Ketika Arif memasuki kamarnya, kegelapan malam itu terasa lebih pekat daripada sebelumnya. Udara dingin menyelimuti ruangannya, dan suara jangkrik yang biasanya terdengar dari luar kini seolah menghilang. Arif mengangkat tangan untuk menutup pintu, tetapi matanya tertuju pada bayangan yang berdiri tepat di depan pintu kamar.Itu sosok yang sama. Sosok gelap yang dia lihat beberapa malam lalu. Mata merah menyala itu menatapnya dengan penuh kebencian. Arif merasa tubuhnya membeku, tak mampu bergerak. Sosok itu tidak bergerak, hanya berdiri diam, seolah menunggu.Arif menggigit bibirnya, mencoba menenangkan dirinya. Ini tidak bisa terjadi. Dia sudah melakukan segalanya dengan benar. Ritual itu harusnya memberinya kekuatan, tapi mengapa sosok itu tetap ada? Mengapa Arif merasa seperti ada yang mengintai setiap langkahnya?"Siapa... siapa kamu?" Arif akhirnya bisa berbicara, suara suaranya terdengar serak.Sosok itu tidak menjawab. Hanya menatapnya dengan tatapan yang semakin tajam, semaki
Beberapa hari setelah pertemuan itu, Arif menemui Suryanto Cendana, ayah Lila, untuk membicarakan masalah ini. Arif tahu ini adalah jalan terakhir yang harus dia tempuh jika ingin memisahkan Lila dari Gibran.Suryanto duduk di kursinya yang besar, matanya menatap Arif dengan serius. "Jadi, kau ingin aku memilih antara Gibran dan kau, Arif?" tanyanya dengan suara rendah."Ya, Pak Suryanto," jawab Arif dengan tegas. "Saya ingin menunjukkan bahwa saya lebih dari sekadar kaya. Saya ingin menunjukkan bahwa saya bisa memberi Lila kehidupan yang lebih baik, yang bebas dari perseteruan keluarga Mahoni."Suryanto tersenyum tipis, namun matanya penuh perhitungan. "Baiklah. Aku akan memberi kalian kesempatan, Arif. Tapi ingat, ini bukan hanya tentang uang atau kekuasaan. Ini tentang siapa yang benar-benar bisa memberikan kebahagiaan untuk Lila."Suryanto berdiri, matanya tajam menatap Arif. "Kita akan melihat siapa yang lebih layak untuk Lila. Aku akan memberikan kesempatan untuk dua lamaran. Sat
Arif berdiri di atas tanah yang baru saja dibersihkan, matanya menatap lahan yang luas di Pasar Tumpah. Sisa-sisa puing bekas lapak pedagang masih terlihat berserakan di sudut-sudut, sementara di kejauhan, suara hiruk-pikuk pasar yang padat dengan pedagang dan pembeli bergema. Semua itu tampak biasa, tapi bagi Arif, tempat ini adalah medan pertempuran yang menentukan hidup dan mati bagi keluarganya, serta masa depannya dengan Lila."Bagaimana, Bos?" Suara seorang anak buahnya, Joko, menyapa. Lelaki itu berdiri di samping Arif, tangan memegang cetak biru desain gudang.Arif mengangguk, matanya menyipit melihat peta lahan. "Kita tidak punya waktu banyak, Joko. Mulai sekarang, semuanya harus berjalan cepat. Kita harus bangun gudang ini dalam waktu setengah bulan, karena kalau sebulan aku takut belum sempat memulai usahanya.""Tenang, Bos," jawab Joko dengan senyum lebar. "Kami semua sudah siap. Mesin-mesin sudah datang, bahan bangunan juga sudah disiapkan."Sehari-hari, Arif dan anak bua
