Home / Horor / Pesugihan Kandang Bubrah / 19. Bayaran yang Harus Dibayar

Share

19. Bayaran yang Harus Dibayar

Author: Ndraa Archer
last update Last Updated: 2024-11-18 14:17:54

Pikiran Arif terusik. Suara Mbah Niah terngiang jelas di telinganya meski dia sudah kembali ke rumah. Kata-katanya seakan menjadi mantera yang tak henti-hentinya memutar di dalam benaknya. ‘Ingat, Arif. Apa yang kau minta selalu punya harga. Jangan lupa apa yang sudah kau janjikan.’

Saat itu, di hutan Srengege, Mbah Niah berubah. Tubuh rentanya tiba-tiba memudar, berganti menjadi sosok wanita muda dengan kecantikan yang luar biasa. Senyum manisnya terasa menipu, matanya berkilat penuh misteri.

“Arif, kau memilih jalan ini. Jangan pernah ragu lagi,” katanya lembut, suaranya seperti bisikan yang merayap ke dalam jiwa Arif.

Kini, di kamar kecilnya yang suram, bayangan wajah cantik itu terus muncul di pikirannya. Dia mengguncang kepalanya dengan kasar, mencoba mengusirnya. Namun, semakin dia mencoba melupakan, semakin jelas bayangan itu menyerangnya.

Pagi harinya di depan rumah, Bintan. “Bapak Bintan kenapa, Bu?” tanya seorang tetangga yang melongok dari balik pagar rumah keluarga Maho
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Aqila Tiffa
abis deh ... nunggu besok lagi
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Pesugihan Kandang Bubrah   20. Pria Misterius

    Arif duduk di ruang tamunya yang luas, ditemani hanya oleh kesunyian. Rumah megahnya kini hampir selesai, setiap sudut dan celah telah direnovasi dengan cermat.“Uang-uang ini, seperti mimpi. Dulu untuk memiliki selembar saja sulit.” Arif bergumam sendiri, Tumpukan uang hasil penjualan jengkol baru-baru ini terhampar di meja, mencerminkan keberhasilannya yang semakin gemilang.Sejak kematian Bintan, Arif merasa dunia berada di tangannya, seolah-olah tidak ada yang bisa menghalangi langkahnya. “Setidaknya aku sudah, sedikit tenang. Musuhku berkurang satu. Orang yang selalu memandang rendah diriku dan orang tuaku,” gumamnya di ikuti senyum kecil kemenangan.Namun, ketenangannya terganggu oleh suara bisikan lembut yang datang dari arah jendela. Arif menoleh cepat, matanya menelusuri ruangan yang sepi itu. Tidak ada apa-apa. Angin berhembus pelan, namun bisikan itu seolah menyusup jauh ke dalam jiwanya. Dia menghela napas panjang, berusaha mengabaikan perasaan tidak nyaman yang mendalam.

    Last Updated : 2024-11-20
  • Pesugihan Kandang Bubrah   21. Aroma Melati yang Menyengat

    Suasana di ruang tamu rumah Arif terasa panas, meskipun jendela sudah dibuka lebar. Waktu sudah menjelang sore, namun udara seakan tak mampu mengusir kepanasan yang mencekik. Di depan Arif, Lila Cendana duduk dengan tenang, matanya menatap layar ponsel dengan serius. Pernikahan mereka hanya tinggal seminggu lagi. Segala persiapan sudah hampir selesai, namun masih ada beberapa hal yang harus dibicarakan.“Arif, aku rasa undangan sudah cukup banyak, kan?” Lila memecah keheningan.Arif menatapnya, berusaha tetap tenang meski jantungnya berdebar. “Tentu, Lila. Semua sudah diatur dengan baik. Kami juga sudah memesan catering, dekorasi… semua sudah beres.”Lila tersenyum, meskipun ada sesuatu yang terlihat mengganjal di matanya. "Aku hanya khawatir, kalau ada sesuatu yang terlewat. Tapi, sepertinya aku bisa percaya padamu."Arif hanya mengangguk. Dia tidak bisa menghindar dari rasa cemas yang menyusup di setiap percakapan mereka. Setiap kali Lila mengingatkan tentang pernikahan, Arif merasa

