Beranda / Horor / Pesugihan Kandang Bubrah / 8. Pertemuan yang Menegangkan

Share

8. Pertemuan yang Menegangkan

Penulis: Ndraa Archer
last update Terakhir Diperbarui: 2024-11-08 13:10:02

“Rif, kamu yakin? Kalau kita nanti terlambat keluar bagaimana? Kamu lihat di sana, pedagangnya masih muda, tidak ada yang seperti mbah-mbah,” ujar Dimas mengingatkan. Sampai saat ini tubuh Dimas masih tetap terlihat pucat dan ketakutan, dia ingin Arif berpikir masak-masak sebelum melewati altar menuju pasar desa Srengege.

“Ayolah, kalau kamu tidak yakin aku saja yang akan ke sana. Mungkin dia memang awet muda walau usianya sudah tua. Sudah terlalu banyak hal aneh yang aku alami, jadi ini menurutku biasa saja. Ini jalanku, Dim, aku mau ke sana.” Arif melangkah menuju tempat itu tanpa menghiraukan Dimas mau lanjut bersamanya atau berpisah di tempat itu saat ini.

Dimas terdiam, sampai Arif benar-benar mau melangkah masuk. “Tunggu, Rif,” ujar Dimas yang menyusul sambil berlari.

Mereka akhirnya memasuki sebuah gerbang bercahaya yang ditunjukkan oleh wanita tua. Terlihat sosok wanita muda yang selalu dipanggil Mbah Niah oleh para pembelinya. Arif terkejut saat wanita itu menatapnya ta
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Indra Gunawan
trus dimas di tinggal arif kah?
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Pesugihan Kandang Bubrah    9. Jalan yang Tak Bisa Kembali

    "Kamu harus kuat, Dim, kita cari air. Tapi waktunya sudah semakin sedikit!" Arif berteriak dengan napas yang tersengal, mengguncang keheningan malam. Dia memapah tubuh Dimas yang terluka, setengah terbata-bata. Mereka terus berjalan, namun langkah mereka semakin berat, dan waktu terasa semakin sempit.Dimas hanya bisa mengangguk lemah. Wajahnya pucat, darah mengalir dari luka-luka yang menembus kulitnya. Keringat membasahi dahinya. Arif bisa merasakan betapa tubuh Dimas mulai goyah, tak kuasa menopang dirinya sendiri. Mereka sudah terlalu jauh ke dalam hutan, jauh dari perkampungan, dan semakin jauh dari harapan."Arif... aku merasa pusing," suara Dimas teredam oleh bisikan angin yang semakin berembus kencang. Tubuhnya limbung, dan kaki-kakinya hampir tidak bisa menahan beban."Jangan jatuh, Dim!" Arif hampir berteriak, menahan tubuh Dimas yang nyaris terjatuh. "Kita harus bertahan... Bertahan sedikit lebih lama."Arif bisa merasakan nafasnya yang semakin terengah. Setiap langkahnya te

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-15
  • Pesugihan Kandang Bubrah    10. Kembali ke Titik Nol

    "Apa yang terjadi, Arif? Kau… kau hilang selama seminggu!" Suara Ibu menggema dalam rumah yang hening. Arif berdiri di ambang pintu, mata kosong dan penuh kekhawatiran.Tangannya memegang erat persyaratan yang diberikan Mbah Mijan minyak fambo, kemeyan madu, bunga setaman, dua kain mori dari makam keramat. Semua itu terasa seperti mimpi buruk yang menyatu dengan kenyataan. Dia baru saja kembali dari sebuah tempat yang lebih mengerikan daripada yang bisa dibayangkan siapa pun."Satu minggu? Rasanya lebih lama dari itu, Bu." Arif menjawab, suaranya serak, hampir tak mengenali dirinya sendiri.Ibu menatapnya bingung, seakan mencari jawaban di mata Arif yang kini lebih kelam. "Kau tampak berbeda. Apa yang terjadi padamu?"Arif hanya terdiam. Kepalanya penuh dengan gambar-gambar gelap, dengan suara-suara bisikan yang tidak bisa dia lupakan. Sosok-sosok di hutan, tangan dingin yang menariknya jatuh, suara Mbah Mijan yang terdengar lebih menyeramkan dari sebelumnya. Semua itu mencekamnya, mem

