Bulan purnama dibalik jendela tampak bersinar terang tanpa bintang di sekelilingnya.
Angin dingin berembus dari arah timur dan membelai wajah Syifa yang baru selesai mencuci muka. Sekilas ditatapnya suasana desa yang gelap dan juga tenang, lalu ia buru-buru menutup jendela saat teringat cerita Sela. Ada yang aneh dengan hawa yang membungkus desa itu dan ia tidak mau pikirannya sampai diselubungi hal-hal mengerikan.
Syifa lantas berbaring di samping Rania yang telah bersiap-siap tidur. Sementara itu, Salsa yang baru selesai berganti baju buru-buru mendekat.
“Aku mau di tengah,” ucapnya, lalu melompat ke atas kasur tipis itu dan memaksa tubuhnya untuk berbaring di tengah Syifa dan Rania.
“Astaga, Sa!” Rania memprotes saat tubuhnya sudah berada di tepi ranjang.
Salsa cengengesan dan menggeser tubuhnya ke arah Syifa. Mereka bertiga berbaring telentang sambil menatap langit-langit rumah yang terbuat dari anyaman bambu. Waktu menunjukkan pukul 11 malam, tetapi ketiganya sama sekali belum mengantuk.
“Eh, kalian tahu nggak, waktu aku pergi melayat sama Glen, Bu Kades juga dateng,” ujar Syifa.
Rania menoleh sekilas. “Terus?”
“Ya itu, penampilan Bu Kades mencolok banget. Dia pakai baju mahal, terus perhiasannya aku nggak bisa hitung berapa, mana gede banget lagi. Pokoknya mentereng banget, udah kayak jutawan kaya raya.”
“Hah?” Salsa menatap tidak percaya. “Masa sih?”
“Iya, aku sama Glen heran banget, apalagi ini desa terpencil 'kan. Memangnya gaji kepala desa berapa sih? Kok bisa Bu Kades punya perhiasan sebanyak itu?” tanyanya beruntun. Ia masih heran tatkala mengingat penampilan mencolok istri kepala desa bernama Bu Linda itu.
“Paling berapa ya, nggak lebih dari 10 juta kayaknya,” jawab Rania. Ia memiringkan tubuhnya dan menatap Syifa. “Kalau pun segitu, aneh juga kalau kamu bilang dia kayak jutawan.”
“Kamu tanya aja Glen, pokoknya dia kelihatan kaya banget,” kata Syifa, tidak habis pikir.
“Mungkin itu hasil korupsi?” celetuk Salsa. Bukan tidak mungkin kekayaan mereka dari uang korupsi, mengingat kondisi desa yang terbilang cukup tertinggal. “Bisa aja Bu Kades punya perhiasan sebanyak itu karena hasil uang korupsi suaminya, 'kan jaman sekarang bukan hal asing lagi di antara para pejabat. Apalagi mereka selalu ngejar gaya hidup yang selangit itu.”
Rania dan Syifa mengangguk membenarkan. Hal itu cukup masuk akal, terlebih dengan keadaan yang mendukung seperti warga desa yang polos. Terkadang para pejabat yang licik dengan senang hati memanfaatkan hal itu.
“Yah kalau itu benar, kasihan warga desa ini,” gumam Syifa. Tangannya meraba dinding bambu yang tampak rapuh itu dan merasa sedih dengan kondisi keluarga Faiz.
***
“Kamu mau ikut lagi ke pasar, Nak?”
Bu Lastri menatap Syifa yang seperti sebelumnya bangun lebih awal, sementara teman-temannya masih merajut mimpi di tempat tidur.
Syifa telah mandi di pagi buta dan kini mengenakan sweater juga jeans favoritnya. Di sisi lain, Bu Lastri juga telah bersiap dengan keranjang belanja plastiknya.
“Iya, Bu. Saya mau, sekalian bisa jalan-jalan sambil liat-liat desa ini,” jawab Syifa.
Bu Lastri mengangguk dan keduanya berjalan beriringan keluar dari halaman rumah. Tidak seperti kemarin, kali ini Bu Lastri memilih jalan yang lebih ramai, yang biasa dilalui oleh warga lainnya.
“Jadi jalan ke pasar sebenarnya ada tiga jalur,” kata Bu Lastri, memulai pembicaraan.
