Syifa bergegas keluar mendengar jeritan ketakutan Salsa dan Rania yang membelah keheningan malam. Di belakangnya, menyusul Glen, Azriel, dan juga Bu Lastri yang terbangun karena terkejut.Terlihat Rania dan Salsa yang sudah terduduk di tanah, saling berpelukan dengan tubuh gemetar hebat. Kantong plastik yang hendak mereka buang tergeletak tak jauh dari posisi mereka berada.Syifa menghampiri keduanya dengan heran. “Sa, Salsa! Rania? Kalian kenapa?”Rania mengangkat kepalanya, air mata telah membanjiri pipinya, sementara Salsa terus menunduk dengan tubuh yang semakin gemetar.“Ada apa?” Bu Lastri yang baru datang bersama Glen dan Azriel pun ikut bertanya khawatir.“I-itu Bu ...,” kata Rania dengan suara bergetar hebat. Dia menunjuk ke arah pohon asam yang menjulang dan Bu Lastri bersama yang lainnya sontak mendongak.Dan benar saja, sosok putih dengan wajah yang terlihat hancur tampak melayang di atas sana. Mata merahnya yang terbuka lebar terus terarah pada mereka, terlihat seolah pen
Bu Lastri segera berdiri, begitu pula yang lainnya karena penasaran dengan ledakan tersebut. Bahkan Pak Kyai Jafar dan Agus mengekor di belakang dengan wajah penuh tanda tanya.Tetapi betapa herannya Bu Lastri ketika yang dia temukan hanya kondisi dapur yang sama seperti semula. Tidak ada apa pun yang terlihat mencurigakan atau setidaknya menjadi penyebab ledakan tadi.“Kok—” Bu Lastri mendekat dengan waspada. Ia menatap sekitar dapur dengan kening berkerut dalam. “Padahal tadi bunyinya keras banget 'kan ya? Tapi ini ... kenapa ...”“Bener, Bu,” jawab Sela cepat. “Tapi sekarang kayak nggak ada apa-apa.”Syifa dan yang lainnya saling menatap dengan bingung, padahal jelas-jelas mereka juga mendengar ledakan seperti ban motor yang meledak.Keheningan untuk sesaat menguasai dapur, sampai kemudian Pak Kyai berujar, “Bu Lastri, sepertinya di dapur ini ada yang menunggui. Kalau dari penglihatan saya, sepertinya sengaja di kirim untuk mengganggu orang rumah.”“Astaghfirullah.” Bu Lastri langs
Matahari bersinar terik di atas kepala. Semilir angin berembus dengan ringan, melewati celah jendela mobil yang setengah terbuka. Debu-debu halus beterbangan ketika sebuah mobil Jeep hitam melaju dengan kecepatan sedang, membelah hutan yang memisahkan mereka dari hiruk-pikuk jalanan utama.Suara bising tertinggal di belakang dan digantikan oleh suara kicau burung yang beterbangan di hutan. Lima orang muda-mudi dari kota Jakarta duduk dengan risau di dalam mobil mereka—hendak menemui keluarga teman mereka yang meninggal secara tiba-tiba.Faiz.Atau dengan muram mereka harus menyebutnya sebagai almarhum Faiz setelah kejadian na'as yang menimpanya.Berjam-jam telah berlalu sejak mereka menyusuri hutan menuju kampung halaman almarhum Faiz. Mereka berlima bermaksud untuk menyampaikan belasungkawa pada orang tua Faiz dan memberikan sedikit bantuan.Dari cerita almarhum Faiz selama masih hidup, mereka tahu bahwa keluarga Faiz hidup susah di kampung. Faiz merupakan tulang punggung keluarga ya
Rupanya yang mengetuk kaca mobil itu adalah seorang kakek tua berusia sekitar 60-an tahun. Pakaian kakek itu terlihat lusuh dan kotor dipenuhi lumpur, sepertinya ia baru saja kembali dari sawah.“Astaghfirullah,” ucap Syifa yang berada di dekat jendela. Ia menarik napas panjang untuk meredakan keterkejutannya.‘Kirain siapa tadi, ngiranya udah orang jahat aja,' batin Syifa sambil menggelang pelan.Syifa lantas segera membuka pintu mobil untuk menyapa sang kakek yang telah menunggu dengan sabar. Mereka berlima pun keluar dan sang kakek tersenyum tipis.“Saya kebetulan sedang lewat sini dan melihat mobil kalian berhenti. Kalau boleh tahu, Nak berlima ini mau ke mana? Dan darimana?” tanya sang Kakek. Dia menaikkan sedikit capingnya dan memperhatikan penampilan khas anak kota kelima muda-mudi itu.“Kami dari Jakarta dan hendak pergi ke Desa Pulo Majeti, Kek,” jawab Syifa dengan sopan. “Kami mau melayat ke rumah teman kami yang meninggal.”“Oh, kebetulan saya juga tinggal di Desa Pulo Maje
