“Mawar? Mawar? Heh? Kamu denger aku bicara nggak sih?”Dinda menghela napas keras melihat Mawar yang sama sekali tidak menggubris ucapannya. Setelah kejadian di mana Mawar kesurupan, sikapnya mendadak berubah drastis.Mawar selalu melamun dan tidak mau bicara. Dinda sudah berusaha keras untuk membujuknya dan mencoba banyak hal, termasuk membuat konten mereka lagi, tetapi nihil. Mawar sepertinya lebih suka tenggelam dalam lamunannya dan mengabaikan Dinda sepenuhnya.“Mawar, kamu sebenarnya kenapa sih?” Dinda menatap frustrasi sekaligus prihatin. Ditatapnya penampilan Mawar yang acak-acakan, begitu berantakan dan urakan. Dia tidak lagi terlihat seperti gadis modis nan cantik yang terobsesi untuk menjadi influencer terkenal.“Mawar, sampai kapan kamu diam gini sih?” Dinda kembali mencoba mengajak Mawar mengobrol. Ia telah berhasil membujuk Mawar untuk pergi ke danau tempat biasa mereka membuat konten, tetapi tetap saja dia berakhir melamun di sini. “Gimana kalau kita buat konten lagi?” t
“Gimana? Apa katanya?” Azriel mengetuk-ngetukkan jarinya ke badan mobil, menunggu Glen yang tengah menghubungi Rania terkait pergerakan Pak Kades dan rekannya.“Katanya aman,” jawab Glen, menunjukkan pesan dari Rania yang mengatakan kalau mereka bisa bergerak sekarang sesuai rencana. Pak Kades sedang sibuk melayani warga dan tidak akan bergerak dari tempatnya sampai beberapa jam ke depan.“Bagus. Sekarang kita harus segera pergi,” kata Azriel, lalu beralih menatap ke arah Pak Kyai Jafar dan dua orang polisi yang telah mereka panggil sebelumnya.Mereka semua akan pergi bersama ke hutan demi menemukan Rizky, Kakek Apung, juga bukti lain yang sekiranya bisa mereka temukan untuk memperlihatkan kebusukan Pak Kades.“Kita bisa bergerak sekarang, Pak,” ucap Azriel dan mereka semua mengangguk mengerti.Kali ini, Azriel akan membawa Jeep-nya menjelajahi hutan hingga tiba ke rumah panggung itu. Glen berada tepat di sampingnya, sementara Pak Kyai Jafar dan dua polisi lainnya duduk di belakang.“
“Benar, ini adalah ladang ganja,” kata rekan polisi tersebut, mengonfirmasi ucapan Glen.Glen kembali berdecak, antara kagum dan juga prihatin dengan keberadaan ladang ganja yang luar biasa luas itu. Mereka sengaja menyembunyikannya di kedalaman hutan, sehingga tidak ada kecurigaan apa pun. Benar-benar pikiran para penjahat itu tidak ada duanya.“Wah, ini ladang ganjanya bisa dijadiin perumahan,” ucap Azriel sarkastik, pasalnya ganja yang ditanam luasnya bukan main.Glen dan kedua polisi di sampingnya pun spontan tertawa. Azriel terlalu jengkel melihat ladang itu karena sekarang jelas dari mana kekayaan Pak Kades berasal, selain dari pesugihan yang dia lakukan.Mereka mengamati ladang ganja itu dan Glen tiba-tiba teringat dengan foto di ponsel Faiz. Keningnya berkerut dalam saat membandingkan foto itu dengan apa yang ia lihat sekarang.Bentuk tanaman itu ... bentuk daunnya ...Glen mendekat ke salah satu tanaman ganja dan memperhatikannya dengan seksama. Meskipun foto di ponsel Faiz d