“Kamu itu tidak tahu diri, Arif!” Suara berat Bintan Mahoni menggema, di ruang tamu rumah besar keluarga Mahoni.Wajahnya merah padam dan telunjuknya menuding tajam ke arah Arif yang duduk tenang di kursi rotan. “Sebagai keluarga termuda, kau harus tahu batasmu! Lila bukan untukmu, dia untuk Gibran!”Arif mengangkat alis, menahan senyum sinis. “Pakde Bintan, ini bukan soal siapa yang tertua atau termuda. Ini soal siapa yang pantas. Dan saya rasa, Pak Suryanto sudah memberi jawabannya.”Bintan menghentakkan kakinya ke lantai, membuat debu-debu beterbangan. “Kau pikir uangmu bisa membeli semua? Kau tak punya apa-apa dibandingkan Gibran! Apa yang kau miliki sekarang hanya keberuntungan sementara!” Dari sudut ruangan, Misna Bengkirai, ibu Arif, berdiri dan menatap tajam ke arah kakak iparnya, Bintan. “Jangan hina anakku, Bintan!” serunya dengan suara lantang. “Kalau kau menganggap keluarga Bengkirai ini tak ada artinya, kau salah besar. Kami tak butuh belas kasihan darimu! Bahkan Arif ta
Arif mengangguk pelan di hadapan Suryanto Cendana, yang menatapnya penuh keyakinan. "Saya percaya padamu, Arif," kata Suryanto. "Jangan sia-siakan kesempatan ini." “Terima kasih, Pak Suryanto,” balas Arif dengan nada hormat. Wajahnya terlihat tenang, namun di dalam dadanya, rasa gelisah menggeliat seperti ular. Ketika Suryanto pergi meninggalkannya, suara Gibran kembali terngiang di pikirannya. ‘Aku tahu siapa dirimu sebenarnya.’ Kalimat itu menggantung di benaknya, seperti duri yang menusuk perlahan. “Waktunya hampir tiba,” gumam Arif pada dirinya sendiri. Dia tahu apa yang harus dilakukan. Ritual tahunan pesugihan kandang bubrah harus dilanjutkan. Kali ini, dia sudah memutuskan tumbal berikutnya. ‘Bintan Mahoni.’ Nama itu tertulis di dalam pikirannya.Malam itu, di rumahnya, Arif duduk di meja kecil dengan lampu minyak yang menyala redup. Di tangannya, Arif memegang foto Bintan Mahoni. Dalam gambar itu, Bintan terlihat tersenyum lebar di acara keluarga, senyuman yang sekarang mem
Pikiran Arif terusik. Suara Mbah Niah terngiang jelas di telinganya meski dia sudah kembali ke rumah. Kata-katanya seakan menjadi mantera yang tak henti-hentinya memutar di dalam benaknya. ‘Ingat, Arif. Apa yang kau minta selalu punya harga. Jangan lupa apa yang sudah kau janjikan.’Saat itu, di hutan Srengege, Mbah Niah berubah. Tubuh rentanya tiba-tiba memudar, berganti menjadi sosok wanita muda dengan kecantikan yang luar biasa. Senyum manisnya terasa menipu, matanya berkilat penuh misteri. “Arif, kau memilih jalan ini. Jangan pernah ragu lagi,” katanya lembut, suaranya seperti bisikan yang merayap ke dalam jiwa Arif. Kini, di kamar kecilnya yang suram, bayangan wajah cantik itu terus muncul di pikirannya. Dia mengguncang kepalanya dengan kasar, mencoba mengusirnya. Namun, semakin dia mencoba melupakan, semakin jelas bayangan itu menyerangnya. Pagi harinya di depan rumah, Bintan. “Bapak Bintan kenapa, Bu?” tanya seorang tetangga yang melongok dari balik pagar rumah keluarga Maho
Arif duduk di ruang tamunya yang luas, ditemani hanya oleh kesunyian. Rumah megahnya kini hampir selesai, setiap sudut dan celah telah direnovasi dengan cermat.“Uang-uang ini, seperti mimpi. Dulu untuk memiliki selembar saja sulit.” Arif bergumam sendiri, Tumpukan uang hasil penjualan jengkol baru-baru ini terhampar di meja, mencerminkan keberhasilannya yang semakin gemilang.Sejak kematian Bintan, Arif merasa dunia berada di tangannya, seolah-olah tidak ada yang bisa menghalangi langkahnya. “Setidaknya aku sudah, sedikit tenang. Musuhku berkurang satu. Orang yang selalu memandang rendah diriku dan orang tuaku,” gumamnya di ikuti senyum kecil kemenangan.Namun, ketenangannya terganggu oleh suara bisikan lembut yang datang dari arah jendela. Arif menoleh cepat, matanya menelusuri ruangan yang sepi itu. Tidak ada apa-apa. Angin berhembus pelan, namun bisikan itu seolah menyusup jauh ke dalam jiwanya. Dia menghela napas panjang, berusaha mengabaikan perasaan tidak nyaman yang mendalam.
