"Apa yang terjadi, Arif? Kau… kau hilang selama seminggu!" Suara Ibu menggema dalam rumah yang hening. Arif berdiri di ambang pintu, mata kosong dan penuh kekhawatiran.Tangannya memegang erat persyaratan yang diberikan Mbah Mijan minyak fambo, kemeyan madu, bunga setaman, dua kain mori dari makam keramat. Semua itu terasa seperti mimpi buruk yang menyatu dengan kenyataan. Dia baru saja kembali dari sebuah tempat yang lebih mengerikan daripada yang bisa dibayangkan siapa pun."Satu minggu? Rasanya lebih lama dari itu, Bu." Arif menjawab, suaranya serak, hampir tak mengenali dirinya sendiri.Ibu menatapnya bingung, seakan mencari jawaban di mata Arif yang kini lebih kelam. "Kau tampak berbeda. Apa yang terjadi padamu?"Arif hanya terdiam. Kepalanya penuh dengan gambar-gambar gelap, dengan suara-suara bisikan yang tidak bisa dia lupakan. Sosok-sosok di hutan, tangan dingin yang menariknya jatuh, suara Mbah Mijan yang terdengar lebih menyeramkan dari sebelumnya. Semua itu mencekamnya, mem
"Ada apa, Nek? Kenapa pucat begitu?" tanya Arif ketika melihat wajah Bunyu Mahoni yang tampak lebih pucat dari biasanya. Tubuh neneknya gemetar, tangannya mencengkeram ujung selimut dengan kekuatan yang tersisa."Aku mimpi buruk, Rif... rumah kita... ada api besar, tapi bukan api biasa..." suara Bunyu parau, hampir tak terdengar. Matanya yang keruh menatap Arif dengan sorot penuh ketakutan.Arif menggeleng, mencoba menyangkal. "Ah, itu cuma mimpi, Nek. Jangan dipikirkan." Tapi dadanya terasa berat, seolah ada batu yang menghimpit. Pikiran itu tak mudah diabaikan. Dia mengedarkan pandangannya ke sekitar rumah, merasakan hawa yang berbeda. Lebih dingin, lebih gelap.Bunyu batuk kecil, suaranya pecah. "Hati-hati, Rif... ada yang tak beres. Rasanya seperti ada sesuatu... di sini."Malam itu, meski tubuhnya lelah, pikiran Arif tidak bisa tenang. Setiap bayangan di sudut ruangan terasa hidup, seperti mata-mata yang mengawasi. Namun, dia menepis ketakutan itu. Mbah Mijan sudah menjelaskan s
Arif berjalan mondar-mandir di ruang tamu, matanya tertuju pada lembaran-lembaran kontrak yang telah ia tandatangani dengan Mbah Mijan. Sesuatu dalam dirinya meronta, merasakan kegelisahan yang kian menumpuk, meskipun kekayaan yang ia dambakan mulai mengalir deras. Rumahnya kini terlihat lebih megah, dengan renovasi yang terus berjalan tanpa henti. Namun, meski tampak sejahtera, perasaan cemas itu tidak juga hilang.“Rif, sudah waktunya makan,” panggil ibunya dari dapur. Suaranya serak, masih penuh kelelahan setelah beberapa hari terakhir yang penuh kekacauan, menyusul kematian mendadak nenek Bunyu. Arif mengangguk pelan tanpa mengalihkan pandangannya dari pintu depan rumah, seolah berharap sesuatu akan muncul di baliknya.Arif teringat akan mimpinya semalam, wajah nenek Bunyu yang penuh luka dan penderitaan. Tawa yang mengerikan itu masih terngiang di telinganya, seolah memperingatkan bahwa jalan yang dia pilih bukanlah jalan yang benar. Tetapi, Arif tidak bisa mundur lagi. Semuanya t
