“Aku harus segera pergi dari sini, tapi di mana letak hutan itu?” tanyanya pada diri sendiri. Arif sudah tidak ambil pusing dengan keadaan di sekitarnya yang terasa janggal.
Suasana hutan saat itu terasa sepi, tiba-tiba awan menjadi mendung di siang hari. Arif teringat peringatan Mbah Mijan.
“Hanya malam Jumat Kliwon, tepat di hari Kamis Legi. Waktu itu, Desa Srengege akan muncul.” Saat itu, Arif merasa jantungnya berdebar, teringat betapa pentingnya malam itu. Dia bertanya-tanya mengapa hanya malam tertentu desa itu bisa ditemukan, dan apa yang menunggu di dalam kegelapan.
Arif teringat kembali kata-kata Mbah Mijan. “Desa itu terperangkap dalam dimensi lain,” kata Mbah Mijan terbayang di benaknya.
“Hanya pada malam itu, gerbang menuju Srengege terbuka.” Arif merasakan keraguan menghampiri. Bagaimana jika dia terjebak di tempat itu selamanya?
Mendengar suara gemerisik di semak-semak, Arif menahan napas. Dia mengedarkan pandangan, berusaha menemukan sumber suara itu, ketika tiba-tiba seorang pemuda muncul dari kegelapan. Pemuda itu berambut panjang dan berwajah pucat, dengan tatapan tajam penuh misteri.
“Kau terlihat seperti seseorang yang baru saja kehilangan arah,” katanya, suaranya rendah namun tegas.
“Siapa kau?” tanya Arif, yang masih belum jelas melihat wajahnya.
“Aku Dimas, Arif,” jawabnya sambil tersenyum sinis.
“Aku juga mencari desa yang kau cari. Srengege, bukan?” ujarnya. Arif teringat saat Dimas menyapanya lalu hilang begitu saja; dalam hatinya ada keraguan mendalam.
‘Kenapa wajahnya pucat, bahkan dia tampak berbeda dengan Dimas yang aku kenal?’ tanyanya dalam hati. ‘Sudahlah, siapapun dia, saat ini aku butuh teman,’ lanjutnya membatin.
Sebenarnya, kehadiran dan kata-kata Dimas membuat Arif merinding. Bagaimana pemuda itu bisa tahu tujuannya? Hanya kondisi yang sangat mendesak membuat Arif menutup semua perasaan itu.
“Apa kau tahu di mana desa itu?” tanya Arif penuh harapan.
“Belum, tapi aku tahu satu atau dua hal tentang tempat ini,” jawab Dimas, ekspresinya serius.
“Ada sesuatu yang gelap mengintai di balik kegelapan. Banyak yang datang ke sini, tetapi tidak semua kembali.” Dimas mengelilingi Arif sambil bersuara pelan dan penuh misteri, sesekali berbisik menegangkan.
Arif merasakan ketakutan menyusup ke dalam jiwanya. “Mbah Mijan bilang ada yang menunggu di sana. Apakah kau tahu apa yang dimaksud?”
“Ya,” jawab Dimas, suaranya menegaskan.
“Sesuatu yang sangat kuat. Mereka yang mencari kekayaan sering kali dihadapkan pada pilihan yang mengerikan.” Dimas menjelaskan, seolah mengambarkan suasana di desa itu.
Arif menelan saliva, wajahnya memucat. Bahkan dia sadar saat ini di udara yang dingin karena matahari tertutup mendung bisa membuatnya berkeringat dingin. Tapi teringat kembali dengan pertikaian yang membuat orang tuanya dipermalukan oleh keluarganya sendiri.
“Tapi aku harus pergi! Ini satu-satunya kesempatan untuk mengubah hidupku!” Arif merasakan kemarahan dan ketakutan berbaur.
Dimas menatapnya dalam-dalam. “Baiklah, tetapi jika kau pergi, kau harus siap untuk menghadapi apa pun yang ada di depan. Dan ingat, tidak semua yang tampak seperti teman adalah teman.”
“Aku mengerti. Mari kita pergi bersama,” Arif menjawab, memutuskan untuk mempercayai pemuda yang dia kenal tapi tampak berbeda dan misterius. Mereka mulai melangkah, menjelajahi kegelapan hutan yang semakin menakutkan.
Namun, saat mereka berjalan, suara-suara aneh mulai terdengar di sekitar mereka. Suara bisikan, seolah-olah hutan itu hidup dan menyaksikan setiap gerakan mereka. Dimas berhenti dan menoleh ke arah Arif dengan ekspresi serius.
“Kita tidak sendiri. Sesuatu mengawasi kita.” Arif menelan saliva lagi, mendengar kata-kata Dimas, bahkan wajah Dimas yang pucat lebih menyeramkan saat megatakan hal itu. Jantung Arif berdetak lebih cepat.
“Apa maksudmu?” tanyanya, Arif merasakan kepanikan mulai menjalar.
“Kau harus bersiap. Keputusan yang kau ambil bisa membawamu ke kegelapan yang lebih dalam,” jawab Dimas, tatapannya beralih ke bayangan di antara pepohonan.
