Rania, Salsa, dan anak-anak lainnya dengan cepat mengenali kakek tua itu—Kakek Apung—meskipun dengan topi yang menutupi sebagian wajahnya.“Kek,” sapa mereka bergantian.Kakek Apung tersenyum dan duduk di tepi batu besar yang menjorok ke sungai. “Kalian semua lagi nangkap ikan, ya?”"Iya, Kek, ini udah lumayan dapat banyak,” kata Rania, menunjuk ember di sampingnya.Kakek Apung mengangguk ringan, lantas berdiri di tempatnya. “Ya sudah, tapi kalau sudah sore baiknya segera pulang. Jangan tinggal sampai Magrib, ya.”“Baik, Kek,” sahut Rania, diikuti yang lainnya.Mereka lantas bergegas mengambil peralatan dan segala macam barang yang mereka bawa. Rania dan Adel membawa ember ikan, sementara Salsa yang tidak kuat membawa sesuatu yang berat memilih untuk membawa jaring dan sandal mereka yang basah.Kakek Apung terlihat sudah berjalan menjauh menyisiri sisi sungai dan Rania pun mengisyaratkan yang lainnya untuk pergi.Mereka berjalan sambil bergidik karena kedinginan, terlebih angin sore t
Glen membalikkan badannya secara spontan karena terkejut dan ternyata pemilik suara itu adalah Pak Kades.Glen buru-buru mengubah ekspresinya, tidak ingin Pak Kades sampai mencurigainya. Tatapannya sekarang begitu tajam terarah pada Glen.“Apa yang kamu lakukan di sini?” Pak Kades mengulang pertanyaannya dengan suara ditekan.“Eh, Pak Kades,” kata Glen sambil cengengesan demi menghilangkan rasa gugupnya. “Anu Pak, saya mau ke toilet, kata Mawar toiletnya ada di sekitar sini,” kata Glen beralasan.Pak Kades menghela napas keras. Dari rautnya saja, jelas bahwa dia tidak suka melihat kehadiran Glen di sana. “Itu bukan tempatnya. Toiletnya ada di sana, tepat di samping tangga.” Pak Kades menunjuk pintu toilet yang sebelumnya sengaja Glen lewati.Glen kembali cengengesan. “Oh, di sana ternyata. Aduh, maaf ya Pak, saya salah arah. Maklum, ini pertama kalinya saya ke sini. Kebetulan tadi saya dan teman saya abis bantuin Dinda dan Mawar bikin video, Pak,” cerocos Glen panjang lebar.Pak Kades
“Nak Syifa, mau nggak temenin Ibu belanja ke warung Bu Laila? Kebetulan hari ini udah buka,” kata Bu Lastri dengan suara lembutnya.Syifa dengan senang hati mengangguk mendengar kata ‘warung’. “Tentu aja mau, Bu,” sahutnya. Jalan-jalan di desa di pagi hari adalah favoritnya, apalagi jika Bu Lastri yang meminta untuk ditemani.Bu Lastri tersenyum sumringah dan keduanya lantas berjalan keluar rumah. Hari ini Bu Lastri memiliki sedikit rejeki lebih, jadi ia ingin membelikan anak-anak di rumahnya jajanan khas desa mereka.Bu Laila yang sebelumnya tutup warung kini mulai menjajakan kuenya lagi. Bu Lastri sangat suka kue buatannya dan ia yakin teman-teman Faiz juga akan suka.Begitu tiba di sana, Syifa merasa takjub melihat banyaknya orang mengantri untuk membeli di warung Bu Laila, bahkan ada Bu Kades juga.“Iya, lho, katanya lebih enak kalau dimasak.”“Iya, tapi saya biasanya ditumis aja, Bu. Lebih gurih.”“Eh, saya juga, kalau bisa tambahin kecap biar lebih enak.”Syifa hanya tersenyum m
