Suasana di kediaman Mahoni mencekam. Ambulans yang membawa jenazah Amira akhirnya tiba, diiringi kabut pagi yang masih tebal. Warga desa Misahan sudah berkumpul, membentuk lingkaran di halaman.Bisikan mereka semakin keras saat melihat Gibran keluar dari ambulans dengan wajah tegang, diikuti oleh beberapa warga lain yang tampak pucat.Arif tiba tak lama setelahnya, langkahnya ragu saat mendekati Gibran. Namun, sebelum dia sempat berkata apa-apa, Gibran sudah melangkah cepat ke arahnya dengan amarah membara.“Arif!” suara Gibran menggelegar, membuat warga yang berkumpul terdiam.Arif berhenti, menatap sepupunya dengan bingung. “Ada apa, Mas Gibran?”“Jangan pura-pura bodoh!” bentak Gibran sambil mendorong Arif dengan keras hingga tersungkur di tanah.Warga tersentak, sebagian mundur, sebagian lagi memandang dengan penuh ingin tahu.“Apa-apaan ini, Mas?!” Arif mencoba bangkit, membersihkan debu dari pakaiannya.“Sejak kau mulai ‘berjaya’, keluarga ini terus mengalami kesialan! Nenek Buy
Ibu Gibran menatap ragu. "Tapi... kalau benar ada sesuatu—" ujarnya terputus.“Tidak ada yang boleh takut pada darah dagingnya sendiri,” potong Arif, mencoba menenangkan suasana.Wanita itu masih ragu sejenak, tapi akhirnya mengangguk dengan berat hati. Bersama-sama, mereka masuk ke ruangan itu, meninggalkan Gibran yang masih berdiri kaku. Dengan langkah berat, mereka berdua memasuki ruangan tempat Amira dimandikan.Di dalam suasana dingin menyelimuti. Bau bunga kemboja bercampur aroma kemenyan memenuhi udara. Tubuh Amira terbaring di atas balok kayu yang di lapisi tikar, tubuhnya masih berselimutkan kain. Namun, mata terbuka lebar, kosong, menatap langit-langit. Arif menarik napas panjang berusaha menenangkan dirinya."Ya Allah..." desah ibu Gibran. Tubuhnya gemetar, namun dia tetap berdiri di sisi Arif.Arif mendekati jenazah Amira, lututnya hampir goyah
Bu Saminah menatap ke sekeliling, memastikan tidak ada yang mendengar. "Waktu saya mandikan jenazah tadi, ada sesuatu yang aneh."Lila merasakan bulu kuduknya berdiri. "Apa maksud Ibu?" tanya Lila memastikan.Bu Saminah mendekatkan suaranya lebih pelan lagi. "Setelah Mas Arif menutup mata Amira dan kain kafan hampir selesai dipasang... saya menemukan bunga kantil kuncup di bawah tubuhnya."Lila terdiam, matanya melebar. "Apa? Bunga kantil?""Ya," Bu Saminah mengangguk dengan wajah penuh ketakutan. "Padahal waktu itu air belum disiramkan ke tubuhnya. Tidak mungkin ada bunga di situ sebelumnya."Lila memandang jenazah Amira yang di pikul di depan rombongan, pikirannya berputar. Bunga kantil dikenal sebagai bunga mistis yang sering diasosiasikan dengan kehadiran makhluk halus. Apalagi bunga itu kuncup, seperti menyimpan sesuatu yang belum terungkap."Kau yakin?"