“Ikuti instruksiku, dan jangan lupakan kata-kataku.” Arif mengangguk mendengarkan kalimat Dimas yang selanjutnya.
Sebelum Arif bisa menjawab, suara gemerisik semakin mendekat. Dari balik semak-semak, sepasang mata menyala muncul, menatap mereka dengan tajam. Arif merasa darahnya membeku, dan ketakutan mengalir di seluruh tubuhnya.
“Apa itu?” Arif berbisik, tak bisa mengalihkan pandangannya dari mata-mata itu.
Dimas menarik Arif ke belakang, melindunginya. “Jangan bergerak. Apa pun yang kau lakukan, jangan tunjukkan ketakutanmu.”
Kegelapan semakin mendekat, suara-suara aneh semakin keras, menambah rasa cemas yang menggantung di udara. Arif merasakan perasaan tak terlukiskan bahwa mereka telah memasuki wilayah yang tidak seharusnya mereka masuki.
Dengan bayangan yang semakin dekat dan misteri yang menunggu untuk terungkap, Arif dan Dimas berhadapan dengan ketakutan yang mengintai.
Dalam hati Arif mulai bertanya-tanya. ‘Apakah Kami akan menemukan desa itu, ataukah kami akan menjadi bagian dari kegelapan yang selama ini aku coba hindari?’
“Bagaimana? Apakah aku sudah bisa bergerak?” tanya Arif berbisik, dia berusaha mengontrol rasa takutnya. Sampai angin bertiup kencang, dan membuat para nokturnal kegelapan itu terbang dan berlarian. Arif langsung lemas sambil mengumpat kesal. “Sialan! Aku pikir tadi itu apa? Ternyata kelelawar dan burung hantu!” Mereka terus menyusuri hutan tanpa henti, bahkan siang dan malam tidak terasa saat ini, ditutup oleh rimbunnya pohon yang menjulang tinggi menutup langit. Hingga hari berganti, Arif masih berjuang melawan kelelahan di tengah hutan yang semakin suram. Setiap langkah terasa semakin berat, seiring rasa putus asa menggerogoti hatinya. "Dimas, kita sudah berjalan jauh. Apakah kau yakin kita berada di jalur yang benar?" tanya Arif, suaranya bergetar oleh keletihan. Dimas menghentikan langkah, meneliti sekeliling. "Seharusnya kita sudah dekat. Tapi ada sesuatu yang tidak beres di sini," jawabnya, mata Dimas menyusuri bayangan pohon-pohon rimbun. Suara-suara aneh mulai men
“Kamu akan tahu, setelah sampai di sana. Temui Mbah Niah, dia yang akan menuntunmu selanjutnya.” Mbah Mijan setelahnya tertawa, lalu melanjutkan kata-katanya lagi. “Kamu hanya perlu ke Dusun Misahan sebelum jam 2.00 malam dini hari kalian harus segera keluar dari tempat itu, Desa Srengege hanya akan terbuka malam ini, di arah tenggelamnya matahari batas Dusun Misahan. Ingat, tidak dapat berbalik lagi jika kamu sudah sampai di sana,” ujarnya dengan mata yang tajam.Saat Arif melihat jam di pergelangan tangannya, waktu sudah sangat terbatas. Arif kembali ingin berbicara dengan Mbah Mijan. “Tapi, Mbah....” Arif terdiam melihat sosok Mbah Mijan yang menghilang. Dengan wajah panik, Arif langsung mengajak Dimas sambil menarik pria itu bersamanya, “Kita harus bergegas, sudah tidak ada waktu. Saat ini sudah menunjukkan hampir jam 12 malam.”Akhirnya, Arif dan Dimas melanjutkan perjalanan ke Desa Misahan, terjebak dalam suasana malam yang kelam. Setiap langkah terasa berat, tertekan oleh
“Rif, kamu yakin? Kalau kita nanti terlambat keluar bagaimana? Kamu lihat di sana, pedagangnya masih muda, tidak ada yang seperti mbah-mbah,” ujar Dimas mengingatkan. Sampai saat ini tubuh Dimas masih tetap terlihat pucat dan ketakutan, dia ingin Arif berpikir masak-masak sebelum melewati altar menuju pasar desa Srengege. “Ayolah, kalau kamu tidak yakin aku saja yang akan ke sana. Mungkin dia memang awet muda walau usianya sudah tua. Sudah terlalu banyak hal aneh yang aku alami, jadi ini menurutku biasa saja. Ini jalanku, Dim, aku mau ke sana.” Arif melangkah menuju tempat itu tanpa menghiraukan Dimas mau lanjut bersamanya atau berpisah di tempat itu saat ini. Dimas terdiam, sampai Arif benar-benar mau melangkah masuk. “Tunggu, Rif,” ujar Dimas yang menyusul sambil berlari. Mereka akhirnya memasuki sebuah gerbang bercahaya yang ditunjukkan oleh wanita tua. Terlihat sosok wanita muda yang selalu dipanggil Mbah Niah oleh para pembelinya. Arif terkejut saat wanita itu menatapnya ta
