Pikiran Arif terusik. Suara Mbah Niah terngiang jelas di telinganya meski dia sudah kembali ke rumah. Kata-katanya seakan menjadi mantera yang tak henti-hentinya memutar di dalam benaknya. ‘Ingat, Arif. Apa yang kau minta selalu punya harga. Jangan lupa apa yang sudah kau janjikan.’Saat itu, di hutan Srengege, Mbah Niah berubah. Tubuh rentanya tiba-tiba memudar, berganti menjadi sosok wanita muda dengan kecantikan yang luar biasa. Senyum manisnya terasa menipu, matanya berkilat penuh misteri. “Arif, kau memilih jalan ini. Jangan pernah ragu lagi,” katanya lembut, suaranya seperti bisikan yang merayap ke dalam jiwa Arif. Kini, di kamar kecilnya yang suram, bayangan wajah cantik itu terus muncul di pikirannya. Dia mengguncang kepalanya dengan kasar, mencoba mengusirnya. Namun, semakin dia mencoba melupakan, semakin jelas bayangan itu menyerangnya. Pagi harinya di depan rumah, Bintan. “Bapak Bintan kenapa, Bu?” tanya seorang tetangga yang melongok dari balik pagar rumah keluarga Maho
Arif duduk di ruang tamunya yang luas, ditemani hanya oleh kesunyian. Rumah megahnya kini hampir selesai, setiap sudut dan celah telah direnovasi dengan cermat.“Uang-uang ini, seperti mimpi. Dulu untuk memiliki selembar saja sulit.” Arif bergumam sendiri, Tumpukan uang hasil penjualan jengkol baru-baru ini terhampar di meja, mencerminkan keberhasilannya yang semakin gemilang.Sejak kematian Bintan, Arif merasa dunia berada di tangannya, seolah-olah tidak ada yang bisa menghalangi langkahnya. “Setidaknya aku sudah, sedikit tenang. Musuhku berkurang satu. Orang yang selalu memandang rendah diriku dan orang tuaku,” gumamnya di ikuti senyum kecil kemenangan.Namun, ketenangannya terganggu oleh suara bisikan lembut yang datang dari arah jendela. Arif menoleh cepat, matanya menelusuri ruangan yang sepi itu. Tidak ada apa-apa. Angin berhembus pelan, namun bisikan itu seolah menyusup jauh ke dalam jiwanya. Dia menghela napas panjang, berusaha mengabaikan perasaan tidak nyaman yang mendalam.
Suasana di ruang tamu rumah Arif terasa panas, meskipun jendela sudah dibuka lebar. Waktu sudah menjelang sore, namun udara seakan tak mampu mengusir kepanasan yang mencekik. Di depan Arif, Lila Cendana duduk dengan tenang, matanya menatap layar ponsel dengan serius. Pernikahan mereka hanya tinggal seminggu lagi. Segala persiapan sudah hampir selesai, namun masih ada beberapa hal yang harus dibicarakan.“Arif, aku rasa undangan sudah cukup banyak, kan?” Lila memecah keheningan.Arif menatapnya, berusaha tetap tenang meski jantungnya berdebar. “Tentu, Lila. Semua sudah diatur dengan baik. Kami juga sudah memesan catering, dekorasi… semua sudah beres.”Lila tersenyum, meskipun ada sesuatu yang terlihat mengganjal di matanya. "Aku hanya khawatir, kalau ada sesuatu yang terlewat. Tapi, sepertinya aku bisa percaya padamu."Arif hanya mengangguk. Dia tidak bisa menghindar dari rasa cemas yang menyusup di setiap percakapan mereka. Setiap kali Lila mengingatkan tentang pernikahan, Arif merasa
