“Syifa, tolong panggil teman-teman kamu ya Nak, supaya kita bisa makan bareng-bareng!”
“Oh, iya Bu. Saya akan panggilkan!” sahut Syifa mendengar panggilan Bu Lastri.
Pagi ini Bu Lastri memasak banyak hidangan, jauh lebih banyak dari dua hari terakhir sejak kedatangan teman-teman Faiz. Setelah mendapat upahnya bekerja di ladang, Bu Lastri pikir anak-anak mungkin bosan atau kurang suka dengan makanan sederhana yang ia sajikan. Apalagi, mereka terbiasa makan enak selama tinggal di kota, jadi ia mengubah menu sesekali.
Menyajikan makanan untuk mereka sama saja dengan menyajikan makanan untuk Faiz. Setidaknya Bu Lastri tahu bahwa putranya akan senang melihat bagaimana teman-teman baiknya diperlakukan di rumahnya.
‘Faiz’, batin Bu Lastri dengan perasaan sendu. Ia menarik napas panjang dan berusaha mengikhlaskan kepergian putranya meskipun luka itu masih ada di hatinya.
Sementara itu, Syifa yang hendak memanggil Glen dan Azriel mendadak berhenti di ambang pintu. Ia memiringkan kepalanya heran melihat kedua sahabatnya yang sibuk menatap sebuah ponsel di tangan Azriel.
“Kalian berdua ngapain? Dan itu ponsel siapa?” tanya Syifa. Pandangannya beralih ke ponsel yang tampak familiar itu.
“Ini ponselnya Faiz,” jawab Azriel. “Semalam Bu Lastri ngasih ponsel ini dan minta dicek apa ada sesuatu.”
Syifa melangkah ke dalam kamar dan ikut memperhatikan ponsel tua Faiz. “Jadi, apa ada sesuatu yang kalian temuin?”
“Kami nemu foto yang aneh.” Glen menghela napas dan meregangkan tubuhnya. Ia lalu mengisyaratkan Azriel untuk membukanya.
“Foto aneh gimana?” Syifa menaikkan satu alisnya penasaran.
“Nih,” kata Azriel, membuka sebuah file dan memperlihatkan sebuah foto pada Syifa.
Syifa menatap foto ladang yang diambil di malam hari itu dengan kening berkerut dalam. Fotonya agak buram karena di-zoom dan diambil dengan flash kamera seadanya. Ia memiringkan kepalanya dan mencoba menemukan sesuatu yang aneh seperti yang dibilang teman-temannya, tetapi itu hanya terlihat seperti foto ladang biasa bagi Syifa.
“Aku nggak ngerti. Apa yang aneh dari gambar itu? Cuman ladang biasa 'kan?” Syifa menyerah dan memilih bertanya.
Glen berdecak pelan. “Iya ladang, tapi bukan ladang biasa. Maksudku, itu memang KELIHATAN kayak ladang dan gambarnya juga diambil di malam hari dan agak buram, tapi itu jelas bukan tanaman biasa. Kamu ngerti, nggak?”
Syifa masih mengerutkan kening dan bingung. Cara bicara Glen seperti dia sedang berkumur-kumur.
“Maksud Glen, nggak mungkin Faiz foto ladang tanaman malam-malam kalau itu cuman ladang biasa. Apalagi itu satu-satunya foto yang Faiz simpan selain foto penting keluarganya,” jelas Azriel dengan suara lebih tenang.
Syifa mencoba meresapi penjelasan Azriel dan mulai mengerti apa yang sebenarnya coba mereka sampaikan.
“Ini bukan jagung, padi, cabai atau tanaman pertanian lainnya.” Azriel menunjuk tanaman-tanaman kecil di gambar dengan mata menyipit. “Kita nggak tahu itu tanaman apa, tapi mungkin kita bisa temuin itu di desa ini? Karena nggak mungkin Faiz ambil gambar ini di kota 'kan? Gimana menurut kalian?”
“Aku setuju,” kata Glen dan Syifa mengangguk.
Azriel membuka mulut untuk kembali berdiskusi, tetapi suara Bu Lastri yang memanggil mendadak menginterupsi. Syifa seketika teringat dengan apa yang Bu Lastri suruhkan padanya.
“Astaga, Bu Lastri nyuruh aku manggil kalian buat sarapan. Ayo keluar dulu, Bu Lastri udah masak banyak buat kita,” kata Syifa, lantas bergegas pergi untuk membangunkan Salsa dan Rania.