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-15
  • Pesugihan Kandang Bubrah   11. Tumbal Pertama

    "Ada apa, Nek? Kenapa pucat begitu?" tanya Arif ketika melihat wajah Bunyu Mahoni yang tampak lebih pucat dari biasanya. Tubuh neneknya gemetar, tangannya mencengkeram ujung selimut dengan kekuatan yang tersisa."Aku mimpi buruk, Rif... rumah kita... ada api besar, tapi bukan api biasa..." suara Bunyu parau, hampir tak terdengar. Matanya yang keruh menatap Arif dengan sorot penuh ketakutan.Arif menggeleng, mencoba menyangkal. "Ah, itu cuma mimpi, Nek. Jangan dipikirkan." Tapi dadanya terasa berat, seolah ada batu yang menghimpit. Pikiran itu tak mudah diabaikan. Dia mengedarkan pandangannya ke sekitar rumah, merasakan hawa yang berbeda. Lebih dingin, lebih gelap.Bunyu batuk kecil, suaranya pecah. "Hati-hati, Rif... ada yang tak beres. Rasanya seperti ada sesuatu... di sini."Malam itu, meski tubuhnya lelah, pikiran Arif tidak bisa tenang. Setiap bayangan di sudut ruangan terasa hidup, seperti mata-mata yang mengawasi. Namun, dia menepis ketakutan itu. Mbah Mijan sudah menjelaskan s

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-17
  • Pesugihan Kandang Bubrah    12. Bayangan yang Mengintai  

    Arif berjalan mondar-mandir di ruang tamu, matanya tertuju pada lembaran-lembaran kontrak yang telah ia tandatangani dengan Mbah Mijan. Sesuatu dalam dirinya meronta, merasakan kegelisahan yang kian menumpuk, meskipun kekayaan yang ia dambakan mulai mengalir deras. Rumahnya kini terlihat lebih megah, dengan renovasi yang terus berjalan tanpa henti. Namun, meski tampak sejahtera, perasaan cemas itu tidak juga hilang.“Rif, sudah waktunya makan,” panggil ibunya dari dapur. Suaranya serak, masih penuh kelelahan setelah beberapa hari terakhir yang penuh kekacauan, menyusul kematian mendadak nenek Bunyu. Arif mengangguk pelan tanpa mengalihkan pandangannya dari pintu depan rumah, seolah berharap sesuatu akan muncul di baliknya.Arif teringat akan mimpinya semalam, wajah nenek Bunyu yang penuh luka dan penderitaan. Tawa yang mengerikan itu masih terngiang di telinganya, seolah memperingatkan bahwa jalan yang dia pilih bukanlah jalan yang benar. Tetapi, Arif tidak bisa mundur lagi. Semuanya t

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-17
  • Pesugihan Kandang Bubrah   13. Bayang-Bayang yang Menghantui

    Arif berdiri mematung di halaman belakang, pandangannya tak bisa lepas dari jendela rumahnya yang gelap. Sosok itu masih berdiri di sana, memandangnya dengan mata merah menyala. Meskipun dia tahu dirinya tak salah lihat, bagian dalam dirinya bagian yang rasional berusaha membujuknya bahwa itu hanya imajinasinya saja.Perasaan aneh semakin menguasai dirinya. Arif merasa seperti ada yang memerintahkannya untuk melakukan sesuatu, sesuatu yang tidak bisa Arif jelaskan. Dalam kebingungannya, Arif berbalik dan melangkah cepat ke dalam rumah, membanting pintu belakang dengan keras. Nafasnya terengah-engah, dan tubuhnya gemetar.“Siapa... siapa itu?” bisiknya, meskipun tahu tak ada jawaban yang akan datang.Tiba-tiba, suara ketukan di jendela depan terdengar jelas. Suara itu membuat hatinya hampir melompat keluar dari dadanya. Arif segera berjalan menuju jendela dengan langkah ragu-ragu, tangan gemetar saat Arif meraih tirainya. Dengan sekali tarik, Arif membuka tirai itu dan jantungnya hampi