Mereka melewati rumah-rumah warga yang saling berdampingan dengan kandang bebek dan ayam di bagian samping rumah. Kebanyakan dari mereka juga menanam pohon pisang dan mangga.
“Oo, jadi ini jalur keduanya ya, Bu?” tanya Syifa dan Bu Lastri mengangguk seraya tersenyum ringan.
Sepanjang jalan tak ayal banyak yang menyapa Bu Lastri dan begitu pun sebaliknya. Sejauh ini, Syifa bisa menyimpulkan kalau warga Desa Pulo Majeti terbilang sangat ramah dan sopan. Meskipun beberapa terlihat begitu penasaran dengan terus menatap dan membuat Syifa merasa terganggu. Selain itu, Syifa merasa tidak ada ancaman apa pun kecuali asumsi mereka tentang pesugihan itu.
Bu Lastri terkadang memperkenalkan Syifa pada beberapa warga, sampai kemudian mereka melewati sebuah rumah mewah berlantai tiga.
Ini bukan pertama kalinya Syifa melihat sebuah rumah mewah, tetapi keberadaannya di desa terpencil ini sungguh mengejutkan. Rumah itu memiliki desain kontemporer khas perkotaan yang mewah dan glamor. Dari luar, interiornya yang mahal bisa terlihat jelas.
“Mm, Bu, itu rumah siapa ya?” Syifa menunjuk cepat rumah yang mereka lewati sebelum berbelok ke jalan yang lebih luas.
“Itu rumah Pak Kepala Desa, Nak. Namanya Pak Suro,” jawab Bu Lastri. “Ingat 'kan kemarin yang istrinya datang melayat ke rumah almarhum Pak Parmin?”
“Iya, Bu.” Syifa kembali menoleh ke arah rumah mewah itu sekilas dan menatap Bu Lastri. Rasa penasarannya semakin meninggi, jadi ia memberanikan diri untuk bertanya kembali dengan suara pelan, “Kalau boleh tahu, Pak Suro itu kerjaannya apa sih, Bu? Kok bisa sekaya itu? Maaf, tapi bukannya kalau ngandelin gaji kades itu 'kan nggak mungkin bisa sekaya itu?”
Syifa menatap hati-hati dan memperhatikan sekitar, tidak ingin perkataannya sampai didengar oleh warga lain yang berlalu-lalang.
Bu Lastri sedikit memelankan langkahnya, cukup terkejut dengan pertanyaan Syifa.
Dalam hati, Syifa bertanya-tanya apa ia cukup lancang, tetapi kemudian Bu Lastri bicara, “Setahu Ibu, Pak Kades itu punya usaha. Rumahnya sering didatangi sama orang kaya dari kota, bahkan sampai pejabat terkenal. Katanya, mereka rekan bisnisnya Pak Suro. Itu setahu Ibu.”
“Ibu tahu itu bisnis apa?” bisik Syifa, sudah kepalang tanggung bertanya.
Bu Lastri menggeleng. “Kami nggak tahu, Nak. Kami cuma tahu kalau Pak Kades punya usaha di luar.”
Syifa hanya manggut-manggut menanggapi penjelasan Bu Lastri, meskipun dalam hati ia merasa kalau usaha keluarga Pak Kades cukup mencurigakan.
Ia harus mencari tahu lebih banyak.
***
Suasana pasar begitu ramai dengan pedagang yang saling menyahut menjajakan dagangannya. Bu Lastri mengajak Syifa memasuki area pedagang yang menjual sayur dan juga ikan langganannya.
Syifa hanya berniat untuk menemani Bu Lastri, tetapi kerumunan ibu-ibu yang sedang berbelanja langsung menghampirinya dengan sumringah.
“Bu Lastri, itu siapa?” tanya mereka dengan antusias.
Syifa berdiri dengan canggung saat Bu Lastri memperkenalkannya pada semua orang sebagai teman Faiz dari kota, juga keempat temannya yang datang untuk menginap.
Mendengar penjelasan Bu Lastri, ibu-ibu itu pun mengangguk mengerti. Syifa dengan ramah menyapa mereka semua sambil mengobrol ringan.
Di tengah percakapan, suara seseorang yang memesan banyak belanjaan mengalihkan perhatian para ibu-ibu. Hal pertama yang tertangkap di mata Syifa adalah emas yang berkilauan, kemudian wajah penuh riasan milik Bu Linda.
