Share

Jejak yang Terlupakan

Author: Kelaras ijo
last update Last Updated: 2025-04-21 21:22:35

Sosok pria asing itu kini duduk di ruang tamu rumah Bu Darmi. Penampilannya rapi dan terawat, seperti orang kota. Di meja, ia menaruh sebuah map tebal berwarna coklat dan sebuah tas kecil dari kulit hitam.

Bu Darmi menatapnya dalam, sementara Reza dan Ki Harjo berdiri tak jauh dari pintu, memperhatikan dengan penuh rasa curiga.

“Maaf kalau kedatangan saya tiba-tiba, Bu,” ujar pria itu. Suaranya tenang, namun ada nada dingin yang tersembunyi. “Nama saya Arman. Saya peneliti budaya dan sejarah kuno. Saya sudah lama mencari seseorang bernama Darmi… dan sebuah tempat yang disebut Tanah Larangan.”

Ki Harjo menyipitkan mata. “Peneliti budaya, sampeyan bilang? Sampeyan dari mana asale?”

“Dari Jakarta,” jawab Arman. “Tapi saya bukan peneliti biasa. Saya pernah belajar di Leiden dan menelusuri banyak peninggalan masa kolonial di tanah Jawa, termasuk yang berkaitan dengan... hal-hal yang tidak bisa dijelaskan secara logika modern.”

Reza saling pandang dengan Ki Harjo. Perkataan Arman bukan omon
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Related chapters

  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Gerbang Ketiga

    Pagi belum sepenuhnya datang saat Reza mengetuk pintu kamar Ki Harjo dengan napas memburu. Wajahnya pucat, matanya sembab seperti orang habis menangis atau baru terbangun dari mimpi buruk.Ki Harjo membuka pintu, hanya mengenakan kain lusuh yang dililit di pinggang dan selendang kecil di bahu. “Kenapa, Za?”“Gerbang, Ki… Gerbang terakhir itu akan terbuka. Dalam mimpi saya, kakek bilang harus segera dikunci sebelum malam ketiga. Kalau tidak, sesuatu yang lebih besar akan bangkit.”Ki Harjo menatap dalam ke mata Reza. Sorot matanya berubah, seperti mengerti bahwa waktunya telah datang. Tanpa banyak bicara, ia mengambil kain hitam dari atas dipan, lalu memanggil Bu Darmi dari dapur.“Bu, siapkan air doa dan segenggam tanah dari bawah pohon beringin itu,” ujar Ki Harjo.Bu Darmi tak bertanya. Ia hanya mengangguk dan berjalan pelan ke luar rumah, meninggalkan aroma dupa yang samar masih menyelimuti seluruh ruangan.---Perjalanan Kembali ke BukitBeberapa saat kemudian, Arman sudah siap de

    Last Updated : 2025-04-22
  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Malam Ketiga

    Langit sore itu tidak sekadar gelap. Awan bergulung seperti ombak yang murka, menutup sinar mentari dengan lapisan pekat bagai arang. Angin bertiup lebih kencang dari biasanya, membawa aroma logam dan dupa terbakar.Di pelataran rumah Bu Darmi, segala persiapan ritual telah rampung. Sebuah lingkaran besar digambar dengan tepung beras dan garam di tengah halaman. Di dalamnya, terdapat tujuh sesaji: bunga tujuh rupa, ayam cemani yang sudah disembelih, kemenyan, rokok lintingan daun jagung, kue pasar, kendi air dari mata air Gunung Welirang, dan selembar kain putih dari pusaka Ki Harjo.Reza berdiri di tengah lingkaran itu. Tubuhnya gemetar meski ia mencoba terlihat tegar. Di tangannya masih tergenggam surat untuk ibunya, yang baru saja ia titipkan pada Bu Darmi jika nanti ia tak bisa kembali.Di dekatnya, Ki Harjo menyalakan dupa sambil menggumamkan mantra-mantra tua yang hanya dikenal oleh para pemegang ilmu leluhur. Arman berdiri tak jauh di belakang Reza, memegang batu kristal yang k