Setelah pemakaman Amira, desa menjadi riuh dengan gosip. Hujan deras, desisan aneh, hingga perubahan tanah liang lahat yang tiba-tiba membuat warga berbisik-bisik penuh kecurigaan. Nama Arif dan Gibran sering disebut dalam percakapan mereka.Di warung kopi yang menjadi tempat berkumpul warga, suasana panas."Sudah lama aku curiga," ujar seorang bapak tua sambil menyeruput kopinya. "Gibran itu sombongnya bukan main. Tapi lihat sekarang, malah dia yang kena sial.""Benar sekali," sahut yang lain. "Kau dengar kan? Dia dulu ingin menikah dengan Lila, tapi Lila malah memilih Arif. Aku dengar-dengar, dia sampai menghina Arif habis-habisan di keluarga Mahoni.""Kalau benar begitu, pantas saja Arif marah. Tapi kok jadi Amira yang meninggal?" seorang perempuan menambahkan, matanya menyipit curiga.Gosip itu terus berkembang, menempatkan Gibran sebagai sasaran utama. Warga mulai percaya bahwa Gibran adalah penyebab rentetan kejadian buruk yang menimpa keluarga Mahoni. Bahkan beberapa mengatakan
Sejak malam ketiga kematian Amira, kehidupan di Desa Misahan berubah menjadi penuh kecurigaan dan ketakutan. Peristiwa kesurupan Lastri menjadi topik hangat yang tidak kunjung reda. Tidak ada yang berani berbicara langsung pada Gibran, namun bisik-bisik tentang "Kutukan keluarga Mahoni" terdengar di mana-mana.Di rumah keluarga Mahoni, suasana semakin tegang. Gibran terus mengurung diri di kamarnya, sementara Ibunya berusaha mati-matian menjaga wibawa keluarga. Namun, gosip yang berkembang membuat keluarga Mahoni kehilangan martabat di mata warga.Ibunya Gibran memandang rumahnya yang sepi. Kehilangan Amira masih terasa begitu pahit. Dia tidak tahu harus memercayai apa gosip warga atau firasatnya sendiri. Namun, satu hal yang dia tahu pasti: keluarganya semakin terpuruk.“Aku harus bicara dengan Arif,” gumam Ibunya Gibran suatu pagi, setelah mendengar tetangga menyebut-nyebut nama keponakkan almarhum Bintan Mahoni suaminya.Dia mendatangi rumah Arif, yang kini menjadi salah satu rumah
Setelah kejadian kesurupan Bu Saminah dan gosip yang semakin menyebar, suasana di Desa Misahan benar-benar mencekam. Ustadz Harman mulai bergerak untuk menenangkan warga dan mencari solusi atas kegaduhan ini. Dia mengumpulkan para tokoh masyarakat di surau, termasuk Pak Suryanto, ayah Lila. Dalam pertemuan itu, Ustadz Harman berusaha mengingatkan mereka untuk menjaga suasana tetap kondusif dan tidak memperburuk keadaan dengan gosip yang tidak berdasar.“Saudara-saudaraku, jangan kita lupakan akhlak kita sebagai orang beriman. Apa pun yang terjadi di keluarga Mahoni, itu adalah urusan mereka. Jangan kita menambah dosa dengan menebar fitnah,” ujar Ustadz Harman dengan nada tenang namun tegas.Pak Suryanto, yang selama ini dikenal sebagai orang yang bijak, angkat bicara. “Saya setuju dengan Ustadz. Tapi izinkan saya menambahkan sesuatu. Belakangan ini, nama menantu saya, Arif, sering disebut-sebut dalam gosip yang tidak enak. Saya ingin semua warga tahu, apa pun yang terjadi di keluarga