Suasana di ruang tamu rumah Arif terasa panas, meskipun jendela sudah dibuka lebar. Waktu sudah menjelang sore, namun udara seakan tak mampu mengusir kepanasan yang mencekik. Di depan Arif, Lila Cendana duduk dengan tenang, matanya menatap layar ponsel dengan serius. Pernikahan mereka hanya tinggal seminggu lagi. Segala persiapan sudah hampir selesai, namun masih ada beberapa hal yang harus dibicarakan.“Arif, aku rasa undangan sudah cukup banyak, kan?” Lila memecah keheningan.Arif menatapnya, berusaha tetap tenang meski jantungnya berdebar. “Tentu, Lila. Semua sudah diatur dengan baik. Kami juga sudah memesan catering, dekorasi… semua sudah beres.”Lila tersenyum, meskipun ada sesuatu yang terlihat mengganjal di matanya. "Aku hanya khawatir, kalau ada sesuatu yang terlewat. Tapi, sepertinya aku bisa percaya padamu."Arif hanya mengangguk. Dia tidak bisa menghindar dari rasa cemas yang menyusup di setiap percakapan mereka. Setiap kali Lila mengingatkan tentang pernikahan, Arif merasa
Pagi datang dengan cahaya abu-abu yang enggan menyinari penuh. Kabut masih menempel di dedaunan dan kaca jendela, seolah malam belum benar-benar berakhir.Lila berdiri di dapur sambil memandangi air mendidih dalam panci. Tangannya menggenggam gagang panci, tapi pikirannya tidak berada di sana. Malam tadi masih berputar di kepalanya—kursi yang tidak bergeser, lampu teras yang padam sendiri, dan suara retakan dari bingkai foto Arif yang berubah.Suasana rumah tetap hening. Terlalu hening untuk ukuran pagi hari. Bahkan suara burung pun enggan berkicau. Biasanya, pagi-pagi seperti ini terdengar kicauan dari burung-burung pipit yang bersarang di bawah genting. Tapi hari ini, bahkan angin pun tampak enggan menyentuh daun jendela."Bu... tadi malam aku mimpi lagi," ucap Jatinegara dari balik pintu dapur.Lila menoleh. Anaknya sudah rapi, duduk di kursi sambil menggambar lagi. Kali ini, kertasnya penuh dengan warna abu-abu dan hitam. Tidak ada bentuk manusi
"Jatinegara! Jangan lari-lari di dalam rumah!" tegur Lila dari arah dapur sambil membawa piring kotor.Anak itu tidak menjawab, hanya tertawa kecil dan berlari menuju ruang tengah, lalu berhenti tepat di depan jendela besar yang menghadap ke halaman. Ia menempelkan wajahnya ke kaca, matanya fokus ke satu titik di luar sana.Hari itu, langit Desa Misahan tampak mendung. Angin lembut mengayun ranting-ranting pohon tua di halaman depan. Suasana rumah tenang, terlalu tenang, seperti tengah menyembunyikan bisikan rahasia yang enggan keluar dari celah dinding.Lila meletakkan piring ke dalam ember air sabun, lalu menyeka tangannya dengan kain lap. Ia berjalan perlahan menuju anaknya yang masih berdiri menatap ke luar."Kamu lihat apa, Jati?" tanyanya sambil ikut menoleh ke luar jendela.Jatinegara menunjuk ke arah pohon besar. Di bawahnya, ada kursi kayu reyot yang tampak tua dan ditinggalkan. Kursi itu sebenarnya tidak pernah ada di halaman rumah mereka. Lila tahu betul setiap sudut tempat