    Last Updated : 2025-04-23
  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Warisan yang Terbangun

    Pagi itu matahari bersinar cerah, tapi udara di Desa Tunggul Arum tetap terasa dingin. Aneh, seperti sisa-sisa kabut ritual semalam masih menempel di setiap sudut desa. Warga tampak beraktivitas seperti biasa, tapi beberapa di antara mereka diam-diam berbisik-bisik soal suara gamelan dan petir yang terdengar sepanjang malam.Di rumah Bu Darmi, suasana masih tegang. Reza duduk di bale bambu dengan segelas teh jahe di tangannya. Wajahnya letih, namun ada ketenangan baru di matanya. Ki Harjo duduk di depannya, memperhatikan pria tua yang baru datang malam tadi—Wirya.Orang itu tak banyak bicara sejak tadi malam. Hanya memperkenalkan diri lalu diam seribu bahasa, seakan menunggu waktu yang tepat untuk membuka rahasia yang ia bawa.Dan pagi ini, waktunya tiba.Ki Harjo membuka percakapan lebih dulu. “Tadi malam kau menunjukkan lambang yang sama dengan yang tertanam di batu segitiga bukit. Kau siapa sebenarnya?”Wirya menghela napas. Ia membuka bungkusan kain lusuh dari dalam tas kulitnya,

    Last Updated : 2025-04-23
  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Pusaka Leluhur

    Perjalanan menuju makam leluhur Reza dilakukan pagi-pagi buta. Udara masih berkabut tipis, seakan alam pun enggan melepas mereka pergi. Ki Harjo memimpin di depan, membawa kendi kecil berisi air kembang dan seikat daun kelor. Wirya membawa tongkat kayu tua berukir, sementara Reza menggenggam kotak warisan pusaka milik leluhurnya. Bu Darmi ikut di belakang, membawa sesajen kecil dan dupa. Makam itu terletak di pinggir hutan, di sebuah bukit kecil yang jarang dikunjungi warga. Menurut cerita orang-orang tua, tempat itu dulunya merupakan pemakaman para tetua desa, namun lama tak terurus hingga akhirnya tertutup semak dan pohon-pohon liar. Tapi anehnya, satu makam selalu tampak bersih dan tak pernah ditumbuhi rumput: makam Buyut Reksonegoro—kakek buyut Reza. Begitu mereka sampai di depan makam itu, udara terasa lebih berat. Sunyi. Seolah alam menahan napasnya. Ki Harjo menancapkan tongkat kecil di tanah dan mulai membaca doa-doa Jawa Kuno. Wirya menaburkan air bunga tujuh rupa di sekit

    Last Updated : 2025-04-24
  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Tanda dari Leluhur

    Suasana rumah Bu Darmi pagi itu masih terasa berat. Reza belum berkata sepatah kata pun sejak malam tadi. Ia hanya duduk di serambi, menatap kosong ke arah pohon jambu yang daunnya bergoyang pelan ditiup angin pagi.Ki Harjo keluar dari bilik semedinya, langkahnya pelan tapi penuh wibawa. Ia berdiri di belakang Reza, lalu menepuk pundaknya dengan ringan.“Sudah datang, ya?” tanyanya tenang.Reza menoleh pelan. “Ki… tadi malam… ada seseorang. Wajahnya… seperti kakek tua. Tapi bukan manusia biasa. Dia bilang ‘pulang’... hanya itu.”Ki Harjo mengangguk. “Kakek buyutmu, Reza. Ia datang dalam bentuk yang hanya bisa dilihat oleh yang telah ditunjuk. Kau bukan lagi orang biasa. Kau telah membuka pintu yang selama ini tertutup.”Bu Darmi yang datang membawa teh panas pun duduk di sebelah Reza. Wajahnya serius.“Rumah yang dimaksud dalam mimpimu… adalah makamnya,” kata Bu Darmi pelan. “Dan kalau benar dia memintamu datang ke sana… artinya, ada sesuatu yang harus kau ambil. Warisan, bukan dalam