Lila menggenggam tangan suaminya. “Arif, balas dendam tidak akan menyelesaikan apa pun. Kalau kau terus seperti ini, kau hanya akan merusak dirimu sendiri. Dan aku tidak mau anak kita lahir di tengah situasi seperti ini.”Kata-kata Lila membuat Arif terdiam. Dia menyadari bahwa apa yang dia lakukan mungkin sudah melampaui batas, dan keluarganya bisa menjadi korban berikutnya.“Aku tidak balas dendam, aku hanya melihat apa yang aku rasakan dahulu Lila. Semua itu bukan kehendakku.” Arif mengelak tuduhan Lila.Keesokan harinya, Ustadz Harman memutuskan untuk melakukan pendekatan yang lebih tegas. Dia mengundang Gibran dan Ibunya ke surau untuk berbicara secara langsung. Dia ingin tahu semua detail tentang apa yang terjadi di keluarga mereka.“Ceritakan semuanya tanpa ada yang disembunyikan,” kata Ustadz Harman. “Kalau kita ingin menyelesaikan masalah ini, saya perlu tahu akar permasalahannya.”Gibran, meskipun awalnya ragu-ragu, akhirnya menceritakan semuanya. Dia mengaku pernah menghina
Beberapa bulan setelah keguguran kedua yang dialami Lila, suasana di rumah Arif terasa semakin penuh dengan tekanan. Lila, yang masih sangat terpukul, terus mengeluh tentang keputusannya yang mengorbankan masa depan mereka demi reputasi Arif. Arif juga mulai merasa terjepit, kutukan yang terus beredar di desa, desas-desus mengenai masa lalu keluarganya, serta ancaman yang belum sepenuhnya reda.Arif memandang Lila dengan wajah yang tegang, memikirkan solusi yang mungkin bisa menyelesaikan masalah mereka. Lila menangis di sudut ruangan, tubuhnya membungkuk dan matanya bengkak.“Lila, kita harus bicara.” Arif memulai, nadanya tenang namun penuh tekanan.Lila menatap Arif, terkejut, lalu menghapus air matanya. “Tentang apa, Arif? Kau tahu aku tidak bisa menerima kenyataan ini. Aku merasa aku yang menyebabkan semua ini.”Arif menghela napas panjang. “Lila, kita tidak bisa terus begini. Mungkin, jika kita mengambil langkah yang berbeda, semua ini akan berubah.”Lila menatap Arif dengan tat
"Jati pertama kali jalan... usia sepuluh bulan..." tulisnya sambil menangis.Dimas di sampingnya berusaha keras mengingat detail kecil, suara tawa, langkah pertama, kata pertama.Tapi setiap kali ia memejamkan mata, wajah Jatinegara kecil menjadi semakin buram.Malam itu, suara-suara aneh kembali terdengar dari halaman.Dimas keluar dengan hati-hati. Ia melihat jejak-jejak samar di tanah, menuju ke arah pohon tua.Di sana, di bawah sinar rembulan, berdiri sesosok bayangan. Tidak sebesar penjaga di dunia bawah, tapi bayangan ini lebih familiar. Lebih dekat."Ayah..."Dimas membeku. Suara itu... suara Jatinegara kecil.Bayangan itu tersenyum, tangan kecilnya terulur."Ayo, main lagi... seperti dulu..."Dimas terhuyung, air mata mengaburkan pandangannya. Setiap serat tubuhnya ingin berlari dan memeluk sosok itu.Tapi ia tahu, itu bukan Jatinegara."Kamu bukan anakku," gumam Dimas parau.Bayangan
Lubang itu berdenyut seperti jantung raksasa. Setiap denyutan menghembuskan hawa dingin yang membuat kulit Lila dan Dimas meremang. Mereka berdiri di hadapannya, menggenggam tangan erat-erat, saling menguatkan."Kita lakukan bersama," bisik Lila."Apa pun yang terjadi, jangan lepaskan tangan," balas Dimas.Dengan langkah perlahan, mereka mendekati pohon tua itu. Lubang yang semula tampak kecil kini cukup besar untuk dilalui dua orang dewasa. Cahaya bulan memantul pada dinding-dinding basah di dalam lubang, membentuk jalur berkelok yang menghilang dalam kegelapan.Mengambil napas panjang, mereka melangkah masuk.Begitu melewati ambang lubang, dunia berubah.Udara menjadi berat, penuh aroma logam dan tanah basah. Di sekeliling mereka terbentang hutan aneh, dengan pohon-pohon yang melengkung, dedaunan berwarna hitam keunguan, dan tanah yang berdenyut pelan, seolah makhluk hidup.Tidak ada bintang. Tidak ada angin. Hanya keheningan mencek