Azriel menyimpan ponsel Faiz di atas meja dan berjanji akan mendiskusikan foto itu lagi dengan Glen nanti.
***
Adel, gadis dengan rambut sebahu dan wajah bulat manis itu menampilkan senyum menawannya dengan bahagia.
Langkahnya riang mengikuti Azriel, Rania, dan Glen menuju balai desa, tempat di mana Jeep Azriel terparkir. Adel tidak bisa menahan senyum sumringah di wajahnya, mengetahui bahwa ia akan keluar desa untuk membeli perlengkapan sekolah.
Kebetulan beberapa bulan lagi, Adel sudah harus mendaftar SMA. Sementara Sela yang baru saja lulus SMA memilih untuk tidak melanjutkan pendidikannya karena terhalang biaya. Bahkan tamat SMA saja sudah membuat Sela bersyukur.
Di Desa Pulo Majeti, tidak banyak anak seumurannya yang bisa sampai ke jenjang SMA. Di umurnya yang ke-18 tahun, Sela kira itu pencapaian yang cukup bagus baginya. Ia lebih memilih untuk membantu ibunya di rumah sambil berencana mencari pekerjaan di sekitar desa jika ada.
“Adel Sayang, kamu biasanya belanja perlengkapan sekolah yang bagus di mana?” Begitu tiba di mobil, Rania langsung bertanya pada Adel.
Anak itu tampak berpikir sejenak, “Eh, itu kalau di tempat yang bagus agak jauh dari sini Kak. Tapi, kalau tempat Adel dan Mbak Sela biasa beli sih nggak terlalu jauh.”
“Kalau begitu kita harus ke tempat yang bagus!” sahut Rania dan Azriel bersama, Glen pun mengangguk setuju.
Adel hanya bisa tersenyum lebar mendengar hal itu, merasa kelewat bahagia dengan betapa baiknya teman almarhum kakaknya.
Azriel lantas membawa mobilnya keluar dari desa, dituntun oleh Adel yang mengetahui jalan.
“Ngomong-ngomong, umur Kak Rania berapa?” tanya Adel. Mereka baru saja berbelok keluar dari desa dan suasana begitu hening. Adel yang duduk berdua di belakang bersama Rania mencoba untuk lebih akrab.
“Umur Kakak sama kayak Kak Salsa—26 tahun,” jawab Rania dengan senyum kecil. “Kak Syifa sama Kak Glen lebih tua setahun, sementara Kak Azriel umurnya sama kayak Abang kamu.”
“Dua puluh delapan tahun, Kak?”
“Betul sekali!”
Adel mengangguk dan Rania tersenyum simpul. Rasanya senang bisa membuat Adel yang biasanya pendiam tersenyum begitu lebar seperti sekarang.
Mereka terus mengobrol ringan hingga tiba di tempat yang dituju.
“Ayo, kamu pilih aja semua yang kamu butuhin. Biar kami yang bayar,” kata Rania.
Mata Adel berbinar mendengar hal itu, apalagi ketika melihat seluruh perlengkapan sekolah yang terpajang di etalase depan.
“Te-terima kasih, Kak,” ucap Adel dengan haru. Ini pertama kalinya ia bisa membeli barang-barang yang bagus dan berkualitas seperti sekarang.
Rania memberitahu Adel untuk tidak merasa sungkan dan mengambil apa pun yang dia butuhkan tanpa mempermasalahkan harganya. Adel tidak bisa menahan diri untuk terus berterima kasih dan Rania hampir dibuat menangis karenanya.
Ia terdiam di pintu toko dan menatap Glen juga Azriel yang menunggu. Mereka semakin tahu betapa sulitnya hidup Faiz dan bagaimana dia berusaha keras menanggung kebutuhan keluarganya.
“Aku jadi berharap bisa datang lebih cepat dan bantu Faiz,” gumam Glen dengan pandangan menerawang. Faiz adalah teman baik mereka, tetapi mereka tidak pernah tahu kalau hidup Faiz sesusah ini.
“Aku juga. Tapi sekarang, cuman ini yang bisa kita lakuin buat Faiz,” balas Azriel. “Dan masalah foto itu, kita harus cari tahu.”
“Kamu benar. Jangan lupa sama kematian Faiz yang janggal.”
