Matahari bersinar terik di atas kepala. Semilir angin berembus dengan ringan, melewati celah jendela mobil yang setengah terbuka. Debu-debu halus beterbangan ketika sebuah mobil Jeep hitam melaju dengan kecepatan sedang, membelah hutan yang memisahkan mereka dari hiruk-pikuk jalanan utama.
Suara bising tertinggal di belakang dan digantikan oleh suara kicau burung yang beterbangan di hutan. Lima orang muda-mudi dari kota Jakarta duduk dengan risau di dalam mobil mereka—hendak menemui keluarga teman mereka yang meninggal secara tiba-tiba.
Faiz.
Atau dengan muram mereka harus menyebutnya sebagai almarhum Faiz setelah kejadian na'as yang menimpanya.
Berjam-jam telah berlalu sejak mereka menyusuri hutan menuju kampung halaman almarhum Faiz. Mereka berlima bermaksud untuk menyampaikan belasungkawa pada orang tua Faiz dan memberikan sedikit bantuan.
Dari cerita almarhum Faiz selama masih hidup, mereka tahu bahwa keluarga Faiz hidup susah di kampung. Faiz merupakan tulang punggung keluarga yang selalu bekerja keras untuk Ibu dan kedua adik perempuannya.
Ibu Faiz—Bu Lastri—adalah seorang janda yang bekerja sebagai buruh harian di sawah dan ladang, sementara adiknya masih berada di jenjang SMA dan SMP. Pendapatan Ibu Faiz tidak seberapa dan kematian Faiz merupakan kehilangan terbesar bagi mereka.
Mereka bermaksud untuk menjadi pelipur lara untuk sementara waktu, sampai keluarga Faiz bisa menerima keadaan.
Azriel yang membawa mobil pun mulai menambah kecepatan saat mereka memasuki hutan yang lebih lebat. Pohon-pohon menjulang di sepanjang jalan. Dahannya yang lebat saling berkelindan membentuk kanopi, hanya sedikit cahaya matahari yang berhasil menelusup masuk.
Siang yang terang berubah menjadi gelap layaknya sore hari. Hawa dingin berembus membelai kulit, membuat udara yang panas seketika berubah menjadi lembab. Suasana sekitar begitu gelap dan sunyi, hanya terdengar suara deru mesin mobil mereka dan juga ban yang menggilas daun yang kering.
Semakin dalam mobil mereka melaju, entah kenapa hawa dingin yang menusuk semakin membuat bulu kuduk meremang. Sejauh mata memandang, hanya ada pohon dan semak belukar yang rimbun. Tidak ada satu pun kendaraan yang tampak lewat selain mobil Jeep mereka.
“Eh Glen, apa kamu udah kasih kabar ke adiknya Faiz soal kedatangan kita?” Salsa yang duduk di bangku belakang lantas mencolek pelan bahu Glen yang duduk di kursi depan. “Dia udah tahu kalau kita berlima bakalan datang, 'kan?”
Glen menoleh dan mengangguk singkat. “Hm, ya, aku udah hubungin Sela dari kemarin. Bahkan tadi, sebelum kita berangkat, aku udah hubungin ulang buat mengkonfirmasi kedatangan kita berlima,” balasnya.
Glen menggerakkan lehernya yang kaku sejenak sebelum melanjutkan, “Sela bilang kalau kita langsung datang aja ke alamat yang sesuai sama yang dia kasih. Nanti Sela bakal jemput kita di titik lokasi.”
Salsa mengangguk mengerti dan Glen memalingkan pandangan, kembali memperhatikan jalan di depannya. Mereka telah diberi alamat yang bertempat di balai desa untuk memudahkan Sela menemukan mereka.
“Ngomong-ngomong, suasananya kok sepi banget, ya?” celetuk Salsa pada Syifa dan Rania yang duduk mengapit dirinya. Kedua gadis itu hanya mengangguk sebagai balasan.
Berbeda dengan Salsa yang penakut, Syifa dan Rania cenderung memiliki pemikiran yang tenang. Mereka lebih sibuk mengutak-atik ponsel daripada memperhatikan suasana hutan seperti yang Salsa lakukan.
Sejujurnya sejak tadi, Salsa telah merasakan hawa tidak menyenangkan yang berputar-putar di sekeliling mobil mereka. Iris cokelatnya dengan awas memperhatikan sekitar. Jantungnya sejak tadi berdebar tidak karuan dipenuhi perasaan ngeri dengan hutan lebat yang tak berpenghuni itu.
