Bu Saminah menatap ke sekeliling, memastikan tidak ada yang mendengar. "Waktu saya mandikan jenazah tadi, ada sesuatu yang aneh."
Lila merasakan bulu kuduknya berdiri. "Apa maksud Ibu?" tanya Lila memastikan.
Bu Saminah mendekatkan suaranya lebih pelan lagi. "Setelah Mas Arif menutup mata Amira dan kain kafan hampir selesai dipasang... saya menemukan bunga kantil kuncup di bawah tubuhnya."
Lila terdiam, matanya melebar. "Apa? Bunga kantil?"
"Ya," Bu Saminah mengangguk dengan wajah penuh ketakutan. "Padahal waktu itu air belum disiramkan ke tubuhnya. Tidak mungkin ada bunga di situ sebelumnya."
Lila memandang jenazah Amira yang di pikul di depan rombongan, pikirannya berputar. Bunga kantil dikenal sebagai bunga mistis yang sering diasosiasikan dengan kehadiran makhluk halus. Apalagi bunga itu kuncup, seperti menyimpan sesuatu yang belum terungkap.
"Kau yakin?"
Setelah pemakaman Amira, desa menjadi riuh dengan gosip. Hujan deras, desisan aneh, hingga perubahan tanah liang lahat yang tiba-tiba membuat warga berbisik-bisik penuh kecurigaan. Nama Arif dan Gibran sering disebut dalam percakapan mereka.Di warung kopi yang menjadi tempat berkumpul warga, suasana panas."Sudah lama aku curiga," ujar seorang bapak tua sambil menyeruput kopinya. "Gibran itu sombongnya bukan main. Tapi lihat sekarang, malah dia yang kena sial.""Benar sekali," sahut yang lain. "Kau dengar kan? Dia dulu ingin menikah dengan Lila, tapi Lila malah memilih Arif. Aku dengar-dengar, dia sampai menghina Arif habis-habisan di keluarga Mahoni.""Kalau benar begitu, pantas saja Arif marah. Tapi kok jadi Amira yang meninggal?" seorang perempuan menambahkan, matanya menyipit curiga.Gosip itu terus berkembang, menempatkan Gibran sebagai sasaran utama. Warga mulai percaya bahwa Gibran adalah penyebab rentetan kejadian buruk yang menimpa keluarga Mahoni. Bahkan beberapa mengatakan
Sejak malam ketiga kematian Amira, kehidupan di Desa Misahan berubah menjadi penuh kecurigaan dan ketakutan. Peristiwa kesurupan Lastri menjadi topik hangat yang tidak kunjung reda. Tidak ada yang berani berbicara langsung pada Gibran, namun bisik-bisik tentang "Kutukan keluarga Mahoni" terdengar di mana-mana.Di rumah keluarga Mahoni, suasana semakin tegang. Gibran terus mengurung diri di kamarnya, sementara Ibunya berusaha mati-matian menjaga wibawa keluarga. Namun, gosip yang berkembang membuat keluarga Mahoni kehilangan martabat di mata warga.Ibunya Gibran memandang rumahnya yang sepi. Kehilangan Amira masih terasa begitu pahit. Dia tidak tahu harus memercayai apa gosip warga atau firasatnya sendiri. Namun, satu hal yang dia tahu pasti: keluarganya semakin terpuruk.“Aku harus bicara dengan Arif,” gumam Ibunya Gibran suatu pagi, setelah mendengar tetangga menyebut-nyebut nama keponakkan almarhum Bintan Mahoni suaminya.Dia mendatangi rumah Arif, yang kini menjadi salah satu rumah
