“Aku harus segera pergi dari sini, tapi di mana letak hutan itu?” tanyanya pada diri sendiri. Arif sudah tidak ambil pusing dengan keadaan di sekitarnya yang terasa janggal.
Suasana hutan saat itu terasa sepi, tiba-tiba awan menjadi mendung di siang hari. Arif teringat peringatan Mbah Mijan.
“Hanya malam Jumat Kliwon, tepat di hari Kamis Legi. Waktu itu, Desa Srengege akan muncul.” Saat itu, Arif merasa jantungnya berdebar, teringat betapa pentingnya malam itu. Dia bertanya-tanya mengapa hanya malam tertentu desa itu bisa ditemukan, dan apa yang menunggu di dalam kegelapan.
Arif teringat kembali kata-kata Mbah Mijan. “Desa itu terperangkap dalam dimensi lain,” kata Mbah Mijan terbayang di benaknya.
“Hanya pada malam itu, gerbang menuju Srengege terbuka.” Arif merasakan keraguan menghampiri. Bagaimana jika dia terjebak di tempat itu selamanya?
Mendengar suara gemerisik di semak-semak, Arif menahan napas. Dia mengedarkan pandangan, berusaha menemukan sumber suara itu, ketika tiba-tiba seorang pemuda muncul dari kegelapan. Pemuda itu berambut panjang dan berwajah pucat, dengan tatapan tajam penuh misteri.
“Kau terlihat seperti seseorang yang baru saja kehilangan arah,” katanya, suaranya rendah namun tegas.
“Siapa kau?” tanya Arif, yang masih belum jelas melihat wajahnya.
“Aku Dimas, Arif,” jawabnya sambil tersenyum sinis.
“Aku juga mencari desa yang kau cari. Srengege, bukan?” ujarnya. Arif teringat saat Dimas menyapanya lalu hilang begitu saja; dalam hatinya ada keraguan mendalam.
‘Kenapa wajahnya pucat, bahkan dia tampak berbeda dengan Dimas yang aku kenal?’ tanyanya dalam hati. ‘Sudahlah, siapapun dia, saat ini aku butuh teman,’ lanjutnya membatin.
Sebenarnya, kehadiran dan kata-kata Dimas membuat Arif merinding. Bagaimana pemuda itu bisa tahu tujuannya? Hanya kondisi yang sangat mendesak membuat Arif menutup semua perasaan itu.
“Apa kau tahu di mana desa itu?” tanya Arif penuh harapan.
“Belum, tapi aku tahu satu atau dua hal tentang tempat ini,” jawab Dimas, ekspresinya serius.
“Ada sesuatu yang gelap mengintai di balik kegelapan. Banyak yang datang ke sini, tetapi tidak semua kembali.” Dimas mengelilingi Arif sambil bersuara pelan dan penuh misteri, sesekali berbisik menegangkan.
Arif merasakan ketakutan menyusup ke dalam jiwanya. “Mbah Mijan bilang ada yang menunggu di sana. Apakah kau tahu apa yang dimaksud?”
“Ya,” jawab Dimas, suaranya menegaskan.
“Sesuatu yang sangat kuat. Mereka yang mencari kekayaan sering kali dihadapkan pada pilihan yang mengerikan.” Dimas menjelaskan, seolah mengambarkan suasana di desa itu.
Arif menelan saliva, wajahnya memucat. Bahkan dia sadar saat ini di udara yang dingin karena matahari tertutup mendung bisa membuatnya berkeringat dingin. Tapi teringat kembali dengan pertikaian yang membuat orang tuanya dipermalukan oleh keluarganya sendiri.
“Tapi aku harus pergi! Ini satu-satunya kesempatan untuk mengubah hidupku!” Arif merasakan kemarahan dan ketakutan berbaur.
Dimas menatapnya dalam-dalam. “Baiklah, tetapi jika kau pergi, kau harus siap untuk menghadapi apa pun yang ada di depan. Dan ingat, tidak semua yang tampak seperti teman adalah teman.”
“Aku mengerti. Mari kita pergi bersama,” Arif menjawab, memutuskan untuk mempercayai pemuda yang dia kenal tapi tampak berbeda dan misterius. Mereka mulai melangkah, menjelajahi kegelapan hutan yang semakin menakutkan.