Arif berdiri mematung di halaman belakang, pandangannya tak bisa lepas dari jendela rumahnya yang gelap. Sosok itu masih berdiri di sana, memandangnya dengan mata merah menyala. Meskipun dia tahu dirinya tak salah lihat, bagian dalam dirinya bagian yang rasional berusaha membujuknya bahwa itu hanya imajinasinya saja.Perasaan aneh semakin menguasai dirinya. Arif merasa seperti ada yang memerintahkannya untuk melakukan sesuatu, sesuatu yang tidak bisa Arif jelaskan. Dalam kebingungannya, Arif berbalik dan melangkah cepat ke dalam rumah, membanting pintu belakang dengan keras. Nafasnya terengah-engah, dan tubuhnya gemetar.“Siapa... siapa itu?” bisiknya, meskipun tahu tak ada jawaban yang akan datang.Tiba-tiba, suara ketukan di jendela depan terdengar jelas. Suara itu membuat hatinya hampir melompat keluar dari dadanya. Arif segera berjalan menuju jendela dengan langkah ragu-ragu, tangan gemetar saat Arif meraih tirainya. Dengan sekali tarik, Arif membuka tirai itu dan jantungnya hampi
Ketika Arif memasuki kamarnya, kegelapan malam itu terasa lebih pekat daripada sebelumnya. Udara dingin menyelimuti ruangannya, dan suara jangkrik yang biasanya terdengar dari luar kini seolah menghilang. Arif mengangkat tangan untuk menutup pintu, tetapi matanya tertuju pada bayangan yang berdiri tepat di depan pintu kamar.Itu sosok yang sama. Sosok gelap yang dia lihat beberapa malam lalu. Mata merah menyala itu menatapnya dengan penuh kebencian. Arif merasa tubuhnya membeku, tak mampu bergerak. Sosok itu tidak bergerak, hanya berdiri diam, seolah menunggu.Arif menggigit bibirnya, mencoba menenangkan dirinya. Ini tidak bisa terjadi. Dia sudah melakukan segalanya dengan benar. Ritual itu harusnya memberinya kekuatan, tapi mengapa sosok itu tetap ada? Mengapa Arif merasa seperti ada yang mengintai setiap langkahnya?"Siapa... siapa kamu?" Arif akhirnya bisa berbicara, suara suaranya terdengar serak.Sosok itu tidak menjawab. Hanya menatapnya dengan tatapan yang semakin tajam, semaki
Beberapa hari setelah pertemuan itu, Arif menemui Suryanto Cendana, ayah Lila, untuk membicarakan masalah ini. Arif tahu ini adalah jalan terakhir yang harus dia tempuh jika ingin memisahkan Lila dari Gibran.Suryanto duduk di kursinya yang besar, matanya menatap Arif dengan serius. "Jadi, kau ingin aku memilih antara Gibran dan kau, Arif?" tanyanya dengan suara rendah."Ya, Pak Suryanto," jawab Arif dengan tegas. "Saya ingin menunjukkan bahwa saya lebih dari sekadar kaya. Saya ingin menunjukkan bahwa saya bisa memberi Lila kehidupan yang lebih baik, yang bebas dari perseteruan keluarga Mahoni."Suryanto tersenyum tipis, namun matanya penuh perhitungan. "Baiklah. Aku akan memberi kalian kesempatan, Arif. Tapi ingat, ini bukan hanya tentang uang atau kekuasaan. Ini tentang siapa yang benar-benar bisa memberikan kebahagiaan untuk Lila."Suryanto berdiri, matanya tajam menatap Arif. "Kita akan melihat siapa yang lebih layak untuk Lila. Aku akan memberikan kesempatan untuk dua lamaran. Sat