    Last Updated : 2024-11-22
  • Pesugihan Kandang Bubrah   22. Pesta Pernikahan yang Terusik

    Suasana pesta pernikahan Arif dan Lila begitu meriah, seperti yang diharapkan. Para tamu menikmati hidangan, tertawa dan berbicara dengan riang. Lampu-lampu berkilauan di langit malam, menciptakan suasana megah di halaman belakang rumah keluarga Arif. Namun, di balik keramaian, ada sesuatu yang gelap mengintai. Sesuatu yang tak terlihat oleh tamu undangan, tapi semakin terasa mendekat.Di dapur, tempat yang biasanya penuh dengan kegembiraan dan canda tawa para koki dan pelayan, kini terasa mencekam. Udara di sana begitu panas, tercium bau masakan yang terlalu menyengat, seperti sesuatu yang sudah mulai rusak. Seolah ada ketegangan yang mengendap, meskipun tak ada yang berbicara. Tiba-tiba, langkah kaki yang terburu-buru terdengar dan seseorang memasuki dapur dari pintu belakang. Gibran, sepupu Arif, tiba-tiba muncul di tengah-tengah kerumunan pembantu dan para koki.Gibran tidak diundang. Dia datang tanpa pemberitahuan, diam-diam menyusup melalui pintu dapur. Matanya penuh amarah dan

    Last Updated : 2024-11-22
  • Pesugihan Kandang Bubrah   23. Tuduhan dan Pertarungan Tak Terduga

    Setelah malam mencekam di dapur, suasana desa mulai berubah. Warga, yang sebelumnya antusias dengan pernikahan Arif dan Lila, mulai bergosip. Keberuntungan Arif yang luar biasa dari tanah yang tiba-tiba subur hingga kemampuannya membayar pesta besar, menjadi topik pembicaraan. Semua ini tidak lepas dari Gibran, yang kini menyebarkan fitnah ke mana-mana."Arif pasti menggunakan cara-cara kotor. Mana mungkin orang miskin seperti dia bisa mendadak kaya?" kata Gibran dengan nada sinis di salah satu warung kopi desa.“Aku dengar Lila terpaksa menikah dengannya. Mungkin dia menekan keluarga Lila dengan cara yang tak benar,” tambahnya sambil tersenyum miring, memastikan orang-orang mempercayai ceritanya.Warga mulai memperhatikan. Beberapa bahkan menyebarkan gosip lebih jauh. Kecurigaan mulai berkembang. Setiap langkah Arif kini diawasi dengan tatapan penuh prasangka. Bahkan Lila, yang tidak tahu-menahu tentang konflik ini, merasa tekanan ya

    Last Updated : 2024-11-23
  • Pesugihan Kandang Bubrah   24. Penghakiman di Rumah Arif

    Pagi berikutnya, gosip tentang kejadian malam di sawah menyebar cepat di Desa Misahan. Beberapa warga merasa ketakutan, sementara yang lain semakin penasaran. Kecurigaan terhadap Arif belum benar-benar hilang, meskipun Gibran kini terbaring lemah di rumahnya, enggan keluar setelah peristiwa itu. Beberapa warga mulai berembuk, mencari cara untuk memastikan kebenaran.“Kita harus memeriksa rumah Arif,” ujar Pak Darto, salah satu tetua desa. “Jika dia tidak menyembunyikan apa-apa, seharusnya dia tidak keberatan.”Siang itu, sekelompok warga mendatangi rumah Arif. Ketukan pintu keras membuat Lila yang sedang menyiapkan makanan terkejut. “Arif, ada banyak orang di luar!” panggilnya, suaranya penuh kegelisahan.Arif, yang sedang duduk di ruang tamu, segera bangkit. Arif membuka pintu dan mendapati puluhan wajah menatapnya, beberapa dengan ragu, yang lain dengan tatapan penuh curiga.&