Namun, saat mereka berjalan, suara-suara aneh mulai terdengar di sekitar mereka. Suara bisikan, seolah-olah hutan itu hidup dan menyaksikan setiap gerakan mereka. Dimas berhenti dan menoleh ke arah Arif dengan ekspresi serius.
“Kita tidak sendiri. Sesuatu mengawasi kita.” Arif menelan saliva lagi, mendengar kata-kata Dimas, bahkan wajah Dimas yang pucat lebih menyeramkan saat megatakan hal itu. Jantung Arif berdetak lebih cepat.
“Apa maksudmu?” tanyanya, Arif merasakan kepanikan mulai menjalar.
“Kau harus bersiap. Keputusan yang kau ambil bisa membawamu ke kegelapan yang lebih dalam,” jawab Dimas, tatapannya beralih ke bayangan di antara pepohonan.
“Ikuti instruksiku, dan jangan lupakan kata-kataku.” Arif mengangguk mendengarkan kalimat Dimas yang selanjutnya.
Sebelum Arif bisa menjawab, suara gemerisik semakin mendekat. Dari balik semak-semak, sepasang mata menyala muncul, menatap mereka dengan tajam. Arif merasa darahnya membeku, dan ketakutan mengalir di seluruh tubuhnya.
“Apa itu?” Arif berbisik, tak bisa mengalihkan pandangannya dari mata-mata itu.
Dimas menarik Arif ke belakang, melindunginya. “Jangan bergerak. Apa pun yang kau lakukan, jangan tunjukkan ketakutanmu.”
Kegelapan semakin mendekat, suara-suara aneh semakin keras, menambah rasa cemas yang menggantung di udara. Arif merasakan perasaan tak terlukiskan bahwa mereka telah memasuki wilayah yang tidak seharusnya mereka masuki.
Dengan bayangan yang semakin dekat dan misteri yang menunggu untuk terungkap, Arif dan Dimas berhadapan dengan ketakutan yang mengintai.
Dalam hati Arif mulai bertanya-tanya. ‘Apakah Kami akan menemukan desa itu, ataukah kami akan menjadi bagian dari kegelapan yang selama ini aku coba hindari?’
“Bagaimana? Apakah aku sudah bisa bergerak?” tanya Arif berbisik, dia berusaha mengontrol rasa takutnya. Sampai angin bertiup kencang, dan membuat para nokturnal kegelapan itu terbang dan berlarian. Arif langsung lemas sambil mengumpat kesal. “Sialan! Aku pikir tadi itu apa? Ternyata kelelawar dan burung hantu!” Mereka terus menyusuri hutan tanpa henti, bahkan siang dan malam tidak terasa saat ini, ditutup oleh rimbunnya pohon yang menjulang tinggi menutup langit. Hingga hari berganti, Arif masih berjuang melawan kelelahan di tengah hutan yang semakin suram. Setiap langkah terasa semakin berat, seiring rasa putus asa menggerogoti hatinya. "Dimas, kita sudah berjalan jauh. Apakah kau yakin kita berada di jalur yang benar?" tanya Arif, suaranya bergetar oleh keletihan. Dimas menghentikan langkah, meneliti sekeliling. "Seharusnya kita sudah dekat. Tapi ada sesuatu yang tidak beres di sini," jawabnya, mata Dimas menyusuri bayangan pohon-pohon rimbun. Suara-suara aneh mulai men
“Kamu akan tahu, setelah sampai di sana. Temui Mbah Niah, dia yang akan menuntunmu selanjutnya.” Mbah Mijan setelahnya tertawa, lalu melanjutkan kata-katanya lagi. “Kamu hanya perlu ke Dusun Misahan sebelum jam 2.00 malam dini hari kalian harus segera keluar dari tempat itu, Desa Srengege hanya akan terbuka malam ini, di arah tenggelamnya matahari batas Dusun Misahan. Ingat, tidak dapat berbalik lagi jika kamu sudah sampai di sana,” ujarnya dengan mata yang tajam.Saat Arif melihat jam di pergelangan tangannya, waktu sudah sangat terbatas. Arif kembali ingin berbicara dengan Mbah Mijan. “Tapi, Mbah....” Arif terdiam melihat sosok Mbah Mijan yang menghilang. Dengan wajah panik, Arif langsung mengajak Dimas sambil menarik pria itu bersamanya, “Kita harus bergegas, sudah tidak ada waktu. Saat ini sudah menunjukkan hampir jam 12 malam.”Akhirnya, Arif dan Dimas melanjutkan perjalanan ke Desa Misahan, terjebak dalam suasana malam yang kelam. Setiap langkah terasa berat, tertekan oleh
