Beranda / Horor / Pesugihan Kandang Bubrah / 31. Bisikan Malam Ketiga

Share

31. Bisikan Malam Ketiga

Penulis: Ndraa Archer
last update Terakhir Diperbarui: 2024-11-26 08:27:52

Setelah pemakaman Amira, desa menjadi riuh dengan gosip. Hujan deras, desisan aneh, hingga perubahan tanah liang lahat yang tiba-tiba membuat warga berbisik-bisik penuh kecurigaan. Nama Arif dan Gibran sering disebut dalam percakapan mereka.

Di warung kopi yang menjadi tempat berkumpul warga, suasana panas.

"Sudah lama aku curiga," ujar seorang bapak tua sambil menyeruput kopinya. "Gibran itu sombongnya bukan main. Tapi lihat sekarang, malah dia yang kena sial."

"Benar sekali," sahut yang lain. "Kau dengar kan? Dia dulu ingin menikah dengan Lila, tapi Lila malah memilih Arif. Aku dengar-dengar, dia sampai menghina Arif habis-habisan di keluarga Mahoni."

"Kalau benar begitu, pantas saja Arif marah. Tapi kok jadi Amira yang meninggal?" seorang perempuan menambahkan, matanya menyipit curiga.

Gosip itu terus berkembang, menempatkan Gibran sebagai sasaran utama. Warga mulai percaya bahwa Gibran adalah penyebab rentetan kejadian buruk yang menimpa keluarga Mahoni. Bahkan beberapa mengatakan
Bab Terkunci
Lanjutkan Membaca di GoodNovel
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • Pesugihan Kandang Bubrah   32. Jejak Karma di Desa Misahan

    Sejak malam ketiga kematian Amira, kehidupan di Desa Misahan berubah menjadi penuh kecurigaan dan ketakutan. Peristiwa kesurupan Lastri menjadi topik hangat yang tidak kunjung reda. Tidak ada yang berani berbicara langsung pada Gibran, namun bisik-bisik tentang "Kutukan keluarga Mahoni" terdengar di mana-mana.Di rumah keluarga Mahoni, suasana semakin tegang. Gibran terus mengurung diri di kamarnya, sementara Ibunya berusaha mati-matian menjaga wibawa keluarga. Namun, gosip yang berkembang membuat keluarga Mahoni kehilangan martabat di mata warga.Ibunya Gibran memandang rumahnya yang sepi. Kehilangan Amira masih terasa begitu pahit. Dia tidak tahu harus memercayai apa gosip warga atau firasatnya sendiri. Namun, satu hal yang dia tahu pasti: keluarganya semakin terpuruk.“Aku harus bicara dengan Arif,” gumam Ibunya Gibran suatu pagi, setelah mendengar tetangga menyebut-nyebut nama keponakkan almarhum Bintan Mahoni suaminya.Dia mendatangi rumah Arif, yang kini menjadi salah satu rumah

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-26
  • Pesugihan Kandang Bubrah   33. Pertarungan Batin di Desa Misahan

    Setelah kejadian kesurupan Bu Saminah dan gosip yang semakin menyebar, suasana di Desa Misahan benar-benar mencekam. Ustadz Harman mulai bergerak untuk menenangkan warga dan mencari solusi atas kegaduhan ini. Dia mengumpulkan para tokoh masyarakat di surau, termasuk Pak Suryanto, ayah Lila. Dalam pertemuan itu, Ustadz Harman berusaha mengingatkan mereka untuk menjaga suasana tetap kondusif dan tidak memperburuk keadaan dengan gosip yang tidak berdasar.“Saudara-saudaraku, jangan kita lupakan akhlak kita sebagai orang beriman. Apa pun yang terjadi di keluarga Mahoni, itu adalah urusan mereka. Jangan kita menambah dosa dengan menebar fitnah,” ujar Ustadz Harman dengan nada tenang namun tegas.Pak Suryanto, yang selama ini dikenal sebagai orang yang bijak, angkat bicara. “Saya setuju dengan Ustadz. Tapi izinkan saya menambahkan sesuatu. Belakangan ini, nama menantu saya, Arif, sering disebut-sebut dalam gosip yang tidak enak. Saya ingin semua warga tahu, apa pun yang terjadi di keluarga

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-26
  • Pesugihan Kandang Bubrah    34. Aku Tidak Balas Dendam  