“Eh, Bu Kades,” kata salah seorang dari mereka. “Banyak banget belanjanya, Bu. Lagi ada tamu, ya?”
Bu Kades dengan anggunnya mengangguk, tetapi Syifa malah memperhatikan bulu mata palsunya yang tebal dan lipstik merah mengkilatnya. “Iya, saya ada tamu pejabat daerah,” ucapnya dengan senyum tipis. Suaranya agak mendayu-dayu. “Katanya ada bantuan yang ingin disalurkan ke desa ini, makanya mereka mau bicara dulu dengan suami saya.”
“Bantuan apa, Bu?” tanya ibu-ibu dengan penasaran. Mereka mulai berkerumun di sekitar Bu Kades.
Senyum Bu Kades semakin mengembang. “Bantuan sembako Bu, terkait kasus yang akhir-akhir ini menimpa desa kita. Keluarga yang ditinggal meninggal bakalan diberikan bantuan.”
Kumpulan ibu-ibu itu sontak menengok ke arah Bu Lastri, mengingat apa yang telah terjadi pada almarhum Faiz.
“Berarti Bu Lastri juga dapat, ya?” celetuk salah satu dari mereka.
Syifa menatap Bu Lastri dengan khawatir, takutnya kembali muram saat memutar ulang kejadian naas yang menimpa Faiz. Apalagi di tengah kerumunan seperti ini saat Bu Lastri menjadi pusat perhatian.
“Tentu saja dapat, Bu,” kata Bu Linda seraya melirik sekilas ke arah Bu Lastri. Sudut bibirnya naik dan Syifa merasa kalau dia tengah mengejek Bu Lastri. “Setelah meninggalnya Faiz yang menjadi tulang punggung utama keluarga, pasti Bu Lastri kesusahan 'kan? Jadi tentu ada bantuan buat Bu Lastri yang kerja susah payah di ladang.”
Bu Lastri hanya bisa tersenyum canggung menanggapi ucapan Bu Kades yang terkesan merendahkan.
Tetapi belum selesai di sana, Bu Kades kembali menambahkan, “Yang sabar ya Bu Lastri, pasti ini sangat berat bagi Bu Lastri. Coba saja kalau Faiz mau menikah dengan anak saya dulu, pasti dia tidak harus susah-susah bekerja ke kota untuk cari uang. Juga kejadian yang tidak diinginkan itu pasti juga tidak akan terjadi.”
Kata-kata itu seperti tamparan tak kasat mata bagi Bu Lastri. Ia menunduk dan mencengkeram keranjang plastiknya dengan perasaan berkecamuk.
Syifa yang memperhatikan hal itu hanya bisa tercengang di tempat, terutama dengan fakta yang baru saja ia dengar.
‘Faiz dan anak Bu Kades? Jadi Faiz pernah menolak anaknya Bu Kades?’
Apa sebenarnya hubungan mereka?
Bersambung ....
“Syifa, tolong panggil teman-teman kamu ya Nak, supaya kita bisa makan bareng-bareng!”“Oh, iya Bu. Saya akan panggilkan!” sahut Syifa mendengar panggilan Bu Lastri.Pagi ini Bu Lastri memasak banyak hidangan, jauh lebih banyak dari dua hari terakhir sejak kedatangan teman-teman Faiz. Setelah mendapat upahnya bekerja di ladang, Bu Lastri pikir anak-anak mungkin bosan atau kurang suka dengan makanan sederhana yang ia sajikan. Apalagi, mereka terbiasa makan enak selama tinggal di kota, jadi ia mengubah menu sesekali.Menyajikan makanan untuk mereka sama saja dengan menyajikan makanan untuk Faiz. Setidaknya Bu Lastri tahu bahwa putranya akan senang melihat bagaimana teman-teman baiknya diperlakukan di rumahnya.‘Faiz’, batin Bu Lastri dengan perasaan sendu. Ia menarik napas panjang dan berusaha mengikhlaskan kepergian putranya meskipun luka itu masih ada di hatinya.Sementara itu, Syifa yang hendak memanggil Glen dan Azriel mendadak berhenti di ambang pintu. Ia memiringkan kepalanya hera