“Rif, kamu yakin? Kalau kita nanti terlambat keluar bagaimana? Kamu lihat di sana, pedagangnya masih muda, tidak ada yang seperti mbah-mbah,” ujar Dimas mengingatkan. Sampai saat ini tubuh Dimas masih tetap terlihat pucat dan ketakutan, dia ingin Arif berpikir masak-masak sebelum melewati altar menuju pasar desa Srengege. “Ayolah, kalau kamu tidak yakin aku saja yang akan ke sana. Mungkin dia memang awet muda walau usianya sudah tua. Sudah terlalu banyak hal aneh yang aku alami, jadi ini menurutku biasa saja. Ini jalanku, Dim, aku mau ke sana.” Arif melangkah menuju tempat itu tanpa menghiraukan Dimas mau lanjut bersamanya atau berpisah di tempat itu saat ini. Dimas terdiam, sampai Arif benar-benar mau melangkah masuk. “Tunggu, Rif,” ujar Dimas yang menyusul sambil berlari. Mereka akhirnya memasuki sebuah gerbang bercahaya yang ditunjukkan oleh wanita tua. Terlihat sosok wanita muda yang selalu dipanggil Mbah Niah oleh para pembelinya. Arif terkejut saat wanita itu menatapnya ta
"Kamu harus kuat, Dim, kita cari air. Tapi waktunya sudah semakin sedikit!" Arif berteriak dengan napas yang tersengal, mengguncang keheningan malam. Dia memapah tubuh Dimas yang terluka, setengah terbata-bata. Mereka terus berjalan, namun langkah mereka semakin berat, dan waktu terasa semakin sempit.Dimas hanya bisa mengangguk lemah. Wajahnya pucat, darah mengalir dari luka-luka yang menembus kulitnya. Keringat membasahi dahinya. Arif bisa merasakan betapa tubuh Dimas mulai goyah, tak kuasa menopang dirinya sendiri. Mereka sudah terlalu jauh ke dalam hutan, jauh dari perkampungan, dan semakin jauh dari harapan."Arif... aku merasa pusing," suara Dimas teredam oleh bisikan angin yang semakin berembus kencang. Tubuhnya limbung, dan kaki-kakinya hampir tidak bisa menahan beban."Jangan jatuh, Dim!" Arif hampir berteriak, menahan tubuh Dimas yang nyaris terjatuh. "Kita harus bertahan... Bertahan sedikit lebih lama."Arif bisa merasakan nafasnya yang semakin terengah. Setiap langkahnya te
"Apa yang terjadi, Arif? Kau… kau hilang selama seminggu!" Suara Ibu menggema dalam rumah yang hening. Arif berdiri di ambang pintu, mata kosong dan penuh kekhawatiran.Tangannya memegang erat persyaratan yang diberikan Mbah Mijan minyak fambo, kemeyan madu, bunga setaman, dua kain mori dari makam keramat. Semua itu terasa seperti mimpi buruk yang menyatu dengan kenyataan. Dia baru saja kembali dari sebuah tempat yang lebih mengerikan daripada yang bisa dibayangkan siapa pun."Satu minggu? Rasanya lebih lama dari itu, Bu." Arif menjawab, suaranya serak, hampir tak mengenali dirinya sendiri.Ibu menatapnya bingung, seakan mencari jawaban di mata Arif yang kini lebih kelam. "Kau tampak berbeda. Apa yang terjadi padamu?"Arif hanya terdiam. Kepalanya penuh dengan gambar-gambar gelap, dengan suara-suara bisikan yang tidak bisa dia lupakan. Sosok-sosok di hutan, tangan dingin yang menariknya jatuh, suara Mbah Mijan yang terdengar lebih menyeramkan dari sebelumnya. Semua itu mencekamnya, mem