    Lila menggenggam tangan suaminya. “Arif, balas dendam tidak akan menyelesaikan apa pun. Kalau kau terus seperti ini, kau hanya akan merusak dirimu sendiri. Dan aku tidak mau anak kita lahir di tengah situasi seperti ini.”Kata-kata Lila membuat Arif terdiam. Dia menyadari bahwa apa yang dia lakukan mungkin sudah melampaui batas, dan keluarganya bisa menjadi korban berikutnya.“Aku tidak balas dendam, aku hanya melihat apa yang aku rasakan dahulu Lila. Semua itu bukan kehendakku.” Arif mengelak tuduhan Lila.Keesokan harinya, Ustadz Harman memutuskan untuk melakukan pendekatan yang lebih tegas. Dia mengundang Gibran dan Ibunya ke surau untuk berbicara secara langsung. Dia ingin tahu semua detail tentang apa yang terjadi di keluarga mereka.“Ceritakan semuanya tanpa ada yang disembunyikan,” kata Ustadz Harman. “Kalau kita ingin menyelesaikan masalah ini, saya perlu tahu akar permasalahannya.”Gibran, meskipun awalnya ragu-ragu, akhirnya menceritakan semuanya. Dia mengaku pernah menghina

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-27
  • Pesugihan Kandang Bubrah   35. Rencana Baru Arif

    Beberapa bulan setelah keguguran kedua yang dialami Lila, suasana di rumah Arif terasa semakin penuh dengan tekanan. Lila, yang masih sangat terpukul, terus mengeluh tentang keputusannya yang mengorbankan masa depan mereka demi reputasi Arif. Arif juga mulai merasa terjepit, kutukan yang terus beredar di desa, desas-desus mengenai masa lalu keluarganya, serta ancaman yang belum sepenuhnya reda.Arif memandang Lila dengan wajah yang tegang, memikirkan solusi yang mungkin bisa menyelesaikan masalah mereka. Lila menangis di sudut ruangan, tubuhnya membungkuk dan matanya bengkak.“Lila, kita harus bicara.” Arif memulai, nadanya tenang namun penuh tekanan.Lila menatap Arif, terkejut, lalu menghapus air matanya. “Tentang apa, Arif? Kau tahu aku tidak bisa menerima kenyataan ini. Aku merasa aku yang menyebabkan semua ini.”Arif menghela napas panjang. “Lila, kita tidak bisa terus begini. Mungkin, jika kita mengambil langkah yang berbeda, semua ini akan berubah.”Lila menatap Arif dengan tat

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-27
  • Pesugihan Kandang Bubrah    36. Melepaskan Satu Nyawa Untuk Satu Kehidupan

    Suara ketukan jam dinding bergema di ruangan sunyi itu. Lila duduk di sofa dengan perut yang semakin membesar, tangannya mengelus perutnya perlahan. Arif, di seberang meja, terlihat gelisah, matanya bolak-balik memandang jendela dan lantai.“Arif,” suara Lila memecah keheningan, lemah tapi penuh tekanan. “Kau sudah janji, kan? Tidak ada lagi yang aneh-aneh. Fokus kita cuma anak ini.”Arif mendongak, berusaha tersenyum tapi wajahnya pucat. “Tentu saja, Lila. Aku akan memastikan semuanya baik-baik saja.”Lila memandangnya tajam. “Kau bilang begitu sejak dulu, tapi lihat apa yang terjadi? Dua anak kita… mereka—” suara Lila serak, tenggorokannya tercekat.“Aku tahu.” Arif memotong, suaranya tiba-tiba lebih tegas. “Tapi kali ini berbeda. Kita sudah melakukan segalanya dengan benar. Ini akan berhasil.”

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-28
  • Pesugihan Kandang Bubrah   37. Rumah yang Tak Pernah Usai

    Rumah mereka kini lebih besar dari sebelumnya. Tapi ada sesuatu yang ganjil, pagar depan belum selesai, satu ruangan di lantai atas tak pernah diberi pintu dan dapur baru hanya setengah jadi. Lila memperhatikan setiap detail itu dengan rasa gelisah yang kian hari kian membesar.“Arif, kenapa dapur itu belum selesai lagi?” tanya Lila saat mereka duduk di ruang makan, menatap secangkir teh yang dingin.Arif, yang sibuk memeriksa catatan renovasi, hanya mendongak sekilas. “Nanti, Lila. Tukangnya sibuk. Lagipula, kita bisa tunggu sebentar.”Lila menyipitkan mata, meletakkan cangkirnya dengan suara berdenting. “Sebentar? Ini sudah berbulan-bulan, Arif. Kamu terus mulai proyek baru tapi tak pernah menyelesaikannya.”Arif menghela napas, mencoba tersenyum. “Semua akan selesai pada waktunya. Jangan terlalu dipikirkan.”“Tapi aku pikirkan, Arif,” suara Lila mulai meninggi, mencerminkan kecemasannya. “A

