Arif duduk di ruang tamunya yang luas, ditemani hanya oleh kesunyian. Rumah megahnya kini hampir selesai, setiap sudut dan celah telah direnovasi dengan cermat.“Uang-uang ini, seperti mimpi. Dulu untuk memiliki selembar saja sulit.” Arif bergumam sendiri, Tumpukan uang hasil penjualan jengkol baru-baru ini terhampar di meja, mencerminkan keberhasilannya yang semakin gemilang.Sejak kematian Bintan, Arif merasa dunia berada di tangannya, seolah-olah tidak ada yang bisa menghalangi langkahnya. “Setidaknya aku sudah, sedikit tenang. Musuhku berkurang satu. Orang yang selalu memandang rendah diriku dan orang tuaku,” gumamnya di ikuti senyum kecil kemenangan.Namun, ketenangannya terganggu oleh suara bisikan lembut yang datang dari arah jendela. Arif menoleh cepat, matanya menelusuri ruangan yang sepi itu. Tidak ada apa-apa. Angin berhembus pelan, namun bisikan itu seolah menyusup jauh ke dalam jiwanya. Dia menghela napas panjang, berusaha mengabaikan perasaan tidak nyaman yang mendalam.
Suasana di ruang tamu rumah Arif terasa panas, meskipun jendela sudah dibuka lebar. Waktu sudah menjelang sore, namun udara seakan tak mampu mengusir kepanasan yang mencekik. Di depan Arif, Lila Cendana duduk dengan tenang, matanya menatap layar ponsel dengan serius. Pernikahan mereka hanya tinggal seminggu lagi. Segala persiapan sudah hampir selesai, namun masih ada beberapa hal yang harus dibicarakan.“Arif, aku rasa undangan sudah cukup banyak, kan?” Lila memecah keheningan.Arif menatapnya, berusaha tetap tenang meski jantungnya berdebar. “Tentu, Lila. Semua sudah diatur dengan baik. Kami juga sudah memesan catering, dekorasi… semua sudah beres.”Lila tersenyum, meskipun ada sesuatu yang terlihat mengganjal di matanya. "Aku hanya khawatir, kalau ada sesuatu yang terlewat. Tapi, sepertinya aku bisa percaya padamu."Arif hanya mengangguk. Dia tidak bisa menghindar dari rasa cemas yang menyusup di setiap percakapan mereka. Setiap kali Lila mengingatkan tentang pernikahan, Arif merasa
Suasana pesta pernikahan Arif dan Lila begitu meriah, seperti yang diharapkan. Para tamu menikmati hidangan, tertawa dan berbicara dengan riang. Lampu-lampu berkilauan di langit malam, menciptakan suasana megah di halaman belakang rumah keluarga Arif. Namun, di balik keramaian, ada sesuatu yang gelap mengintai. Sesuatu yang tak terlihat oleh tamu undangan, tapi semakin terasa mendekat.Di dapur, tempat yang biasanya penuh dengan kegembiraan dan canda tawa para koki dan pelayan, kini terasa mencekam. Udara di sana begitu panas, tercium bau masakan yang terlalu menyengat, seperti sesuatu yang sudah mulai rusak. Seolah ada ketegangan yang mengendap, meskipun tak ada yang berbicara. Tiba-tiba, langkah kaki yang terburu-buru terdengar dan seseorang memasuki dapur dari pintu belakang. Gibran, sepupu Arif, tiba-tiba muncul di tengah-tengah kerumunan pembantu dan para koki.Gibran tidak diundang. Dia datang tanpa pemberitahuan, diam-diam menyusup melalui pintu dapur. Matanya penuh amarah dan