“PAK, BANGUN!! BANGUN, PAK!! JANGAN TINGGALIN IBU SENDIRIAN!! PAKKKKKK! SIAPA NANTI YANG NGASIH SAYA UANG, PAKKK! BANGUNN!”Bu Linda terus berteriak histeris melihat Pak Suro yang tidak lagi bergerak di tempat. Tetapi, bukannya mendekat, Bu Linda malah hanya terus berteriak di tempat layaknya orang kesurupan.Para warga yang melihat hal itu hanya diam dan tidak berniat untuk menolong. Setelah mengetahui kebusukan Pak Suro, mereka benar-benar membenci sang kepala desa dan keluarganya yang tidak punya belas kasihan.“Jangan ada yang nolongin Bu, itu balasan untuk orang seperti mereka,” kata warga, mulai berbisik-bisik melihat Bu Linda yang bertingkah seperti orang gila.Bu Linda terus mencak-mencak di tempat sambil menarik-narik rambutnya dengan kekuatan penuh. Namun, tidak ada satu pun warga yang terlihat kasihan.“Mereka orang jahat dan kejam yang rela melakukan apa pun demi uang. Bahkan, balasan ini belum setimpal buat mereka!” kecam para warga.“Iya, betul, Bu. Saya harap sampai tuj
Matahari bersinar terik di atas kepala. Semilir angin berembus dengan ringan, melewati celah jendela mobil yang setengah terbuka. Debu-debu halus beterbangan ketika sebuah mobil Jeep hitam melaju dengan kecepatan sedang, membelah hutan yang memisahkan mereka dari hiruk-pikuk jalanan utama.Suara bising tertinggal di belakang dan digantikan oleh suara kicau burung yang beterbangan di hutan. Lima orang muda-mudi dari kota Jakarta duduk dengan risau di dalam mobil mereka—hendak menemui keluarga teman mereka yang meninggal secara tiba-tiba.Faiz.Atau dengan muram mereka harus menyebutnya sebagai almarhum Faiz setelah kejadian na'as yang menimpanya.Berjam-jam telah berlalu sejak mereka menyusuri hutan menuju kampung halaman almarhum Faiz. Mereka berlima bermaksud untuk menyampaikan belasungkawa pada orang tua Faiz dan memberikan sedikit bantuan.Dari cerita almarhum Faiz selama masih hidup, mereka tahu bahwa keluarga Faiz hidup susah di kampung. Faiz merupakan tulang punggung keluarga ya
Rupanya yang mengetuk kaca mobil itu adalah seorang kakek tua berusia sekitar 60-an tahun. Pakaian kakek itu terlihat lusuh dan kotor dipenuhi lumpur, sepertinya ia baru saja kembali dari sawah.“Astaghfirullah,” ucap Syifa yang berada di dekat jendela. Ia menarik napas panjang untuk meredakan keterkejutannya.‘Kirain siapa tadi, ngiranya udah orang jahat aja,' batin Syifa sambil menggelang pelan.Syifa lantas segera membuka pintu mobil untuk menyapa sang kakek yang telah menunggu dengan sabar. Mereka berlima pun keluar dan sang kakek tersenyum tipis.“Saya kebetulan sedang lewat sini dan melihat mobil kalian berhenti. Kalau boleh tahu, Nak berlima ini mau ke mana? Dan darimana?” tanya sang Kakek. Dia menaikkan sedikit capingnya dan memperhatikan penampilan khas anak kota kelima muda-mudi itu.“Kami dari Jakarta dan hendak pergi ke Desa Pulo Majeti, Kek,” jawab Syifa dengan sopan. “Kami mau melayat ke rumah teman kami yang meninggal.”“Oh, kebetulan saya juga tinggal di Desa Pulo Maje
“IBU?! IBU?! Teman-temannya Kak Faiz sudah datang!”Sela berteriak memanggil ibunya begitu mereka tiba di halaman rumah yang sederhana. Tempat tinggal keluarga Faiz sepenuhnya terbuat dari bambu, dengan atap dari daun rumbia.Sebagian besar rumah di Desa Pulo Majeti memang terbuat dari bambu, tidak banyak bangunan yang dibangun dari batu bata dan atap seng.Dari dalam rumah, terdengar langkah buru-buru Bu Lastri yang mendekat. Senyum sumringah seketika menghiasi wajahnya ketika melihat kelima wajah dari teman baik putranya.“Bu,” sapa Azriel dengan sopan, disusul yang lainnya.Bu Lastri tersenyum lebih lebar dan dengan ramah menyambut kelimanya. “Eh, kenapa cuman berdiri di situ? Ayo, masuk! Maaf, rumah Ibu sangat sederhana.”“Nggak apa-apa, kok, Bu.” Syifa menyahut cepat, tidak ingin Bu Lastri merasa enggan dengan kedatangan mereka.“Kebetulan Ibu udah siapin makanan buat kalian,” kata Bu Lastri seraya menuntun mereka menuju meja makan. “Kalian pasti capek dan lapar setelah perjalana