    Last Updated : 2025-04-24
  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Warisan yang Terbangun

    Angin sore di kaki bukit mulai berhembus aneh. Udara terasa lebih dingin, seperti ada sesuatu yang ikut pulang bersama Reza dan Ki Harjo. Meski langit masih cerah, perasaan tak nyaman menyelimuti sepanjang perjalanan turun dari makam leluhur. Reza menggenggam cincin hitam itu erat, sementara kain merah tua disimpan dalam buntalan kecil di tas kanvas lusuh. Tapi entah kenapa, sejak cincin itu masuk ke tangannya… ia merasa seperti dilihat oleh sesuatu dari balik bayang-bayang hutan. “Ki… ada yang ngikutin kita, ya?” tanya Reza pelan, tanpa menoleh ke belakang. Ki Harjo tidak menjawab. Ia hanya meludah ke tanah dan mencubit daun kemuning dari kantong bajunya, lalu mengusapkannya ke tengkuk Reza. “Jangan lihat ke belakang. Jangan ucapkan apapun lagi sebelum sampai rumah Bu Darmi.” Langkah mereka semakin cepat. Tapi suasana sekitar seakan berubah. Bayangan pohon memanjang tak wajar, bunyi daun kering seperti diinjak sesuatu yang tak terlihat, dan udara menjadi pengap… seolah mereka te

    Last Updated : 2025-04-24
  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Ketika Mereka Muncul

    Malam itu, desa seperti dibungkus hawa dingin yang tak biasa. Kabut turun lebih pekat dari biasanya, dan bulan tak tampak meski langit tak berawan. Hening, terlalu hening—seolah seluruh alam menahan napas. Bahkan jangkrik pun enggan bersuara.Dan tepat saat jam menunjukkan pukul dua dini hari, dentuman samar terdengar dari arah rawa.Keesokan harinya, kabar duka mengguncang warga. Pak Samin, pria paruh baya yang terbiasa mencari rumput untuk kambingnya, tidak pulang sejak sore kemarin. Istrinya panik dan melapor ke perangkat desa. Warga pun mengadakan pencarian.Mereka menemukan sabit Pak Samin tergeletak di pinggir rawa, namun tubuhnya tak ditemukan. Anehnya, di sekeliling sabit itu, tanah seperti terbakar… dan jejak rumput menghitam membentuk lingkaran sempurna. Salah satu warga bahkan sempat melihat bekas seretan besar menuju dalam rawa, tapi tak ada bekas kaki manusia.“Kayak ditarik sesuatu yang besar…” gumam warga dengan wajah pucat.Belum habis duka itu, kabar lain menyusul. Se

    Last Updated : 2025-04-24
  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Tanda-Tanda dari Dunia Lain

    Sepekan setelah kunjungan ke makam leluhur Reza, suasana di desa mulai terasa berubah. Langit sering mendung tanpa hujan, kabut turun lebih awal dari biasanya, dan malam terasa lebih panjang dari yang semestinya.Ki Harjo dan Bu Darmi mulai mencium gelagat tidak biasa. Binatang peliharaan mendadak sakit, ayam-ayam bertelur dengan warna darah, dan suara gamelan samar sering terdengar dari arah rawa saat tengah malam.Namun gangguan nyata baru benar-benar terasa saat Pak Sarto, seorang petani yang tiap pagi mencari rumput di ujung barat desa, tak kunjung pulang. Istrinya, Bu Sari, melapor ke balai desa dengan wajah panik. Pencarian dilakukan keesokan harinya. Hasilnya? Nol besar. Yang mereka temukan hanyalah cap kaki yang berhenti tiba-tiba di tengah rerumputan basah, seperti orang itu hilang begitu saja dari dunia nyata.“Ini bukan hilang biasa, Ki…” ujar Bu Darmi pelan sambil menatap Ki Harjo.Ki Harjo mengangguk. “Tirai mereka mulai terbuka…”Beberapa hari kemudian, seorang warga ber