Setelah malam mencekam di dapur, suasana desa mulai berubah. Warga, yang sebelumnya antusias dengan pernikahan Arif dan Lila, mulai bergosip. Keberuntungan Arif yang luar biasa dari tanah yang tiba-tiba subur hingga kemampuannya membayar pesta besar, menjadi topik pembicaraan. Semua ini tidak lepas dari Gibran, yang kini menyebarkan fitnah ke mana-mana."Arif pasti menggunakan cara-cara kotor. Mana mungkin orang miskin seperti dia bisa mendadak kaya?" kata Gibran dengan nada sinis di salah satu warung kopi desa.“Aku dengar Lila terpaksa menikah dengannya. Mungkin dia menekan keluarga Lila dengan cara yang tak benar,” tambahnya sambil tersenyum miring, memastikan orang-orang mempercayai ceritanya.Warga mulai memperhatikan. Beberapa bahkan menyebarkan gosip lebih jauh. Kecurigaan mulai berkembang. Setiap langkah Arif kini diawasi dengan tatapan penuh prasangka. Bahkan Lila, yang tidak tahu-menahu tentang konflik ini, merasa tekanan ya
Pagi berikutnya, gosip tentang kejadian malam di sawah menyebar cepat di Desa Misahan. Beberapa warga merasa ketakutan, sementara yang lain semakin penasaran. Kecurigaan terhadap Arif belum benar-benar hilang, meskipun Gibran kini terbaring lemah di rumahnya, enggan keluar setelah peristiwa itu. Beberapa warga mulai berembuk, mencari cara untuk memastikan kebenaran.“Kita harus memeriksa rumah Arif,” ujar Pak Darto, salah satu tetua desa. “Jika dia tidak menyembunyikan apa-apa, seharusnya dia tidak keberatan.”Siang itu, sekelompok warga mendatangi rumah Arif. Ketukan pintu keras membuat Lila yang sedang menyiapkan makanan terkejut. “Arif, ada banyak orang di luar!” panggilnya, suaranya penuh kegelisahan.Arif, yang sedang duduk di ruang tamu, segera bangkit. Arif membuka pintu dan mendapati puluhan wajah menatapnya, beberapa dengan ragu, yang lain dengan tatapan penuh curiga.&
Malam itu, angin bertiup kencang di Desa Misahan. Lila duduk di kamar, memegangi perutnya yang mulai membesar. Senyumnya merekah setiap kali dia membayangkan masa depan bersama anak yang sedang dikandungnya. Sementara itu, Arif duduk di ruang tamu, termenung. Matanya menatap kosong ke arah lampu minyak yang bergoyang pelan. Kegelisahan memenuhi dadanya, meski dia tak tahu mengapa.“Arif,” panggil Lila dari kamar, suaranya lemah.Arif tersentak dan segera menuju kamar. Di sana, Arif menemukan istrinya duduk di tepi tempat tidur, wajahnya pucat. “Ada apa?” tanyanya cemas, mendekat dan memegang bahu Lila.“Aku merasa sedikit sakit di perut,” bisik Lila, suaranya bergetar.Arif merasakan aliran dingin menyusup ke dalam tubuhnya. “Sakit seperti apa?”“Seperti ada yang menusuk,” jawab Lila, memegangi perutnya.Arif memb
Malam itu, setelah keheningan yang menyeramkan dengan Lila di sudut kamar, Arif mulai terbiasa menjalani kehidupannya kembali. Arif merasa lega ketika Lila tak lagi membahas kejadian aneh sebelumnya. Arif harus tetap menjaga semuanya tersembunyi, terutama dari Lila. Kali ini setahun setelah Lila keguguran Arif memutuskan untuk membangun kandang ayam di belakang rumah sebagai pengalih perhatian.”Aku akan membuat tidak terlalu besar, sebagai syarat saja, kjadi bisa aku kerjakan sendiri tanpa harus memanggil tukang,” gumamnya merancang semuanya.Pagi hari, di halaman belakang rumah, Lila sedang menjemur pakaian saat Arif datang membawa beberapa balok kayu.“Mas, apa ini?” tanya Lila, melirik bahan-bahan bangunan itu.“Rencananya aku mau bikin kandang ayam. Aku pikir, kita bisa mulai usaha kecil-kecilan. Ternak ayam bisa jadi pemasukan tambahan,” jawab Arif santai, mencoba terdengar meyakinkan.Lila tersenyum kecil, meski tak sepenuhnya percaya. “Oh, begitu. Ya sudah, semoga berhasil.”