Rasanya seolah mereka sedang menyeberang ke tempat mengerikan yang dikelilingi oleh aura mistis. Atau mungkin, itu hanya perasaan Salsa saja yang penakut.
“Tapi hei, ini beneran jalan ke desa tempatnya Faiz, kan? Kok nggak ada kendaraan apa pun yang lewat, ya? Suasananya emang sesepi dan seseram ini?” tanya Salsa, tidak bisa menahan suaranya yang gemetar.
Glen spontan tertawa dan melemparkan senyum mengejeknya pada Salsa. “Hahaha, kamu takut ya, Sa? Takut ada yang mau nyulik kamu di sini? Hantu atau dedemit yang menyeramkan seperti di film-film?”
“Apa maksud kamu?” Salsa melotot tidak terima, meskipun hatinya sudah menjerit ketakutan. “Jangan bicara yang nggak-nggak, deh!”
Bukannya diam, Glen yang usil malah semakin memanas-manasinya, “Padahal ini jalan normal menuju desa terpencil, lho. Kamu tuh anak kota yang baru keluar, jadi nggak paham situasi di desa kayak ini. Aku pikir, sih, hantu malah suka sama kamu yang penakut gitu.”
“Ih, apaan sih!” Salsa mencebik tidak suka. Ia hendak membantah, tetapi Azriel lebih dulu menimpali.
“Hush! Kalian berdua diam aja deh daripada bicara yang nggak-nggak. Kalian tahu 'kan kalau kita harus bisa jaga sikap selama di sini? Jangan bicara sembarangan,” peringatkan Azriel.
“Iya, benar apa kata Azriel,” ujar Rania yang sejak tadi diam.
“Intinya, kita harus bisa hormatin adat istiadat dan tradisi warga desa di sini. Aku nggak mau kita kenapa-kenapa nantinya. Kalian ngerti, nggak?” kata Azriel, menekankan setiap kata dengan nada serius. “Terutama Salsa sama Glen yang gelut mulu.”
“Iya ngerti, maaf,” kata Salsa dan Glen secara bersamaan.
Syifa yang duduk di sebelah Salsa pun mengangguk cepat. “Azriel benar, aku juga nggak mau kita sampai punya masalah di sini. Dan Glen, sebaiknya kamu jaga sikap, jangan asal ceplas-ceplos aja.”
“Iya, iya, maaf. Aku salah,” kata Glen, lalu mengangkat kedua tangannya, kemudian membuat gestur seolah tengah mengunci rapat mulutnya.
Syifa menghela napas dan menatap Salsa. “Udah, kamu nggak perlu dengerin apa kata Glen soal hantu atau apalah itu. Selama kita tidak bertingkah, aku yakin kita bakal baik-baik aja,” bisik Syifa seraya mengusap lengan Salsa. Ia berusaha menghibur Salsa mengingat gadis itu cukup penakut dan yang paling mudah terpengaruh di antara mereka berlima. “Jangan khawatir, ya.”
Salsa pun tersenyum tipis dan menepuk pelan punggung tangan Syifa. “Mm, iya. Makasih ya.”
Syifa membalas senyum sahabatnya itu dengan lembut. “Sama-sama, Sa.”
Rania yang juga duduk bersama keduanya pun menambahkan, “Kamu nggak perlu takut atau was-was, Sa. Di desa-desa terpencil, kita emang harus lewatin hutan-hutan lebat kayak gini. Dan setahu aku, orang desa itu pada ramah-ramah, jadi kamu nggak perlu khawatir.”
Salsa tersenyum lebih lebar mendengar nasehat teman-temannya yang menenangkan. Meskipun ketika ia menatap sekitar hutan yang gelap dengan saksama, perasaan ngeri dan takut itu masih menghampirinya.
Di bangku depan, Azriel dan Glen mulai fokus menatap jalanan yang semakin sempit. Daun-daun kering bertebaran di sekitar mobil mereka. Saat mereka hendak berbelok, tiba-tiba mesin mobil mereka mati dan membuat mobil itu mendadak berhenti.
Para perempuan di bangku belakang langsung berteriak kaget saat tubuh mereka terdorong ke depan. Azriel dan Glen bahkan hampir saja mencium kaca depan mobil.
“Kenapa tiba-tiba berhenti, sih?!” protes Syifa, mengelus dadanya karena terkejut bukan main.