Sepulangnya dari pasar, Bu Lastri pun segera memasak melihat matahari yang mulai meninggi.Syifa dan Sela dengan sigap membantu, mengingat yang lainnya masih tertidur pulas. Kebetulan selama dua minggu ke depan, Sela dan adiknya mendapat libur panjang setelah kelulusan keduanya.“Taruh di sini saja, Nak. Biar Ibu yang tumis,” kata Bu Lastri saat Syifa selesai memotong kangkung.“Iya, Bu.” Syifa meletakkan baskom kecil itu di atas meja dan berpindah untuk membantu Sela yang sedang memotong buncis.Pagi itu, Bu Lastri menyibukkan diri untuk menyelesaikan masakannya sebelum pergi melayat. Sela mengambil alih untuk menyajikan makanan di meja, sementara Syifa memanggil yang lainnya untuk bangun dan sarapan.Azriel dan Glen yang tidak butuh waktu lama untuk berganti pakaian lantas memasuki dapur. Mereka duduk di alas karpet dan menatap makanan yang tersaji. Syifa, Sela, dan Adel sudah mulai menyendok singkong ke dalam piring.“Nih, ambil,” kata Syifa, menyodorkan masing-masing sepiring pada
“PAK, BANGUN!! BANGUN, PAK!! JANGAN TINGGALIN IBU SENDIRIAN!! PAKKKKKK! SIAPA NANTI YANG NGASIH SAYA UANG, PAKKK! BANGUNN!”Bu Linda terus berteriak histeris melihat Pak Suro yang tidak lagi bergerak di tempat. Tetapi, bukannya mendekat, Bu Linda malah hanya terus berteriak di tempat layaknya orang kesurupan.Para warga yang melihat hal itu hanya diam dan tidak berniat untuk menolong. Setelah mengetahui kebusukan Pak Suro, mereka benar-benar membenci sang kepala desa dan keluarganya yang tidak punya belas kasihan.“Jangan ada yang nolongin Bu, itu balasan untuk orang seperti mereka,” kata warga, mulai berbisik-bisik melihat Bu Linda yang bertingkah seperti orang gila.Bu Linda terus mencak-mencak di tempat sambil menarik-narik rambutnya dengan kekuatan penuh. Namun, tidak ada satu pun warga yang terlihat kasihan.“Mereka orang jahat dan kejam yang rela melakukan apa pun demi uang. Bahkan, balasan ini belum setimpal buat mereka!” kecam para warga.“Iya, betul, Bu. Saya harap sampai tuj
“Benar, ini adalah ladang ganja,” kata rekan polisi tersebut, mengonfirmasi ucapan Glen.Glen kembali berdecak, antara kagum dan juga prihatin dengan keberadaan ladang ganja yang luar biasa luas itu. Mereka sengaja menyembunyikannya di kedalaman hutan, sehingga tidak ada kecurigaan apa pun. Benar-benar pikiran para penjahat itu tidak ada duanya.“Wah, ini ladang ganjanya bisa dijadiin perumahan,” ucap Azriel sarkastik, pasalnya ganja yang ditanam luasnya bukan main.Glen dan kedua polisi di sampingnya pun spontan tertawa. Azriel terlalu jengkel melihat ladang itu karena sekarang jelas dari mana kekayaan Pak Kades berasal, selain dari pesugihan yang dia lakukan.Mereka mengamati ladang ganja itu dan Glen tiba-tiba teringat dengan foto di ponsel Faiz. Keningnya berkerut dalam saat membandingkan foto itu dengan apa yang ia lihat sekarang.Bentuk tanaman itu ... bentuk daunnya ...Glen mendekat ke salah satu tanaman ganja dan memperhatikannya dengan seksama. Meskipun foto di ponsel Faiz d