Malam semakin larut. Udara di Desa Misahan terasa lebih dingin dari biasanya. Di beranda rumah, Lila berdiri sambil memegang lengan Arif, wajahnya penuh kekhawatiran."Mas, tolong masuk. Udara malam seperti ini tidak baik. Kau bisa jatuh sakit seperti Amira," ujar Lila, suaranya bergetar.Arif memaksakan senyum, meski pikirannya kacau. "Aku tidak apa-apa, Lila. Hanya butuh sedikit waktu untuk menenangkan pikiran."Lila menghela napas panjang. “Mas, aku takut. Sejak nenek Buyu meninggal, lalu Pakdemu Bintan Mahoni, setahun berikutnya bayi kita… sekarang Amira. Seolah-olah keluarga ini dikutuk. Tidakkah kau merasa ada yang aneh?”“Aneh bagaimana?” Arif mencoba mengalihkan perhatian, meski hatinya berdebar.Lila menatap jauh ke arah kegelapan. "Entahlah. Mungkin hanya perasaan. Tapi aku tak bisa berhenti memikirkan bahwa darah Mahoni membawa sial. Warga mulai membicarakan ini lagi. Mereka bilang kutukan dari leluhur sedang menuntut balas."Arif menelan ludah, dadanya terasa sesak. Dia ta
Setiap kali Arif mencoba untuk tidur, bayangan makhluk-makhluk menyeramkan itu kembali muncul, menghantui pikirannya. Wajah-wajah mengerikan, suara bisikan yang penuh ancaman dan teriakan-teriakan yang seolah berasal dari kedalaman kegelapan.Saat membuka mata, Arif mendapati dirinya masih berada di kamar yang sama, dalam keheningan yang terlalu sunyi. Namun, ketenangan itu tak bisa mengusir kegelisahan yang menyelimutinya. ’Mimpi itu terlalu nyata....’ pikirnya, tubuhnya terbaring kaku, tak mampu bergerak.Pagi tiba dengan lambat dan ketika matahari mulai menyinari rumah, Arif merasa sedikit lebih baik. Udara pagi terasa segar, meski perasaan aneh masih menyelimuti dirinya."Mungkin udara segar bisa mengusir rasa takut ini," gumamnya, berusaha meyakinkan diri.Arif keluar dari rumah dan berjalan menuju kebun kecil di belakang, berusaha untuk melupakan mimpi yang terus menghantuinya.