Suara denting piring dan sendok terdengar bersahutan ketika Bu Lastri, Syifa, dan juga yang lainnya membereskan peralatan makan malam mereka.Jam tangan Azriel menunjukkan pukul delapan tepat, dan mereka semua memutuskan untuk duduk sejenak sebelum kembali ke kamar masing-masing.Azriel melirik Bu Lastri dan berdeham untuk menarik perhatiannya. “Bu Lastri?”Bu Lastri menoleh dengan cepat. “Iya?”“Saya boleh tanya sesuatu, nggak?” mulai Azriel. Ia melirik teman-temannya dan mereka semua menatap penasaran. Azriel sebenarnya sudah berniat bertanya sejak kembali dari toko, tetapi Bu Lastri terlihat sibuk memasak.“Iya, boleh. Jangan sungkan-sungkan,” kata Bu Lastri seraya tersenyum tipis.“Saya mau tanya soal hutan di jalur masuk desa ini. Itu hutan biasa atau bagaimana ya, Bu?”Bu Lastri tampak terkejut dengan pertanyaan Azriel dan terdiam untuk beberapa saat. Syifa jadi teringat hal yang sama ketika ia bertanya soal pekerjaan Pak Suro pagi tadi. Sepertinya Bu Lastri berpikir bahwa teman
“Iya, kata warga desa sini, hutan itu adalah hutan terlarang Pak, tidak sembarangan orang bisa masuk ke sana. Jadi, kami cuma ingin tau ada apa sebenarnya di hutan itu.” Azriel kembali bertanya tanpa mengalihkan sedikit pun pandangannya dari wajah Pak Suro.Sebagai kepala desa, Pak Suro jelas pandai mengatur mimik wajahnya, tetapi Azriel bukan orang bodoh yang tidak bisa membaca gerak-gerik orang yang gugup. Selain itu, jelas bahwa topik ini membuat Pak Suro merasa tidak nyaman. Asisten mudanya telah melemparkan tatapan tajam, tetapi Azriel sama sekali tidak peduli.Untuk memperpanas situasi, Glen pun ikut menambahkan, “Saya juga penasaran kenapa hutan itu dijaga ketat dan bahkan warga saja dilarang untuk dekat-dekat. Apa sesuatu yang ada di sana mungkin berhubungan dengan kejadian yang belakangan ini terjadi, Pak?”Asisten Pak Suro mendelik tajam pada Glen dan Glen ingin sekali tertawa. Mereka memang terkesan menginterogasi, tetapi Azriel tahu Pak Suro tidak punya pilihan selain menj
“Sa, ayolah. Nggak ada apa-apa, kok.”Rania kembali membujuk Salsa yang menggeleng keras dan enggan untuk melepaskan tangannya. Mereka sedang berada di lorong yang mengarah ke kamar mandi di bagian paling belakang rumah Bu Lastri.Setelah kejadian semalam, Salsa tidak ingin ditinggal sendiri ke manapun mereka pergi, sekalipun langit masih cerah.Salsa masih merasa trauma.Sekelebat sosok putih yang lewat di ujung jalan itu masih membayangi isi pikirannya. Salsa tidak bisa menghilangkan bayangan itu meski ia berusaha keras untuk tidak mengingatnya.Padahal Rania dan Glen sendiri dengan jelas mengatakan bahwa mereka tidak melihat apa-apa, tetapi tetap saja Salsa ketakutan. Ia bahkan merasa takut untuk sekadar melangkah keluar rumah.“Rania, mending kamu temani Salsa di rumah. Soalnya aku sama Sela mau bantu Bu Lastri di ladang,” kata Syifa yang baru selesai menggosok rambutnya. “Kebetulan Bu Lastri dapat kerjaan buat panen ladang cabai yang luas sama salah satu warga,” lanjutnya.Syifa
“Sembunyi cepet!”Azriel dan Glen buru-buru bersembunyi dibalik batang pohon yang cukup lebar saat Mawar hendak beranjak dari tempatnya.Dengan selendang hitam, Mawar terlihat menutupi sebagian wajahnya dan keluar dari area pemakaman dengan langkah lebar. Matanya sembab dan merah, sementara wajahnya menunjukkan kesedihan yang mendalam.Azriel terpaku melihat ekspresi sang gadis—yang mana, seratus persen berbanding terbalik dengan pertemuan pertama mereka. Dia tidak terlihat seperti gadis dingin dan masa bodoh seperti waktu itu, melainkan gadis yang tertekan secara mental.Berbagai pertanyaan kini berseliweran di kepala Azriel, berputar layaknya pusaran. Semua hal yang terjadi sungguh membingungkan. Setiap hari, ada saja hal tak terduga yang mereka temukan.Ditatapnya Mawar yang telah menghilang dibalik belokan, lantas Azriel dan Glen keluar dari tempat persembunyian mereka.Glen menghela napas lega dan menoleh ke arah makam Faiz. “Kok bisa Mawar ada di makamnya Faiz, ya?” tanyanya her