“IBU?! IBU?! Teman-temannya Kak Faiz sudah datang!”Sela berteriak memanggil ibunya begitu mereka tiba di halaman rumah yang sederhana. Tempat tinggal keluarga Faiz sepenuhnya terbuat dari bambu, dengan atap dari daun rumbia.Sebagian besar rumah di Desa Pulo Majeti memang terbuat dari bambu, tidak banyak bangunan yang dibangun dari batu bata dan atap seng.Dari dalam rumah, terdengar langkah buru-buru Bu Lastri yang mendekat. Senyum sumringah seketika menghiasi wajahnya ketika melihat kelima wajah dari teman baik putranya.“Bu,” sapa Azriel dengan sopan, disusul yang lainnya.Bu Lastri tersenyum lebih lebar dan dengan ramah menyambut kelimanya. “Eh, kenapa cuman berdiri di situ? Ayo, masuk! Maaf, rumah Ibu sangat sederhana.”“Nggak apa-apa, kok, Bu.” Syifa menyahut cepat, tidak ingin Bu Lastri merasa enggan dengan kedatangan mereka.“Kebetulan Ibu udah siapin makanan buat kalian,” kata Bu Lastri seraya menuntun mereka menuju meja makan. “Kalian pasti capek dan lapar setelah perjalana
Sepulangnya dari pasar, Bu Lastri pun segera memasak melihat matahari yang mulai meninggi.Syifa dan Sela dengan sigap membantu, mengingat yang lainnya masih tertidur pulas. Kebetulan selama dua minggu ke depan, Sela dan adiknya mendapat libur panjang setelah kelulusan keduanya.“Taruh di sini saja, Nak. Biar Ibu yang tumis,” kata Bu Lastri saat Syifa selesai memotong kangkung.“Iya, Bu.” Syifa meletakkan baskom kecil itu di atas meja dan berpindah untuk membantu Sela yang sedang memotong buncis.Pagi itu, Bu Lastri menyibukkan diri untuk menyelesaikan masakannya sebelum pergi melayat. Sela mengambil alih untuk menyajikan makanan di meja, sementara Syifa memanggil yang lainnya untuk bangun dan sarapan.Azriel dan Glen yang tidak butuh waktu lama untuk berganti pakaian lantas memasuki dapur. Mereka duduk di alas karpet dan menatap makanan yang tersaji. Syifa, Sela, dan Adel sudah mulai menyendok singkong ke dalam piring.“Nih, ambil,” kata Syifa, menyodorkan masing-masing sepiring pada
Bulan purnama dibalik jendela tampak bersinar terang tanpa bintang di sekelilingnya.Angin dingin berembus dari arah timur dan membelai wajah Syifa yang baru selesai mencuci muka. Sekilas ditatapnya suasana desa yang gelap dan juga tenang, lalu ia buru-buru menutup jendela saat teringat cerita Sela. Ada yang aneh dengan hawa yang membungkus desa itu dan ia tidak mau pikirannya sampai diselubungi hal-hal mengerikan.Syifa lantas berbaring di samping Rania yang telah bersiap-siap tidur. Sementara itu, Salsa yang baru selesai berganti baju buru-buru mendekat.“Aku mau di tengah,” ucapnya, lalu melompat ke atas kasur tipis itu dan memaksa tubuhnya untuk berbaring di tengah Syifa dan Rania.“Astaga, Sa!” Rania memprotes saat tubuhnya sudah berada di tepi ranjang.Salsa cengengesan dan menggeser tubuhnya ke arah Syifa. Mereka bertiga berbaring telentang sambil menatap langit-langit rumah yang terbuat dari anyaman bambu. Waktu menunjukkan pukul 11 malam, tetapi ketiganya sama sekali belum me
“Syifa, tolong panggil teman-teman kamu ya Nak, supaya kita bisa makan bareng-bareng!”“Oh, iya Bu. Saya akan panggilkan!” sahut Syifa mendengar panggilan Bu Lastri.Pagi ini Bu Lastri memasak banyak hidangan, jauh lebih banyak dari dua hari terakhir sejak kedatangan teman-teman Faiz. Setelah mendapat upahnya bekerja di ladang, Bu Lastri pikir anak-anak mungkin bosan atau kurang suka dengan makanan sederhana yang ia sajikan. Apalagi, mereka terbiasa makan enak selama tinggal di kota, jadi ia mengubah menu sesekali.Menyajikan makanan untuk mereka sama saja dengan menyajikan makanan untuk Faiz. Setidaknya Bu Lastri tahu bahwa putranya akan senang melihat bagaimana teman-teman baiknya diperlakukan di rumahnya.‘Faiz’, batin Bu Lastri dengan perasaan sendu. Ia menarik napas panjang dan berusaha mengikhlaskan kepergian putranya meskipun luka itu masih ada di hatinya.Sementara itu, Syifa yang hendak memanggil Glen dan Azriel mendadak berhenti di ambang pintu. Ia memiringkan kepalanya hera