    Last Updated : 2024-11-23
  • Pesugihan Kandang Bubrah   25. Bayangan Kehilangan

    Malam itu, angin bertiup kencang di Desa Misahan. Lila duduk di kamar, memegangi perutnya yang mulai membesar. Senyumnya merekah setiap kali dia membayangkan masa depan bersama anak yang sedang dikandungnya. Sementara itu, Arif duduk di ruang tamu, termenung. Matanya menatap kosong ke arah lampu minyak yang bergoyang pelan. Kegelisahan memenuhi dadanya, meski dia tak tahu mengapa.“Arif,” panggil Lila dari kamar, suaranya lemah.Arif tersentak dan segera menuju kamar. Di sana, Arif menemukan istrinya duduk di tepi tempat tidur, wajahnya pucat. “Ada apa?” tanyanya cemas, mendekat dan memegang bahu Lila.“Aku merasa sedikit sakit di perut,” bisik Lila, suaranya bergetar.Arif merasakan aliran dingin menyusup ke dalam tubuhnya. “Sakit seperti apa?”“Seperti ada yang menusuk,” jawab Lila, memegangi perutnya.Arif memb

    Last Updated : 2024-11-23
  • Pesugihan Kandang Bubrah   25. Tumbal Ke empat

    Malam itu, setelah keheningan yang menyeramkan dengan Lila di sudut kamar, Arif mulai terbiasa menjalani kehidupannya kembali. Arif merasa lega ketika Lila tak lagi membahas kejadian aneh sebelumnya. Arif harus tetap menjaga semuanya tersembunyi, terutama dari Lila. Kali ini setahun setelah Lila keguguran Arif memutuskan untuk membangun kandang ayam di belakang rumah sebagai pengalih perhatian.”Aku akan membuat tidak terlalu besar, sebagai syarat saja, kjadi bisa aku kerjakan sendiri tanpa harus memanggil tukang,” gumamnya merancang semuanya.Pagi hari, di halaman belakang rumah, Lila sedang menjemur pakaian saat Arif datang membawa beberapa balok kayu.“Mas, apa ini?” tanya Lila, melirik bahan-bahan bangunan itu.“Rencananya aku mau bikin kandang ayam. Aku pikir, kita bisa mulai usaha kecil-kecilan. Ternak ayam bisa jadi pemasukan tambahan,” jawab Arif santai, mencoba terdengar meyakinkan.Lila tersenyum kecil, meski tak sepenuhnya percaya. “Oh, begitu. Ya sudah, semoga berhasil.”

    Last Updated : 2024-11-24
  • Pesugihan Kandang Bubrah   27.  Dugaan Kutukan yang Kian Menjerat

    Malam semakin larut. Udara di Desa Misahan terasa lebih dingin dari biasanya. Di beranda rumah, Lila berdiri sambil memegang lengan Arif, wajahnya penuh kekhawatiran."Mas, tolong masuk. Udara malam seperti ini tidak baik. Kau bisa jatuh sakit seperti Amira," ujar Lila, suaranya bergetar.Arif memaksakan senyum, meski pikirannya kacau. "Aku tidak apa-apa, Lila. Hanya butuh sedikit waktu untuk menenangkan pikiran."Lila menghela napas panjang. “Mas, aku takut. Sejak nenek Buyu meninggal, lalu Pakdemu Bintan Mahoni, setahun berikutnya bayi kita… sekarang Amira. Seolah-olah keluarga ini dikutuk. Tidakkah kau merasa ada yang aneh?”“Aneh bagaimana?” Arif mencoba mengalihkan perhatian, meski hatinya berdebar.Lila menatap jauh ke arah kegelapan. "Entahlah. Mungkin hanya perasaan. Tapi aku tak bisa berhenti memikirkan bahwa darah Mahoni membawa sial. Warga mulai membicarakan ini lagi. Mereka bilang kutukan dari leluhur sedang menuntut balas."Arif menelan ludah, dadanya terasa sesak. Dia ta