‘Itu bukan kasus bunuh diri biasa’.Glen dan Azriel terduduk di bangku depan rumah Bu Lastri dengan wajah kuyu. Kejadian itu cukup mengguncang keduanya hingga mereka perlu waktu beberapa saat untuk mencerna apa yang terjadi.Pria itu jelas adalah pria yang mereka kejar semalam. Azriel masih ingat betul wajahnya dan ia seratus persen yakin.Hanya saja, apa yang terjadi padanya benar-benar mengejutkan.Seseorang membunuhnya. Dia tidak gantung diri. Azriel menduga ini ada hubungannya dengan bagaimana pria itu ketahuan dan mungkin sengaja dibunuh untuk menghilangkan jejak.Benar-benar tragis.“Warga bilang pria itu bukan warga sini,” kata Glen dengan suara lelah. Wajahnya kusut butuh disetrika, ia masih merasa syok dengan kejadian tadi. “Warga bilang dia warga desa sebelah, umurnya 30-an tahun dan dia hidup sebatang kara selama ini. Dia juga kerja serabutan, pokoknya katanya nerima apa saja asal bisa menyambung hidup.”Azriel mengangguk mendengar penjelasan Glen dan menghela napas panjang
Syifa bergegas keluar mendengar jeritan ketakutan Salsa dan Rania yang membelah keheningan malam. Di belakangnya, menyusul Glen, Azriel, dan juga Bu Lastri yang terbangun karena terkejut.Terlihat Rania dan Salsa yang sudah terduduk di tanah, saling berpelukan dengan tubuh gemetar hebat. Kantong plastik yang hendak mereka buang tergeletak tak jauh dari posisi mereka berada.Syifa menghampiri keduanya dengan heran. “Sa, Salsa! Rania? Kalian kenapa?”Rania mengangkat kepalanya, air mata telah membanjiri pipinya, sementara Salsa terus menunduk dengan tubuh yang semakin gemetar.“Ada apa?” Bu Lastri yang baru datang bersama Glen dan Azriel pun ikut bertanya khawatir.“I-itu Bu ...,” kata Rania dengan suara bergetar hebat. Dia menunjuk ke arah pohon asam yang menjulang dan Bu Lastri bersama yang lainnya sontak mendongak.Dan benar saja, sosok putih dengan wajah yang terlihat hancur tampak melayang di atas sana. Mata merahnya yang terbuka lebar terus terarah pada mereka, terlihat seolah pen
Bu Lastri segera berdiri, begitu pula yang lainnya karena penasaran dengan ledakan tersebut. Bahkan Pak Kyai Jafar dan Agus mengekor di belakang dengan wajah penuh tanda tanya.Tetapi betapa herannya Bu Lastri ketika yang dia temukan hanya kondisi dapur yang sama seperti semula. Tidak ada apa pun yang terlihat mencurigakan atau setidaknya menjadi penyebab ledakan tadi.“Kok—” Bu Lastri mendekat dengan waspada. Ia menatap sekitar dapur dengan kening berkerut dalam. “Padahal tadi bunyinya keras banget 'kan ya? Tapi ini ... kenapa ...”“Bener, Bu,” jawab Sela cepat. “Tapi sekarang kayak nggak ada apa-apa.”Syifa dan yang lainnya saling menatap dengan bingung, padahal jelas-jelas mereka juga mendengar ledakan seperti ban motor yang meledak.Keheningan untuk sesaat menguasai dapur, sampai kemudian Pak Kyai berujar, “Bu Lastri, sepertinya di dapur ini ada yang menunggui. Kalau dari penglihatan saya, sepertinya sengaja di kirim untuk mengganggu orang rumah.”“Astaghfirullah.” Bu Lastri langs
Bu Lastri bergegas mengikuti Pak Sugi menuju rumah Pak Kades setelah mendengar berita Mawar yang kesurupan. Di belakangnya, Syifa, Rania, dan Salsa berjalan tergopoh-gopoh mengikuti.Semua warga tampaknya datang untuk melihat apa yang terjadi. Dari kejauhan, Syifa sudah bisa mendengar teriakan menggelegar seorang perempuan, yang mana terdengar penuh amarah dan sakit hati.“Itu suara Mawar?” tanya Syifa pada Salsa dan Rania. Ia belum pernah bertemu Mawar secara langsung, apalagi mendengar suaranya.“Kayaknya begitu,” kata Rania, mengedikkan bahunya. Mereka berjalan lebih cepat saat teriakan melengking itu semakin menjadi-jadi.Para satpam di rumah Pak Kades tidak terlihat berjaga di depan rumah, sementara para warga menerobos masuk begitu saja ke halaman rumah Pak Kades.“SIAPA DIA?! KATAKAN SIAPA DIA?! BERANI-BERANINYA MENGUSIK RUMAHKU!”Para warga tampak tercengang melihat Mawar yang mengamuk-ngamuk di tengah halaman. Bu Lastri, Syifa, Salsa, dan Rania pun ikut terkejut tatkala mengi