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-17
  • Pesugihan Kandang Bubrah   14. Arif Ingin Menggagalkan Rencana Gibran

    Ketika Arif memasuki kamarnya, kegelapan malam itu terasa lebih pekat daripada sebelumnya. Udara dingin menyelimuti ruangannya, dan suara jangkrik yang biasanya terdengar dari luar kini seolah menghilang. Arif mengangkat tangan untuk menutup pintu, tetapi matanya tertuju pada bayangan yang berdiri tepat di depan pintu kamar.Itu sosok yang sama. Sosok gelap yang dia lihat beberapa malam lalu. Mata merah menyala itu menatapnya dengan penuh kebencian. Arif merasa tubuhnya membeku, tak mampu bergerak. Sosok itu tidak bergerak, hanya berdiri diam, seolah menunggu.Arif menggigit bibirnya, mencoba menenangkan dirinya. Ini tidak bisa terjadi. Dia sudah melakukan segalanya dengan benar. Ritual itu harusnya memberinya kekuatan, tapi mengapa sosok itu tetap ada? Mengapa Arif merasa seperti ada yang mengintai setiap langkahnya?"Siapa... siapa kamu?" Arif akhirnya bisa berbicara, suara suaranya terdengar serak.Sosok itu tidak menjawab. Hanya menatapnya dengan tatapan yang semakin tajam, semaki

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-17
  • Pesugihan Kandang Bubrah    15. Persaingan Secara Nyata Bukan Omongan Semata

    Beberapa hari setelah pertemuan itu, Arif menemui Suryanto Cendana, ayah Lila, untuk membicarakan masalah ini. Arif tahu ini adalah jalan terakhir yang harus dia tempuh jika ingin memisahkan Lila dari Gibran.Suryanto duduk di kursinya yang besar, matanya menatap Arif dengan serius. "Jadi, kau ingin aku memilih antara Gibran dan kau, Arif?" tanyanya dengan suara rendah."Ya, Pak Suryanto," jawab Arif dengan tegas. "Saya ingin menunjukkan bahwa saya lebih dari sekadar kaya. Saya ingin menunjukkan bahwa saya bisa memberi Lila kehidupan yang lebih baik, yang bebas dari perseteruan keluarga Mahoni."Suryanto tersenyum tipis, namun matanya penuh perhitungan. "Baiklah. Aku akan memberi kalian kesempatan, Arif. Tapi ingat, ini bukan hanya tentang uang atau kekuasaan. Ini tentang siapa yang benar-benar bisa memberikan kebahagiaan untuk Lila."Suryanto berdiri, matanya tajam menatap Arif. "Kita akan melihat siapa yang lebih layak untuk Lila. Aku akan memberikan kesempatan untuk dua lamaran. Sat

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-17
  • Pesugihan Kandang Bubrah   16. Pasar Tumpah