    Last Updated : 2025-04-25

Latest chapter

  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Tawa dari Balik Kabut

    Udara pagi itu terasa jauh lebih dingin dari biasanya. Kabut tipis yang menyelimuti desa seolah menyimpan sesuatu yang belum terungkap. Di balik embun yang menempel di dedaunan dan aroma tanah basah yang menusuk hidung, Reza memandangi sebuah jalur setapak yang jarang dilewati. Di sanalah, konon, segel kedua tersembunyi.Ki Harjo sudah menyiapkan segala sesuatu sejak subuh. Bunga tujuh rupa, dupa, air dari tujuh mata air, dan kain mori yang sebelumnya digunakan untuk membungkus sesaji. Reza, yang kini tampak lebih tenang namun matanya menyiratkan ketegangan, berdiri di samping Bu Darmi yang terus menerus merapal doa.“Perjalanan kali ini tidak seperti yang pertama,” ucap Ki Harjo, sembari menyalakan dupa. “Segel kedua dijaga oleh sesuatu yang tidak bisa kita lawan dengan senjata atau mantra.”Reza menelan ludahnya. “Lalu, dengan apa kita menghadapinya, Ki?”“Keberanian... dan hati yang bersih,” jawab Ki Harjo singkat.Mereka menyusuri jalur setapak yang semakin lama terasa sunyi dan m

  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Tawa dari Balik Kabut

    Pagi itu, udara desa terasa berat. Kabut turun lebih tebal dari biasanya, menyelimuti setiap sudut jalan, ladang, dan pepohonan. Matahari bahkan tampak enggan menampakkan diri. Ki Harjo, Reza, dan Bu Darmi berdiri di depan gerbang kecil menuju makam leluhur yang terletak di tengah hutan keramat. Tak banyak bicara, hanya saling tatap penuh makna. Reza menggenggam erat buntelan kain berisi bunga tujuh rupa dan dupa, sementara Ki Harjo membawa kendi air dan tongkat kayunya. "Kau sudah siap, Le?" tanya Ki Harjo pelan, namun tegas. Reza mengangguk. "Saya siap, Ki." Perjalanan menuju makam tak jauh, namun suasananya berbeda. Angin tak bergerak, tapi dedaunan gemeretak. Suara burung pun lenyap—digantikan bisikan-bisikan lirih dari arah hutan. Saat mereka tiba di pemakaman tua, Reza langsung mengenali nisan kakek buyutnya. Nisan itu berbeda—besar, terbuat dari batu andesit, dan dililit akar pohon beringin kecil. Kabut seakan memusat pada titik itu. Ki Harjo menancapkan tongkatnya ke tana

  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Perjalanan ke Segel Pertama

    Pagi itu, udara terasa lebih berat dari biasanya. Embun di pucuk daun masih belum sempat menguap, saat Ki Harjo sudah berdiri di depan rumah Bu Darmi dengan kain lurik dan ikat kepala hitam. Di tangannya tergenggam tongkat kayu cendana yang sudah terlihat tua, tapi memancarkan aura aneh. Reza keluar dari rumah dengan ransel kecil di punggung, wajahnya tegang tapi tekadnya sudah bulat.“Kita mulai hari ini,” kata Ki Harjo tanpa basa-basi. “Segel pertama terletak di tengah-tengah hutan sebelah timur, di sebuah petilasan tua yang ditutupi akar beringin.”Reza mengangguk. “Apa yang akan kita lakukan di sana?”“Membuka kembali segel yang sudah mengendur. Tapi untuk melakukannya, kita harus melalui ujian. Bukan dari bangsa lelembut… tapi dari tempat itu sendiri.”Perjalanan dimulai. Mereka melewati jalan setapak yang biasa dilalui para petani—tapi semakin jauh ke dalam, semak-semak mulai merapat, pepohonan makin gelap, dan hawa menjadi lembab serta mencekam. Bahkan suara burung pun tak terd