Suasana pesta pernikahan Arif dan Lila begitu meriah, seperti yang diharapkan. Para tamu menikmati hidangan, tertawa dan berbicara dengan riang. Lampu-lampu berkilauan di langit malam, menciptakan suasana megah di halaman belakang rumah keluarga Arif. Namun, di balik keramaian, ada sesuatu yang gelap mengintai. Sesuatu yang tak terlihat oleh tamu undangan, tapi semakin terasa mendekat.Di dapur, tempat yang biasanya penuh dengan kegembiraan dan canda tawa para koki dan pelayan, kini terasa mencekam. Udara di sana begitu panas, tercium bau masakan yang terlalu menyengat, seperti sesuatu yang sudah mulai rusak. Seolah ada ketegangan yang mengendap, meskipun tak ada yang berbicara. Tiba-tiba, langkah kaki yang terburu-buru terdengar dan seseorang memasuki dapur dari pintu belakang. Gibran, sepupu Arif, tiba-tiba muncul di tengah-tengah kerumunan pembantu dan para koki.Gibran tidak diundang. Dia datang tanpa pemberitahuan, diam-diam menyusup melalui pintu dapur. Matanya penuh amarah dan
Setelah malam mencekam di dapur, suasana desa mulai berubah. Warga, yang sebelumnya antusias dengan pernikahan Arif dan Lila, mulai bergosip. Keberuntungan Arif yang luar biasa dari tanah yang tiba-tiba subur hingga kemampuannya membayar pesta besar, menjadi topik pembicaraan. Semua ini tidak lepas dari Gibran, yang kini menyebarkan fitnah ke mana-mana."Arif pasti menggunakan cara-cara kotor. Mana mungkin orang miskin seperti dia bisa mendadak kaya?" kata Gibran dengan nada sinis di salah satu warung kopi desa.“Aku dengar Lila terpaksa menikah dengannya. Mungkin dia menekan keluarga Lila dengan cara yang tak benar,” tambahnya sambil tersenyum miring, memastikan orang-orang mempercayai ceritanya.Warga mulai memperhatikan. Beberapa bahkan menyebarkan gosip lebih jauh. Kecurigaan mulai berkembang. Setiap langkah Arif kini diawasi dengan tatapan penuh prasangka. Bahkan Lila, yang tidak tahu-menahu tentang konflik ini, merasa tekanan ya
Pagi berikutnya, gosip tentang kejadian malam di sawah menyebar cepat di Desa Misahan. Beberapa warga merasa ketakutan, sementara yang lain semakin penasaran. Kecurigaan terhadap Arif belum benar-benar hilang, meskipun Gibran kini terbaring lemah di rumahnya, enggan keluar setelah peristiwa itu. Beberapa warga mulai berembuk, mencari cara untuk memastikan kebenaran.“Kita harus memeriksa rumah Arif,” ujar Pak Darto, salah satu tetua desa. “Jika dia tidak menyembunyikan apa-apa, seharusnya dia tidak keberatan.”Siang itu, sekelompok warga mendatangi rumah Arif. Ketukan pintu keras membuat Lila yang sedang menyiapkan makanan terkejut. “Arif, ada banyak orang di luar!” panggilnya, suaranya penuh kegelisahan.Arif, yang sedang duduk di ruang tamu, segera bangkit. Arif membuka pintu dan mendapati puluhan wajah menatapnya, beberapa dengan ragu, yang lain dengan tatapan penuh curiga.&
Malam itu, angin bertiup kencang di Desa Misahan. Lila duduk di kamar, memegangi perutnya yang mulai membesar. Senyumnya merekah setiap kali dia membayangkan masa depan bersama anak yang sedang dikandungnya. Sementara itu, Arif duduk di ruang tamu, termenung. Matanya menatap kosong ke arah lampu minyak yang bergoyang pelan. Kegelisahan memenuhi dadanya, meski dia tak tahu mengapa.“Arif,” panggil Lila dari kamar, suaranya lemah.Arif tersentak dan segera menuju kamar. Di sana, Arif menemukan istrinya duduk di tepi tempat tidur, wajahnya pucat. “Ada apa?” tanyanya cemas, mendekat dan memegang bahu Lila.“Aku merasa sedikit sakit di perut,” bisik Lila, suaranya bergetar.Arif merasakan aliran dingin menyusup ke dalam tubuhnya. “Sakit seperti apa?”“Seperti ada yang menusuk,” jawab Lila, memegangi perutnya.Arif memb