"Ada apa, Nek? Kenapa pucat begitu?" tanya Arif ketika melihat wajah Bunyu Mahoni yang tampak lebih pucat dari biasanya. Tubuh neneknya gemetar, tangannya mencengkeram ujung selimut dengan kekuatan yang tersisa."Aku mimpi buruk, Rif... rumah kita... ada api besar, tapi bukan api biasa..." suara Bunyu parau, hampir tak terdengar. Matanya yang keruh menatap Arif dengan sorot penuh ketakutan.Arif menggeleng, mencoba menyangkal. "Ah, itu cuma mimpi, Nek. Jangan dipikirkan." Tapi dadanya terasa berat, seolah ada batu yang menghimpit. Pikiran itu tak mudah diabaikan. Dia mengedarkan pandangannya ke sekitar rumah, merasakan hawa yang berbeda. Lebih dingin, lebih gelap.Bunyu batuk kecil, suaranya pecah. "Hati-hati, Rif... ada yang tak beres. Rasanya seperti ada sesuatu... di sini."Malam itu, meski tubuhnya lelah, pikiran Arif tidak bisa tenang. Setiap bayangan di sudut ruangan terasa hidup, seperti mata-mata yang mengawasi. Namun, dia menepis ketakutan itu. Mbah Mijan sudah menjelaskan s
Arif berjalan mondar-mandir di ruang tamu, matanya tertuju pada lembaran-lembaran kontrak yang telah ia tandatangani dengan Mbah Mijan. Sesuatu dalam dirinya meronta, merasakan kegelisahan yang kian menumpuk, meskipun kekayaan yang ia dambakan mulai mengalir deras. Rumahnya kini terlihat lebih megah, dengan renovasi yang terus berjalan tanpa henti. Namun, meski tampak sejahtera, perasaan cemas itu tidak juga hilang.“Rif, sudah waktunya makan,” panggil ibunya dari dapur. Suaranya serak, masih penuh kelelahan setelah beberapa hari terakhir yang penuh kekacauan, menyusul kematian mendadak nenek Bunyu. Arif mengangguk pelan tanpa mengalihkan pandangannya dari pintu depan rumah, seolah berharap sesuatu akan muncul di baliknya.Arif teringat akan mimpinya semalam, wajah nenek Bunyu yang penuh luka dan penderitaan. Tawa yang mengerikan itu masih terngiang di telinganya, seolah memperingatkan bahwa jalan yang dia pilih bukanlah jalan yang benar. Tetapi, Arif tidak bisa mundur lagi. Semuanya t
Arif berdiri mematung di halaman belakang, pandangannya tak bisa lepas dari jendela rumahnya yang gelap. Sosok itu masih berdiri di sana, memandangnya dengan mata merah menyala. Meskipun dia tahu dirinya tak salah lihat, bagian dalam dirinya bagian yang rasional berusaha membujuknya bahwa itu hanya imajinasinya saja.Perasaan aneh semakin menguasai dirinya. Arif merasa seperti ada yang memerintahkannya untuk melakukan sesuatu, sesuatu yang tidak bisa Arif jelaskan. Dalam kebingungannya, Arif berbalik dan melangkah cepat ke dalam rumah, membanting pintu belakang dengan keras. Nafasnya terengah-engah, dan tubuhnya gemetar.“Siapa... siapa itu?” bisiknya, meskipun tahu tak ada jawaban yang akan datang.Tiba-tiba, suara ketukan di jendela depan terdengar jelas. Suara itu membuat hatinya hampir melompat keluar dari dadanya. Arif segera berjalan menuju jendela dengan langkah ragu-ragu, tangan gemetar saat Arif meraih tirainya. Dengan sekali tarik, Arif membuka tirai itu dan jantungnya hampi
“Tapi, Ustadz! Kita tidak bisa membiarkan Dimas begitu saja!” bentak Jatinegara. “Dia masih bisa diselamatkan! Aku yakin dia masih ada di sana!”Wina, yang sejak tadi diam, akhirnya berbicara. “Dia memang masih ada… tapi bukan sebagai manusia lagi.”Semua orang menoleh ke arahnya. Wina menghela napas panjang. “Aku sudah mengatakan sebelumnya. Hutan Srengege sudah mengklaim Dimas. Jika kita memaksanya untuk tetap berada di dunia manusia, hutan ini akan terus menuntut korban lain.”Lila menggeleng keras. “Tidak! Aku tidak percaya itu! Dimas bukan milik mereka! Dia masih bisa kembali, sama seperti Arif—”“Tapi Arif tidak pernah kembali,” potong Wina. Suaranya datar, tapi penuh ketegasan. “Yang kita lihat selama ini hanyalah pantulan dari dirinya, bukan Arif yang sebenarnya. Sama seperti Dimas sekarang.”