    Last Updated : 2024-11-24

Latest chapter

  • Pesugihan Kandang Bubrah   256. Bisikan Terakhir

    Malam itu, mereka berdua duduk di teras, menatap bintang sambil berbicara pelan."Kamu pikir ini... sisa dari dunia yang dulu?" tanya Lila, nada suaranya penuh kekhawatiran."Mungkin," jawab Dimas. "Atau mungkin, ini bentuk baru. Bentuk dari semua luka, ketakutan, dan harapan yang pernah kita alami."Lila memeluk dirinya sendiri, merasa sedikit dingin."Aku cuma takut," katanya. "Takut kalau kita belum benar-benar bebas."Dimas meraih tangan Lila, menggenggamnya erat."Apa pun yang terjadi, kita hadapi bersama. Kita sudah lewati kegelapan. Kita bisa lewati apa pun," katanya, penuh keyakinan.Lila tersenyum tipis. "Aku percaya itu."Angin malam berhembus lembut, membawa aroma tanah basah dan bunga kenanga. Di kejauhan, suara serangga malam berdengung pelan, seperti irama alam yang mengiringi percakapan mereka.Beberapa hari kemudian, saat Lila membawa Jatinegara bermain di taman kecil mereka, anak itu menunjuk ke arah tunas mangga yang kini tumbuh setinggi pinggang orang dewasa. Daunny

  • Pesugihan Kandang Bubrah   255. Tanda-Tanda Kehidupan Baru

    Namun, dalam keheningan malam, ada kalanya Lila terbangun. Bukan karena ketakutan, melainkan karena rindu. Rindu akan kenangan yang perlahan memudar—ulang tahun pertama Jatinegara, suara tawa Arif di halaman, percakapan-percakapan kecil yang dulu terasa biasa tapi kini sangat berarti.Setiap kali rindu itu datang, Lila akan duduk di beranda, menatap bintang, dan berbicara dalam hati."Terima kasih, Rif. Karena cinta dan keberanianmu, kami bisa bertahan."Di dalam rumah, Jatinegara dan Dimas tidur tenang, di bawah atap yang kini benar-benar menjadi rumah, bukan lagi tempat berteduh dari kegelapan.Dan di taman kecil itu, di tempat biji mangga ditanam, sebuah tunas kecil mulai muncul, menghijau di bawah sinar matahari.Tanda kehidupan baru.Tanda bahwa di balik setiap luka, selalu ada harapan yang tumbuh.Mereka telah kehilangan banyak. Tapi mereka juga telah menemukan sesuatu yang jauh lebih berharga:Kehidupan, cinta, dan keberanian untuk melangkah maju, meski jalan itu pernah dipenuh

  • Pesugihan Kandang Bubrah   254. Arif yang Tertinggal

    Lila dan Dimas kembali masuk ke dalam rumah. Di dalam, Jatinegara tidur dengan tenang, wajahnya damai, tanpa bayangan ketakutan sedikit pun.Lila menatap anaknya lama. Ia mencoba mengingat semua kenangan, semua momen kecil yang mereka bagi.Beberapa sudah kabur. Beberapa masih tersisa, menggantung tipis di benak mereka.Tapi satu hal pasti: cinta itu tetap ada. Lebih kuat dari kenangan apa pun.Dan malam itu, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, mereka tidur dalam damai, tanpa ketakutan akan bayangan dari balik pohon.Langit kelabu menaungi Desa Misahan ketika Lila berdiri di dekat nisan sederhana yang terbuat dari batu sungai. Nama "Arif Mahoni" terpahat samar di atasnya. Angin berhembus pelan, membawa suara desir daun kering.Dalam diam, Dimas berdiri di samping Lila, menggenggam erat tangan kecil Jatinegara yang kini berusia lima tahun.Mereka mengenang hari itu.Hari ketika Arif menghilang.***Malam itu