Salsa dan Rania menegakkan tubuh mereka, menatap Azriel yang juga kebingungan.
Azriel menggeleng dengan kening berkerut. “Bukan aku, tapi mobil ini yang tiba-tiba mati. Aku juga nggak tahu apa masalahnya.”
Mereka berlima saling pandang dengan wajah berkerut bingung. Pasalnya mereka tahu kalau mobil Jeep Azriel telah diperiksa dengan baik sebelum dikendarai. Azriel bukan orang ceroboh, dia selalu teliti dan memperhatikan apa pun itu sebelum memutuskan untuk pergi. Apalagi pergi ke tempat penting seperti sekarang.
Jadi, apa yang salah?
Salsa yang pikirannya sejak tadi telah dipenuhi oleh pikiran buruk pun kini kembali ketakutan. Ia berusaha untuk mengingat nasehat teman-temannya, tetapi tetap saja degup jantungnya kian menggila. Matanya menatap liar sekitar dan hanya ada kegelapan yang terasa seperti malam yang menghanyutkan.
“Padahal nggak ada goncangan apa pun kan, ya? Kok bisa mobilnya tiba-tiba mati kayak gini?” tanya Glen bingung.
Azriel kembali menggeleng keheranan. Satu alisnya naik memperhatikan mobilnya yang entah kenapa mendadak bermasalah. Ia mencoba untuk menghidupkan mesin berulang kali, tetapi nihil.
Setelah beberapa saat, Azriel menyerah dengan lelah.
“Ck, nih mobil kenapa sih. Padahal aku udah service dan cek baik-baik sebelum kita berangkat ke sini,” ucapnya pelan, seolah bicara pada dirinya sendiri.
Glen menggaruk tengkuknya dan menghela napas. “Udah, bagusnya kita turun dulu, terus periksa apa yang salah. Kamu nyari di hape bengkel terdekat atau apa kek.”
“Nggak ada sinyal, bro,” kata Azriel.
Glen berdecak dan menepuk jidat. “Apes bro.”
Glen lantas mengisyaratkan Syifa, Salsa, dan Rania untuk turun lebih dulu, sementara keduanya menyusul.
“Kamu yakin kita beneran turun di tempat sepi gini? Gimana kalau ada binatang buas atau sejenisnya yang membahayakan keselamatan kita?” Salsa mencengkeram ujung jaketnya, kurang setuju dengan ide itu.
“Sa, tenang aja. Aku yakin, nggak ada apa-apa, kok,” jawab Syifa sebelum Glen kembali mengejek sikap Salsa yang penakut. “Ayo, turun aja sebentar.”
Salsa mengangguk enggan dan mau tak mau harus menurut. Namun, ketika mereka hendak keluar, suara ketukan di kaca mobil mendadak terdengar. Suaranya begitu nyaring di tengah keheningan itu sehingga mereka berlima langsung berjengit terkejut.
“ARGGGHHHH!” Salsa spontan berteriak.
Suara ketukan kembali terdengar, kali ini lebih keras.
Mereka menoleh ke arah sumber suara dan mata hitam yang menatap dibalik kaca jendela membuat napas mereka seketika berhenti.
Bersambung ....