  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Tanda-Tanda dari Dunia Lain

    Sepekan setelah kunjungan ke makam leluhur Reza, suasana di desa mulai terasa berubah. Langit sering mendung tanpa hujan, kabut turun lebih awal dari biasanya, dan malam terasa lebih panjang dari yang semestinya.Ki Harjo dan Bu Darmi mulai mencium gelagat tidak biasa. Binatang peliharaan mendadak sakit, ayam-ayam bertelur dengan warna darah, dan suara gamelan samar sering terdengar dari arah rawa saat tengah malam.Namun gangguan nyata baru benar-benar terasa saat Pak Sarto, seorang petani yang tiap pagi mencari rumput di ujung barat desa, tak kunjung pulang. Istrinya, Bu Sari, melapor ke balai desa dengan wajah panik. Pencarian dilakukan keesokan harinya. Hasilnya? Nol besar. Yang mereka temukan hanyalah cap kaki yang berhenti tiba-tiba di tengah rerumputan basah, seperti orang itu hilang begitu saja dari dunia nyata.“Ini bukan hilang biasa, Ki…” ujar Bu Darmi pelan sambil menatap Ki Harjo.Ki Harjo mengangguk. “Tirai mereka mulai terbuka…”Beberapa hari kemudian, seorang warga ber

  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Ketika Mereka Muncul

    Malam itu, desa seperti dibungkus hawa dingin yang tak biasa. Kabut turun lebih pekat dari biasanya, dan bulan tak tampak meski langit tak berawan. Hening, terlalu hening—seolah seluruh alam menahan napas. Bahkan jangkrik pun enggan bersuara.Dan tepat saat jam menunjukkan pukul dua dini hari, dentuman samar terdengar dari arah rawa.Keesokan harinya, kabar duka mengguncang warga. Pak Samin, pria paruh baya yang terbiasa mencari rumput untuk kambingnya, tidak pulang sejak sore kemarin. Istrinya panik dan melapor ke perangkat desa. Warga pun mengadakan pencarian.Mereka menemukan sabit Pak Samin tergeletak di pinggir rawa, namun tubuhnya tak ditemukan. Anehnya, di sekeliling sabit itu, tanah seperti terbakar… dan jejak rumput menghitam membentuk lingkaran sempurna. Salah satu warga bahkan sempat melihat bekas seretan besar menuju dalam rawa, tapi tak ada bekas kaki manusia.“Kayak ditarik sesuatu yang besar…” gumam warga dengan wajah pucat.Belum habis duka itu, kabar lain menyusul. Se

  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Warisan yang Terbangun

    Angin sore di kaki bukit mulai berhembus aneh. Udara terasa lebih dingin, seperti ada sesuatu yang ikut pulang bersama Reza dan Ki Harjo. Meski langit masih cerah, perasaan tak nyaman menyelimuti sepanjang perjalanan turun dari makam leluhur. Reza menggenggam cincin hitam itu erat, sementara kain merah tua disimpan dalam buntalan kecil di tas kanvas lusuh. Tapi entah kenapa, sejak cincin itu masuk ke tangannya… ia merasa seperti dilihat oleh sesuatu dari balik bayang-bayang hutan. “Ki… ada yang ngikutin kita, ya?” tanya Reza pelan, tanpa menoleh ke belakang. Ki Harjo tidak menjawab. Ia hanya meludah ke tanah dan mencubit daun kemuning dari kantong bajunya, lalu mengusapkannya ke tengkuk Reza. “Jangan lihat ke belakang. Jangan ucapkan apapun lagi sebelum sampai rumah Bu Darmi.” Langkah mereka semakin cepat. Tapi suasana sekitar seakan berubah. Bayangan pohon memanjang tak wajar, bunyi daun kering seperti diinjak sesuatu yang tak terlihat, dan udara menjadi pengap… seolah mereka te