  • Pesugihan Kandang Bubrah   253.Kenangan yang Terkikis dan Panggilan dari Dalam Tanah

    "Jati pertama kali jalan... usia sepuluh bulan..." tulisnya sambil menangis.Dimas di sampingnya berusaha keras mengingat detail kecil, suara tawa, langkah pertama, kata pertama.Tapi setiap kali ia memejamkan mata, wajah Jatinegara kecil menjadi semakin buram.Malam itu, suara-suara aneh kembali terdengar dari halaman.Dimas keluar dengan hati-hati. Ia melihat jejak-jejak samar di tanah, menuju ke arah pohon tua.Di sana, di bawah sinar rembulan, berdiri sesosok bayangan. Tidak sebesar penjaga di dunia bawah, tapi bayangan ini lebih familiar. Lebih dekat."Ayah..."Dimas membeku. Suara itu... suara Jatinegara kecil.Bayangan itu tersenyum, tangan kecilnya terulur."Ayo, main lagi... seperti dulu..."Dimas terhuyung, air mata mengaburkan pandangannya. Setiap serat tubuhnya ingin berlari dan memeluk sosok itu.Tapi ia tahu, itu bukan Jatinegara."Kamu bukan anakku," gumam Dimas parau.Bayangan

  • Pesugihan Kandang Bubrah   252. Dunia di Balik Pohon

    Lubang itu berdenyut seperti jantung raksasa. Setiap denyutan menghembuskan hawa dingin yang membuat kulit Lila dan Dimas meremang. Mereka berdiri di hadapannya, menggenggam tangan erat-erat, saling menguatkan."Kita lakukan bersama," bisik Lila."Apa pun yang terjadi, jangan lepaskan tangan," balas Dimas.Dengan langkah perlahan, mereka mendekati pohon tua itu. Lubang yang semula tampak kecil kini cukup besar untuk dilalui dua orang dewasa. Cahaya bulan memantul pada dinding-dinding basah di dalam lubang, membentuk jalur berkelok yang menghilang dalam kegelapan.Mengambil napas panjang, mereka melangkah masuk.Begitu melewati ambang lubang, dunia berubah.Udara menjadi berat, penuh aroma logam dan tanah basah. Di sekeliling mereka terbentang hutan aneh, dengan pohon-pohon yang melengkung, dedaunan berwarna hitam keunguan, dan tanah yang berdenyut pelan, seolah makhluk hidup.Tidak ada bintang. Tidak ada angin. Hanya keheningan mencek

  • Pesugihan Kandang Bubrah   251. Bayangan di Balik Pohon dan Jejak dari Lubang

    Srek... srek...Seperti sesuatu yang menggaruk-garuk tanah.Dimas menggenggam obor kecil dan berjalan perlahan ke arah belakang, diikuti Lila. Mereka mengintip dari balik pintu kaca.Pohon tua itu tampak bergoyang pelan, padahal angin malam tidak berhembus.Dan di depan lubang pohon, berdiri sosok kecil. Tubuhnya kurus, kepalanya menunduk, rambutnya menutupi wajah."Siapa itu..." bisik Lila, tubuhnya gemetar.Sosok itu mengangkat kepalanya perlahan. Mata kosong, hitam pekat, menatap langsung ke arah mereka."Itu bukan manusia," bisik Dimas cepat, menarik Lila mundur.Mereka segera mengunci semua pintu dan jendela.Tapi bahkan setelah semua terkunci, suara ketukan perlahan terdengar di pintu belakang.Tok. Tok. Tok."Jangan dibuka apa pun yang terjadi," kata Dimas tegas, memeluk Lila dan Jatinegara yang mulai menangis ketakutan.Di luar, bayangan di balik pohon tetap berdiri, menunggu. Bayangannya mem