Rupanya yang mengetuk kaca mobil itu adalah seorang kakek tua berusia sekitar 60-an tahun. Pakaian kakek itu terlihat lusuh dan kotor dipenuhi lumpur, sepertinya ia baru saja kembali dari sawah.“Astaghfirullah,” ucap Syifa yang berada di dekat jendela. Ia menarik napas panjang untuk meredakan keterkejutannya.‘Kirain siapa tadi, ngiranya udah orang jahat aja,' batin Syifa sambil menggelang pelan.Syifa lantas segera membuka pintu mobil untuk menyapa sang kakek yang telah menunggu dengan sabar. Mereka berlima pun keluar dan sang kakek tersenyum tipis.“Saya kebetulan sedang lewat sini dan melihat mobil kalian berhenti. Kalau boleh tahu, Nak berlima ini mau ke mana? Dan darimana?” tanya sang Kakek. Dia menaikkan sedikit capingnya dan memperhatikan penampilan khas anak kota kelima muda-mudi itu.“Kami dari Jakarta dan hendak pergi ke Desa Pulo Majeti, Kek,” jawab Syifa dengan sopan. “Kami mau melayat ke rumah teman kami yang meninggal.”“Oh, kebetulan saya juga tinggal di Desa Pulo Maje
“IBU?! IBU?! Teman-temannya Kak Faiz sudah datang!”Sela berteriak memanggil ibunya begitu mereka tiba di halaman rumah yang sederhana. Tempat tinggal keluarga Faiz sepenuhnya terbuat dari bambu, dengan atap dari daun rumbia.Sebagian besar rumah di Desa Pulo Majeti memang terbuat dari bambu, tidak banyak bangunan yang dibangun dari batu bata dan atap seng.Dari dalam rumah, terdengar langkah buru-buru Bu Lastri yang mendekat. Senyum sumringah seketika menghiasi wajahnya ketika melihat kelima wajah dari teman baik putranya.“Bu,” sapa Azriel dengan sopan, disusul yang lainnya.Bu Lastri tersenyum lebih lebar dan dengan ramah menyambut kelimanya. “Eh, kenapa cuman berdiri di situ? Ayo, masuk! Maaf, rumah Ibu sangat sederhana.”“Nggak apa-apa, kok, Bu.” Syifa menyahut cepat, tidak ingin Bu Lastri merasa enggan dengan kedatangan mereka.“Kebetulan Ibu udah siapin makanan buat kalian,” kata Bu Lastri seraya menuntun mereka menuju meja makan. “Kalian pasti capek dan lapar setelah perjalana
Sepulangnya dari pasar, Bu Lastri pun segera memasak melihat matahari yang mulai meninggi.Syifa dan Sela dengan sigap membantu, mengingat yang lainnya masih tertidur pulas. Kebetulan selama dua minggu ke depan, Sela dan adiknya mendapat libur panjang setelah kelulusan keduanya.“Taruh di sini saja, Nak. Biar Ibu yang tumis,” kata Bu Lastri saat Syifa selesai memotong kangkung.“Iya, Bu.” Syifa meletakkan baskom kecil itu di atas meja dan berpindah untuk membantu Sela yang sedang memotong buncis.Pagi itu, Bu Lastri menyibukkan diri untuk menyelesaikan masakannya sebelum pergi melayat. Sela mengambil alih untuk menyajikan makanan di meja, sementara Syifa memanggil yang lainnya untuk bangun dan sarapan.Azriel dan Glen yang tidak butuh waktu lama untuk berganti pakaian lantas memasuki dapur. Mereka duduk di alas karpet dan menatap makanan yang tersaji. Syifa, Sela, dan Adel sudah mulai menyendok singkong ke dalam piring.“Nih, ambil,” kata Syifa, menyodorkan masing-masing sepiring pada
Bulan purnama dibalik jendela tampak bersinar terang tanpa bintang di sekelilingnya.Angin dingin berembus dari arah timur dan membelai wajah Syifa yang baru selesai mencuci muka. Sekilas ditatapnya suasana desa yang gelap dan juga tenang, lalu ia buru-buru menutup jendela saat teringat cerita Sela. Ada yang aneh dengan hawa yang membungkus desa itu dan ia tidak mau pikirannya sampai diselubungi hal-hal mengerikan.Syifa lantas berbaring di samping Rania yang telah bersiap-siap tidur. Sementara itu, Salsa yang baru selesai berganti baju buru-buru mendekat.“Aku mau di tengah,” ucapnya, lalu melompat ke atas kasur tipis itu dan memaksa tubuhnya untuk berbaring di tengah Syifa dan Rania.“Astaga, Sa!” Rania memprotes saat tubuhnya sudah berada di tepi ranjang.Salsa cengengesan dan menggeser tubuhnya ke arah Syifa. Mereka bertiga berbaring telentang sambil menatap langit-langit rumah yang terbuat dari anyaman bambu. Waktu menunjukkan pukul 11 malam, tetapi ketiganya sama sekali belum me