Srek... srek...Seperti sesuatu yang menggaruk-garuk tanah.Dimas menggenggam obor kecil dan berjalan perlahan ke arah belakang, diikuti Lila. Mereka mengintip dari balik pintu kaca.Pohon tua itu tampak bergoyang pelan, padahal angin malam tidak berhembus.Dan di depan lubang pohon, berdiri sosok kecil. Tubuhnya kurus, kepalanya menunduk, rambutnya menutupi wajah."Siapa itu..." bisik Lila, tubuhnya gemetar.Sosok itu mengangkat kepalanya perlahan. Mata kosong, hitam pekat, menatap langsung ke arah mereka."Itu bukan manusia," bisik Dimas cepat, menarik Lila mundur.Mereka segera mengunci semua pintu dan jendela.Tapi bahkan setelah semua terkunci, suara ketukan perlahan terdengar di pintu belakang.Tok. Tok. Tok."Jangan dibuka apa pun yang terjadi," kata Dimas tegas, memeluk Lila dan Jatinegara yang mulai menangis ketakutan.Di luar, bayangan di balik pohon tetap berdiri, menunggu. Bayangannya mem
Malam itu, setelah Jatinegara tertidur, Lila dan Dimas duduk di ruang tamu. Mereka membahas lubang di pohon tersebut."Aku merasa aneh, Dim. Setelah semua yang kita lalui... kenapa sekarang muncul lagi tanda-tanda?" tanya Lila lirih, matanya menatap kosong ke arah jendela.Dimas mengangguk, wajahnya tegang. "Aku juga merasakannya. Pohon itu... sepertinya bukan pohon biasa. Bukan sekadar pohon tua."Mereka sepakat untuk keesokan harinya mencari tahu lebih banyak tentang sejarah tanah di sekitar rumah mereka. Tapi sebelum mereka sempat tidur, sesuatu terjadi.Suara dentingan kecil terdengar dari arah dapur.Clink.Seperti koin jatuh.Lila dan Dimas saling pandang. Dimas berdiri pelan, mengambil senter, dan berjalan ke arah suara. Lila mengikutinya dengan jantung berdebar.Saat mereka sampai di dapur, lantainya kosong. Tidak ada koin. Tidak ada apa-apa. Hanya keheningan yang terasa menekan. Bahkan jam dinding seolah berhenti berdetak.Namun saat Dimas mengarahkan senter ke lantai, mereka
Sore harinya, di ruang tamu, mereka menggelar tikar dan bermain permainan papan sederhana. Tawa mereka menggema memenuhi rumah. Dimas berpura-pura kalah dalam permainan, membuat Jatinegara tertawa terpingkal-pingkal. Lila merekam momen itu dengan kameranya, memastikan mereka bisa selalu mengingat bahwa kebahagiaan sederhana ini pernah ada.Saat malam tiba, Lila menghidangkan sup ayam hangat. Mereka makan bersama dengan penuh syukur."Kalau nanti kita liburan, mau ke mana?" tanya Dimas sambil menyuapkan sendok ke mulut."Ke pantai!" seru Jatinegara tanpa ragu. "Aku mau bikin istana pasir!"Lila tertawa. "Kalau begitu, kita nabung, ya. Biar bisa liburan bareng.""Janji, Bu? Janji, Yah?""Janji," jawab mereka bersamaan.Setelah makan malam, mereka duduk di teras, menikmati malam yang cerah. Bintang-bintang bertaburan di langit, dan angin membawa harum wangi bunga kamboja dari kebun belakang."Dulu, aku pikir kita nggak akan pernah