Arif berdiri di atas tanah yang baru saja dibersihkan, matanya menatap lahan yang luas di Pasar Tumpah. Sisa-sisa puing bekas lapak pedagang masih terlihat berserakan di sudut-sudut, sementara di kejauhan, suara hiruk-pikuk pasar yang padat dengan pedagang dan pembeli bergema. Semua itu tampak biasa, tapi bagi Arif, tempat ini adalah medan pertempuran yang menentukan hidup dan mati bagi keluarganya, serta masa depannya dengan Lila."Bagaimana, Bos?" Suara seorang anak buahnya, Joko, menyapa. Lelaki itu berdiri di samping Arif, tangan memegang cetak biru desain gudang.Arif mengangguk, matanya menyipit melihat peta lahan. "Kita tidak punya waktu banyak, Joko. Mulai sekarang, semuanya harus berjalan cepat. Kita harus bangun gudang ini dalam waktu setengah bulan, karena kalau sebulan aku takut belum sempat memulai usahanya.""Tenang, Bos," jawab Joko dengan senyum lebar. "Kami semua sudah siap. Mesin-mesin sudah datang, bahan bangunan juga sudah disiapkan."Sehari-hari, Arif dan anak bua
“Kamu itu tidak tahu diri, Arif!” Suara berat Bintan Mahoni menggema, di ruang tamu rumah besar keluarga Mahoni.Wajahnya merah padam dan telunjuknya menuding tajam ke arah Arif yang duduk tenang di kursi rotan. “Sebagai keluarga termuda, kau harus tahu batasmu! Lila bukan untukmu, dia untuk Gibran!”Arif mengangkat alis, menahan senyum sinis. “Pakde Bintan, ini bukan soal siapa yang tertua atau termuda. Ini soal siapa yang pantas. Dan saya rasa, Pak Suryanto sudah memberi jawabannya.”Bintan menghentakkan kakinya ke lantai, membuat debu-debu beterbangan. “Kau pikir uangmu bisa membeli semua? Kau tak punya apa-apa dibandingkan Gibran! Apa yang kau miliki sekarang hanya keberuntungan sementara!” Dari sudut ruangan, Misna Bengkirai, ibu Arif, berdiri dan menatap tajam ke arah kakak iparnya, Bintan. “Jangan hina anakku, Bintan!” serunya dengan suara lantang. “Kalau kau menganggap keluarga Bengkirai ini tak ada artinya, kau salah besar. Kami tak butuh belas kasihan darimu! Bahkan Arif ta
Suara detik jam terdengar pelan, tapi cukup untuk mengisi keheningan yang menggantung di seluruh rumah. Lila duduk di ujung tempat tidur sambil mengusap pelan punggung Jatinegara yang sedang tidur. Wajah anak itu terlihat tenang, bahkan terlalu tenang untuk malam yang baru saja menyimpan sesuatu yang tidak bisa ia jelaskan.Pikirannya kembali pada suara ketukan yang ia dengar malam tadi.Tiga ketukan pelan namun terasa seperti gendang di telinganya.“Mungkin itu hanya perasaanku saja,” gumamnya pelan, mencoba menenangkan kegelisahan yang perlahan merayap dari dadanya ke tengkuk.Namun aroma udara pagi ini berbeda. Lebih lembap, dan ada bau samar seperti kayu basah bercampur asap yang entah dari mana datangnya.Dia berdiri perlahan, berjalan ke arah ruang tamu yang masih remang. Di jendela, sinar matahari mencoba masuk, tapi awan gelap terlalu malas untuk pergi.Langkahnya terhenti di depan pintu rumah. Ia menatap gagangnya yang masih tertutup rapat. Tapi perasaan itu… masih ada.Seper
Suara detik jam dinding terdengar lebih keras malam ini. Lila membuka matanya perlahan, membiarkan kegelapan menyelimuti penglihatannya. Lampu kamar sudah padam sejak satu jam lalu, tapi matanya tak kunjung lelap.Ia menatap langit-langit kamar yang gelap, jari-jarinya menggenggam selimut yang menutupi tubuh Jatinegara di sebelahnya. Anak itu tidur tenang, dadanya naik turun perlahan. Seharusnya Lila ikut merasa tenang. Namun hatinya tetap gelisah.“Mungkin karena masih terbawa suasana dari rumah Ustadz Harman,” gumamnya dalam hati, mencoba menenangkan diri.Tapi ada sesuatu malam ini yang berbeda. Udara kamar lebih dingin dari biasanya. Tirai jendela sedikit berkibar meskipun semua jendela tertutup rapat. Suara jangkrik dari luar pun terdengar lebih pelan, seperti sedang menahan napas.Lalu suara itu datang.Tok. Tok. Tok.Lila sontak menahan napas.Tiga ketukan, pelan tapi cukup kuat untuk membuat hatinya berdegup keras. Ia menoleh ke arah jendela, seakan suara itu berasal dari sana