    Arif berdiri di atas tanah yang baru saja dibersihkan, matanya menatap lahan yang luas di Pasar Tumpah. Sisa-sisa puing bekas lapak pedagang masih terlihat berserakan di sudut-sudut, sementara di kejauhan, suara hiruk-pikuk pasar yang padat dengan pedagang dan pembeli bergema. Semua itu tampak biasa, tapi bagi Arif, tempat ini adalah medan pertempuran yang menentukan hidup dan mati bagi keluarganya, serta masa depannya dengan Lila."Bagaimana, Bos?" Suara seorang anak buahnya, Joko, menyapa. Lelaki itu berdiri di samping Arif, tangan memegang cetak biru desain gudang.Arif mengangguk, matanya menyipit melihat peta lahan. "Kita tidak punya waktu banyak, Joko. Mulai sekarang, semuanya harus berjalan cepat. Kita harus bangun gudang ini dalam waktu setengah bulan, karena kalau sebulan aku takut belum sempat memulai usahanya.""Tenang, Bos," jawab Joko dengan senyum lebar. "Kami semua sudah siap. Mesin-mesin sudah datang, bahan bangunan juga sudah disiapkan."Sehari-hari, Arif dan anak bua

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-18

Bab terbaru

  • Pesugihan Kandang Bubrah   204. Perjanjian dengan Mbah Niah

    Wanita berkebaya hitam itu berdiri diam di tengah jalan. Rambutnya panjang, menutupi sebagian wajahnya.Namun, saat ia perlahan mengangkat kepala, sebuah senyum tipis tersungging di bibirnya—bukan senyum ramah, melainkan senyum yang menyimpan sesuatu yang lebih dalam.Lila merasakan udara di sekitarnya menjadi berat. Jantungnya berdegup kencang hingga ia hampir merasa sesak.Dimas menyalakan senter dan mengarahkannya ke wanita itu, tetapi anehnya… cahaya tidak mampu menyentuh sosoknya. Seolah wanita itu berdiri di dimensi yang berbeda dari mereka."Dia siapa?" bisik Lila.Ustadz Harman tidak menjawab. Ia melangkah maju dengan tenang, matanya tajam menatap wanita itu."Mbah Niah," sapanya dengan suara datar.Wanita itu menyeringai, sedikit lebih lebar. "Sudah lama aku menunggu kalian."Su

  • Pesugihan Kandang Bubrah   203. Jembatan yang Tak Terlihat

    Lila berdiri di tepian jurang, jantungnya berdetak begitu kencang hingga hampir terasa menyakitkan.Di hadapannya, Ustadz Harman berdiri tegak di atas sesuatu yang tak kasat mata. Seolah-olah ada lantai yang menyangga tubuhnya, meskipun yang terlihat hanyalah kegelapan yang menganga lebar."Jangan ragu," kata Ustadz Harman dengan suara tenang. "Jika kau ragu, kau akan jatuh."Lila menelan ludah. Tangannya berkeringat saat menggenggam erat Jatinegara, yang berdiri diam di sampingnya.Dimas menyalakan senter dan mengarahkannya ke depan. Cahaya terang itu melayang… tanpa menyentuh apa pun. Seolah-olah tidak ada yang bisa dipijak."Ini gila," gumamnya. "Tidak ada jembatan di sini."Ustadz Harman menoleh padanya. "Tidak terlihat, bukan berarti tidak ada."Lila menarik napas dalam. Tidak ada pilihan lain.Ia menatap wajah Jatinegara yang pucat dalam cahaya remang. "Jati, kamu percaya sama Ibu?"Jatinegara mengangguk pelan.Lila menggenggam tangannya lebih erat. Lalu…Ia mengangkat kakinya d

  • Pesugihan Kandang Bubrah   202. Gerbang Menuju Kegelapan

    Langit telah sepenuhnya gelap ketika Lila, Dimas, Ustadz Harman, dan Jatinegara tiba di jalan setapak yang menuju hutan tempat Desa Srengege konon berada.Udara malam terasa lebih dingin dari biasanya. Angin berhembus pelan, membawa aroma tanah basah dan dedaunan yang membusuk. Lila mengeratkan genggamannya pada tangan Jatinegara, sementara Dimas menyalakan senter untuk menerangi jalan.Ustadz Harman berjalan paling depan. Suaranya tenang, tapi tegas. "Sekali kita masuk, kita tidak bisa berbalik sebelum waktunya tiba."Lila menelan ludah. "Berarti… kita hanya bisa keluar setelah ritual selesai?"Ustadz Harman mengangguk. "Benar. Desa Srengege hanya muncul di malam Jumat Kliwon, dan akan menghilang sebelum fajar. Jika kita masih ada di dalam saat matahari terbit… kita tidak akan pernah kembali."Lila merasakan jantungnya mencelos.Dimas menoleh ke arah mereka. "Kalau begitu, kita harus cepat."Ustadz Harman melangkah ke depan, dan mereka mengikuti.Langkah pertama memasuki hutan terasa