Langit biru yang muncul tadi pagi perlahan mulai tertutup awan kembali. Tapi kali ini tidak gelap, hanya mendung yang menggantung ringan—seperti kabut tipis yang ragu turun sebagai hujan.Di dalam rumah, Jatinegara duduk di bawah jendela ruang tengah. Pensil warnanya tidak bergerak hari ini, hanya tergeletak di sebelah buku gambar yang masih kosong.Sudah dua hari sejak mereka mengunjungi makam Arif. Tidak ada suara ketukan. Tidak ada bayangan yang berdiri di halaman. Tidak ada apa-apa selain angin yang datang dan pergi tanpa arah.Lila mengamati anaknya dari meja makan. Ia sedang melipat pakaian, tapi pikirannya tidak di sana.“Kamu nggak gambar lagi?” tanyanya pelan, memecah keheningan.Jatinegara menggeleng. “Nggak ada yang mau digambar, Bu. Semua sudah pulang.”Lila tersenyum tipis, walau hatinya belum sepenuhnya percaya. Ia tahu, kadang anak-anak bisa lebih jujur dari orang dewasa… tapi juga lebih pa
Langit siang itu masih tertutup mendung. Hujan sempat reda sebentar, namun tanah di sepanjang jalan menuju pemakaman masih basah, becek, dan licin.Mobil Dimas melaju pelan, ban belakang sesekali selip melewati jalanan tanah yang menurun. Di dalam mobil, suasana hening. Hanya suara penghapus kaca depan yang bergerak ritmis mengikuti tetes hujan yang turun tak beraturan.Lila duduk di kursi penumpang depan, kedua tangannya saling menggenggam di atas pangkuan. Napasnya berat, sesekali mengembus perlahan seakan ingin menenangkan dirinya sendiri.Di kursi belakang, Jatinegara tertidur dengan kepala bersandar di jendela. Di tangannya masih tergenggam kertas gambar terakhir yang tadi pagi ia selesaikan.Gambar itu... adalah rumah mereka. Dan sosok Arif berdiri di teras, menatap ke arah pagar. Di balik pagar, sosok tinggi hitam berdiri diam. Tak ada wajah. Hanya gelap.Lila melirik ke kaca spion, menatap bayangan Jatinegara. Ada sesuatu dalam tidur anak i
Langit malam tampak kelabu, seolah belum selesai menangis sejak senja tadi. Hujan gerimis turun tipis, nyaris tak terdengar, hanya terasa saat tetesnya membasahi kaca jendela.Lila duduk di dekat tungku dapur yang menyala kecil. Api tak terlalu besar, hanya cukup untuk mengusir dingin yang sejak sore merayap ke seluruh sudut rumah.Sesekali, ia meniup permukaan cangkir tehnya yang mengepulkan aroma melati. Tapi tegukan itu tak pernah sampai ke bibirnya.Pikirannya masih berada di tempat yang lain—pada gambar-gambar Jatinegara, pada suara yang tak terdengar namun terus menggema dalam batinnya.Dia menatap ke arah lorong rumah, memastikan bahwa Jatinegara masih tidur di kamarnya. Anak itu terlihat tenang, tapi Lila tahu, ketenangan itu hanya selapis di permukaan.“Hari ini tak ada ketukan,” gumamnya, seperti berbicara dengan dirinya sendiri.Namun, ketukan bukan satu-satunya bentuk kehadiran. Kadang, diam pun bisa menjadi tanda.***Dimas duduk di ruang tamu dengan rokok yang mati di ta
Pagi belum sepenuhnya datang. Matahari masih tertutup awan kelabu, menyisakan sinar samar yang membuat rumah terasa seperti terperangkap dalam bayangan.Jatinegara duduk di ruang tengah sambil memeluk lututnya. Pensil warna berserakan di sekitarnya, sementara selembar kertas tergeletak di pangkuannya. Matanya menatap lekat gambar yang baru saja ia selesaikan, seperti sedang mendengarkan suara yang hanya dia bisa dengar.Gambarnya terlihat biasa saja—sebuah rumah dengan halaman dan pohon besar di sampingnya. Tapi di sudut halaman, ada sosok hitam tinggi berdiri tanpa wajah.“Aku sudah bilang jangan digambar lagi,” bisik Jatinegara lirih, seperti sedang bicara pada kertas itu.Tapi pensil warna cokelat di tangannya bergerak sendiri. Garis-garis baru mulai terbentuk, membentuk bayangan panjang yang menyambung dari kaki sosok itu hingga ke pintu rumah.Langkah kaki terdengar dari dapur. Lila datang dengan wajah lelah, matanya sembab karena kurang tidur. Ia duduk di kursi dekat anaknya dan