“Bagaimana Bapak tahu?”“Karena itu warisan keluarga Bagas. Dan karena aku yang menyuruh ibunya menyembunyikannya.”Pak Arwan berdiri. “Ada sesuatu yang harus kalian tahu. Pintu-pintu seperti yang kalian alami... tidak muncul sendiri. Ia tumbuh dari perjanjian. Perjanjian yang tidak pernah ditepati. Bagas pernah berjanji untuk menyerahkan sesuatu... demi anaknya bisa sembuh dari penyakit. Tapi ia menunda. Dan saat istrinya meninggal, ia kabur. Tapi makhluk itu tidak pernah lupa.”“Jadi semua ini... karena janji yang dilanggar?”“Dan karena tidak ada yang memperingatkan kalian. Kalian datang ke rumah yang menyimpan luka, lalu luka itu meresap ke dalam kalian.”Lila menatap Dimas. “Apa yang harus kita lakukan?”“Bakar surat dan foto itu. Tapi jangan di rumah. Lakukan di tanah tinggi. Bersihkan energi dari tempat kalian tinggal. Dan ajari anak kalian... untuk mengenali perbedaan antara teman dan penunggu.”Malam itu, mereka pergi ke bukit di ujung desa. Di sana, mereka menyalakan api ung
Lila menggenggam tangan anaknya. Ia masih bernapas. Tapi tubuhnya lemas.Dalam keheningan yang tersisa, hanya suara hujan yang terdengar. Tapi suasana rumah sudah berbeda. Tidak lagi terasa ditekan. Tidak lagi ada suara-suara bisik.Namun saat Dimas membantu Lila berdiri, mereka melihat satu hal terakhir.Di dinding tempat bayangan muncul, pasir hitam mengumpul membentuk pola baru.Pola itu menyerupai pintu. Dan di tengah-tengahnya, satu kalimat terukir:“Celah sudah ditutup. Tapi penjaga akan kembali.”Udara pagi di Desa Misahan terasa lebih lembut dari biasanya. Hujan semalam telah membersihkan debu-debu yang selama ini menggantung di antara daun-daun dan atap rumah. Tapi di rumah Lila, meski cahaya mentari menyusup lewat celah tirai dan suara burung bersahutan dari kejauhan, bayangan yang tertinggal belum benar-benar pergi.Jatinegara duduk di dekat jendela ruang tamu. Krayon berwarna hijau muda di tangannya menari pelan di atas kertas putih. Wajahnya tampak lebih segar, pipinya mu
Dalam perjalanan pulang, malam sudah mulai turun. Jalan desa yang gelap dilalui dengan perasaan campur aduk. Tapi mereka tahu, ini bukan hanya soal pengusiran. Ini soal menutup celah yang selama ini dibiarkan terbuka oleh luka-luka lama.Dan saat mereka sampai di rumah......pintu depan terbuka sedikit.Mereka saling tatap. Tidak ada yang merasa membukanya.Saat melangkah masuk, mereka langsung mencium aroma asing.Bunga melati.Dan di lantai ruang tamu, tersebar koin-koin logam. Bukan hanya satu. Tapi puluhan.Berderet. Mengarah ke kamar Jatinegara.Dan di dinding, tergambar satu kalimat:"Kami sudah menunggu."Dalam keheningan itu, sebuah suara kecil terdengar dari dalam kamar.Ketukan. Pelan.Satu...Dua...Tiga...Seolah memanggil mereka... untuk membuka pintu mimpi yang belum selesai.Hujan kembali turun malam itu. Lebih deras dari malam-malam sebelumnya, seolah langi
Pagi itu, suasana rumah dipenuhi keheningan yang bukan berasal dari ketenangan, tapi dari sesuatu yang menggantung, belum selesai, dan terus mengintai. Lila bangun lebih awal dari biasanya. Sinar matahari belum sepenuhnya menembus tirai, namun ia sudah duduk di tepi tempat tidur, matanya sembab, dan napasnya pendek-pendek. Ia tidak benar-benar tidur semalam.Dimas sudah di dapur, memanaskan air. Wajahnya sama letih. Ia belum bercerita bahwa malam sebelumnya, ia mendengar suara ketukan pelan dari balik dinding kamarnya sendiri. Ketukan yang berirama. Seolah seseorang mencoba mengetuk... dan mengetuk... meminta diizinkan masuk.“Pagi ini kita ke rumah Bu Retno. Habis itu, kita cari orang pintar yang bisa bantu,” ujar Dimas tanpa menoleh.Lila hanya mengangguk. Ia tak punya tenaga untuk membantah. Ia hanya tahu, apa pun yang mengikuti mereka, itu bukan hanya dari rumah Pak Bagas. Mungkin dari masa lalu mereka sendiri, dari tanah yang pernah terjamah keg