“IBU?! IBU?! Teman-temannya Kak Faiz sudah datang!”
Sela berteriak memanggil ibunya begitu mereka tiba di halaman rumah yang sederhana. Tempat tinggal keluarga Faiz sepenuhnya terbuat dari bambu, dengan atap dari daun rumbia.
Sebagian besar rumah di Desa Pulo Majeti memang terbuat dari bambu, tidak banyak bangunan yang dibangun dari batu bata dan atap seng.
Dari dalam rumah, terdengar langkah buru-buru Bu Lastri yang mendekat. Senyum sumringah seketika menghiasi wajahnya ketika melihat kelima wajah dari teman baik putranya.
“Bu,” sapa Azriel dengan sopan, disusul yang lainnya.
Bu Lastri tersenyum lebih lebar dan dengan ramah menyambut kelimanya. “Eh, kenapa cuman berdiri di situ? Ayo, masuk! Maaf, rumah Ibu sangat sederhana.”
“Nggak apa-apa, kok, Bu.” Syifa menyahut cepat, tidak ingin Bu Lastri merasa enggan dengan kedatangan mereka.
“Kebetulan Ibu udah siapin makanan buat kalian,” kata Bu Lastri seraya menuntun mereka menuju meja makan. “Kalian pasti capek dan lapar setelah perjalanan jauh, jadi kalian makan dulu, ya?”
“Nggak perlu repot-repot, Bu,” sahut Glen, tetapi Bu Lastri menggeleng.
“Nggak apa-apa. Ibu cuman punya makanan sederhana, tapi Ibu harap kalian suka.”
Glen mengangguk dengan sopan, tidak tega menolak permintaan Bu Lastri. Mereka berlima sudah merasa kasihan melihat keadaan keluarga Faiz dan tidak mungkin menyakiti hati wanita paruh baya itu.
Kelimanya lantas duduk di alas karpet daun kelapa yang sederhana, sementata Sela yang dibantu oleh adiknya—Adel—membawakan piring.
“Dihabisin ya, Nak,” kata Bu Lastri saat menyuguhkan makanan seadanya yang keluarganya miliki, yaitu singkong rebus dibalur kelapa parut dengan sedikit gula dan garam sebagai penyedap rasa, kue tradisional buatan tangan, dan teh hangat dari melati yang mereka keringkan sendiri.
“Makasih, Bu,” kata kelimanya dengan tulus. Meskipun datang dari kota, mereka bukan orang yang pemilih dalam makanan dan tahu cara menghargai pemberian.
“Maaf, udah ngerepotin Ibu,” ucap Azriel sembari mencicipi tehnya.
“Nggak apa-apa, Nak.” Bu Lastri tersenyum hangat dan menatap mereka dengan pandangan yang tampak berkaca-kaca. Tidak bisa dipungkiri bahwa melihat kelima teman baik putranya, membuatnya otomatis mengingat kembali kerja keras Faiz selama di kota.
Mereka semua makan sambil mengobrol ringan. Bu Lastri sedikit bercerita tentang keadaan keluarganya yang sangat susah setelah suaminya meninggal. Kemudian ketika tiba di topik tentang Faiz, Bu Lastri pun menceritakan kronologi meninggalnya Faiz yang terkesan aneh.
“Ibu bukannya belum ikhlasin Faiz, tapi Ibu ngerasa ada yang aneh aja,” kata Bu Lastri. Pandangannya terpaku pada bunga melati yang mengembang di atas tehnya.
Azriel, Glen, Syifa, Salsa, dan Rania duduk dengan tenang dalam posisi melingkar, sejujurnya mereka juga sangat ingin tahu kenapa Faiz yang terlihat sehat-sehat saja mendadak meninggal.
“Faiz meninggal saat hendak berangkat ke kota. Dia sudah siap-siap, bawa tasnya dan segala macam sore itu,” mulai Bu Lasti dengan suara merenung. “Waktu itu udah menjelang Maghrib. Ibu bilang Faiz berangkat habis Magrib aja, tapi Faiz memaksakan diri untuk berangkat saat itu juga karena ngejar jadwal kereta ke stasiun kota. Faiz pergi sendiri menggunakan sepeda motor yang biasa dia pakai ke stasiun.”
Bu Lastri berhenti sejenak dan menghela napas. Wajahnya telah berubah menjadi sendu. Salsa dengan pelan bergeser sedikit dan mengenggam tangan Syifa serta Rania.