  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Tanda dari Leluhur

    Suasana rumah Bu Darmi pagi itu masih terasa berat. Reza belum berkata sepatah kata pun sejak malam tadi. Ia hanya duduk di serambi, menatap kosong ke arah pohon jambu yang daunnya bergoyang pelan ditiup angin pagi.Ki Harjo keluar dari bilik semedinya, langkahnya pelan tapi penuh wibawa. Ia berdiri di belakang Reza, lalu menepuk pundaknya dengan ringan.“Sudah datang, ya?” tanyanya tenang.Reza menoleh pelan. “Ki… tadi malam… ada seseorang. Wajahnya… seperti kakek tua. Tapi bukan manusia biasa. Dia bilang ‘pulang’... hanya itu.”Ki Harjo mengangguk. “Kakek buyutmu, Reza. Ia datang dalam bentuk yang hanya bisa dilihat oleh yang telah ditunjuk. Kau bukan lagi orang biasa. Kau telah membuka pintu yang selama ini tertutup.”Bu Darmi yang datang membawa teh panas pun duduk di sebelah Reza. Wajahnya serius.“Rumah yang dimaksud dalam mimpimu… adalah makamnya,” kata Bu Darmi pelan. “Dan kalau benar dia memintamu datang ke sana… artinya, ada sesuatu yang harus kau ambil. Warisan, bukan dalam

  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Pusaka Leluhur

    Perjalanan menuju makam leluhur Reza dilakukan pagi-pagi buta. Udara masih berkabut tipis, seakan alam pun enggan melepas mereka pergi. Ki Harjo memimpin di depan, membawa kendi kecil berisi air kembang dan seikat daun kelor. Wirya membawa tongkat kayu tua berukir, sementara Reza menggenggam kotak warisan pusaka milik leluhurnya. Bu Darmi ikut di belakang, membawa sesajen kecil dan dupa. Makam itu terletak di pinggir hutan, di sebuah bukit kecil yang jarang dikunjungi warga. Menurut cerita orang-orang tua, tempat itu dulunya merupakan pemakaman para tetua desa, namun lama tak terurus hingga akhirnya tertutup semak dan pohon-pohon liar. Tapi anehnya, satu makam selalu tampak bersih dan tak pernah ditumbuhi rumput: makam Buyut Reksonegoro—kakek buyut Reza. Begitu mereka sampai di depan makam itu, udara terasa lebih berat. Sunyi. Seolah alam menahan napasnya. Ki Harjo menancapkan tongkat kecil di tanah dan mulai membaca doa-doa Jawa Kuno. Wirya menaburkan air bunga tujuh rupa di sekit

  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Warisan yang Terbangun

    Pagi itu matahari bersinar cerah, tapi udara di Desa Tunggul Arum tetap terasa dingin. Aneh, seperti sisa-sisa kabut ritual semalam masih menempel di setiap sudut desa. Warga tampak beraktivitas seperti biasa, tapi beberapa di antara mereka diam-diam berbisik-bisik soal suara gamelan dan petir yang terdengar sepanjang malam.Di rumah Bu Darmi, suasana masih tegang. Reza duduk di bale bambu dengan segelas teh jahe di tangannya. Wajahnya letih, namun ada ketenangan baru di matanya. Ki Harjo duduk di depannya, memperhatikan pria tua yang baru datang malam tadi—Wirya.Orang itu tak banyak bicara sejak tadi malam. Hanya memperkenalkan diri lalu diam seribu bahasa, seakan menunggu waktu yang tepat untuk membuka rahasia yang ia bawa.Dan pagi ini, waktunya tiba.Ki Harjo membuka percakapan lebih dulu. “Tadi malam kau menunjukkan lambang yang sama dengan yang tertanam di batu segitiga bukit. Kau siapa sebenarnya?”Wirya menghela napas. Ia membuka bungkusan kain lusuh dari dalam tas kulitnya,

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status