“Arif!” Suara Sungkai Mahoni terdengar melengking dari luar rumah. "Buat malu Ayah saja! Kamu selalu jadi bahan cerita di keluarga," omel Sungkai begitu masuk ke rumah. Dia menutup pintu dengan keras. Malam itu, langit di Desa Misahan berwarna kelam. Awan tebal menggantung rendah menandakan datangnya hujan. Suara cicada melengking di udara, dan menciptakan suasana tegang yang menyelimuti rumah Arif. "Ada apa, Yah?" tanya Misna Bengkirai, ibunya Arif. Ayahnya kemudian bercerita panjang lebar sambil meremas rambutnya. Di ruang tamu yang sempit, Arif berusaha mencuri dengar pokok permasalahan yang membuat ayahnya marah-marah. Sungkai duduk bersama istrinya. "Tanya sama anakmu! Dia selalu bikin malu saja! Dia mau melamar Lila Cendana, tapi nggak punya pekerjaan."Arif menghela napas. Dia menahan emosinya."Untung saja yang menegurku mas Bintan Mahoni, kakakku yang kaya dan pelit itu. Malu! malu! Mau ditaruh di mana wajah Ayah?!"Keluhan Sungkai memancing emosi Misna. "Kamu ini
“Mungkin itu perasaanku saja, karena melamun merasa Dimas lewat,” gumamnya lagi menenangkan diri. Arif terus berjalan di suasana malam yang sepi, membuatnya merasa seolah-olah dunia hanya miliknya. Kebebasan yang sudah lama terpendam mengalir dalam nadinya, tetapi ketakutan akan masa depan menghantuinya. Dia tahu bahwa melangkah pergi bukanlah keputusan yang mudah, namun rasa terpuruk yang selama ini menggerogoti hatinya membuatnya tak lagi mampu bertahan. “Seandainya aku tidak bercerita dengan Gibran, pasti orang tuaku tidak akan semalu ini,” sesalnya lagi sembari mengembuskan napas. Hingga Arif tersadar bahwa saat ini dia berada antara batas desa dan hutan di Misahan. Perasaan ragu kembali menghampirinya saat akan melangkah masuk ke dalam hutan, dia merasakan kegelapan di sekelilingnya. Bayangan pohon-pohon besar menakutkan di bawah cahaya bulan. “Apa yang bisa terjadi jika aku pergi ke sana?” tanyanya, bergumul dengan rasa ingin tahunya. Rasa takutnya bercampur dengan har
Arif merasa seolah hutan ini bukan hanya sekadar tempat biasa, melainkan labirin berbahaya. Tentunya penuh dengan rahasia yang tak terungkap. Dia berusaha untuk kembali ke jalan yang dia lewati. Namun, setiap langkah terasa salah. Bayangan di sekelilingnya bergerak semakin dekat, membuatnya merinding. Ssshhh!Suara desisan itu terdengar lagi, membuat mata Arif membelalak. Bahkan degup jantungnya berderu kencang sampai terdengar di telinga. Srek! Srek!Ditambah suara langkah kaki yang beriringan dengan desisan semakin menggema di telinga Arif.Arif mulai berlari. Dia terjerembab dalam semak-semak, mencoba menemukan arah pulang. Hatinya berdebar kencang, setiap detak jantungnya menggema dalam kesunyian malam. Saat dia berlari, suara langkah kaki di belakangnya semakin mendekat, seolah-olah mengikutinya. “Apa ini?!” teriaknya, tetapi suaranya seolah hilang ditelan kegelapan. Dalam kepanikannya, Arif melihat ke belakang. Ada bayangan besar muncul di antara pepohonan. Sesuatu yang
“Siapa kamu?!” teriak Arif yang setelahnya kegelapan dan kabut itu menghilang.Tidak lama hawa dingin menggigit kulit Arif saat dia berdiri di tengah Desa Kandang Bubrah, sebuah tempat yang menyimpan aura misterius. Di sekitar, bangunan-bangunan dengan arsitektur indah namun tampak terlupakan memberikan kesan seolah waktu telah berhenti di sini. “Di mana ini?” bisiknya, menatap sekeliling dengan penuh rasa ingin tahu dan ketakutan. Arif mendekati sebuah bangunan setengah hancur di dekatnya, tiba-tiba suara mendesis memecah keheningan. Ssshhh!Dia berbalik, dan dari kegelapan, sosok seorang pria tua muncul. Pria itu berpakaian loreng merah-hitam. Wajahnya keriput, tetapi matanya berbinar penuh makna, menyimpan rahasia yang tak terkatakan. “Ah, anak muda. Kau terlihat bingung.” Pria dengan perkiraan usia 80 tahun itu menghampiri Arif. “Aku Mijan Trembesi. Apa tujuan kamu kemari? Pasti ingin mengubah nasibmu!” Suara Mbah Mijan menggema, membawa rasa keinginan sekaligus ancaman.