  • Pesugihan Kandang Bubrah   201. Jalan Menuju Malam Kematian  

    Suara langkah kaki di luar rumah semakin jelas. Seolah ada lebih dari satu makhluk yang sedang mengitari mereka.Lila menahan napas. Tangan dinginnya mencengkeram erat bahu Jatinegara yang duduk diam di pangkuannya.Dimas sudah berdiri dengan posisi waspada, sementara Ustadz Harman tetap duduk tenang, meski matanya tajam menatap ke arah pintu.Lalu…Tok. Tok. Tok.Ketukan itu terdengar lagi. Pelan, tapi mencengkeram jiwa. Sama seperti yang Lila dengar di rumahnya tadi malam.Tapi kali ini, suara itu diiringi oleh bisikan. "Lila… keluarlah…"Napas Lila tercekat. ”Itu suara Arif, tidak mungkin Arif sudah mati.”Dimas menoleh padanya, tatapannya mengisyaratkan sesuatu. ’Jangan dengarkan.’Namun, suara itu kembali bergema—lebih pelan, lebih dingin. "Jatine

  • Pesugihan Kandang Bubrah   200. Jejak yang Tertinggal  

    Lila masih berdiri kaku di halaman rumah, matanya terpaku ke jendela kamar. Sosok Arif dan bayangan-bayangan lainnya memang sudah menghilang, tapi perasaan tidak enak masih mencengkeram dadanya.Di sampingnya, Jatinegara tetap diam, tatapannya kosong seperti seseorang yang baru saja bangun dari tidur panjang.Dimas menyentuh bahu Lila, menyadarkannya. "Kita pergi dari sini sekarang."Lila menelan ludah, lalu mengangguk. Ia menggandeng Jatinegara menuju mobil Dimas. Saat mereka akan masuk, Jatinegara tiba-tiba menoleh lagi ke arah rumah."Ibu..."Lila menegang. "Kenapa, sayang?"Jatinegara mengangkat tangannya, menunjuk ke pintu rumah yang setengah terbuka. "Ayah belum ikut dengan kita."Dimas dan Lila bertukar pandang. Dimas berbisik tegas, "Jangan dengarkan dia, Lila. Kita pergi sekarang."Tapi sebelum Lila sempat merespons, angin kencang tiba-tiba berhembus dari dalam rumah. Pintu depan berderak keras, kemudian.BRAK!Pintu itu menutup sendiri dengan suara yang menggema. Seolah ada

  • Pesugihan Kandang Bubrah   199. Cermin yang Membawa Mimpi Buruk

    Lila berdiri mematung. Matanya terpaku pada cermin yang tertutup kain, tetapi bayangan hitam di dalamnya masih bisa terlihat samar, seolah sosok itu tetap berdiri di balik kain tipis.”Senyum itu…” gumam Lira lirih.Itu bukan senyum Arif yang ia kenal. Senyum itu bukan sekadar menyapa. Senyum itu mengancam.Tiba-tiba, kain yang menutupi cermin mulai bergerak sendiri, seolah ada tangan tak terlihat yang menyibaknya perlahan.Lila ingin berteriak, tetapi suaranya tercekat di tenggorokan. Jatinegara yang berada di sampingnya menoleh dengan tatapan kosong ke arah cermin. Bibirnya bergerak pelan.“Ibu… dia ingin keluar.” Lila merasakan darahnya berhenti mengalir. Seketika, ia menarik anaknya ke dalam pelukan, tangannya berusaha meraih kain itu untuk menutupi cermin lebih erat. Tapi saat jemarinya menyentuh kain, sesuatu yang dingin merambat ke tubuhnya.Jari seseorang dari dalam cermin sedang mencengkeram kain itu dari balik kaca.Lila terlonjak mundur.Brak!Lampu kamar mereka tiba-tiba b