“Maksud Ibu, Mawar suka sama Faiz?” Glen hampir tidak bisa mempercayai pendengarannya. Pasalnya Mawar itu terlihat seperti tipe perempuan yang tidak berperasaan. Atau mungkin, Glen dan Azriel terlalu cepat mengambil kesimpulan mengenai sikapnya.Bu Lastri mengangguk dengan lesu. “Iya, dari dulu Mawar sudah suka sama Faiz. Suka banget malah. Tapi Faiz sendiri sudah punya pacar, namanya Hanin.”“Kami juga cuma tahu tentang Hanin, Bu,” kata Azriel, dan yang lainnya mengangguk membenarkan.Ekspresi Bu Lastri terlihat semakin nestapa saat melanjutkan ceritanya, “Dulu keluarga Mawar terus ngedesak Faiz buat nikahin Mawar, tapi Faiz tetap nggak mau karena dia lebih milih Hanin. Terus nggak lama berselang, Hanin tiba-tiba mengalami kecelakaan dan meninggal di tempat. Faiz benar-benar patah hati saat itu, dan akhirnya memilih untuk merantau dan menetap di Jakarta.”Bu Lastri menatap teman-teman putranya dan tersenyum sendu. “Padahal dulu Faiz katanya ingin menikah dengan Hanin, tapi apa dikata
“Tamu? Siapa?”Pria muda itu menggeleng. “Tidak tau, Pak Suro cuma nyuruh aku buat jemput kamu,” jelasnya.Mawar menghela napas kesal dan tidak punya pilihan jika perintah itu sudah datang dari ayahnya. Ia lantas menoleh pada Dinda. “Aku pulang duluan ya, thank’s udah bantuin aku bikin videonya. Kamu lanjut aja bikin video kalau mau, nanti aku liat hasilnya.”Dinda mengangguk dan melambaikan tangannya. “Iya, kamu pulang aja sana. Jangan sampai ayah kamu nunggu lama.”“Hm, iya.” Sekilas, Mawar menatap Azriel dan Glen yang terpaku di tempat sebelum bergegas mendekati pria muda tadi. Tetapi sebelum melangkah pergi, ia kembali menoleh pada Dinda. “Besok kamu datang ke rumahku, ya!”“Iya!” balas Dinda setengah berteriak.Mawar pun pergi bersama pria muda tadi, sementara Dinda mulai mengecek hasil videonya di kameranya.Karena penasaran, Glen tidak bisa menahan dirinya untuk bertanya, “Dinda, tadi itu siapa? Pria yang ngajak Mawar pulang tadi?”“Oh, itu, dia itu orang kepercayaannya Pak Sur
Rania, Salsa, dan anak-anak lainnya dengan cepat mengenali kakek tua itu—Kakek Apung—meskipun dengan topi yang menutupi sebagian wajahnya.“Kek,” sapa mereka bergantian.Kakek Apung tersenyum dan duduk di tepi batu besar yang menjorok ke sungai. “Kalian semua lagi nangkap ikan, ya?”"Iya, Kek, ini udah lumayan dapat banyak,” kata Rania, menunjuk ember di sampingnya.Kakek Apung mengangguk ringan, lantas berdiri di tempatnya. “Ya sudah, tapi kalau sudah sore baiknya segera pulang. Jangan tinggal sampai Magrib, ya.”“Baik, Kek,” sahut Rania, diikuti yang lainnya.Mereka lantas bergegas mengambil peralatan dan segala macam barang yang mereka bawa. Rania dan Adel membawa ember ikan, sementara Salsa yang tidak kuat membawa sesuatu yang berat memilih untuk membawa jaring dan sandal mereka yang basah.Kakek Apung terlihat sudah berjalan menjauh menyisiri sisi sungai dan Rania pun mengisyaratkan yang lainnya untuk pergi.Mereka berjalan sambil bergidik karena kedinginan, terlebih angin sore t