“Tapi pas udah berangkat, tiba-tiba Faiz balik lagi. Kira-kira baru satu setengah jam dan Faiz balik ke rumah dengan keadaan kayak orang linglung. Ibu tanya kenapa pulang, terus Faiz bilang nggak enak badan. Ya udah, Ibu suruh saja Faiz istirahat dulu.”
Bu Lastri kembali berhenti dan mengusap sudut matanya yang mendadak berair. “Malam itu, Faiz tiba-tiba demam tinggi dan terus mengigau. Badannya penuh keringat dan kayak orang habis dipukulin, semuanya berubah jadi ungu.”
Glen dan Azriel saling lirik dengan dahi berkerut, merasa aneh dengan demam yang Faiz alami.
“Ibu udah kasih obat penurun demam dan segala macam obat herbal, tapi panas Faiz nggak turun-turun. Paginya, Faiz udah—” Tangis Bu Lastri mendadak pecah dan ia buru-buru menutup wajahnya dengan tangan. Di sampingnya, Sela dan Adel mulai terisak kecil.
Salsa, Syifa, dan Rania tidak bisa menahan air mata melihat kesedihan Bu Lastri. Sementara itu, Glen dan Azriel berusaha terlihat tegar meskipun mereka bisa merasakan betapa sakitnya Bu Lastri kehilangan putranya.
Butuh beberapa saat bagi Bu Lastri untuk kembali melanjutkan ceritanya dengan terbata-bata, “Faiz—tak tertolong, Faiz ... meninggal dengan mulut yang ngeluarin busa ... sampai-sampai ... kejang-kejang hebat.”
Bu Lastri mengusap wajahnya dan menarik napas dalam-dalam. Kesedihan dalam ekspresinya terpampang jelas dan menyayat hati.
“Kami ... kami semua nggak tahu apa yang sebenarnya terjadi sama Faiz. Pas kami panggil bidan untuk mengecek kondisi jenazah Faiz, Bu Bidannya bilang nggak ada tanda-tanda kalau Faiz punya penyakit berat ataupun keracunan. Bu Bidan sendiri bingung dan cuman bisa bilang mungkin itu memang sudah ajalnya Faiz dan Tuhan mengambilnya dengan dengan cara seperti itu. Bu Bidan nyuruh kami untuk ikhlas dan berlapang dada atas kepergian Faiz yang begitu mendadak.”
Bu Lastri menatap kelima teman Faiz yang hanya bisa terdiam dan mencerna apa yang terjadi.
“Akhirnya hari itu, warga membantu kami untuk menguburkan jasad Faiz. Tapi Ibu sampai saat ini masih kepikiran kenapa Faiz tiba-tiba sakit dan linglung kayak gitu. Kayak ada sesuatu yang terjadi dalam perjalanannya waktu itu, Ibu juga bingung.”
Bu Lastri mengakhiri ceritanya dengan helaan napas berat. Ia meremas pelan tangan kedua putrinya yang dingin, berusaha tabah dengan apa yang telah menimpa mereka.
Syifa menatap teman-temannya tanpa bicara apapun, mereka semua yakin ada yang tidak beres. Ada sesuatu yang janggal tentang kematian Faiz yang mendadak.
Setelah mengobrol cukup panjang, Bu Lastri lantas mempersilakan kelimanya untuk beristirahat.
Glen dan Azriel menempati kamar bekas Faiz, sementara Salsa, Rania dan Syifa tidur bersama di kamar Sela. Sela dan Adel pun pindah dan tidur bertiga di kamar Bu Lastri.
Rumah keluarga Faiz memang terbilang sederhana, tetapi Bu Lastri memiliki tiga kamar yang sangat bersih dan nyaman. Malam itu, mereka tidur dengan nyenyak tanpa ada gangguan apa pun.
***
Suara ayam yang berkokok di pagi hari berhasil membangunkan Syifa lebih dulu.
Salsa dan Rania terlihat masih tidur nyenyak di atas dipan, jadi Syifa memutuskan untuk keluar kamar setelah merapikan rambutnya yang berantakan. Di ruang utama, Bu Lastri terlihat sedang bersiap-siap, entah akan ke mana.
“Selamat pagi, Bu,” sapa Syifa seraya mendekati Bu Lastri.
Bu Lastri menoleh dan tersenyum tipis. “Eh, udah bangun, Nak.”
Syifa cengengesan dan mengangguk. “Iya, Bu.”
“Padahal masih pagi buta, kamu harusnya istirahat.”
“Nggak apa-apa, Bu. Tidur saya udah cukup, kok,” jawab Syifa dengan senyum lebar. “Hm, kalau boleh tahu, Ibu mau pergi ke mana?” tanya Syifa penasaran.