  • Pesugihan Kandang Bubrah   198. Bayang-Bayang yang Mengintai

    Lila menggeliat gelisah di ranjangnya. Sudah tiga malam berturut-turut ia terbangun di jam yang sama pukul dua pagi dengan perasaan yang tidak bisa dijelaskan. Ada sesuatu di rumah ini, sesuatu yang mengawasinya dalam kegelapan.Di sebelahnya, Jatinegara tidur pulas, tetapi sesekali tubuhnya bergerak gelisah seolah sedang bermimpi buruk. Lila mengusap kepala anaknya dengan lembut, mencoba menenangkan diri.“Apa aku hanya terlalu lelah?” gumamnya.Namun, kegelisahan itu semakin sulit diabaikan ketika suara langkah kaki terdengar dari arah ruang tamu. Lila menegang. Suara itu pelan, menyeret, dan terputus-putus.Bulu kuduknya berdiri. Ia menoleh ke arah pintu kamar yang sedikit terbuka, menatap kegelapan di luar. Jantungnya berdegup kencang saat menyadari sesuatu yang janggal. Lampu ruang tamu tadi ia matikan sebelum tidur, tetapi kini ada semburat cahaya samar dari celah pintu.&nbs

  • Pesugihan Kandang Bubrah   197. Mereka… kembali

    Udara berubah drastis, Lila terjatuh ke tanah dengan keras, tubuhnya terasa ringan namun lemah. Sesaat, ia tidak bisa merasakan apa pun selain dingin yang menjalari kulitnya. Napasnya tersengal-sengal, jantungnya masih berdetak cepat akibat adrenalin yang belum hilang.Jatinegara terkapar di sampingnya, mengerang pelan. Wina terduduk dengan tubuh gemetar, satu tangannya masih melindungi perutnya, sementara Ustadz Harman berusaha bangkit dengan sisa tenaga yang ada.”Mereka… kembali.”Lila memejamkan matanya sesaat, mencoba memahami situasi. Tidak ada lagi udara berat yang menyesakkan, tidak ada suara jeritan dari roh-roh yang terperangkap, tidak ada gemuruh tanah yang bergetar.Kandang Bubrah telah lenyap. Tapi sesuatu masih terasa kurang. Matanya langsung terbuka, mencari seseorang.”Arif...” Lila menoleh ke kanan dan kiri dengan panik, Arif tidak

  • Pesugihan Kandang Bubrah   196. Gerbang ini akan benar-benar tertutup selamanya

    Lalu, ia berbalik ke arah neneknya. “Bagaimana cara membebaskan Dimas?”Nenek Bunyu Mahoni menghela napas berat, lalu berkata, “Dimas tidak bisa pergi jika ikatan pesugihan ini masih ada. Satu-satunya cara… adalah memutuskan sumbernya.”Jatinegara mengangkat alis. “Sumbernya? Maksudmu… pria tua itu?”Pria tua itu menyeringai. “Kalian pikir semudah itu?”Dan saat itu juga, tubuhnya mulai berubah.Pakaian lusuhnya melayang di udara, kulitnya menegang hingga retak, memperlihatkan urat-urat hitam yang tampak seperti akar pohon tua. Matanya semakin merah, penuh kebencian yang dalam.“Aku bukan sekadar manusia biasa lagi.”Tiba-tiba, bayangan hitam yang menyelimuti tubuhnya merayap ke lantai, membentuk sebuah pusaran gelap yang menghisap energi dari sekelilingnya.Angin bertiup

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status