“Gimana? Apa katanya?” Azriel mengetuk-ngetukkan jarinya ke badan mobil, menunggu Glen yang tengah menghubungi Rania terkait pergerakan Pak Kades dan rekannya.“Katanya aman,” jawab Glen, menunjukkan pesan dari Rania yang mengatakan kalau mereka bisa bergerak sekarang sesuai rencana. Pak Kades sedang sibuk melayani warga dan tidak akan bergerak dari tempatnya sampai beberapa jam ke depan.“Bagus. Sekarang kita harus segera pergi,” kata Azriel, lalu beralih menatap ke arah Pak Kyai Jafar dan dua orang polisi yang telah mereka panggil sebelumnya.Mereka semua akan pergi bersama ke hutan demi menemukan Rizky, Kakek Apung, juga bukti lain yang sekiranya bisa mereka temukan untuk memperlihatkan kebusukan Pak Kades.“Kita bisa bergerak sekarang, Pak,” ucap Azriel dan mereka semua mengangguk mengerti.Kali ini, Azriel akan membawa Jeep-nya menjelajahi hutan hingga tiba ke rumah panggung itu. Glen berada tepat di sampingnya, sementara Pak Kyai Jafar dan dua polisi lainnya duduk di belakang.“
“Mawar? Mawar? Heh? Kamu denger aku bicara nggak sih?”Dinda menghela napas keras melihat Mawar yang sama sekali tidak menggubris ucapannya. Setelah kejadian di mana Mawar kesurupan, sikapnya mendadak berubah drastis.Mawar selalu melamun dan tidak mau bicara. Dinda sudah berusaha keras untuk membujuknya dan mencoba banyak hal, termasuk membuat konten mereka lagi, tetapi nihil. Mawar sepertinya lebih suka tenggelam dalam lamunannya dan mengabaikan Dinda sepenuhnya.“Mawar, kamu sebenarnya kenapa sih?” Dinda menatap frustrasi sekaligus prihatin. Ditatapnya penampilan Mawar yang acak-acakan, begitu berantakan dan urakan. Dia tidak lagi terlihat seperti gadis modis nan cantik yang terobsesi untuk menjadi influencer terkenal.“Mawar, sampai kapan kamu diam gini sih?” Dinda kembali mencoba mengajak Mawar mengobrol. Ia telah berhasil membujuk Mawar untuk pergi ke danau tempat biasa mereka membuat konten, tetapi tetap saja dia berakhir melamun di sini. “Gimana kalau kita buat konten lagi?” t
Setelah memenggal kepala Rizky, Pak Suro pun segera mengambil kepala berlumuran darah itu untuk diberikan pada Kakek Apung.Kakek Apung bangkit dari tempatnya dengan mata yang telah memerah, juga wajah buruk rupa yang penuh belatung. Hal itu menandakan bahwa iblis yang akan membantu Kakek Apung telah merasuki tubuhnya.Pak Suro dan kedua anak buahnya kemudian berlutut penuh hormat. “Saya persembahkan kepala ini untuk Tuanku!”Kakek Apung yang telah dikuasai iblis dalam dirinya langsung memakan kepala itu dengan rakus. Saking terburu-burunya sampai beberapa potong tulang berjatuhan ke lantai.Kedua anak buah Pak Suro sontak mundur dengan perasaan ngeri luar biasa. Memenggal kepala Rizky saja sudah membuat mereka mual, apalagi melihat pemandangan di mana Kakek Apung memakan dan menguliti kepala utuh itu.Mulut dan tangan Kakek Apung telah berlumuran darah. Kedua anak buah Pak Suro hanya bisa menelan ludah susah payah, meskipun dalam hati berharap bisa lari dari tempat itu.“Ya, habiskan
“Allahuakbar!”Kyai Jafar membaca surah dengan khusyuk saat melaksanakan shalat tahajud malam itu. Jam dinding telah menunjukkan pukul dua dini hari ketika ia terbangun karena mimpi aneh.Tidak seperti biasanya, kali ini hujan deras mengguyur di puncak musim kemarau yang biasanya kering kerontang. Ranting-ranting pohon terdengar mengetuk kaca jendela tiap kali angin kencang datang dari arah timur.Hawa dingin membungkus setiap sisi pesantren. Kyai Jafar kemudian bangkit untuk melaksanakan beberapa rakaat lagi sebelum melaksanakan shalat witir. Namun, di tengah kekhusukannya, tiba-tiba ia merasa bahwa ada sesuatu yang mengganggunya.Kyai Jafar berusaha mengabaikan gangguan itu dan tetap melanjutkan sholatnya. Saat ia mulai berzikir, mendadak gangguan tersebut semakin menguat. Tangan Kyai Jafar sampai bergetar karena gangguan halus yang tiap detiknya meningkat.“Subhanallah ... Subhanallah ... Subhanallah ...” suara Kyai Jafar semakin besar di setiap dzikirnya. Terasa jelas dahinya mula