Arif terbangun dengan terkejut, matanya terbuka lebar dan napasnya memburu, cepat dan berat. Tubuhnya basah oleh keringat dingin, seolah-olah baru saja terperangkap dalam mimpi buruk yang begitu nyata. Dia mengerjap, mencoba menenangkan diri, namun rasa panik itu tak kunjung hilang.Dengan gemetar, Arif menatap sekeliling, berusaha mengumpulkan dirinya. Kamar tidurnya yang sederhana, dengan dinding putih dan jendela yang masih tertutup rapat, kini terasa asing dan sunyi. Hanya ada suara ayam berkokok dari luar, samar-samar menandakan bahwa pagi telah tiba. Sebuah lampu kecil di sudut kamar memancarkan cahaya redup, menambah kesan tenang yang kontras dengan ketegangan dalam dirinya.“Lila?” Suara Arif keluar serak, seperti baru saja berteriak dalam mimpi yang tak bisa dia ingat dengan jelas. Arif berbalik ke samping, berharap menemukan kenyamanan dalam keberadaan istrinya.Matanya tertuju pada Lila yang masih
Lantai ruangan berguncang hebat, memancarkan getaran yang terasa hingga ke tulang Arif. Sosok raksasa yang bangkit dari bawah altar kini berdiri tegak, tubuhnya menjulang hingga hampir menyentuh langit-langit. Kegelapan memancar dari tubuhnya seperti asap pekat, menyelimuti ruangan dalam aura kematian. Mata merah menyala sosok itu menatap Arif dengan tajam, penuh amarah.“Kau berpikir bisa menghancurkanku, manusia lemah?” Suara sosok itu bergema, dalam dan mengancam. “Aku adalah inti dari segala yang kau cari. Aku adalah kutukan yang kau ciptakan sendiri!”Arif berdiri dengan napas terengah-engah, lututnya bergetar tetapi ia menolak untuk menyerah. Pisau di tangannya bersinar terang, cahayanya mencoba melawan kegelapan yang mendominasi ruangan. Arif melirik Lila dan Jatinegara yang tergeletak di lantai, napas“Aku tidak takut padamu,” kata Arif, meskipun hatinya penuh keraguan. “
Arif berdiri dengan tubuh penuh luka, napasnya berat, tetapi matanya memancarkan keberanian yang tidak goyah. Makhluk-makhluk bayangan terus menyerangnya, datang dari segala arah seperti gelombang tanpa akhir.Pisau di tangannya bersinar biru terang, membelah setiap bayangan yang mendekat. Namun, jumlah mereka terlalu banyak. Untuk setiap satu makhluk yang dihancurkan, dua lagi muncul dari kegelapan.Di tengah ruangan, sosok tinggi yang diselimuti kain hitam tetap diam, mengamati dari balik bayangan. Suara dinginnya kembali terdengar, menusuk hati Arif.“Kau melawan untuk apa, Arif? Kau pikir kau bisa menyelamatkan mereka?” Suara itu terdengar seperti ejekan yang bercampur dengan keangkuhan.Arif mengayunkan pisaunya, menebas bayangan lain yang mencoba menerjangnya. Jeritan melengking terdengar ketika makhluk itu menghilang menjadi asap hitam. Arif melirik ke arah Lila dan Jatinegara yang
Langkah Arif terasa berat ketika dia melintasi lorong panjang yang dipenuhi nyala api biru. Angin dingin yang berhembus dari ujung lorong membawa aroma aneh, seperti campuran dupa dan daging terbakar. Bisikan-bisikan yang tidak jelas terus terdengar, menyusup ke dalam pikirannya, membuat jantungnya berdetak semakin kencang.“Fokus, Arif.” Suara dari pisau itu berbisik di pikirannya. “Jangan biarkan suara-suara itu menguasaimu.”Arif menggenggam pisau itu lebih erat. Cahaya biru dari bilahnya terasa menenangkan di tengah suasana mencekam. Arif menatap lurus ke depan, mencoba mengabaikan bayangan-bayangan yang bergerak di sudut-sudut penglihatannya.Di ujung lorong, sebuah gerbang besar terlihat berdiri kokoh. Gerbang itu terbuat dari logam hitam yang penuh ukiran simbol-simbol aneh. Nyala api biru tampak berkumpul di sekitar gerbang, menciptakan aura mengintimidasi. Arif tahu bahwa ini adalah tempat ujian terakhirnya.