Azriel mengangguk kaku.
Percakapan keduanya pun harus terhenti saat Rania mendekat bersama Adel. Kantong-kantong belanja memenuhi tangan keduanya. Eskpresi bahagia terpampang jelas di wajah Adel yang bahkan terlihat akan menangis. Matanya sudah berkaca-kaca.
“Sudah semua?” tanya Azriel memastikan.
Rania mengangguk dan memasukkan barang belanjaan mereka ke dalam mobil.
“Kalau begitu, yuk, kita pulang!” ucap Glen.
Azriel kembali mengemudikan Jeep-nya menuju Desa Pulo Majeti sebelum matahari terbenam. Di perjalanan melewati hutan, mereka tidak sengaja berpapasan dengan mobil Pak Kades dan satu lagi mobil yang mengikuti di belakang. Azriel menduga itu adalah mobil kenalan Pak Kades sebagai kepala desa.
Supir Pak Kades yang masih muda membunyikan klakson bersamaan dengan Azriel.
“Selamat sore, Pak,” kata Azriel, menurunkan kaca jendela mobilnya dan berhenti sejenak untuk menyapa.
Pak Kades mengangguk ringan dengan senyum tipis ramahnya. “Selamat sore anak-anak,” balasnya.
Glen dan Rania dengan sopan tersenyum. Sebagai tamu di Desa Pulo Majeti, tentu mereka mengerti adab untuk tidak bersikap sombong.
“Kalian baru keluar?” tanya Pak Kades berbasa-basi.
“Iya Pak, dari toko. Kami baru beli perlengkapan buat Adel,” jawab Azriel dan tatapan Pak Kades seketika tertuju pada Adel.
Adel dengan canggung tersenyum, terlihat agak takut-takut. Adel selalu merasa kalau Pak Kades itu memiliki tatapan yang mengintimidasi.
“Baiklah. Hati-hati,” kata Pak Kades akhirnya.
Azriel mengangguk dan membunyikan klakson sekali lagi. “Mari Pak,” ucapnya. Jeep kembali melaju dengan kecepatan sedang, tetapi pandangan Azriel kini bolak-balik terarah ke kaca spion mobil.
Mobil Pak Kades telah melaju pergi bersama mobil kenalannya. Awalnya Azriel kira mereka akan pergi ke jalanan utama, tetapi kemudian sesuatu yang tidak terduga terjadi.
Mobil Pak Kades melambat dan mendadak berbelok memasuki hutan belantara, begitu pula dengan mobil satunya. Mereka dengan cepat menghilang dibalik lebatnya pepohonan. Azriel memelankan laju mobilnya dengan pandangan tidak percaya. Kening Azriel berkerut dalam dengan segala pertanyaan yang kini berkeliaran di kepalanya.
‘Memangnya ada jalan memasuki hutan itu? Kenapa Pak Kades masuk hutan itu sore-sore seperti ini? Ada apa di sana?’
Bersambung ....
Suara denting piring dan sendok terdengar bersahutan ketika Bu Lastri, Syifa, dan juga yang lainnya membereskan peralatan makan malam mereka.Jam tangan Azriel menunjukkan pukul delapan tepat, dan mereka semua memutuskan untuk duduk sejenak sebelum kembali ke kamar masing-masing.Azriel melirik Bu Lastri dan berdeham untuk menarik perhatiannya. “Bu Lastri?”Bu Lastri menoleh dengan cepat. “Iya?”“Saya boleh tanya sesuatu, nggak?” mulai Azriel. Ia melirik teman-temannya dan mereka semua menatap penasaran. Azriel sebenarnya sudah berniat bertanya sejak kembali dari toko, tetapi Bu Lastri terlihat sibuk memasak.“Iya, boleh. Jangan sungkan-sungkan,” kata Bu Lastri seraya tersenyum tipis.“Saya mau tanya soal hutan di jalur masuk desa ini. Itu hutan biasa atau bagaimana ya, Bu?”Bu Lastri tampak terkejut dengan pertanyaan Azriel dan terdiam untuk beberapa saat. Syifa jadi teringat hal yang sama ketika ia bertanya soal pekerjaan Pak Suro pagi tadi. Sepertinya Bu Lastri berpikir bahwa teman