“Ibu mau ke pasar, Nak,” jawab Bu Lastri.
Mendengar kata ‘pasar’, Syifa seketika langsung merasa excited. “Saya boleh ikut nggak, Bu?”
Bu Lastri pun mengangguk sambil tersenyum. "Tentu saja boleh, Nak.”
Syifa melompat kegirangan mendengar jawaban Bu Lastri. “Tunggu sebentar, ya, Bu. Saya akan cuci muka dulu sama ganti baju!” Syifa dengan heboh berbalik pergi, sementara Bu Lastri tertawa melihat tingkahnya yang lucu.
“Ibu tunggu di depan, ya,” teriak Bu Lastri.
“Iya, Bu!” balas Syifa dari jauh. Baru semalam bertemu, tetapi ia sudah merasa nyaman dengan Bu Lastri sampai bertingkah seperti anaknya sendiri.
Syifa lantas bergegas mencuci wajahnya, lalu berganti pakaian. Salsa dan Rania masih saja tidur pulas dengan mulut menganga. Dengan iseng, Syifa berbisik ke telinga mereka terkait rencananya ke pasar. Sayangnya, sama sekali tidak ada respon.
“Dasar tukang tidur!” Syifa berdecak dan bergegas keluar.
Sampai di luar, udara pagi Desa Pulo Majeti langsung membelai wajahnya dengan lembut, begitu sejuk dan menyegarkan. Berbeda dengan suasana perkotaan yang sudah bising di pagi hari, suasana desa begitu tenang dan damai.
“Udah selesai?” tanya Bu Lastri.
Syifa mengangguk sebagai jawaban.
Bu Lastri tersenyum dan memimpin jalan. “Mari, Nak.”
Syifa mengikuti di belakang sembari menikmati pemandangan desa yang indah. Tetapi belum lama ia melakukannya, salah seorang warga desa yang berpapasan dengan mereka menarik perhatian.
Wanita paruh baya yang sepertinya seumuran dengan Bu Lastri tampak melangkah terburu-buru. Wajahnya pucat, dipenuhi kepanikan dan ketakutan.
“Bu Laila! Ada apa ini? Kenapa kelihatannya buru-buru sekali?” Bu Lastri yang juga menyadari ada yang aneh dengan Bu Laila pun segera bertanya.
Bu Laila tampak mengatur napasnya sejenak, keringat bercucuran di dahinya. “Saya dapat kabar kalau saudara saya Parmin meninggal, Bu.”
Syifa dan Bu Lastri sontak menatap terkejut. “Pak Parmin, saudara paling bungsunya Bu Laila?” tanya Bu Lastri memastikan. Wajahnya diliputi kebingungan. “Bukannya Pak Parmin kemarin masih dagang ke kota, ya, Bu?”
“Saya juga nggak ngerti apa yang terjadi sama Parmin, Bu. Kata istrinya, dia demam semalaman, terus kejang-kejang dengan mulut berbusa setelah pulang dari mengambil dagangannya di kota,” jelas Bu Laila dengan suara bergetar. “Sakitnya mirip almarhum Faiz.”
Syifa dan Bu Lastri hanya bisa tercenung dengan perasaan tumpang-tindih mendengar hal itu.
“Saya pamit dulu ya, Bu,” kata Bu Laila tanpa menunggu balasan, meninggalkan Syifa dan Bu Lastri yang masih mematung di tempat.
Apa yang sebenarnya terjadi pada Faiz dan Pak Parmin?
Bersambung ....