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-28
  • Pesugihan Kandang Bubrah   38. Bisikan dalam Keheningan  

    Malam itu, rumah Arif terasa lebih sunyi dari biasanya. Lila dan bayi mereka telah terlelap, meninggalkan Arif sendirian di ruang kerjanya yang luas. Lampu redup menyorot meja penuh catatan proyek yang setengah jadi. Arif memijat pelipisnya, mencoba mengusir lelah yang perlahan berubah menjadi kecemasan.Lalu, itu terjadi lagi.Bisikan halus menyusup dari sudut ruangan. Seolah-olah suara itu berasal dari balik dinding, bercampur dengan desah angin malam. Suara itu lembut, hampir seperti gumaman, namun cukup jelas untuk membuat bulu kuduknya meremang.“Arif…”Nama itu dipanggil perlahan, hampir seperti nyanyian. Arif menoleh, matanya menyapu ruangan kosong. Tidak ada apa-apa, hanya keheningan. Tapi bisikan itu kembali, kali ini lebih dekat, lebih mendesak.“Siapa di sana?!” seru Arif, suaranya menggema di dinding.Tidak ada jawaban, hanya suara ketukan halus di jendela. Dengan tangan gemetar, Arif mendekati jendela dan membuka tirai. Yang terlihat hanyalah halaman gelap, diterangi caha

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-30
  • Pesugihan Kandang Bubrah   39. Jejak yang Tertinggal  

    Arif terbangun dengan rasa cemas yang semakin mendalam, meskipun fajar mulai menyinari rumah besar mereka. Kamar itu terasa lebih sunyi dari sebelumnya, meskipun Lila masih tertidur di sebelahnya, udara di sekitar Arif terasa berat.Dalam kegelapan semalam, bisikan-bisikan itu tidak lagi terasa seperti angin yang berlalu, melainkan seperti suara yang datang dari dalam dirinya, mengalir melalui tulang dan darahnya.Pagi itu, rutinitas yang semula terasa biasa kini terasa semakin membebani. Sarapan di meja terasa hambar, tanpa kata-kata yang berarti. Lila, yang masih belum mengetahui apa yang terjadi pada suaminya, menatap Arif dengan perhatian penuh, namun dia tak bisa menangkap apa yang meresahkan hati pria itu."Arif, kamu tidak bisa terus-menerus seperti ini," kata Lila lembut. “Aku tahu ada yang mengganggu pikiranmu. Apa yang terjadi?"Arif hanya menggelengkan kepala, mencoba menekan perasaan yang mulai menyeruak. "Aku hanya lelah, Lila. Hanya itu."Namun di dalam hatinya, Arif tah

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-30

Bab terbaru

  • Pesugihan Kandang Bubrah   173. Suara Makhluk itu Terdengar Mengerikan  

    Perjalanan di dalam hutan terasa semakin ganjil. Pepohonan yang menjulang tinggi seolah bergerak, menciptakan lorong-lorong yang berputar tanpa arah. Udara semakin berat, dan suara-suara aneh mulai terdengar di sekitar mereka—bisikan, tawa samar, serta isakan lirih yang tidak berasal dari siapa pun di antara mereka.Tiba-tiba, Wina berhenti. “Kita sudah dekat.”Ustadz Harman memejamkan mata sejenak sebelum mengangguk. “Aku juga merasakannya.”Lila dan Jatinegara saling berpandangan. Mereka tidak tahu apa yang harus mereka hadapi, tapi mereka tidak akan mundur.Lalu, di depan mereka, sebuah cahaya samar mulai terlihat di antara pepohonan.Mereka berjalan mendekat, dan akhirnya tiba di sebuah lapangan kecil yang dikelilingi pohon-pohon tinggi.Di tengah lapangan itu, Dimas berdiri. Namun, dia tidak sendirian. Bayangan hitam besar b