Mobil terus melaju melewati jalanan desa yang mulai ditinggalkan. Langit cerah, matahari bersinar terang, tetapi udara di dalam mobil terasa lebih dingin dari seharusnya.Lila duduk di kursi depan, diam menatap jalan di depan mereka.Di belakang, Jatinegara masih menatap keluar jendela, tubuhnya rileks. Seolah-olah tidak terjadi apa-apa.Tetapi Lila tahu sesuatu masih tidak beres.Tangannya menggenggam rok yang ia kenakan, mencoba menenangkan diri.Tadi, di kaca spion…Refleksi Jatinegara terlihat berbeda.Menatapnya lurus.Dengan mata yang lebih gelap dari seharusnya.Namun, saat ia menoleh ke belakang, anaknya terlihat biasa saja.Lila menelan ludah.Mungkin aku hanya terlalu lelah…Tetapi jauh di dalam hatinya, ia tahu itu bukan hanya perasaan.Dimas melirik ke arahnya. "Kau baik-baik saja?"Lila mengangguk pelan, meskipun hatinya masih berdebar kencang.
Fajar menyingsing perlahan, membawa warna jingga keemasan yang mulai menyelimuti langit.Di rumah Ustadz Harman, aroma embun pagi bercampur dengan harumnya tanah basah setelah hujan semalam. Burung-burung kecil berkicau di kejauhan, mengisi keheningan yang terasa lebih damai dari sebelumnya.Di dalam rumah, Lila duduk di kursi kayu di dekat jendela, menatap kosong ke luar.Pikirannya masih dipenuhi kejadian semalam.Mereka telah mengucapkan selamat tinggal kepada Arif.Mereka telah memastikan pintu yang terbuka akhirnya tertutup.Dan untuk pertama kalinya dalam beberapa bulan terakhir, rumah ini terasa tenang.Tetapi…Kenapa hatinya masih terasa berat?Di sampingnya, Jatinegara sedang tertidur di atas pangkuannya. Napasnya pelan, tubuhnya kecil dan hangat, wajahnya tenang—seolah-olah tidak pernah mengalami semua kengerian yang terjadi sebelumnya.Namun, Lila tahu semuanya telah meninggalkan jejak dala
Malam kembali turun dengan perlahan.Angin bertiup lebih dingin, menyelusup melalui celah-celah rumah kayu Ustadz Harman. Tirai jendela bergetar pelan, menimbulkan suara berdesir yang terdengar seperti bisikan samar.Di ruang tamu, Lila duduk dengan punggung tegak, tangannya erat menggenggam jemari Jatinegara yang mungil.Dimas berdiri di sudut ruangan, memeriksa keris yang telah menjadi pelindung mereka sejak peristiwa di Kandang Bubrah.Di seberang meja, Ustadz Harman merapikan beberapa peralatan yang akan mereka gunakan untuk ritual malam ini.Di antara semua orang di ruangan itu, hanya Jatinegara yang tampak paling tenang.Anak itu duduk di samping ibunya, kakinya bergoyang pelan, sesekali menatap ke arah jendela.Seolah-olah dia tahu bahwa seseorang sedang menunggunya di luar sana.Lila menarik napas dalam, lalu menoleh ke arah Ustadz Harman. "Apa kita benar-benar harus melakukan ini?"Ustadz Harman menatapnya denga