Arif berdiri membeku di tengah ruangan gelap itu, pandangannya terpaku pada bayangan dirinya yang terperangkap di dalam lingkaran merah bercahaya. Bayangan itu terus menatapnya dengan senyuman dingin, membuat setiap inci tubuh Arif bergetar. Suara napasnya terdengar berat, seperti menggema di seluruh ruangan.“Aku adalah kau, Arif,” ulang bayangan itu, suaranya dingin dan tanpa emosi. “Aku adalah bagian dari dirimu yang kau coba lupakan. Semua pilihan buruk, semua penyesalan, semua rasa bersalah.”Arif mengangkat pisaunya perlahan, cahayanya kembali menyala meskipun redup. “Kenapa aku harus memilih? Kenapa aku tidak bisa menghancurkanmu saja dan menyelesaikan semuanya?” tanyanya, suaranya penuh dengan keputusasaan.Bayangan itu tertawa kecil. “Menghancurkanku berarti menghancurkan dirimu sendiri. Kau tidak akan bisa melanjutkan perjalananmu tanpa aku. Tapi jika kau menerimaku, aku akan terus menjadi beban di punggungmu. Apakah kau siap untuk itu?”Arif memejamkan matanya, mencoba meng
Pertarungan di lorong sempit itu berlangsung sengit. Arif terus mengayunkan pisaunya ke arah sosok tinggi tanpa mata itu, tetapi setiap serangan tampak sia-sia. Sosok tersebut bergerak dengan kecepatan luar biasa, seolah-olah dia bukan makhluk dari dunia nyata.“Arif, fokus pada energinya!” Suara dari pisau di tangan Arif bergema dalam pikirannya.“Apa maksudmu?!” Arif berteriak, sambil mundur untuk menghindari cakar tajam sosok itu yang hampir menyayat dadanya.“Dia adalah bayangan yang kau ciptakan. Temukan kelemahannya di dalam dirimu sendiri!”Kata-kata itu membingungkan Arif, tetapi dia tidak punya waktu untuk merenung. Sosok tanpa mata itu menyerangnya lagi, kali ini dengan kecepatan yang lebih mematikan. Cakar-cakarnya menancap ke dinding lorong, meninggalkan bekas luka yang dalam.Arif mengatur napas, berusaha mengingat apa yang telah d
Pintu kecil bercahaya yang terlihat di kejauhan kini semakin dekat. Langkah Arif yang berat membuat setiap detiknya terasa abadi. Pintu itu tampak berbeda dari pintu-pintu sebelumnya dihiasi ukiran menyeramkan berbentuk wajah manusia yang terdistorsi, dengan mata yang seolah mengikuti setiap gerakan Arif.Ketika dia akhirnya tiba di depan pintu, udara di sekitarnya terasa semakin dingin, menusuk hingga ke tulang. Tangannya yang gemetar meraih gagang pintu, tetapi sebelum ia sempat mendorongnya, suara gemuruh terdengar dari belakang.Arif menoleh dan melihat lantai di ruangan itu mulai retak, memunculkan celah-celah yang menganga seperti mulut yang lapar. Dari dalam celah itu, cairan merah kental mengalir, mengisi ruangan dengan aroma anyir darah.“Cepat, Arif! Buka pintunya!” Suara pisau itu menggema di pikirannya.Tanpa berpikir panjang, Arif mendorong pintu itu dengan seluruh tena
Arif melesat maju, pisaunya terangkat tinggi. Tubuhnya gemetar, tetapi bukan karena ketakutan. Adrenalin menguasai dirinya, membakar setiap keraguan yang sebelumnya melumpuhkan. Makhluk besar itu hanya berdiri diam, menunggu dengan senyum licik yang memamerkan deretan gigi tajamnya.Ketika pisau Arif hampir mengenai dada makhluk itu, sosok bayangan besar tersebut menggerakkan tangannya dengan kecepatan yang tidak mungkin. Cakar hitamnya menyapu udara, menghantam Arif hingga tubuhnya terpental beberapa meter ke belakang. Arif jatuh terguling, punggungnya menghantam lantai dengan keras.“Kau terlalu lambat,” ejek makhluk itu, matanya bersinar lebih terang. “Apakah ini yang kau sebut keberanian?”Arif meringis kesakitan, tetapi dia tidak menyerah. Arif menggenggam pisaunya lebih erat, lalu bangkit meskipun tubuhnya bergetar. “Aku tidak akan kalah darimu,” katanya, suaranya serak namun pen