Malam itu, setelah keheningan yang menyeramkan dengan Lila di sudut kamar, Arif mulai terbiasa menjalani kehidupannya kembali. Arif merasa lega ketika Lila tak lagi membahas kejadian aneh sebelumnya. Arif harus tetap menjaga semuanya tersembunyi, terutama dari Lila. Kali ini setahun setelah Lila keguguran Arif memutuskan untuk membangun kandang ayam di belakang rumah sebagai pengalih perhatian.”Aku akan membuat tidak terlalu besar, sebagai syarat saja, kjadi bisa aku kerjakan sendiri tanpa harus memanggil tukang,” gumamnya merancang semuanya.Pagi hari, di halaman belakang rumah, Lila sedang menjemur pakaian saat Arif datang membawa beberapa balok kayu.“Mas, apa ini?” tanya Lila, melirik bahan-bahan bangunan itu.“Rencananya aku mau bikin kandang ayam. Aku pikir, kita bisa mulai usaha kecil-kecilan. Ternak ayam bisa jadi pemasukan tambahan,” jawab Arif santai, mencoba terdengar meyakinkan.Lila tersenyum kecil, meski tak sepenuhnya percaya. “Oh, begitu. Ya sudah, semoga berhasil.”
Di dalam hatinya, Lila merasa terombang-ambing antara cinta dan amarah. Ia ingin menyelamatkan Arif, suami yang dulu ia cintai, namun ia juga tak bisa menahan rasa sakit dan kecewa atas keputusan-keputusan yang telah membawanya ke titik ini. Ia mulai bertanya-tanya apakah segala sesuatu yang mereka jalani, semua kebahagiaan mereka hanyalah ilusi yang dibangun di atas dosa dan pengorbanan.Lila duduk di samping Arif yang terbaring lemah, matanya menatap suaminya dengan penuh kecemasan."Arif..." suara Lila terhenti, terisak pelan. "Apa yang sudah kita lakukan? Kenapa kita harus terjerumus sejauh ini? Kenapa kamu memilih jalan ini?"Arif tidak menjawab. Wajahnya pucat, tubuhnya semakin lemah. Hanya ada keheningan yang semakin menebal di antara mereka. Lila merasa seolah berada di persimpangan jalan yang gelap dan tak ada arah. Setiap pilihan yang ia pikirkan terasa salah. Namun, ia tidak bisa mundur sekarang.
Lila menarik napas dalam-dalam, mencoba menahan amarah, kesedihan, dan rasa kehilangan yang mendalam. Dengan hati yang hancur, ia merasakan keputusan yang harus diambil oleh suaminya.Di luar, warga desa mulai mendekati rumah Mahoni. Mereka sudah hampir mencapai gerbang, dan suara mereka semakin mendekat. Lila berlari keluar, menatap mereka dengan tatapan penuh kebingungan dan kesedihan."Mereka datang," kata Lila, suaranya serak. "Arif... mereka datang."Arif menatap Lila dengan tatapan terakhir yang penuh dengan pengorbanan. "Lila... ini waktunya. Aku siap. Jagalah Jatinegara."Dengan langkah berat, Lila mengangguk, mengucapkan selamat tinggal pada Arif dengan hati yang hancur. Ia tahu bahwa ia akan kehilangan pria yang pernah ia cintai, namun ia juga tahu bahwa ini adalah satu-satunya jalan untuk membebaskan diri dari kutukan yang telah menghancurkan mereka.Arif, dalam pengor