"Lila…"Suara itu terdengar dekat sekali, seperti ada yang berbisik tepat di belakangnya.Sejenak, tubuh Lila tidak bisa bergerak.Napasnya tercekat di tenggorokan.Jantungnya berdetak begitu keras, seolah bisa terdengar di seisi ruangan.Dimas berdiri di depannya, menggenggam keris erat-erat, matanya liar mencari sumber suara.Ustadz Harman terus membaca doa, meskipun suaranya kini terdengar lebih tegang.Di dalam kegelapan itu…Ada sesuatu yang bergerak.Langkah kaki itu tidak lagi samar-samar.Kini lebih nyata, lebih dekat—dan suara napas berat menyusul di belakangnya.Sesuatu berdiri di sana.Lila bisa merasakannya.Tetapi dia tidak berani menoleh.Jatinegara terdiam, tetapi senyumnya masih ada.Seperti seseorang yang sedang melihat sesuatu yang tidak bisa dilihat oleh orang lain.Lalu, dia berbisik—"Ayah… kenapa kau masih d
Malam di rumah Ustadz Harman terasa lebih dingin dari biasanya. Angin dari sela-sela jendela berdesir, membawa aroma tanah basah yang bercampur dengan bau dupa yang baru saja dipadamkan.Lila duduk diam di sudut ruangan, tangannya menggenggam erat gelas teh yang sudah mendingin. Pikirannya berkecamuk, memutar kembali kata-kata Ustadz Harman sore tadi."Arif belum pergi."Kalimat itu terus bergema di kepalanya, membuat bulu kuduknya meremang.Di sudut lain ruangan, Dimas duduk dengan wajah tegang, sesekali mengaduk kopinya tanpa benar-benar meminumnya. Di sampingnya, Ustadz Harman membuka kitab kunonya, jari-jarinya menelusuri lembaran kertas kecokelatan yang sudah lapuk dimakan usia."Jika benar Arif masih di sini," gumam Ustadz Harman, suaranya nyaris berbisik, "pasti ada tanda-tanda yang tertinggal."Lila mengangkat wajahnya. "Tanda seperti apa, Ustadz?"Ustadz Harman menutup kitabnya perlahan, lalu menatap ke arah pintu ka
Namun tiba-tiba Jatinegara mengigau. Lila langsung menegang, mulut anaknya bergerak, tetapi suaranya hanya berupa bisikan pelan yang tidak jelas.Lila meraih bahu anaknya dan mengguncangnya pelan. "Jati… bangun, Sayang."Jatinegara tidak langsung merespons.Namun, yang terjadi selanjutnya membuat Lila merasa darahnya membeku.Jatinegara tersenyum dalam tidurnya.Dan dia berbisik, "Aku akan datang…"Lila langsung menarik tubuh anaknya. "Jati! Bangun!"Jatinegara mengerjap perlahan, matanya sedikit berkabut. "Ibu…?"Lila merasakan jantungnya berdetak lebih cepat. "Sayang, kamu barusan bicara dalam tidur. Kamu bilang apa?"Jatinegara mengerutkan kening, tampak bingung. "Aku… tidak ingat."Lila menelan ludah, ia mencoba tersenyum, meskipun tubuhnya masih gemetar. "Sudahlah, Sayang. Tidur lagi, ya."Jatinegara mengangguk kecil, lalu kembali terlelap dalam hitungan detik.
Sudah tiga hari sejak Kandang Bubrah hancur.Lila, Dimas, dan Jatinegara kembali ke rumah Ustadz Harman dengan tubuh penuh luka dan kelelahan.Namun, untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Lila merasa beban berat di dadanya mulai terangkat.Pesugihan itu sudah berakhir.Jatinegara selamat.Dan Arif…Arif sudah benar-benar pergi.Atau begitulah yang mereka pikirkan.***Pagi itu, Lila bangun lebih pagi dari biasanya.Ia berjalan menuju dapur, berniat membuat teh hangat untuk menenangkan pikirannya.Namun saat dia melintasi ruang tamu, dia melihat sesuatu yang membuatnya terdiam di tempat.Jatinegara duduk di depan jendela, menatap ke luar dengan ekspresi kosong.Anaknya terlihat baik-baik saja, tetapi ada sesuatu dalam cara dia duduk—terlalu diam, terlalu tenang.Seolah-olah dia sedang mendengar sesuatu yang tidak bisa didengar oleh orang lain.Lila menelan ludah.