Setelah kejadian kesurupan Bu Saminah dan gosip yang semakin menyebar, suasana di Desa Misahan benar-benar mencekam. Ustadz Harman mulai bergerak untuk menenangkan warga dan mencari solusi atas kegaduhan ini. Dia mengumpulkan para tokoh masyarakat di surau, termasuk Pak Suryanto, ayah Lila. Dalam pertemuan itu, Ustadz Harman berusaha mengingatkan mereka untuk menjaga suasana tetap kondusif dan tidak memperburuk keadaan dengan gosip yang tidak berdasar.“Saudara-saudaraku, jangan kita lupakan akhlak kita sebagai orang beriman. Apa pun yang terjadi di keluarga Mahoni, itu adalah urusan mereka. Jangan kita menambah dosa dengan menebar fitnah,” ujar Ustadz Harman dengan nada tenang namun tegas.Pak Suryanto, yang selama ini dikenal sebagai orang yang bijak, angkat bicara. “Saya setuju dengan Ustadz. Tapi izinkan saya menambahkan sesuatu. Belakangan ini, nama menantu saya, Arif, sering disebut-sebut dalam gosip yang tidak enak. Saya ingin semua warga tahu, apa pun yang terjadi di keluarga
Lila menggenggam tangan suaminya. “Arif, balas dendam tidak akan menyelesaikan apa pun. Kalau kau terus seperti ini, kau hanya akan merusak dirimu sendiri. Dan aku tidak mau anak kita lahir di tengah situasi seperti ini.”Kata-kata Lila membuat Arif terdiam. Dia menyadari bahwa apa yang dia lakukan mungkin sudah melampaui batas, dan keluarganya bisa menjadi korban berikutnya.“Aku tidak balas dendam, aku hanya melihat apa yang aku rasakan dahulu Lila. Semua itu bukan kehendakku.” Arif mengelak tuduhan Lila.Keesokan harinya, Ustadz Harman memutuskan untuk melakukan pendekatan yang lebih tegas. Dia mengundang Gibran dan Ibunya ke surau untuk berbicara secara langsung. Dia ingin tahu semua detail tentang apa yang terjadi di keluarga mereka.“Ceritakan semuanya tanpa ada yang disembunyikan,” kata Ustadz Harman. “Kalau kita ingin menyelesaikan masalah ini, saya perlu tahu akar permasalahannya.”Gibran, meskipun awalnya ragu-ragu, akhirnya menceritakan semuanya. Dia mengaku pernah menghina
Beberapa bulan setelah keguguran kedua yang dialami Lila, suasana di rumah Arif terasa semakin penuh dengan tekanan. Lila, yang masih sangat terpukul, terus mengeluh tentang keputusannya yang mengorbankan masa depan mereka demi reputasi Arif. Arif juga mulai merasa terjepit, kutukan yang terus beredar di desa, desas-desus mengenai masa lalu keluarganya, serta ancaman yang belum sepenuhnya reda.Arif memandang Lila dengan wajah yang tegang, memikirkan solusi yang mungkin bisa menyelesaikan masalah mereka. Lila menangis di sudut ruangan, tubuhnya membungkuk dan matanya bengkak.“Lila, kita harus bicara.” Arif memulai, nadanya tenang namun penuh tekanan.Lila menatap Arif, terkejut, lalu menghapus air matanya. “Tentang apa, Arif? Kau tahu aku tidak bisa menerima kenyataan ini. Aku merasa aku yang menyebabkan semua ini.”Arif menghela napas panjang. “Lila, kita tidak bisa terus begini. Mungkin, jika kita mengambil langkah yang berbeda, semua ini akan berubah.”Lila menatap Arif dengan tat
Suara ketukan jam dinding bergema di ruangan sunyi itu. Lila duduk di sofa dengan perut yang semakin membesar, tangannya mengelus perutnya perlahan. Arif, di seberang meja, terlihat gelisah, matanya bolak-balik memandang jendela dan lantai.“Arif,” suara Lila memecah keheningan, lemah tapi penuh tekanan. “Kau sudah janji, kan? Tidak ada lagi yang aneh-aneh. Fokus kita cuma anak ini.”Arif mendongak, berusaha tersenyum tapi wajahnya pucat. “Tentu saja, Lila. Aku akan memastikan semuanya baik-baik saja.”Lila memandangnya tajam. “Kau bilang begitu sejak dulu, tapi lihat apa yang terjadi? Dua anak kita… mereka—” suara Lila serak, tenggorokannya tercekat.“Aku tahu.” Arif memotong, suaranya tiba-tiba lebih tegas. “Tapi kali ini berbeda. Kita sudah melakukan segalanya dengan benar. Ini akan berhasil.”