Ketegangan di rumah Arif semakin memuncak. Warga desa yang marah telah memasuki halaman rumah dengan penuh amarah, memaksa Lila untuk segera mengambil keputusan.Setiap langkah mereka terasa seperti petir yang mengguncang dunia yang sudah hancur di sekelilingnya. Suara teriakan semakin keras, semakin mendekat ke pintu rumah, dan Lila merasa terjebak antara rasa takut dan kebingungan yang tak terungkapkan.Arif terbaring lemah di ranjang, wajahnya pucat, tubuhnya ringkih. Hidungnya mencium bau darah yang samar-samar, dan napasnya semakin terengah. Namun, meskipun tubuhnya tak lagi kuat, matanya yang penuh penyesalan masih tampak terang dengan perasaan yang dalam. Kini, dia tahu bahwa dia harus memilih jalan yang tak bisa kembali.Lila mendekat, duduk di sisi tempat tidur Arif. "Arif," suara Lila bergetar. "Kita... kita bisa melarikan diri. Kita bisa mencari jalan keluar bersama. Kita bisa… kita bisa pergi jauh dari
Setelah beberapa waktu berdiskusi, mereka sepakat untuk bertindak. Dengan penuh semangat, mereka bergerak menuju rumah Mahoni, dengan langkah-langkah cepat dan penuh tekad.”Kalau tidak bergerak sekarang, Arif bisa kabur,” ujar salah satu warga memprovokasi.”Betul! Betul! ” Serentak sorakan lantang tu menyeruak ke udara memenuhi desa Misahan.Namun, perjalanan itu tak berlangsung tanpa halangan. Mereka tahu bahwa jika mereka menyerang rumah Mahoni, mereka harus siap menghadapi segala konsekuensinya. Tetapi rasa sakit dan pengkhianatan yang mereka rasakan lebih besar dari ketakutan apapun.Sementara itu, di rumah Mahoni, Lila sedang berusaha menghadapi kenyataan yang baru saja terungkap. Dia merasa terjebak antara rasa cinta dan kebencian, antara keinginan untuk membangun kembali hidupnya dan kenyataan pahit yang harus dihadapi. Namun, hari itu, saat ia sedang duduk sendiri di ruang tamu, terdengar suara langkah-langkah yang mendekat. Ia mendengar bisikan yang semakin keras dari luar,
Arif terdiam. Ia tidak bisa melihat mata Lila, hanya menatap kosong ke dinding. "Aku... aku sengaja melakukan inseminasi dengan donor. Agar kau tetap bisa punya keturunan. Aku takut, Lila, kalau anak-anak kita adalah keturunan Mahoni, mereka akan menjadi tumbal ritual ini. Sebab itu Jatinegara aman saat ini, tidak ada setetespun darah Mahoni dalam tubuhnya," kata Arif, suara penuh keraguan.Lila terperanjat, hatinya seperti dipenuhi oleh amarah yang membakar. "Jadi, kau melakukan semua itu demi kekuatan dan kekayaan, Arif? Semua yang kita jalani selama ini, semua kebahagiaan kita, hanyalah kebohongan?!" Lila merasa tubuhnya semakin lemas. Semua yang ia percayai selama ini ternyata sebuah ilusi.Arif menggelengkan kepala, wajahnya penuh dengan air mata. "Aku tidak tahu lagi, Lila. Aku sudah terjebak dalam ini. Aku ingin berhenti, tapi aku tidak tahu bagaimana. Aku hanya ingin kita bisa hidup lebih baik... Aku hanya ingin kau bahagia," ucap Arif dengan suara tercekat.Lila merasa hatiny
Lila duduk di sudut ruang tamu, matanya kosong menatap jam dinding yang berdetak pelan. Setiap detik terasa berat, menambah beban kecemasan yang sudah lama menggerogoti hatinya.’Kenapa begini, kamu janji waktu dulu akan terus bersamaku. Kenapa begini, Arif . Aku mohon kamu bisa,’ harap Lila di dalam hati.Di depannya, Arif terbaring lemah di atas sofa. Tubuhnya tampak semakin kurus, wajahnya pucat, seolah-olah hidupnya tergantung pada seutas benang. Penyakit yang menggerogoti tubuh Arif memperburuk keadaannya, membuatnya lebih mudah terperangkap dalam dunia gaib yang semakin menguasainya. Suaminya yang dulu penuh semangat kini hanya tampak seperti bayangan.Lila memandang Arif dengan hati yang penuh keraguan dan rasa sakit. Ia tahu suaminya bukanlah orang yang sama lagi. Arif berbicara tanpa arah, matanya kosong, dan kadang-kadang ia tersenyum sendiri seperti berbicara dengan sesuatu yang tidak bisa dilihat Lila."Arif," Lila memanggil, suaranya bergetar. "Apa yang terjadi padamu? Ap