Mereka memutuskan untuk bergerak cepat. Waktu tidak berpihak kepada mereka, dan semakin lama mereka menunggu, semakin kecil kemungkinan mereka menemukan Dimas dalam keadaan utuh.Perjalanan menuju Hutan Srengege terasa lebih berat kali ini. Kabut tipis mulai turun, menciptakan bayangan aneh di antara pepohonan. Udara semakin dingin, dan suara-suara asing mulai terdengar di kejauhan—bisikan samar yang tidak bisa mereka pahami.“Berhati-hatilah,” Ustadz Harman mengingatkan. “Hutan ini bukan sekadar tempat biasa.”Lila menggenggam liontin di lehernya erat-erat, berharap benda itu masih bisa melindunginya dan Jatinegara. Jatinegara berjalan di sampingnya, menggenggam senter dengan tangan yang sedikit gemetar.Setelah beberapa saat berjalan, mereka tiba di batas hutan, tempat di mana semuanya selalu terasa berbeda.Dan kali ini, mereka tidak sendirian. Di
“Hutan memilih sendiri,” lanjut Arif. “Dan Dimas… dia sudah dipilih sejak lama. Kau bisa merasakannya, bukan? Sejak dia kembali, ada sesuatu yang berbeda darinya.”Wina menggigit bibirnya. Ia memang merasakan ada sesuatu yang aneh pada Dimas sejak mereka kembali berurusan dengan semua ini. Tapi ia selalu menganggap itu hanya kelelahan atau trauma akibat kejadian sebelumnya.Kini, semuanya terasa masuk akal. Dimas bukan lagi manusia sepenuhnya. Dan selama dia tetap berada di dunia ini, keseimbangan akan terus terganggu.Wina merasakan tubuhnya ditarik kembali. Ia ingin bertanya lebih banyak kepada Arif, tapi semuanya tiba-tiba menjadi kabur. Kabut yang mengelilinginya semakin pekat, dan suara Arif semakin jauh.“Wina… kembalikan dia sebelum semuanya terlambat…” Lalu, semuanya menghilang.Wina terbangun dengan napas tersengal
Lila bisa merasakan betapa beratnya beban yang kini dipikul oleh Wina. Bagaimana bisa seorang anak tumbuh tanpa hak untuk menikah, tanpa kesempatan untuk memilih jalannya sendiri?Namun, sebelum ada yang bisa bertanya lebih lanjut, suara gemuruh terdengar dari kejauhan.Jantung Lila berdetak lebih cepat. “Apa itu?”Danyang menatap ke arah desa dengan mata yang semakin kelam. “Teror belum berakhir.”Mereka semua menoleh ke arah desa, dan saat itulah mereka melihatnya.Di kejauhan, tepat di tengah desa, tampak bayangan hitam besar berdiri di antara rumah-rumah. Makhluk itu lebih besar dari manusia biasa, dengan tubuh yang bergetar seperti asap pekat. Matanya menyala merah, dan suaranya terdengar seperti geraman dari dunia lain.“Tunggu…” Jatinegara menyipitkan mata. “Itu… bukan kera putih yang tadi kita lihat?”