Rumah mereka kini lebih besar dari sebelumnya. Tapi ada sesuatu yang ganjil, pagar depan belum selesai, satu ruangan di lantai atas tak pernah diberi pintu dan dapur baru hanya setengah jadi. Lila memperhatikan setiap detail itu dengan rasa gelisah yang kian hari kian membesar.“Arif, kenapa dapur itu belum selesai lagi?” tanya Lila saat mereka duduk di ruang makan, menatap secangkir teh yang dingin.Arif, yang sibuk memeriksa catatan renovasi, hanya mendongak sekilas. “Nanti, Lila. Tukangnya sibuk. Lagipula, kita bisa tunggu sebentar.”Lila menyipitkan mata, meletakkan cangkirnya dengan suara berdenting. “Sebentar? Ini sudah berbulan-bulan, Arif. Kamu terus mulai proyek baru tapi tak pernah menyelesaikannya.”Arif menghela napas, mencoba tersenyum. “Semua akan selesai pada waktunya. Jangan terlalu dipikirkan.”“Tapi aku pikirkan, Arif,” suara Lila mulai meninggi, mencerminkan kecemasannya. “A
Malam itu, rumah Arif terasa lebih sunyi dari biasanya. Lila dan bayi mereka telah terlelap, meninggalkan Arif sendirian di ruang kerjanya yang luas. Lampu redup menyorot meja penuh catatan proyek yang setengah jadi. Arif memijat pelipisnya, mencoba mengusir lelah yang perlahan berubah menjadi kecemasan.Lalu, itu terjadi lagi.Bisikan halus menyusup dari sudut ruangan. Seolah-olah suara itu berasal dari balik dinding, bercampur dengan desah angin malam. Suara itu lembut, hampir seperti gumaman, namun cukup jelas untuk membuat bulu kuduknya meremang.“Arif…”Nama itu dipanggil perlahan, hampir seperti nyanyian. Arif menoleh, matanya menyapu ruangan kosong. Tidak ada apa-apa, hanya keheningan. Tapi bisikan itu kembali, kali ini lebih dekat, lebih mendesak.“Siapa di sana?!” seru Arif, suaranya menggema di dinding.Tidak ada jawaban, hanya suara ketukan halus di jendela. Dengan tangan gemetar, Arif mendekati jendela dan membuka tirai. Yang terlihat hanyalah halaman gelap, diterangi caha
Lila menggertakkan giginya, berusaha menahan rasa takut yang semakin menggigit. Ia menggenggam tasbih yang diberikan Ustadz Harman dengan tangan yang gemetar, mulai melantunkan doa dalam hati.Cahaya kecil mulai muncul, membentuk lingkaran pelindung di sekelilingnya, menyinari kegelapan yang mengancam.Bunyu meraung marah, tubuhnya mendekat dengan kecepatan luar biasa."Doa-doamu tidak akan menyelamatkanmu di sini!" teriaknya, mencoba menembus lingkaran cahaya itu.Namun, begitu tubuhnya menyentuh cahaya tersebut, Bunyu terlempar mundur dengan kekuatan yang luar biasa.Lila menatap Bunyu dengan mata yang penuh keberanian. "Aku tidak akan membiarkan kalian mengambil anakku! Aku akan memutus semua ini sekarang juga!"Ia melangkah maju, menuju gerbang besar yang terletak di hadapannya, yang diyakini sebagai sumber dari semua kegelapan ini.Suara bisikan semakin keras, mencoba menggoyahkan keyakinannya. "Lila... jangan tinggalkan anakmu. Dia akan baik-baik saja jika kau menyerahkan dirimu
Lila duduk bersila di ruangan kecil yang diterangi oleh cahaya remang-remang dari lampu minyak. Suasana dalam ruangan itu terasa sangat mencekam.Dinding kayu yang sudah usang menambah kesan seram, sementara aroma kemenyan yang tercampur dengan wangi kayu gaharu menyelimuti udara. Setiap tarikan napasnya terasa semakin berat.Di depannya, Ustadz Harman tengah membacakan doa dengan suara yang khusyuk, penuh keteguhan dan keyakinan. Lila menatap anaknya, Jatinegara, yang terkulai lemah di pangkuannya.Tubuh anaknya yang kecil tampak sangat rapuh, keringat dingin membasahi wajahnya, dan napasnya terdengar berat seperti terengah-engah."Bu... ada yang ingin mengambilku..." suara Jatinegara terdengar sangat pelan, bibirnya yang pucat bergetar, namun matanya tetap terpejam, seolah terjebak dalam suatu dunia yang jauh dari jangkauan Lila.Lila menggenggam tangan anaknya lebih erat, menc