125Arif duduk di ruang tamu, menatap kosong ke luar jendela. Tubuhnya yang dulu gagah kini terlihat rapuh, wajahnya pucat, penuh keriput, dan jauh dari semangat hidup. Tangannya menggenggam bingkai foto Afifah, keponakannya yang telah tiada. Setiap malam, wajah Afifah menghantuinya, seperti menuntut jawaban atas semua keputusan kelamnya di masa lalu."Afifah... maafkan Om," bisiknya, suaranya serak dan hampir tak terdengar.Lila melangkah mendekat, membawa secangkir teh hangat. Ia tahu suaminya semakin larut dalam rasa bersalah, tapi tak tahu bagaimana cara menolongnya."Arif, kamu harus makan. Tubuhmu makin lemah," ucapnya lembut, meski sorot matanya menyiratkan kecemasan yang mendalam.Arif hanya menggeleng pelan. "Untuk apa makan, Lila? Hidupku sudah selesai sejak Afifah pergi."Lila terdiam, menggigit bibirnya untuk menahan air mata. Ia tahu ada sesuatu yang lebih gelap dari rasa duka yang mengikat suaminya.Malam itu, udara terasa lebih dingin dari biasanya. Di tengah keheningan,
Beberapa hari setelah itu, Wina datang sendirian ke rumah Arif. Ia menemui pria itu di ruang tamu, yang kini berantakan. Foto-foto keluarga berserakan di lantai, dan bau pengap memenuhi ruangan. Wina duduk di depan Arif, mencoba menatapnya dengan penuh simpati.“Kak Arif,” katanya pelan, “Aku tahu ini berat. Tapi desas-desus di desa sudah tidak terkendali. Mereka terus menyalahkan Danyang, dan banyak yang percaya bahwa ini semua karena pesugihanmu.”Arif mengangkat wajahnya perlahan. Matanya merah, dan wajahnya penuh kelelahan. “Apa pun yang mereka katakan… mereka benar,” katanya akhirnya, suaranya serak.Wina terkejut. “Apa maksud Kakak? Walau aku tau hal ini sejak lama. Tapi, seharusnya kakak jangan bicara seperti itu.” Protesnya dengan hati-hati.“Aku sudah melakukan dosa besar, Wina. Dosa yang tidak akan pernah bisa aku tebus.” Arif menunduk lagi, tangannya menggenggam erat lututnya. “Afifah… dia adalah tumbal terakhir. Semua ini salahku.”Wina menggeleng pelan, mencoba memproses
Desa mulai bergemuruh dengan desas-desus setelah tubuh Afifah ditemukan di hutan dalam keadaan yang mengenaskan. Penduduk desa berbisik-bisik di sudut-sudut jalan dan di pasar kecil, menciptakan suasana penuh ketegangan."Aku dengar tubuhnya ditemukan di dekat pohon besar yang katanya angker itu," bisik seorang perempuan tua pada temannya, matanya menoleh kanan-kiri memastikan tak ada yang mendengar."Ya, dan ada bekas cakar di lengannya. Kau tahu apa artinya, bukan?" balas temannya dengan suara lirih."Danyang! Sudah jelas ini ulah Danyang hutan itu. Kita sudah diperingatkan untuk tidak terlalu dekat dengan hutan," tambah seorang lelaki paruh baya yang bergabung dalam obrolan itu.Namun, suara seorang pemuda terdengar dengan nada serius. "Tapi... ada yang bilang ini bukan hanya soal Danyang. Kau dengar cerita tentang Arif?""Arif? Maksudmu, Pamannya Afifah?" perempuan tua itu bertanya dengan mata membesar.Pemuda itu mengangguk pelan, lalu menurunkan suaranya. "Ada yang melihat dia b