  • Pesugihan Kandang Bubrah   250.Tanda-Tanda Baru

    Malam itu, setelah Jatinegara tertidur, Lila dan Dimas duduk di ruang tamu. Mereka membahas lubang di pohon tersebut."Aku merasa aneh, Dim. Setelah semua yang kita lalui... kenapa sekarang muncul lagi tanda-tanda?" tanya Lila lirih, matanya menatap kosong ke arah jendela.Dimas mengangguk, wajahnya tegang. "Aku juga merasakannya. Pohon itu... sepertinya bukan pohon biasa. Bukan sekadar pohon tua."Mereka sepakat untuk keesokan harinya mencari tahu lebih banyak tentang sejarah tanah di sekitar rumah mereka. Tapi sebelum mereka sempat tidur, sesuatu terjadi.Suara dentingan kecil terdengar dari arah dapur.Clink.Seperti koin jatuh.Lila dan Dimas saling pandang. Dimas berdiri pelan, mengambil senter, dan berjalan ke arah suara. Lila mengikutinya dengan jantung berdebar.Saat mereka sampai di dapur, lantainya kosong. Tidak ada koin. Tidak ada apa-apa. Hanya keheningan yang terasa menekan. Bahkan jam dinding seolah berhenti berdetak.Namun saat Dimas mengarahkan senter ke lantai, mereka

  • Pesugihan Kandang Bubrah    249. Bersama Cahaya

    Sore harinya, di ruang tamu, mereka menggelar tikar dan bermain permainan papan sederhana. Tawa mereka menggema memenuhi rumah. Dimas berpura-pura kalah dalam permainan, membuat Jatinegara tertawa terpingkal-pingkal. Lila merekam momen itu dengan kameranya, memastikan mereka bisa selalu mengingat bahwa kebahagiaan sederhana ini pernah ada.Saat malam tiba, Lila menghidangkan sup ayam hangat. Mereka makan bersama dengan penuh syukur."Kalau nanti kita liburan, mau ke mana?" tanya Dimas sambil menyuapkan sendok ke mulut."Ke pantai!" seru Jatinegara tanpa ragu. "Aku mau bikin istana pasir!"Lila tertawa. "Kalau begitu, kita nabung, ya. Biar bisa liburan bareng.""Janji, Bu? Janji, Yah?""Janji," jawab mereka bersamaan.Setelah makan malam, mereka duduk di teras, menikmati malam yang cerah. Bintang-bintang bertaburan di langit, dan angin membawa harum wangi bunga kamboja dari kebun belakang."Dulu, aku pikir kita nggak akan pernah

  • Pesugihan Kandang Bubrah   248. Tak Ada Suara Ketukan

    “Bagaimana Bapak tahu?”“Karena itu warisan keluarga Bagas. Dan karena aku yang menyuruh ibunya menyembunyikannya.”Pak Arwan berdiri. “Ada sesuatu yang harus kalian tahu. Pintu-pintu seperti yang kalian alami... tidak muncul sendiri. Ia tumbuh dari perjanjian. Perjanjian yang tidak pernah ditepati. Bagas pernah berjanji untuk menyerahkan sesuatu... demi anaknya bisa sembuh dari penyakit. Tapi ia menunda. Dan saat istrinya meninggal, ia kabur. Tapi makhluk itu tidak pernah lupa.”“Jadi semua ini... karena janji yang dilanggar?”“Dan karena tidak ada yang memperingatkan kalian. Kalian datang ke rumah yang menyimpan luka, lalu luka itu meresap ke dalam kalian.”Lila menatap Dimas. “Apa yang harus kita lakukan?”“Bakar surat dan foto itu. Tapi jangan di rumah. Lakukan di tanah tinggi. Bersihkan energi dari tempat kalian tinggal. Dan ajari anak kalian... untuk mengenali perbedaan antara teman dan penunggu.”Malam itu, mereka pergi ke bukit di ujung desa. Di sana, mereka menyalakan api ung

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status