Sepulangnya dari pasar, Bu Lastri pun segera memasak melihat matahari yang mulai meninggi.Syifa dan Sela dengan sigap membantu, mengingat yang lainnya masih tertidur pulas. Kebetulan selama dua minggu ke depan, Sela dan adiknya mendapat libur panjang setelah kelulusan keduanya.“Taruh di sini saja, Nak. Biar Ibu yang tumis,” kata Bu Lastri saat Syifa selesai memotong kangkung.“Iya, Bu.” Syifa meletakkan baskom kecil itu di atas meja dan berpindah untuk membantu Sela yang sedang memotong buncis.Pagi itu, Bu Lastri menyibukkan diri untuk menyelesaikan masakannya sebelum pergi melayat. Sela mengambil alih untuk menyajikan makanan di meja, sementara Syifa memanggil yang lainnya untuk bangun dan sarapan.Azriel dan Glen yang tidak butuh waktu lama untuk berganti pakaian lantas memasuki dapur. Mereka duduk di alas karpet dan menatap makanan yang tersaji. Syifa, Sela, dan Adel sudah mulai menyendok singkong ke dalam piring.“Nih, ambil,” kata Syifa, menyodorkan masing-masing sepiring pada
Bulan purnama dibalik jendela tampak bersinar terang tanpa bintang di sekelilingnya.Angin dingin berembus dari arah timur dan membelai wajah Syifa yang baru selesai mencuci muka. Sekilas ditatapnya suasana desa yang gelap dan juga tenang, lalu ia buru-buru menutup jendela saat teringat cerita Sela. Ada yang aneh dengan hawa yang membungkus desa itu dan ia tidak mau pikirannya sampai diselubungi hal-hal mengerikan.Syifa lantas berbaring di samping Rania yang telah bersiap-siap tidur. Sementara itu, Salsa yang baru selesai berganti baju buru-buru mendekat.“Aku mau di tengah,” ucapnya, lalu melompat ke atas kasur tipis itu dan memaksa tubuhnya untuk berbaring di tengah Syifa dan Rania.“Astaga, Sa!” Rania memprotes saat tubuhnya sudah berada di tepi ranjang.Salsa cengengesan dan menggeser tubuhnya ke arah Syifa. Mereka bertiga berbaring telentang sambil menatap langit-langit rumah yang terbuat dari anyaman bambu. Waktu menunjukkan pukul 11 malam, tetapi ketiganya sama sekali belum me
“Syifa, tolong panggil teman-teman kamu ya Nak, supaya kita bisa makan bareng-bareng!”“Oh, iya Bu. Saya akan panggilkan!” sahut Syifa mendengar panggilan Bu Lastri.Pagi ini Bu Lastri memasak banyak hidangan, jauh lebih banyak dari dua hari terakhir sejak kedatangan teman-teman Faiz. Setelah mendapat upahnya bekerja di ladang, Bu Lastri pikir anak-anak mungkin bosan atau kurang suka dengan makanan sederhana yang ia sajikan. Apalagi, mereka terbiasa makan enak selama tinggal di kota, jadi ia mengubah menu sesekali.Menyajikan makanan untuk mereka sama saja dengan menyajikan makanan untuk Faiz. Setidaknya Bu Lastri tahu bahwa putranya akan senang melihat bagaimana teman-teman baiknya diperlakukan di rumahnya.‘Faiz’, batin Bu Lastri dengan perasaan sendu. Ia menarik napas panjang dan berusaha mengikhlaskan kepergian putranya meskipun luka itu masih ada di hatinya.Sementara itu, Syifa yang hendak memanggil Glen dan Azriel mendadak berhenti di ambang pintu. Ia memiringkan kepalanya hera
Suara denting piring dan sendok terdengar bersahutan ketika Bu Lastri, Syifa, dan juga yang lainnya membereskan peralatan makan malam mereka.Jam tangan Azriel menunjukkan pukul delapan tepat, dan mereka semua memutuskan untuk duduk sejenak sebelum kembali ke kamar masing-masing.Azriel melirik Bu Lastri dan berdeham untuk menarik perhatiannya. “Bu Lastri?”Bu Lastri menoleh dengan cepat. “Iya?”“Saya boleh tanya sesuatu, nggak?” mulai Azriel. Ia melirik teman-temannya dan mereka semua menatap penasaran. Azriel sebenarnya sudah berniat bertanya sejak kembali dari toko, tetapi Bu Lastri terlihat sibuk memasak.“Iya, boleh. Jangan sungkan-sungkan,” kata Bu Lastri seraya tersenyum tipis.“Saya mau tanya soal hutan di jalur masuk desa ini. Itu hutan biasa atau bagaimana ya, Bu?”Bu Lastri tampak terkejut dengan pertanyaan Azriel dan terdiam untuk beberapa saat. Syifa jadi teringat hal yang sama ketika ia bertanya soal pekerjaan Pak Suro pagi tadi. Sepertinya Bu Lastri berpikir bahwa teman