Langit masih tertutup awan kelam, membuat suasana desa semakin suram. Api berwarna kebiruan di rumah Pak Roji perlahan memudar, namun hawa panas dan bau anyir masih menggantung di udara. Lila, Ustadz Harman, dan Jatinegara berdiri waspada di depan rumah, sementara Bu Wati terus menggenggam tangannya dengan cemas.Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar dari arah jalan desa. Mereka menoleh cepat, dan di bawah remang cahaya lampu minyak, tampak seorang perempuan berjalan mendekat.Lila merasa sedikit lega melihatnya. Wina bukan orang biasa,dia adalah seseorang yang memiliki keterkaitan kuat dengan hal-hal gaib. Dulu, Wina pernah membantu mereka memahami berbagai kejadian aneh di desa, berkomunikasi dengan Danyang, makhluk penjaga alam gaib yang menetap di tempat ini.Namun, saat Wina semakin dekat, ada sesuatu yang berbeda darinya. Raut wajahnya tampak lebih lelah dari biasanya, tapi tetap menunjukkan ketenangan yang luar biasa. Ia mengenakan kain berwarna hitam yang menutupi sebagian b
Angin berhembus semakin dingin, membawa aroma tanah basah yang bercampur dengan sesuatu yang lebih pekat—bau kematian.Lila berdiri tegang di depan rumah Pak Roji yang terbakar dengan api kebiruan yang aneh. Asap hitam membubung dari celah-celah atap, tetapi api itu sendiri tidak membakar kayu. Rumah itu tampak masih berdiri utuh meskipun dilalap nyala yang tidak wajar.Pak Roji tergeletak di tanah dengan tubuh kaku seperti patung, sementara Ustadz Harman terus melantunkan doa perlindungan. Di tangan Lila, gulungan kain putih yang ia temukan tadi masih terasa dingin, seakan mengandung energi yang bukan berasal dari dunia ini.Jatinegara, yang sejak tadi diam, menyalakan senternya ke arah pintu rumah yang terbuka sedikit. Bayangan seseorang tampak bergerak di dalam, samar-samar di balik asap pekat.“Ibu… ada orang di dalam,” bisiknya.Lila menoleh cepat, m
Angin malam bertiup semakin kencang, membuat dedaunan berguguran dan dahan-dahan pohon meliuk seperti tangan-tangan kurus yang berusaha meraih sesuatu. Aroma tanah basah semakin tajam, bercampur dengan hawa dingin yang seakan menembus tulang.Lila menggenggam tangan Jatinegara erat-erat, mencoba menenangkan anaknya meskipun dirinya sendiri gemetar ketakutan. Matanya masih terpaku pada sosok kera putih raksasa yang berdiri tegak, memperhatikan mereka semua dengan tatapan penuh makna.Sementara itu, Ustadz Harman tetap berdiri tegak di sisi mereka, sorot matanya tajam, membaca situasi dengan penuh kewaspadaan.Kera itu tidak bergerak, tetapi tubuhnya yang besar memancarkan aura yang sulit dijelaskan bukan ancaman, tetapi juga bukan sesuatu yang sepenuhnya aman.Suara-suara yang tadi bergema dari sumur telah menghilang, meninggalkan keheningan yang justru terasa semakin menakutkan.
Angin malam bertiup semakin kencang, membawa aroma tanah basah yang bercampur dengan bau anyir samar.Desa yang biasanya sunyi kini terasa lebih menyeramkan, seolah ada sesuatu yang bersembunyi di balik bayang-bayang. Lila menahan napas.Suara lirih dari dalam sumur semakin jelas. “Ibu… tolong aku…”Bu Wati kembali menangis, mencoba melepaskan diri dari genggaman Ustadz Harman yang menahannya. “Lepaskan saya, Ustadz! Itu suara anak saya! Dia ada di dalam sana!”“Bu Wati, dengarkan aku!” suara Ustadz Harman tetap tegas meski lembut. “Kalau itu memang Irfan, kita harus berpikir jernih! Jangan langsung turun ke sana, kita belum tahu apa yang sebenarnya ada di dalam sumur ini.”Bu Wati menangis semakin keras, tubuhnya gemetar. “Tapi… tapi itu suara Irfan! Saya tidak peduli! Saya akan menyelamatkan anak saya!&r
Suara berat itu membuat Lila menoleh cepat. Ustadz Harman berdiri di ambang pintu dengan ekspresi penuh keprihatinan. Di belakangnya, Jatinegara duduk bersandar di dinding, wajahnya pucat seperti orang yang baru saja melihat hantu.“Kau sudah sadar?” tanya Ustadz Harman, mendekat sambil membawa secangkir teh hangat.Lila mencoba bicara, tetapi tenggorokannya terasa kering. Ia hanya mengangguk pelan sebelum akhirnya berusaha mengumpulkan keberanian untuk bertanya, “Apa yang terjadi? Aku… aku ada di hutan. Lalu tiba-tiba aku—”“Kau pingsan,” potong Ustadz Harman dengan suara lembut. “Tadi kau berlari keluar rumah dalam keadaan linglung, seolah ada sesuatu yang menarikmu ke tempat lain. Kami mencoba menghentikanmu, tetapi kau terus berteriak… menyebut nama Arif.”Mata Lila melebar. ”Arif… aku melihatnya!”Jatinegara yang sedari tadi diam kini bersuara, suaranya serak. “Ibu, kau yakin? Maksud Jati, kita tahu Ayah Arif sudah…”“Tidak!” potong Lila cepat. “Aku melihatnya! Dia tidak sepenuhn