“Pak Kyai salah! Pak Kades sudah bertindak dengan membantu para warga!”Di tengah keheningan, Rizky mendadak buka suara. Sekalipun dia jauh lebih muda dari Pak Kyai, Rizky sama sekali tidak menunjukkan rasa hormatnya. Ia tidak suka dengan Pak Kyai yang memojokkan Pak Kades.Rizky melanjutkan dengan suara sinis, “Pak Kades sudah membagikan bantuan sembako pada para warga yang kehilangan anggota keluarganya. Pak Kades juga sudah memberi peringatan agar warga tidak melanggar pantangan di desa ini. Kalau pun ada yang melanggar dan jadi korban, itu bukan lagi salahnya Pak Kades!”Para warga tampak tidak setuju dengan ucapan Rizky, sementara Pak Kades tersenyum senang.“Nah, Pak Kyai dengar sendiri 'kan apa kata asisten saya? Jadi Pak Kyai tidak perlu sok tahu untuk ikut campur dengan apa yang terjadi di sini,” kata Pak Kades dengan sombongnya.“Kenapa pula ada pantangan seperti itu Pak Kades?” tanya Pak Kyai, masih dengan suaranya yang tenang. Pak Kyai bahkan tidak terlihat tersinggung den
“PAK, BANGUN!! BANGUN, PAK!! JANGAN TINGGALIN IBU SENDIRIAN!! PAKKKKKK! SIAPA NANTI YANG NGASIH SAYA UANG, PAKKK! BANGUNN!”Bu Linda terus berteriak histeris melihat Pak Suro yang tidak lagi bergerak di tempat. Tetapi, bukannya mendekat, Bu Linda malah hanya terus berteriak di tempat layaknya orang kesurupan.Para warga yang melihat hal itu hanya diam dan tidak berniat untuk menolong. Setelah mengetahui kebusukan Pak Suro, mereka benar-benar membenci sang kepala desa dan keluarganya yang tidak punya belas kasihan.“Jangan ada yang nolongin Bu, itu balasan untuk orang seperti mereka,” kata warga, mulai berbisik-bisik melihat Bu Linda yang bertingkah seperti orang gila.Bu Linda terus mencak-mencak di tempat sambil menarik-narik rambutnya dengan kekuatan penuh. Namun, tidak ada satu pun warga yang terlihat kasihan.“Mereka orang jahat dan kejam yang rela melakukan apa pun demi uang. Bahkan, balasan ini belum setimpal buat mereka!” kecam para warga.“Iya, betul, Bu. Saya harap sampai tuj
“Benar, ini adalah ladang ganja,” kata rekan polisi tersebut, mengonfirmasi ucapan Glen.Glen kembali berdecak, antara kagum dan juga prihatin dengan keberadaan ladang ganja yang luar biasa luas itu. Mereka sengaja menyembunyikannya di kedalaman hutan, sehingga tidak ada kecurigaan apa pun. Benar-benar pikiran para penjahat itu tidak ada duanya.“Wah, ini ladang ganjanya bisa dijadiin perumahan,” ucap Azriel sarkastik, pasalnya ganja yang ditanam luasnya bukan main.Glen dan kedua polisi di sampingnya pun spontan tertawa. Azriel terlalu jengkel melihat ladang itu karena sekarang jelas dari mana kekayaan Pak Kades berasal, selain dari pesugihan yang dia lakukan.Mereka mengamati ladang ganja itu dan Glen tiba-tiba teringat dengan foto di ponsel Faiz. Keningnya berkerut dalam saat membandingkan foto itu dengan apa yang ia lihat sekarang.Bentuk tanaman itu ... bentuk daunnya ...Glen mendekat ke salah satu tanaman ganja dan memperhatikannya dengan seksama. Meskipun foto di ponsel Faiz d