“Kenapa Pak Kades kayak keberatan?! Kami cuma ingin ngecek sesuatu, Pak! Ini penting dan menyangkut keamanan para warga!” kata salah satu bapak-bapak dengan tatapan menusuk yang terarah pada Pak Kades.Mereka telah mendengar tentang praktek ilmu hitam di desa ini dan ingin membuktikan rumor yang menyebar.Pak Kades terdiam dan kebingungan untuk menjawab. Para warga tampaknya bersikeras untuk tetap menggali makam, sekalipun Pak Kades tidak memberi persetujuan. Bahkan di belakang, beberapa warga terlihat sudah membawa sekop dan cangkul untuk membongkar makam.Pak Kades berpikir keras di tempat dengan kepala pusing. Jika ia terang-terangan menolak, maka para warga pasti akan mencurigainya tengah menyembunyikan sesuatu. Tetapi jika ia setuju ... mungkinkah rahasianya akan ketahuan?“Pak Kades kenapa diam saja?” para warga mulai tidak sabaran dan kini menatap Pak Kades yang tersudut. “Kami hanya ingin memastikan sesuatu, Pak.”Pak Kades pun memaksakan senyumnya. “Oh, tentu saja, Pak. Kalia
“MATI KALIAN!”Glen dengan sigap mengambil kayu yang ada di dekatnya dan memukulkannya ke perut Rizky. Pedang Rizky yang berayun terhenti di udara sebelum kemudian dia menggeram kesakitan.Rizky mencoba untuk mengayunkan pedangnya lagi, tetapi Glen sudah lebih dulu memukul pahanya. “Sialan.” Rizky meringis menahan sakit. Ia hampir oleng ke samping, tetapi tetap saja ia mengayunkan pedangnya secara acak.Glen yang tidak ingin melewatkan kesempatan dengan cepat memukul pergerakan Rizky yang memegang pedang. Alhasil pedang itu jatuh ke tanah dan Glen menyingkirkannya dengan kakinya.Tetapi bukannya menyerah, Rizky dengan membabi buta malah maju untuk memukul Glen. “Kalian harus mati!” teriaknya.“Dasar gila!” balas Glen dan satu pukulan kembali mendarat di bahu Rizky. Glen yang tahu sedikit teknik bela diri dengan mudah bisa menghindari pergerakan Rizky yang berusaha untuk memukulnya. “Kamu yang harus KO!”“Kalian harus mati ....” Rizky masih saja bergumam dan mencoba untuk meraih Glen l
“Langsung kirim aja ke Salsa sama Syifa supaya foto-fotonya aman.”Glen mengangguk mendengar instruksi Azriel dan langsung mengirimkan semua fotonya pada Syifa dan Salsa. Mereka ingin barang bukti itu aman di tangan kedua teman mereka yang menunggu di rumah Bu Lastri.Setelah selesai, Glen buru-buru memasukkan ponselnya ke saku. “Si Rizky udah jauh banget tuh,” gumamnya, menatap punggung Rizky dari kejauhan.Tubuh Rizky nyaris ditelan gelapnya malam. Pohon-pohon di hutan semakin lebat dan tinggi. Mereka terus mengikuti Rizky yang entah akan pergi ke mana lagi. Dia tidak lagi berhenti untuk meletakkan sajen, tetapi terus melangkah lebar menuju ke arah selatan.‘Sebenarnya dia mau ke mana?’ Azriel bertanya-tanya dalam hati. Hutan ini begitu luas dan entah di mana ujungnya.Dingin yang menusuk tulang semakin terasa dan mereka harus mengeratkan jaket. Sampai kemudian, terlihat sebuah bukaan dengan rumah panggung kayu yang berdiri kokoh di bagian tengah.Azriel, Glen, dan Rania berhenti di