  • Pesugihan Kandang Bubrah   172. Menunggu Sampai Malam Jumat Kliwon

    “Tapi, Ustadz! Kita tidak bisa membiarkan Dimas begitu saja!” bentak Jatinegara. “Dia masih bisa diselamatkan! Aku yakin dia masih ada di sana!”Wina, yang sejak tadi diam, akhirnya berbicara. “Dia memang masih ada… tapi bukan sebagai manusia lagi.”Semua orang menoleh ke arahnya. Wina menghela napas panjang. “Aku sudah mengatakan sebelumnya. Hutan Srengege sudah mengklaim Dimas. Jika kita memaksanya untuk tetap berada di dunia manusia, hutan ini akan terus menuntut korban lain.”Lila menggeleng keras. “Tidak! Aku tidak percaya itu! Dimas bukan milik mereka! Dia masih bisa kembali, sama seperti Arif—”“Tapi Arif tidak pernah kembali,” potong Wina. Suaranya datar, tapi penuh ketegasan. “Yang kita lihat selama ini hanyalah pantulan dari dirinya, bukan Arif yang sebenarnya. Sama seperti Dimas sekarang.”

  • Pesugihan Kandang Bubrah    171. Dimas Berdiri di Sana, Tetapi Tubuhnya Terasa Salah.    

    Mereka memutuskan untuk bergerak cepat. Waktu tidak berpihak kepada mereka, dan semakin lama mereka menunggu, semakin kecil kemungkinan mereka menemukan Dimas dalam keadaan utuh.Perjalanan menuju Hutan Srengege terasa lebih berat kali ini. Kabut tipis mulai turun, menciptakan bayangan aneh di antara pepohonan. Udara semakin dingin, dan suara-suara asing mulai terdengar di kejauhan—bisikan samar yang tidak bisa mereka pahami.“Berhati-hatilah,” Ustadz Harman mengingatkan. “Hutan ini bukan sekadar tempat biasa.”Lila menggenggam liontin di lehernya erat-erat, berharap benda itu masih bisa melindunginya dan Jatinegara. Jatinegara berjalan di sampingnya, menggenggam senter dengan tangan yang sedikit gemetar.Setelah beberapa saat berjalan, mereka tiba di batas hutan, tempat di mana semuanya selalu terasa berbeda.Dan kali ini, mereka tidak sendirian. Di

  • Pesugihan Kandang Bubrah   170. Wina! Kau baik-baik saja?  

    “Hutan memilih sendiri,” lanjut Arif. “Dan Dimas… dia sudah dipilih sejak lama. Kau bisa merasakannya, bukan? Sejak dia kembali, ada sesuatu yang berbeda darinya.”Wina menggigit bibirnya. Ia memang merasakan ada sesuatu yang aneh pada Dimas sejak mereka kembali berurusan dengan semua ini. Tapi ia selalu menganggap itu hanya kelelahan atau trauma akibat kejadian sebelumnya.Kini, semuanya terasa masuk akal. Dimas bukan lagi manusia sepenuhnya. Dan selama dia tetap berada di dunia ini, keseimbangan akan terus terganggu.Wina merasakan tubuhnya ditarik kembali. Ia ingin bertanya lebih banyak kepada Arif, tapi semuanya tiba-tiba menjadi kabur. Kabut yang mengelilinginya semakin pekat, dan suara Arif semakin jauh.“Wina… kembalikan dia sebelum semuanya terlambat…” Lalu, semuanya menghilang.Wina terbangun dengan napas tersengal

  • Pesugihan Kandang Bubrah    169. Hutan Srengege.  

    Lila bisa merasakan betapa beratnya beban yang kini dipikul oleh Wina. Bagaimana bisa seorang anak tumbuh tanpa hak untuk menikah, tanpa kesempatan untuk memilih jalannya sendiri?Namun, sebelum ada yang bisa bertanya lebih lanjut, suara gemuruh terdengar dari kejauhan.Jantung Lila berdetak lebih cepat. “Apa itu?”Danyang menatap ke arah desa dengan mata yang semakin kelam. “Teror belum berakhir.”Mereka semua menoleh ke arah desa, dan saat itulah mereka melihatnya.Di kejauhan, tepat di tengah desa, tampak bayangan hitam besar berdiri di antara rumah-rumah. Makhluk itu lebih besar dari manusia biasa, dengan tubuh yang bergetar seperti asap pekat. Matanya menyala merah, dan suaranya terdengar seperti geraman dari dunia lain.“Tunggu…” Jatinegara menyipitkan mata. “Itu… bukan kera putih yang tadi kita lihat?”

  • Pesugihan Kandang Bubrah   169. Kalian Baik-Baik Saja?