“Gimana? Apa katanya?” Azriel mengetuk-ngetukkan jarinya ke badan mobil, menunggu Glen yang tengah menghubungi Rania terkait pergerakan Pak Kades dan rekannya.“Katanya aman,” jawab Glen, menunjukkan pesan dari Rania yang mengatakan kalau mereka bisa bergerak sekarang sesuai rencana. Pak Kades sedang sibuk melayani warga dan tidak akan bergerak dari tempatnya sampai beberapa jam ke depan.“Bagus. Sekarang kita harus segera pergi,” kata Azriel, lalu beralih menatap ke arah Pak Kyai Jafar dan dua orang polisi yang telah mereka panggil sebelumnya.Mereka semua akan pergi bersama ke hutan demi menemukan Rizky, Kakek Apung, juga bukti lain yang sekiranya bisa mereka temukan untuk memperlihatkan kebusukan Pak Kades.“Kita bisa bergerak sekarang, Pak,” ucap Azriel dan mereka semua mengangguk mengerti.Kali ini, Azriel akan membawa Jeep-nya menjelajahi hutan hingga tiba ke rumah panggung itu. Glen berada tepat di sampingnya, sementara Pak Kyai Jafar dan dua polisi lainnya duduk di belakang.“
“Mawar? Mawar? Heh? Kamu denger aku bicara nggak sih?”Dinda menghela napas keras melihat Mawar yang sama sekali tidak menggubris ucapannya. Setelah kejadian di mana Mawar kesurupan, sikapnya mendadak berubah drastis.Mawar selalu melamun dan tidak mau bicara. Dinda sudah berusaha keras untuk membujuknya dan mencoba banyak hal, termasuk membuat konten mereka lagi, tetapi nihil. Mawar sepertinya lebih suka tenggelam dalam lamunannya dan mengabaikan Dinda sepenuhnya.“Mawar, kamu sebenarnya kenapa sih?” Dinda menatap frustrasi sekaligus prihatin. Ditatapnya penampilan Mawar yang acak-acakan, begitu berantakan dan urakan. Dia tidak lagi terlihat seperti gadis modis nan cantik yang terobsesi untuk menjadi influencer terkenal.“Mawar, sampai kapan kamu diam gini sih?” Dinda kembali mencoba mengajak Mawar mengobrol. Ia telah berhasil membujuk Mawar untuk pergi ke danau tempat biasa mereka membuat konten, tetapi tetap saja dia berakhir melamun di sini. “Gimana kalau kita buat konten lagi?” t
Setelah memenggal kepala Rizky, Pak Suro pun segera mengambil kepala berlumuran darah itu untuk diberikan pada Kakek Apung.Kakek Apung bangkit dari tempatnya dengan mata yang telah memerah, juga wajah buruk rupa yang penuh belatung. Hal itu menandakan bahwa iblis yang akan membantu Kakek Apung telah merasuki tubuhnya.Pak Suro dan kedua anak buahnya kemudian berlutut penuh hormat. “Saya persembahkan kepala ini untuk Tuanku!”Kakek Apung yang telah dikuasai iblis dalam dirinya langsung memakan kepala itu dengan rakus. Saking terburu-burunya sampai beberapa potong tulang berjatuhan ke lantai.Kedua anak buah Pak Suro sontak mundur dengan perasaan ngeri luar biasa. Memenggal kepala Rizky saja sudah membuat mereka mual, apalagi melihat pemandangan di mana Kakek Apung memakan dan menguliti kepala utuh itu.Mulut dan tangan Kakek Apung telah berlumuran darah. Kedua anak buah Pak Suro hanya bisa menelan ludah susah payah, meskipun dalam hati berharap bisa lari dari tempat itu.“Ya, habiskan
“Allahuakbar!”Kyai Jafar membaca surah dengan khusyuk saat melaksanakan shalat tahajud malam itu. Jam dinding telah menunjukkan pukul dua dini hari ketika ia terbangun karena mimpi aneh.Tidak seperti biasanya, kali ini hujan deras mengguyur di puncak musim kemarau yang biasanya kering kerontang. Ranting-ranting pohon terdengar mengetuk kaca jendela tiap kali angin kencang datang dari arah timur.Hawa dingin membungkus setiap sisi pesantren. Kyai Jafar kemudian bangkit untuk melaksanakan beberapa rakaat lagi sebelum melaksanakan shalat witir. Namun, di tengah kekhusukannya, tiba-tiba ia merasa bahwa ada sesuatu yang mengganggunya.Kyai Jafar berusaha mengabaikan gangguan itu dan tetap melanjutkan sholatnya. Saat ia mulai berzikir, mendadak gangguan tersebut semakin menguat. Tangan Kyai Jafar sampai bergetar karena gangguan halus yang tiap detiknya meningkat.“Subhanallah ... Subhanallah ... Subhanallah ...” suara Kyai Jafar semakin besar di setiap dzikirnya. Terasa jelas dahinya mula