“Iya, kata warga desa sini, hutan itu adalah hutan terlarang Pak, tidak sembarangan orang bisa masuk ke sana. Jadi, kami cuma ingin tau ada apa sebenarnya di hutan itu.” Azriel kembali bertanya tanpa mengalihkan sedikit pun pandangannya dari wajah Pak Suro.Sebagai kepala desa, Pak Suro jelas pandai mengatur mimik wajahnya, tetapi Azriel bukan orang bodoh yang tidak bisa membaca gerak-gerik orang yang gugup. Selain itu, jelas bahwa topik ini membuat Pak Suro merasa tidak nyaman. Asisten mudanya telah melemparkan tatapan tajam, tetapi Azriel sama sekali tidak peduli.Untuk memperpanas situasi, Glen pun ikut menambahkan, “Saya juga penasaran kenapa hutan itu dijaga ketat dan bahkan warga saja dilarang untuk dekat-dekat. Apa sesuatu yang ada di sana mungkin berhubungan dengan kejadian yang belakangan ini terjadi, Pak?”Asisten Pak Suro mendelik tajam pada Glen dan Glen ingin sekali tertawa. Mereka memang terkesan menginterogasi, tetapi Azriel tahu Pak Suro tidak punya pilihan selain menj
“Sa, ayolah. Nggak ada apa-apa, kok.”Rania kembali membujuk Salsa yang menggeleng keras dan enggan untuk melepaskan tangannya. Mereka sedang berada di lorong yang mengarah ke kamar mandi di bagian paling belakang rumah Bu Lastri.Setelah kejadian semalam, Salsa tidak ingin ditinggal sendiri ke manapun mereka pergi, sekalipun langit masih cerah.Salsa masih merasa trauma.Sekelebat sosok putih yang lewat di ujung jalan itu masih membayangi isi pikirannya. Salsa tidak bisa menghilangkan bayangan itu meski ia berusaha keras untuk tidak mengingatnya.Padahal Rania dan Glen sendiri dengan jelas mengatakan bahwa mereka tidak melihat apa-apa, tetapi tetap saja Salsa ketakutan. Ia bahkan merasa takut untuk sekadar melangkah keluar rumah.“Rania, mending kamu temani Salsa di rumah. Soalnya aku sama Sela mau bantu Bu Lastri di ladang,” kata Syifa yang baru selesai menggosok rambutnya. “Kebetulan Bu Lastri dapat kerjaan buat panen ladang cabai yang luas sama salah satu warga,” lanjutnya.Syifa
“Sembunyi cepet!”Azriel dan Glen buru-buru bersembunyi dibalik batang pohon yang cukup lebar saat Mawar hendak beranjak dari tempatnya.Dengan selendang hitam, Mawar terlihat menutupi sebagian wajahnya dan keluar dari area pemakaman dengan langkah lebar. Matanya sembab dan merah, sementara wajahnya menunjukkan kesedihan yang mendalam.Azriel terpaku melihat ekspresi sang gadis—yang mana, seratus persen berbanding terbalik dengan pertemuan pertama mereka. Dia tidak terlihat seperti gadis dingin dan masa bodoh seperti waktu itu, melainkan gadis yang tertekan secara mental.Berbagai pertanyaan kini berseliweran di kepala Azriel, berputar layaknya pusaran. Semua hal yang terjadi sungguh membingungkan. Setiap hari, ada saja hal tak terduga yang mereka temukan.Ditatapnya Mawar yang telah menghilang dibalik belokan, lantas Azriel dan Glen keluar dari tempat persembunyian mereka.Glen menghela napas lega dan menoleh ke arah makam Faiz. “Kok bisa Mawar ada di makamnya Faiz, ya?” tanyanya her
“Maksud Ibu, Mawar suka sama Faiz?” Glen hampir tidak bisa mempercayai pendengarannya. Pasalnya Mawar itu terlihat seperti tipe perempuan yang tidak berperasaan. Atau mungkin, Glen dan Azriel terlalu cepat mengambil kesimpulan mengenai sikapnya.Bu Lastri mengangguk dengan lesu. “Iya, dari dulu Mawar sudah suka sama Faiz. Suka banget malah. Tapi Faiz sendiri sudah punya pacar, namanya Hanin.”“Kami juga cuma tahu tentang Hanin, Bu,” kata Azriel, dan yang lainnya mengangguk membenarkan.Ekspresi Bu Lastri terlihat semakin nestapa saat melanjutkan ceritanya, “Dulu keluarga Mawar terus ngedesak Faiz buat nikahin Mawar, tapi Faiz tetap nggak mau karena dia lebih milih Hanin. Terus nggak lama berselang, Hanin tiba-tiba mengalami kecelakaan dan meninggal di tempat. Faiz benar-benar patah hati saat itu, dan akhirnya memilih untuk merantau dan menetap di Jakarta.”Bu Lastri menatap teman-teman putranya dan tersenyum sendu. “Padahal dulu Faiz katanya ingin menikah dengan Hanin, tapi apa dikata