“Syifa, tolong panggil teman-teman kamu ya Nak, supaya kita bisa makan bareng-bareng!”“Oh, iya Bu. Saya akan panggilkan!” sahut Syifa mendengar panggilan Bu Lastri.Pagi ini Bu Lastri memasak banyak hidangan, jauh lebih banyak dari dua hari terakhir sejak kedatangan teman-teman Faiz. Setelah mendapat upahnya bekerja di ladang, Bu Lastri pikir anak-anak mungkin bosan atau kurang suka dengan makanan sederhana yang ia sajikan. Apalagi, mereka terbiasa makan enak selama tinggal di kota, jadi ia mengubah menu sesekali.Menyajikan makanan untuk mereka sama saja dengan menyajikan makanan untuk Faiz. Setidaknya Bu Lastri tahu bahwa putranya akan senang melihat bagaimana teman-teman baiknya diperlakukan di rumahnya.‘Faiz’, batin Bu Lastri dengan perasaan sendu. Ia menarik napas panjang dan berusaha mengikhlaskan kepergian putranya meskipun luka itu masih ada di hatinya.Sementara itu, Syifa yang hendak memanggil Glen dan Azriel mendadak berhenti di ambang pintu. Ia memiringkan kepalanya hera
Suara denting piring dan sendok terdengar bersahutan ketika Bu Lastri, Syifa, dan juga yang lainnya membereskan peralatan makan malam mereka.Jam tangan Azriel menunjukkan pukul delapan tepat, dan mereka semua memutuskan untuk duduk sejenak sebelum kembali ke kamar masing-masing.Azriel melirik Bu Lastri dan berdeham untuk menarik perhatiannya. “Bu Lastri?”Bu Lastri menoleh dengan cepat. “Iya?”“Saya boleh tanya sesuatu, nggak?” mulai Azriel. Ia melirik teman-temannya dan mereka semua menatap penasaran. Azriel sebenarnya sudah berniat bertanya sejak kembali dari toko, tetapi Bu Lastri terlihat sibuk memasak.“Iya, boleh. Jangan sungkan-sungkan,” kata Bu Lastri seraya tersenyum tipis.“Saya mau tanya soal hutan di jalur masuk desa ini. Itu hutan biasa atau bagaimana ya, Bu?”Bu Lastri tampak terkejut dengan pertanyaan Azriel dan terdiam untuk beberapa saat. Syifa jadi teringat hal yang sama ketika ia bertanya soal pekerjaan Pak Suro pagi tadi. Sepertinya Bu Lastri berpikir bahwa teman
“Iya, kata warga desa sini, hutan itu adalah hutan terlarang Pak, tidak sembarangan orang bisa masuk ke sana. Jadi, kami cuma ingin tau ada apa sebenarnya di hutan itu.” Azriel kembali bertanya tanpa mengalihkan sedikit pun pandangannya dari wajah Pak Suro.Sebagai kepala desa, Pak Suro jelas pandai mengatur mimik wajahnya, tetapi Azriel bukan orang bodoh yang tidak bisa membaca gerak-gerik orang yang gugup. Selain itu, jelas bahwa topik ini membuat Pak Suro merasa tidak nyaman. Asisten mudanya telah melemparkan tatapan tajam, tetapi Azriel sama sekali tidak peduli.Untuk memperpanas situasi, Glen pun ikut menambahkan, “Saya juga penasaran kenapa hutan itu dijaga ketat dan bahkan warga saja dilarang untuk dekat-dekat. Apa sesuatu yang ada di sana mungkin berhubungan dengan kejadian yang belakangan ini terjadi, Pak?”Asisten Pak Suro mendelik tajam pada Glen dan Glen ingin sekali tertawa. Mereka memang terkesan menginterogasi, tetapi Azriel tahu Pak Suro tidak punya pilihan selain menj
“Sa, ayolah. Nggak ada apa-apa, kok.”Rania kembali membujuk Salsa yang menggeleng keras dan enggan untuk melepaskan tangannya. Mereka sedang berada di lorong yang mengarah ke kamar mandi di bagian paling belakang rumah Bu Lastri.Setelah kejadian semalam, Salsa tidak ingin ditinggal sendiri ke manapun mereka pergi, sekalipun langit masih cerah.Salsa masih merasa trauma.Sekelebat sosok putih yang lewat di ujung jalan itu masih membayangi isi pikirannya. Salsa tidak bisa menghilangkan bayangan itu meski ia berusaha keras untuk tidak mengingatnya.Padahal Rania dan Glen sendiri dengan jelas mengatakan bahwa mereka tidak melihat apa-apa, tetapi tetap saja Salsa ketakutan. Ia bahkan merasa takut untuk sekadar melangkah keluar rumah.“Rania, mending kamu temani Salsa di rumah. Soalnya aku sama Sela mau bantu Bu Lastri di ladang,” kata Syifa yang baru selesai menggosok rambutnya. “Kebetulan Bu Lastri dapat kerjaan buat panen ladang cabai yang luas sama salah satu warga,” lanjutnya.Syifa