    Langit masih tertutup awan kelam, membuat suasana desa semakin suram. Api berwarna kebiruan di rumah Pak Roji perlahan memudar, namun hawa panas dan bau anyir masih menggantung di udara. Lila, Ustadz Harman, dan Jatinegara berdiri waspada di depan rumah, sementara Bu Wati terus menggenggam tangannya dengan cemas.Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar dari arah jalan desa. Mereka menoleh cepat, dan di bawah remang cahaya lampu minyak, tampak seorang perempuan berjalan mendekat.Lila merasa sedikit lega melihatnya. Wina bukan orang biasa,dia adalah seseorang yang memiliki keterkaitan kuat dengan hal-hal gaib. Dulu, Wina pernah membantu mereka memahami berbagai kejadian aneh di desa, berkomunikasi dengan Danyang, makhluk penjaga alam gaib yang menetap di tempat ini.Namun, saat Wina semakin dekat, ada sesuatu yang berbeda darinya. Raut wajahnya tampak lebih lelah dari biasanya, tapi tetap menunjukkan ketenangan yang luar biasa. Ia mengenakan kain berwarna hitam yang menutupi sebagian b

  • Pesugihan Kandang Bubrah    167. Jejak di Balik Asap

    Angin berhembus semakin dingin, membawa aroma tanah basah yang bercampur dengan sesuatu yang lebih pekat—bau kematian.Lila berdiri tegang di depan rumah Pak Roji yang terbakar dengan api kebiruan yang aneh. Asap hitam membubung dari celah-celah atap, tetapi api itu sendiri tidak membakar kayu. Rumah itu tampak masih berdiri utuh meskipun dilalap nyala yang tidak wajar.Pak Roji tergeletak di tanah dengan tubuh kaku seperti patung, sementara Ustadz Harman terus melantunkan doa perlindungan. Di tangan Lila, gulungan kain putih yang ia temukan tadi masih terasa dingin, seakan mengandung energi yang bukan berasal dari dunia ini.Jatinegara, yang sejak tadi diam, menyalakan senternya ke arah pintu rumah yang terbuka sedikit. Bayangan seseorang tampak bergerak di dalam, samar-samar di balik asap pekat.“Ibu… ada orang di dalam,” bisiknya.Lila menoleh cepat, m

  • Pesugihan Kandang Bubrah   166.  Isyarat Sang Penjaga

    Angin malam bertiup semakin kencang, membuat dedaunan berguguran dan dahan-dahan pohon meliuk seperti tangan-tangan kurus yang berusaha meraih sesuatu. Aroma tanah basah semakin tajam, bercampur dengan hawa dingin yang seakan menembus tulang.Lila menggenggam tangan Jatinegara erat-erat, mencoba menenangkan anaknya meskipun dirinya sendiri gemetar ketakutan. Matanya masih terpaku pada sosok kera putih raksasa yang berdiri tegak, memperhatikan mereka semua dengan tatapan penuh makna.Sementara itu, Ustadz Harman tetap berdiri tegak di sisi mereka, sorot matanya tajam, membaca situasi dengan penuh kewaspadaan.Kera itu tidak bergerak, tetapi tubuhnya yang besar memancarkan aura yang sulit dijelaskan bukan ancaman, tetapi juga bukan sesuatu yang sepenuhnya aman.Suara-suara yang tadi bergema dari sumur telah menghilang, meninggalkan keheningan yang justru terasa semakin menakutkan.

  • Pesugihan Kandang Bubrah   165. Bayangan di Kegelapan

    Angin malam bertiup semakin kencang, membawa aroma tanah basah yang bercampur dengan bau anyir samar.Desa yang biasanya sunyi kini terasa lebih menyeramkan, seolah ada sesuatu yang bersembunyi di balik bayang-bayang. Lila menahan napas.Suara lirih dari dalam sumur semakin jelas. “Ibu… tolong aku…”Bu Wati kembali menangis, mencoba melepaskan diri dari genggaman Ustadz Harman yang menahannya. “Lepaskan saya, Ustadz! Itu suara anak saya! Dia ada di dalam sana!”“Bu Wati, dengarkan aku!” suara Ustadz Harman tetap tegas meski lembut. “Kalau itu memang Irfan, kita harus berpikir jernih! Jangan langsung turun ke sana, kita belum tahu apa yang sebenarnya ada di dalam sumur ini.”Bu Wati menangis semakin keras, tubuhnya gemetar. “Tapi… tapi itu suara Irfan! Saya tidak peduli! Saya akan menyelamatkan anak saya!&r

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status