Suara detik jam terdengar pelan, tapi cukup untuk mengisi keheningan yang menggantung di seluruh rumah. Lila duduk di ujung tempat tidur sambil mengusap pelan punggung Jatinegara yang sedang tidur. Wajah anak itu terlihat tenang, bahkan terlalu tenang untuk malam yang baru saja menyimpan sesuatu yang tidak bisa ia jelaskan.Pikirannya kembali pada suara ketukan yang ia dengar malam tadi.Tiga ketukan pelan namun terasa seperti gendang di telinganya.“Mungkin itu hanya perasaanku saja,” gumamnya pelan, mencoba menenangkan kegelisahan yang perlahan merayap dari dadanya ke tengkuk.Namun aroma udara pagi ini berbeda. Lebih lembap, dan ada bau samar seperti kayu basah bercampur asap yang entah dari mana datangnya.Dia berdiri perlahan, berjalan ke arah ruang tamu yang masih remang. Di jendela, sinar matahari mencoba masuk, tapi awan gelap terlalu malas untuk pergi.Langkahnya terhenti di depan pintu rumah. Ia menatap gagangnya yang masih tertutup rapat. Tapi perasaan itu… masih ada.Seper
Suara detik jam dinding terdengar lebih keras malam ini. Lila membuka matanya perlahan, membiarkan kegelapan menyelimuti penglihatannya. Lampu kamar sudah padam sejak satu jam lalu, tapi matanya tak kunjung lelap.Ia menatap langit-langit kamar yang gelap, jari-jarinya menggenggam selimut yang menutupi tubuh Jatinegara di sebelahnya. Anak itu tidur tenang, dadanya naik turun perlahan. Seharusnya Lila ikut merasa tenang. Namun hatinya tetap gelisah.“Mungkin karena masih terbawa suasana dari rumah Ustadz Harman,” gumamnya dalam hati, mencoba menenangkan diri.Tapi ada sesuatu malam ini yang berbeda. Udara kamar lebih dingin dari biasanya. Tirai jendela sedikit berkibar meskipun semua jendela tertutup rapat. Suara jangkrik dari luar pun terdengar lebih pelan, seperti sedang menahan napas.Lalu suara itu datang.Tok. Tok. Tok.Lila sontak menahan napas.Tiga ketukan, pelan tapi cukup kuat untuk membuat hatinya berdegup keras. Ia menoleh ke arah jendela, seakan suara itu berasal dari sana
Mobil terus melaju melewati jalanan desa yang mulai ditinggalkan. Langit cerah, matahari bersinar terang, tetapi udara di dalam mobil terasa lebih dingin dari seharusnya.Lila duduk di kursi depan, diam menatap jalan di depan mereka.Di belakang, Jatinegara masih menatap keluar jendela, tubuhnya rileks. Seolah-olah tidak terjadi apa-apa.Tetapi Lila tahu sesuatu masih tidak beres.Tangannya menggenggam rok yang ia kenakan, mencoba menenangkan diri.Tadi, di kaca spion…Refleksi Jatinegara terlihat berbeda.Menatapnya lurus.Dengan mata yang lebih gelap dari seharusnya.Namun, saat ia menoleh ke belakang, anaknya terlihat biasa saja.Lila menelan ludah.Mungkin aku hanya terlalu lelah…Tetapi jauh di dalam hatinya, ia tahu itu bukan hanya perasaan.Dimas melirik ke arahnya. "Kau baik-baik saja?"Lila mengangguk pelan, meskipun hatinya masih berdebar kencang.