“Kenapa Pak Kades kayak keberatan?! Kami cuma ingin ngecek sesuatu, Pak! Ini penting dan menyangkut keamanan para warga!” kata salah satu bapak-bapak dengan tatapan menusuk yang terarah pada Pak Kades.Mereka telah mendengar tentang praktek ilmu hitam di desa ini dan ingin membuktikan rumor yang menyebar.Pak Kades terdiam dan kebingungan untuk menjawab. Para warga tampaknya bersikeras untuk tetap menggali makam, sekalipun Pak Kades tidak memberi persetujuan. Bahkan di belakang, beberapa warga terlihat sudah membawa sekop dan cangkul untuk membongkar makam.Pak Kades berpikir keras di tempat dengan kepala pusing. Jika ia terang-terangan menolak, maka para warga pasti akan mencurigainya tengah menyembunyikan sesuatu. Tetapi jika ia setuju ... mungkinkah rahasianya akan ketahuan?“Pak Kades kenapa diam saja?” para warga mulai tidak sabaran dan kini menatap Pak Kades yang tersudut. “Kami hanya ingin memastikan sesuatu, Pak.”Pak Kades pun memaksakan senyumnya. “Oh, tentu saja, Pak. Kalia
“MATI KALIAN!”Glen dengan sigap mengambil kayu yang ada di dekatnya dan memukulkannya ke perut Rizky. Pedang Rizky yang berayun terhenti di udara sebelum kemudian dia menggeram kesakitan.Rizky mencoba untuk mengayunkan pedangnya lagi, tetapi Glen sudah lebih dulu memukul pahanya. “Sialan.” Rizky meringis menahan sakit. Ia hampir oleng ke samping, tetapi tetap saja ia mengayunkan pedangnya secara acak.Glen yang tidak ingin melewatkan kesempatan dengan cepat memukul pergerakan Rizky yang memegang pedang. Alhasil pedang itu jatuh ke tanah dan Glen menyingkirkannya dengan kakinya.Tetapi bukannya menyerah, Rizky dengan membabi buta malah maju untuk memukul Glen. “Kalian harus mati!” teriaknya.“Dasar gila!” balas Glen dan satu pukulan kembali mendarat di bahu Rizky. Glen yang tahu sedikit teknik bela diri dengan mudah bisa menghindari pergerakan Rizky yang berusaha untuk memukulnya. “Kamu yang harus KO!”“Kalian harus mati ....” Rizky masih saja bergumam dan mencoba untuk meraih Glen l
“Langsung kirim aja ke Salsa sama Syifa supaya foto-fotonya aman.”Glen mengangguk mendengar instruksi Azriel dan langsung mengirimkan semua fotonya pada Syifa dan Salsa. Mereka ingin barang bukti itu aman di tangan kedua teman mereka yang menunggu di rumah Bu Lastri.Setelah selesai, Glen buru-buru memasukkan ponselnya ke saku. “Si Rizky udah jauh banget tuh,” gumamnya, menatap punggung Rizky dari kejauhan.Tubuh Rizky nyaris ditelan gelapnya malam. Pohon-pohon di hutan semakin lebat dan tinggi. Mereka terus mengikuti Rizky yang entah akan pergi ke mana lagi. Dia tidak lagi berhenti untuk meletakkan sajen, tetapi terus melangkah lebar menuju ke arah selatan.‘Sebenarnya dia mau ke mana?’ Azriel bertanya-tanya dalam hati. Hutan ini begitu luas dan entah di mana ujungnya.Dingin yang menusuk tulang semakin terasa dan mereka harus mengeratkan jaket. Sampai kemudian, terlihat sebuah bukaan dengan rumah panggung kayu yang berdiri kokoh di bagian tengah.Azriel, Glen, dan Rania berhenti di