“Iya, kata warga desa sini, hutan itu adalah hutan terlarang Pak, tidak sembarangan orang bisa masuk ke sana. Jadi, kami cuma ingin tau ada apa sebenarnya di hutan itu.” Azriel kembali bertanya tanpa mengalihkan sedikit pun pandangannya dari wajah Pak Suro.Sebagai kepala desa, Pak Suro jelas pandai mengatur mimik wajahnya, tetapi Azriel bukan orang bodoh yang tidak bisa membaca gerak-gerik orang yang gugup. Selain itu, jelas bahwa topik ini membuat Pak Suro merasa tidak nyaman. Asisten mudanya telah melemparkan tatapan tajam, tetapi Azriel sama sekali tidak peduli.Untuk memperpanas situasi, Glen pun ikut menambahkan, “Saya juga penasaran kenapa hutan itu dijaga ketat dan bahkan warga saja dilarang untuk dekat-dekat. Apa sesuatu yang ada di sana mungkin berhubungan dengan kejadian yang belakangan ini terjadi, Pak?”Asisten Pak Suro mendelik tajam pada Glen dan Glen ingin sekali tertawa. Mereka memang terkesan menginterogasi, tetapi Azriel tahu Pak Suro tidak punya pilihan selain menj
“Sa, ayolah. Nggak ada apa-apa, kok.”Rania kembali membujuk Salsa yang menggeleng keras dan enggan untuk melepaskan tangannya. Mereka sedang berada di lorong yang mengarah ke kamar mandi di bagian paling belakang rumah Bu Lastri.Setelah kejadian semalam, Salsa tidak ingin ditinggal sendiri ke manapun mereka pergi, sekalipun langit masih cerah.Salsa masih merasa trauma.Sekelebat sosok putih yang lewat di ujung jalan itu masih membayangi isi pikirannya. Salsa tidak bisa menghilangkan bayangan itu meski ia berusaha keras untuk tidak mengingatnya.Padahal Rania dan Glen sendiri dengan jelas mengatakan bahwa mereka tidak melihat apa-apa, tetapi tetap saja Salsa ketakutan. Ia bahkan merasa takut untuk sekadar melangkah keluar rumah.“Rania, mending kamu temani Salsa di rumah. Soalnya aku sama Sela mau bantu Bu Lastri di ladang,” kata Syifa yang baru selesai menggosok rambutnya. “Kebetulan Bu Lastri dapat kerjaan buat panen ladang cabai yang luas sama salah satu warga,” lanjutnya.Syifa
“Sembunyi cepet!”Azriel dan Glen buru-buru bersembunyi dibalik batang pohon yang cukup lebar saat Mawar hendak beranjak dari tempatnya.Dengan selendang hitam, Mawar terlihat menutupi sebagian wajahnya dan keluar dari area pemakaman dengan langkah lebar. Matanya sembab dan merah, sementara wajahnya menunjukkan kesedihan yang mendalam.Azriel terpaku melihat ekspresi sang gadis—yang mana, seratus persen berbanding terbalik dengan pertemuan pertama mereka. Dia tidak terlihat seperti gadis dingin dan masa bodoh seperti waktu itu, melainkan gadis yang tertekan secara mental.Berbagai pertanyaan kini berseliweran di kepala Azriel, berputar layaknya pusaran. Semua hal yang terjadi sungguh membingungkan. Setiap hari, ada saja hal tak terduga yang mereka temukan.Ditatapnya Mawar yang telah menghilang dibalik belokan, lantas Azriel dan Glen keluar dari tempat persembunyian mereka.Glen menghela napas lega dan menoleh ke arah makam Faiz. “Kok bisa Mawar ada di makamnya Faiz, ya?” tanyanya her
“Maksud Ibu, Mawar suka sama Faiz?” Glen hampir tidak bisa mempercayai pendengarannya. Pasalnya Mawar itu terlihat seperti tipe perempuan yang tidak berperasaan. Atau mungkin, Glen dan Azriel terlalu cepat mengambil kesimpulan mengenai sikapnya.Bu Lastri mengangguk dengan lesu. “Iya, dari dulu Mawar sudah suka sama Faiz. Suka banget malah. Tapi Faiz sendiri sudah punya pacar, namanya Hanin.”“Kami juga cuma tahu tentang Hanin, Bu,” kata Azriel, dan yang lainnya mengangguk membenarkan.Ekspresi Bu Lastri terlihat semakin nestapa saat melanjutkan ceritanya, “Dulu keluarga Mawar terus ngedesak Faiz buat nikahin Mawar, tapi Faiz tetap nggak mau karena dia lebih milih Hanin. Terus nggak lama berselang, Hanin tiba-tiba mengalami kecelakaan dan meninggal di tempat. Faiz benar-benar patah hati saat itu, dan akhirnya memilih untuk merantau dan menetap di Jakarta.”Bu Lastri menatap teman-teman putranya dan tersenyum sendu. “Padahal dulu Faiz katanya ingin menikah dengan Hanin, tapi apa dikata