yang tertekan secara mental.Berbagai pertanyaan kini berseliweran di kepala Azriel, berputar layaknya pusaran. Semua hal yang terjadi sungguh membingungkan. Setiap hari, ada saja hal tak terduga yang mereka temukan.Ditatapnya Mawar yang telah menghilang dibalik belokan, lantas Azriel dan Glen keluar dari tempat persembunyian mereka.Glen menghela napas lega dan menoleh ke arah makam Faiz. “Kok bisa Mawar ada di makamnya Faiz, ya?” tanyanya her
“Sa, ayolah. Nggak ada apa-apa, kok.”Rania kembali membujuk Salsa yang menggeleng keras dan enggan untuk melepaskan tangannya. Mereka sedang berada di lorong yang mengarah ke kamar mandi di bagian paling belakang rumah Bu Lastri.Setelah kejadian semalam, Salsa tidak ingin ditinggal sendiri ke manapun mereka pergi, sekalipun langit masih cerah.Salsa masih merasa trauma.Sekelebat sosok putih yang lewat di ujung jalan itu masih membayangi isi pikirannya. Salsa tidak bisa menghilangkan bayangan itu meski ia berusaha keras untuk tidak mengingatnya.Padahal Rania dan Glen sendiri dengan jelas mengatakan bahwa mereka tidak melihat apa-apa, tetapi tetap saja Salsa ketakutan. Ia bahkan merasa takut untuk sekadar melangkah keluar rumah.“Rania, mending kamu temani Salsa di rumah. Soalnya aku sama Sela mau bantu Bu Lastri di ladang,” kata Syifa yang baru selesai menggosok rambutnya. “Kebetulan Bu Lastri dapat kerjaan buat panen ladang cabai yang luas sama salah satu warga,” lanjutnya.Syifa
“Iya, kata warga desa sini, hutan itu adalah hutan terlarang Pak, tidak sembarangan orang bisa masuk ke sana. Jadi, kami cuma ingin tau ada apa sebenarnya di hutan itu.” Azriel kembali bertanya tanpa mengalihkan sedikit pun pandangannya dari wajah Pak Suro.Sebagai kepala desa, Pak Suro jelas pandai mengatur mimik wajahnya, tetapi Azriel bukan orang bodoh yang tidak bisa membaca gerak-gerik orang yang gugup. Selain itu, jelas bahwa topik ini membuat Pak Suro merasa tidak nyaman. Asisten mudanya telah melemparkan tatapan tajam, tetapi Azriel sama sekali tidak peduli.Untuk memperpanas situasi, Glen pun ikut menambahkan, “Saya juga penasaran kenapa hutan itu dijaga ketat dan bahkan warga saja dilarang untuk dekat-dekat. Apa sesuatu yang ada di sana mungkin berhubungan dengan kejadian yang belakangan ini terjadi, Pak?”Asisten Pak Suro mendelik tajam pada Glen dan Glen ingin sekali tertawa. Mereka memang terkesan menginterogasi, tetapi Azriel tahu Pak Suro tidak punya pilihan selain menj
Suara denting piring dan sendok terdengar bersahutan ketika Bu Lastri, Syifa, dan juga yang lainnya membereskan peralatan makan malam mereka.Jam tangan Azriel menunjukkan pukul delapan tepat, dan mereka semua memutuskan untuk duduk sejenak sebelum kembali ke kamar masing-masing.Azriel melirik Bu Lastri dan berdeham untuk menarik perhatiannya. “Bu Lastri?”Bu Lastri menoleh dengan cepat. “Iya?”“Saya boleh tanya sesuatu, nggak?” mulai Azriel. Ia melirik teman-temannya dan mereka semua menatap penasaran. Azriel sebenarnya sudah berniat bertanya sejak kembali dari toko, tetapi Bu Lastri terlihat sibuk memasak.“Iya, boleh. Jangan sungkan-sungkan,” kata Bu Lastri seraya tersenyum tipis.“Saya mau tanya soal hutan di jalur masuk desa ini. Itu hutan biasa atau bagaimana ya, Bu?”Bu Lastri tampak terkejut dengan pertanyaan Azriel dan terdiam untuk beberapa saat. Syifa jadi teringat hal yang sama ketika ia bertanya soal pekerjaan Pak Suro pagi tadi. Sepertinya Bu Lastri berpikir bahwa teman
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen