Home / Horor / Pesugihan Kandang Bubrah / 18.  Jalan Gelap ke Hutan Srengege

Share

18.  Jalan Gelap ke Hutan Srengege

Author: Ndraa Archer
last update Huling Na-update: 2024-11-18 14:17:38

Arif mengangguk pelan di hadapan Suryanto Cendana, yang menatapnya penuh keyakinan. "Saya percaya padamu, Arif," kata Suryanto. "Jangan sia-siakan kesempatan ini."

“Terima kasih, Pak Suryanto,” balas Arif dengan nada hormat. Wajahnya terlihat tenang, namun di dalam dadanya, rasa gelisah menggeliat seperti ular.

Ketika Suryanto pergi meninggalkannya, suara Gibran kembali terngiang di pikirannya. ‘Aku tahu siapa dirimu sebenarnya.’ Kalimat itu menggantung di benaknya, seperti duri yang menusuk perlahan.

“Waktunya hampir tiba,” gumam Arif pada dirinya sendiri. Dia tahu apa yang harus dilakukan. Ritual tahunan pesugihan kandang bubrah harus dilanjutkan. Kali ini, dia sudah memutuskan tumbal berikutnya. ‘Bintan Mahoni.’ Nama itu tertulis di dalam pikirannya.

Malam itu, di rumahnya, Arif duduk di meja kecil dengan lampu minyak yang menyala redup. Di tangannya, Arif memegang foto Bintan Mahoni. Dalam gambar itu, Bintan terlihat tersenyum lebar di acara keluarga, senyuman yang sekarang mem
Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Locked Chapter

Kaugnay na kabanata

  • Pesugihan Kandang Bubrah   19. Bayaran yang Harus Dibayar

    Pikiran Arif terusik. Suara Mbah Niah terngiang jelas di telinganya meski dia sudah kembali ke rumah. Kata-katanya seakan menjadi mantera yang tak henti-hentinya memutar di dalam benaknya. ‘Ingat, Arif. Apa yang kau minta selalu punya harga. Jangan lupa apa yang sudah kau janjikan.’Saat itu, di hutan Srengege, Mbah Niah berubah. Tubuh rentanya tiba-tiba memudar, berganti menjadi sosok wanita muda dengan kecantikan yang luar biasa. Senyum manisnya terasa menipu, matanya berkilat penuh misteri. “Arif, kau memilih jalan ini. Jangan pernah ragu lagi,” katanya lembut, suaranya seperti bisikan yang merayap ke dalam jiwa Arif. Kini, di kamar kecilnya yang suram, bayangan wajah cantik itu terus muncul di pikirannya. Dia mengguncang kepalanya dengan kasar, mencoba mengusirnya. Namun, semakin dia mencoba melupakan, semakin jelas bayangan itu menyerangnya. Pagi harinya di depan rumah, Bintan. “Bapak Bintan kenapa, Bu?” tanya seorang tetangga yang melongok dari balik pagar rumah keluarga Maho

    Huling Na-update : 2024-11-18
  • Pesugihan Kandang Bubrah   20. Pria Misterius

    Arif duduk di ruang tamunya yang luas, ditemani hanya oleh kesunyian. Rumah megahnya kini hampir selesai, setiap sudut dan celah telah direnovasi dengan cermat.“Uang-uang ini, seperti mimpi. Dulu untuk memiliki selembar saja sulit.” Arif bergumam sendiri, Tumpukan uang hasil penjualan jengkol baru-baru ini terhampar di meja, mencerminkan keberhasilannya yang semakin gemilang.Sejak kematian Bintan, Arif merasa dunia berada di tangannya, seolah-olah tidak ada yang bisa menghalangi langkahnya. “Setidaknya aku sudah, sedikit tenang. Musuhku berkurang satu. Orang yang selalu memandang rendah diriku dan orang tuaku,” gumamnya di ikuti senyum kecil kemenangan.Namun, ketenangannya terganggu oleh suara bisikan lembut yang datang dari arah jendela. Arif menoleh cepat, matanya menelusuri ruangan yang sepi itu. Tidak ada apa-apa. Angin berhembus pelan, namun bisikan itu seolah menyusup jauh ke dalam jiwanya. Dia menghela napas panjang, berusaha mengabaikan perasaan tidak nyaman yang mendalam.

    Huling Na-update : 2024-11-20
  • Pesugihan Kandang Bubrah   21. Aroma Melati yang Menyengat

    Suasana di ruang tamu rumah Arif terasa panas, meskipun jendela sudah dibuka lebar. Waktu sudah menjelang sore, namun udara seakan tak mampu mengusir kepanasan yang mencekik. Di depan Arif, Lila Cendana duduk dengan tenang, matanya menatap layar ponsel dengan serius. Pernikahan mereka hanya tinggal seminggu lagi. Segala persiapan sudah hampir selesai, namun masih ada beberapa hal yang harus dibicarakan.“Arif, aku rasa undangan sudah cukup banyak, kan?” Lila memecah keheningan.Arif menatapnya, berusaha tetap tenang meski jantungnya berdebar. “Tentu, Lila. Semua sudah diatur dengan baik. Kami juga sudah memesan catering, dekorasi… semua sudah beres.”Lila tersenyum, meskipun ada sesuatu yang terlihat mengganjal di matanya. "Aku hanya khawatir, kalau ada sesuatu yang terlewat. Tapi, sepertinya aku bisa percaya padamu."Arif hanya mengangguk. Dia tidak bisa menghindar dari rasa cemas yang menyusup di setiap percakapan mereka. Setiap kali Lila mengingatkan tentang pernikahan, Arif merasa

    Huling Na-update : 2024-11-22
  • Pesugihan Kandang Bubrah   22. Pesta Pernikahan yang Terusik

    Suasana pesta pernikahan Arif dan Lila begitu meriah, seperti yang diharapkan. Para tamu menikmati hidangan, tertawa dan berbicara dengan riang. Lampu-lampu berkilauan di langit malam, menciptakan suasana megah di halaman belakang rumah keluarga Arif. Namun, di balik keramaian, ada sesuatu yang gelap mengintai. Sesuatu yang tak terlihat oleh tamu undangan, tapi semakin terasa mendekat.Di dapur, tempat yang biasanya penuh dengan kegembiraan dan canda tawa para koki dan pelayan, kini terasa mencekam. Udara di sana begitu panas, tercium bau masakan yang terlalu menyengat, seperti sesuatu yang sudah mulai rusak. Seolah ada ketegangan yang mengendap, meskipun tak ada yang berbicara. Tiba-tiba, langkah kaki yang terburu-buru terdengar dan seseorang memasuki dapur dari pintu belakang. Gibran, sepupu Arif, tiba-tiba muncul di tengah-tengah kerumunan pembantu dan para koki.Gibran tidak diundang. Dia datang tanpa pemberitahuan, diam-diam menyusup melalui pintu dapur. Matanya penuh amarah dan

    Huling Na-update : 2024-11-22
  • Pesugihan Kandang Bubrah   23. Tuduhan dan Pertarungan Tak Terduga

    Setelah malam mencekam di dapur, suasana desa mulai berubah. Warga, yang sebelumnya antusias dengan pernikahan Arif dan Lila, mulai bergosip. Keberuntungan Arif yang luar biasa dari tanah yang tiba-tiba subur hingga kemampuannya membayar pesta besar, menjadi topik pembicaraan. Semua ini tidak lepas dari Gibran, yang kini menyebarkan fitnah ke mana-mana."Arif pasti menggunakan cara-cara kotor. Mana mungkin orang miskin seperti dia bisa mendadak kaya?" kata Gibran dengan nada sinis di salah satu warung kopi desa.“Aku dengar Lila terpaksa menikah dengannya. Mungkin dia menekan keluarga Lila dengan cara yang tak benar,” tambahnya sambil tersenyum miring, memastikan orang-orang mempercayai ceritanya.Warga mulai memperhatikan. Beberapa bahkan menyebarkan gosip lebih jauh. Kecurigaan mulai berkembang. Setiap langkah Arif kini diawasi dengan tatapan penuh prasangka. Bahkan Lila, yang tidak tahu-menahu tentang konflik ini, merasa tekanan ya

    Huling Na-update : 2024-11-23
  • Pesugihan Kandang Bubrah   24. Penghakiman di Rumah Arif

    Pagi berikutnya, gosip tentang kejadian malam di sawah menyebar cepat di Desa Misahan. Beberapa warga merasa ketakutan, sementara yang lain semakin penasaran. Kecurigaan terhadap Arif belum benar-benar hilang, meskipun Gibran kini terbaring lemah di rumahnya, enggan keluar setelah peristiwa itu. Beberapa warga mulai berembuk, mencari cara untuk memastikan kebenaran.“Kita harus memeriksa rumah Arif,” ujar Pak Darto, salah satu tetua desa. “Jika dia tidak menyembunyikan apa-apa, seharusnya dia tidak keberatan.”Siang itu, sekelompok warga mendatangi rumah Arif. Ketukan pintu keras membuat Lila yang sedang menyiapkan makanan terkejut. “Arif, ada banyak orang di luar!” panggilnya, suaranya penuh kegelisahan.Arif, yang sedang duduk di ruang tamu, segera bangkit. Arif membuka pintu dan mendapati puluhan wajah menatapnya, beberapa dengan ragu, yang lain dengan tatapan penuh curiga.&

    Huling Na-update : 2024-11-23
  • Pesugihan Kandang Bubrah   25. Bayangan Kehilangan

    Malam itu, angin bertiup kencang di Desa Misahan. Lila duduk di kamar, memegangi perutnya yang mulai membesar. Senyumnya merekah setiap kali dia membayangkan masa depan bersama anak yang sedang dikandungnya. Sementara itu, Arif duduk di ruang tamu, termenung. Matanya menatap kosong ke arah lampu minyak yang bergoyang pelan. Kegelisahan memenuhi dadanya, meski dia tak tahu mengapa.“Arif,” panggil Lila dari kamar, suaranya lemah.Arif tersentak dan segera menuju kamar. Di sana, Arif menemukan istrinya duduk di tepi tempat tidur, wajahnya pucat. “Ada apa?” tanyanya cemas, mendekat dan memegang bahu Lila.“Aku merasa sedikit sakit di perut,” bisik Lila, suaranya bergetar.Arif merasakan aliran dingin menyusup ke dalam tubuhnya. “Sakit seperti apa?”“Seperti ada yang menusuk,” jawab Lila, memegangi perutnya.Arif memb

    Huling Na-update : 2024-11-23
  • Pesugihan Kandang Bubrah   25. Tumbal Ke empat

    Malam itu, setelah keheningan yang menyeramkan dengan Lila di sudut kamar, Arif mulai terbiasa menjalani kehidupannya kembali. Arif merasa lega ketika Lila tak lagi membahas kejadian aneh sebelumnya. Arif harus tetap menjaga semuanya tersembunyi, terutama dari Lila. Kali ini setahun setelah Lila keguguran Arif memutuskan untuk membangun kandang ayam di belakang rumah sebagai pengalih perhatian.”Aku akan membuat tidak terlalu besar, sebagai syarat saja, kjadi bisa aku kerjakan sendiri tanpa harus memanggil tukang,” gumamnya merancang semuanya.Pagi hari, di halaman belakang rumah, Lila sedang menjemur pakaian saat Arif datang membawa beberapa balok kayu.“Mas, apa ini?” tanya Lila, melirik bahan-bahan bangunan itu.“Rencananya aku mau bikin kandang ayam. Aku pikir, kita bisa mulai usaha kecil-kecilan. Ternak ayam bisa jadi pemasukan tambahan,” jawab Arif santai, mencoba terdengar meyakinkan.Lila tersenyum kecil, meski tak sepenuhnya percaya. “Oh, begitu. Ya sudah, semoga berhasil.”

    Huling Na-update : 2024-11-24

Pinakabagong kabanata

  • Pesugihan Kandang Bubrah    233. Kehadiran yang Tak Terlihat

    Pagi datang dengan cahaya abu-abu yang enggan menyinari penuh. Kabut masih menempel di dedaunan dan kaca jendela, seolah malam belum benar-benar berakhir.Lila berdiri di dapur sambil memandangi air mendidih dalam panci. Tangannya menggenggam gagang panci, tapi pikirannya tidak berada di sana. Malam tadi masih berputar di kepalanya—kursi yang tidak bergeser, lampu teras yang padam sendiri, dan suara retakan dari bingkai foto Arif yang berubah.Suasana rumah tetap hening. Terlalu hening untuk ukuran pagi hari. Bahkan suara burung pun enggan berkicau. Biasanya, pagi-pagi seperti ini terdengar kicauan dari burung-burung pipit yang bersarang di bawah genting. Tapi hari ini, bahkan angin pun tampak enggan menyentuh daun jendela."Bu... tadi malam aku mimpi lagi," ucap Jatinegara dari balik pintu dapur.Lila menoleh. Anaknya sudah rapi, duduk di kursi sambil menggambar lagi. Kali ini, kertasnya penuh dengan warna abu-abu dan hitam. Tidak ada bentuk manusi

  • Pesugihan Kandang Bubrah   232. Kursi Kosong di Bawah Pohon

    "Jatinegara! Jangan lari-lari di dalam rumah!" tegur Lila dari arah dapur sambil membawa piring kotor.Anak itu tidak menjawab, hanya tertawa kecil dan berlari menuju ruang tengah, lalu berhenti tepat di depan jendela besar yang menghadap ke halaman. Ia menempelkan wajahnya ke kaca, matanya fokus ke satu titik di luar sana.Hari itu, langit Desa Misahan tampak mendung. Angin lembut mengayun ranting-ranting pohon tua di halaman depan. Suasana rumah tenang, terlalu tenang, seperti tengah menyembunyikan bisikan rahasia yang enggan keluar dari celah dinding.Lila meletakkan piring ke dalam ember air sabun, lalu menyeka tangannya dengan kain lap. Ia berjalan perlahan menuju anaknya yang masih berdiri menatap ke luar."Kamu lihat apa, Jati?" tanyanya sambil ikut menoleh ke luar jendela.Jatinegara menunjuk ke arah pohon besar. Di bawahnya, ada kursi kayu reyot yang tampak tua dan ditinggalkan. Kursi itu sebenarnya tidak pernah ada di halaman rumah mereka. Lila tahu betul setiap sudut tempat

  • Pesugihan Kandang Bubrah   231. Tidak Semua Jejak Menghilang

    Langit biru yang muncul tadi pagi perlahan mulai tertutup awan kembali. Tapi kali ini tidak gelap, hanya mendung yang menggantung ringan—seperti kabut tipis yang ragu turun sebagai hujan.Di dalam rumah, Jatinegara duduk di bawah jendela ruang tengah. Pensil warnanya tidak bergerak hari ini, hanya tergeletak di sebelah buku gambar yang masih kosong.Sudah dua hari sejak mereka mengunjungi makam Arif. Tidak ada suara ketukan. Tidak ada bayangan yang berdiri di halaman. Tidak ada apa-apa selain angin yang datang dan pergi tanpa arah.Lila mengamati anaknya dari meja makan. Ia sedang melipat pakaian, tapi pikirannya tidak di sana.“Kamu nggak gambar lagi?” tanyanya pelan, memecah keheningan.Jatinegara menggeleng. “Nggak ada yang mau digambar, Bu. Semua sudah pulang.”Lila tersenyum tipis, walau hatinya belum sepenuhnya percaya. Ia tahu, kadang anak-anak bisa lebih jujur dari orang dewasa… tapi juga lebih pa

  • Pesugihan Kandang Bubrah   230. Kembali ke Titik Terakhir

    Langit siang itu masih tertutup mendung. Hujan sempat reda sebentar, namun tanah di sepanjang jalan menuju pemakaman masih basah, becek, dan licin.Mobil Dimas melaju pelan, ban belakang sesekali selip melewati jalanan tanah yang menurun. Di dalam mobil, suasana hening. Hanya suara penghapus kaca depan yang bergerak ritmis mengikuti tetes hujan yang turun tak beraturan.Lila duduk di kursi penumpang depan, kedua tangannya saling menggenggam di atas pangkuan. Napasnya berat, sesekali mengembus perlahan seakan ingin menenangkan dirinya sendiri.Di kursi belakang, Jatinegara tertidur dengan kepala bersandar di jendela. Di tangannya masih tergenggam kertas gambar terakhir yang tadi pagi ia selesaikan.Gambar itu... adalah rumah mereka. Dan sosok Arif berdiri di teras, menatap ke arah pagar. Di balik pagar, sosok tinggi hitam berdiri diam. Tak ada wajah. Hanya gelap.Lila melirik ke kaca spion, menatap bayangan Jatinegara. Ada sesuatu dalam tidur anak i

  • Pesugihan Kandang Bubrah   229. Panggilan yang Tidak Diucapkan

    Langit malam tampak kelabu, seolah belum selesai menangis sejak senja tadi. Hujan gerimis turun tipis, nyaris tak terdengar, hanya terasa saat tetesnya membasahi kaca jendela.Lila duduk di dekat tungku dapur yang menyala kecil. Api tak terlalu besar, hanya cukup untuk mengusir dingin yang sejak sore merayap ke seluruh sudut rumah.Sesekali, ia meniup permukaan cangkir tehnya yang mengepulkan aroma melati. Tapi tegukan itu tak pernah sampai ke bibirnya.Pikirannya masih berada di tempat yang lain—pada gambar-gambar Jatinegara, pada suara yang tak terdengar namun terus menggema dalam batinnya.Dia menatap ke arah lorong rumah, memastikan bahwa Jatinegara masih tidur di kamarnya. Anak itu terlihat tenang, tapi Lila tahu, ketenangan itu hanya selapis di permukaan.“Hari ini tak ada ketukan,” gumamnya, seperti berbicara dengan dirinya sendiri.Namun, ketukan bukan satu-satunya bentuk kehadiran. Kadang, diam pun bisa menjadi tanda.***Dimas duduk di ruang tamu dengan rokok yang mati di ta

  • Pesugihan Kandang Bubrah    228. Suara dari Balik Gambar

    Pagi belum sepenuhnya datang. Matahari masih tertutup awan kelabu, menyisakan sinar samar yang membuat rumah terasa seperti terperangkap dalam bayangan.Jatinegara duduk di ruang tengah sambil memeluk lututnya. Pensil warna berserakan di sekitarnya, sementara selembar kertas tergeletak di pangkuannya. Matanya menatap lekat gambar yang baru saja ia selesaikan, seperti sedang mendengarkan suara yang hanya dia bisa dengar.Gambarnya terlihat biasa saja—sebuah rumah dengan halaman dan pohon besar di sampingnya. Tapi di sudut halaman, ada sosok hitam tinggi berdiri tanpa wajah.“Aku sudah bilang jangan digambar lagi,” bisik Jatinegara lirih, seperti sedang bicara pada kertas itu.Tapi pensil warna cokelat di tangannya bergerak sendiri. Garis-garis baru mulai terbentuk, membentuk bayangan panjang yang menyambung dari kaki sosok itu hingga ke pintu rumah.Langkah kaki terdengar dari dapur. Lila datang dengan wajah lelah, matanya sembab karena kurang tidur. Ia duduk di kursi dekat anaknya dan

  • Pesugihan Kandang Bubrah   227. Yang Masuk Lewat Celah Pintu

    Suara detik jam terdengar pelan, tapi cukup untuk mengisi keheningan yang menggantung di seluruh rumah. Lila duduk di ujung tempat tidur sambil mengusap pelan punggung Jatinegara yang sedang tidur. Wajah anak itu terlihat tenang, bahkan terlalu tenang untuk malam yang baru saja menyimpan sesuatu yang tidak bisa ia jelaskan.Pikirannya kembali pada suara ketukan yang ia dengar malam tadi.Tiga ketukan pelan namun terasa seperti gendang di telinganya.“Mungkin itu hanya perasaanku saja,” gumamnya pelan, mencoba menenangkan kegelisahan yang perlahan merayap dari dadanya ke tengkuk.Namun aroma udara pagi ini berbeda. Lebih lembap, dan ada bau samar seperti kayu basah bercampur asap yang entah dari mana datangnya.Dia berdiri perlahan, berjalan ke arah ruang tamu yang masih remang. Di jendela, sinar matahari mencoba masuk, tapi awan gelap terlalu malas untuk pergi.Langkahnya terhenti di depan pintu rumah. Ia menatap gagangnya yang masih tertutup rapat. Tapi perasaan itu… masih ada.Seper

  • Pesugihan Kandang Bubrah    226. Ketukan di Tengah Malam

    Suara detik jam dinding terdengar lebih keras malam ini. Lila membuka matanya perlahan, membiarkan kegelapan menyelimuti penglihatannya. Lampu kamar sudah padam sejak satu jam lalu, tapi matanya tak kunjung lelap.Ia menatap langit-langit kamar yang gelap, jari-jarinya menggenggam selimut yang menutupi tubuh Jatinegara di sebelahnya. Anak itu tidur tenang, dadanya naik turun perlahan. Seharusnya Lila ikut merasa tenang. Namun hatinya tetap gelisah.“Mungkin karena masih terbawa suasana dari rumah Ustadz Harman,” gumamnya dalam hati, mencoba menenangkan diri.Tapi ada sesuatu malam ini yang berbeda. Udara kamar lebih dingin dari biasanya. Tirai jendela sedikit berkibar meskipun semua jendela tertutup rapat. Suara jangkrik dari luar pun terdengar lebih pelan, seperti sedang menahan napas.Lalu suara itu datang.Tok. Tok. Tok.Lila sontak menahan napas.Tiga ketukan, pelan tapi cukup kuat untuk membuat hatinya berdegup keras. Ia menoleh ke arah jendela, seakan suara itu berasal dari sana

  • Pesugihan Kandang Bubrah   225. Bayangan di Kaca Spion

    Mobil terus melaju melewati jalanan desa yang mulai ditinggalkan. Langit cerah, matahari bersinar terang, tetapi udara di dalam mobil terasa lebih dingin dari seharusnya.Lila duduk di kursi depan, diam menatap jalan di depan mereka.Di belakang, Jatinegara masih menatap keluar jendela, tubuhnya rileks. Seolah-olah tidak terjadi apa-apa.Tetapi Lila tahu sesuatu masih tidak beres.Tangannya menggenggam rok yang ia kenakan, mencoba menenangkan diri.Tadi, di kaca spion…Refleksi Jatinegara terlihat berbeda.Menatapnya lurus.Dengan mata yang lebih gelap dari seharusnya.Namun, saat ia menoleh ke belakang, anaknya terlihat biasa saja.Lila menelan ludah.Mungkin aku hanya terlalu lelah…Tetapi jauh di dalam hatinya, ia tahu itu bukan hanya perasaan.Dimas melirik ke arahnya. "Kau baik-baik saja?"Lila mengangguk pelan, meskipun hatinya masih berdebar kencang.

Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status