“Tamu? Siapa?”Pria muda itu menggeleng. “Tidak tau, Pak Suro cuma nyuruh aku buat jemput kamu,” jelasnya.Mawar menghela napas kesal dan tidak punya pilihan jika perintah itu sudah datang dari ayahnya. Ia lantas menoleh pada Dinda. “Aku pulang duluan ya, thank’s udah bantuin aku bikin videonya. Kamu lanjut aja bikin video kalau mau, nanti aku liat hasilnya.”Dinda mengangguk dan melambaikan tangannya. “Iya, kamu pulang aja sana. Jangan sampai ayah kamu nunggu lama.”“Hm, iya.” Sekilas, Mawar menatap Azriel dan Glen yang terpaku di tempat sebelum bergegas mendekati pria muda tadi. Tetapi sebelum melangkah pergi, ia kembali menoleh pada Dinda. “Besok kamu datang ke rumahku, ya!”“Iya!” balas Dinda setengah berteriak.Mawar pun pergi bersama pria muda tadi, sementara Dinda mulai mengecek hasil videonya di kameranya.Karena penasaran, Glen tidak bisa menahan dirinya untuk bertanya, “Dinda, tadi itu siapa? Pria yang ngajak Mawar pulang tadi?”“Oh, itu, dia itu orang kepercayaannya Pak Sur
Rania, Salsa, dan anak-anak lainnya dengan cepat mengenali kakek tua itu—Kakek Apung—meskipun dengan topi yang menutupi sebagian wajahnya.“Kek,” sapa mereka bergantian.Kakek Apung tersenyum dan duduk di tepi batu besar yang menjorok ke sungai. “Kalian semua lagi nangkap ikan, ya?”"Iya, Kek, ini udah lumayan dapat banyak,” kata Rania, menunjuk ember di sampingnya.Kakek Apung mengangguk ringan, lantas berdiri di tempatnya. “Ya sudah, tapi kalau sudah sore baiknya segera pulang. Jangan tinggal sampai Magrib, ya.”“Baik, Kek,” sahut Rania, diikuti yang lainnya.Mereka lantas bergegas mengambil peralatan dan segala macam barang yang mereka bawa. Rania dan Adel membawa ember ikan, sementara Salsa yang tidak kuat membawa sesuatu yang berat memilih untuk membawa jaring dan sandal mereka yang basah.Kakek Apung terlihat sudah berjalan menjauh menyisiri sisi sungai dan Rania pun mengisyaratkan yang lainnya untuk pergi.Mereka berjalan sambil bergidik karena kedinginan, terlebih angin sore t
Glen membalikkan badannya secara spontan karena terkejut dan ternyata pemilik suara itu adalah Pak Kades.Glen buru-buru mengubah ekspresinya, tidak ingin Pak Kades sampai mencurigainya. Tatapannya sekarang begitu tajam terarah pada Glen.“Apa yang kamu lakukan di sini?” Pak Kades mengulang pertanyaannya dengan suara ditekan.“Eh, Pak Kades,” kata Glen sambil cengengesan demi menghilangkan rasa gugupnya. “Anu Pak, saya mau ke toilet, kata Mawar toiletnya ada di sekitar sini,” kata Glen beralasan.Pak Kades menghela napas keras. Dari rautnya saja, jelas bahwa dia tidak suka melihat kehadiran Glen di sana. “Itu bukan tempatnya. Toiletnya ada di sana, tepat di samping tangga.” Pak Kades menunjuk pintu toilet yang sebelumnya sengaja Glen lewati.Glen kembali cengengesan. “Oh, di sana ternyata. Aduh, maaf ya Pak, saya salah arah. Maklum, ini pertama kalinya saya ke sini. Kebetulan tadi saya dan teman saya abis bantuin Dinda dan Mawar bikin video, Pak,” cerocos Glen panjang lebar.Pak Kades