Lila berdiri terpaku, tubuhnya gemetar di hadapan kekuatan yang tak ia mengerti. Cahaya yang memancar dari Jatinegara semakin terang, membuat wajah anaknya tampak seperti sosok yang bukan lagi seorang bocah kecil. Ada kilatan cahaya perak di matanya yang membuat Lila merasa asing.Bunyu, yang biasanya angkuh dan penuh percaya diri, kini terdiam. Ia melangkah mundur, tubuh besarnya seperti tertekan oleh kehadiran sesuatu yang lebih besar darinya. "Ini... ini tidak mungkin!" gumamnya dengan nada ketakutan. Suaranya tidak lagi mengintimidasi, melainkan penuh rasa gentar.“Jatinegara!” Lila berteriak, mencoba memanggil putranya. Namun suara gemuruh yang terus bergema seakan menelan suaranya. Lingkaran cahaya itu kini mulai meluas, menciptakan medan pelindung di sekitar Jatinegara.Bunyu mulai meronta. “Aku tidak akan menyerah begitu saja!” Dengan gerakan cepat, ia mencoba menyerang medan pelindung itu. Namun, begitu tangannya menyentuh cahaya tersebut, ia terpental jauh seperti dilemparka
Di dunia gaib, Arif terjatuh ke lutut, kelelahan, tubuhnya gemetar karena roh-roh yang semakin menyeretnya. Bunyu berdiri di hadapannya, menawarkan pilihan yang paling sulit dalam hidup Arif.“Arif Mahoni, dengarkan baik-baik. Jika kau ingin keluargamu selamat, ada satu pilihan yang harus kau ambil. Serahkan Jatinegara sebagai tumbal terakhir dan kami akan membiarkan kalian pergi. Atau, kalian semua akan terjebak di dunia ini selamanya. Tidak ada jalan keluar,” kata Bunyu dengan suara yang keras, penuh ancaman.Arif menggigit bibirnya, hatinya semakin dihantui oleh pilihan yang tak terelakkan. Menyerahkan Jatinegara berarti menghancurkan hatinya sendiri. Tetapi jika ia menolak, seluruh keluarganya Lila dan Jatinegara akan ikut terjebak di dunia gaib ini selamanya.Pandangan Arif beralih ke wajah Bunyu, yang tampak begitu tak berperasaan, seperti tak ada kasih sayang atau kemaafan di dalamnya.“Pilihlah, Arif. Waktu sudah habis,” kata Bunyu dengan senyuman dingin.Di dunia nyata, Lila
Di rumah Mahoni, doa Ustadz Harman mendadak terhenti ketika sebuah getaran kuat mengguncang lantai. Dari tengah ruangan, muncul retakan yang memancarkan cahaya merah menyala. Retakan itu semakin melebar, hingga membentuk sebuah portal yang tampak seperti jurang tak berdasar.“Lila! Jaga Jatinegara!” seru Ustadz Harman.Dari dalam portal itu, muncul sosok Bunyu Mahoni. Wujudnya kini menyerupai bayangan besar dengan mata yang menyala merah. Ia melayang di atas portal, memandang Lila dengan ekspresi dingin.“Cukup sudah, Lila,” suara Bunyu Mahoni menggema. “Berhenti melawan. Serahkan Jatinegara pada kami, dan kutukan ini akan berakhir.”Lila berdiri di depan Jatinegara, mencoba melindunginya meskipun tubuhnya bergetar. “Aku tidak akan menyerah! Kau tidak akan mengambil anakku!”Bunyu Mahoni tersenyum sinis. “Kalau begitu, aku sendiri yang akan mengambilnya.”Di dunia gaib, Arif merasakan kehadiran Bunyu Mahoni yang semakin mendominasi. Ia melihat roh-roh mulai menghilang satu per satu, s
rif berjalan dalam kegelapan yang seakan tiada ujung. Suara-suara bergema di sekelilingnya, memanggil namanya dengan nada penuh dendam. Sesekali, bayangan-bayangan kabur muncul, membentuk sosok yang familiar namun menakutkan.“Tumbal-tumbal yang kau serahkan,” bisik sebuah suara tajam di telinganya. “Kami datang untuk menagih!”Tiba-tiba, di depannya muncul sejumlah roh dengan wujud menyeramkan. Mata mereka menyala merah, tubuh mereka tampak seperti bayangan yang melayang, tetapi wajah mereka masih menunjukkan rasa sakit dan amarah.“Kau ingin membebaskan dirimu? Membebaskan keluargamu? Tidak semudah itu, Arif,” ujar salah satu roh. “Kami ingin keadilan. Jika bukan kau, maka anakmu akan menjadi gantinya.”Arif berusaha mempertahankan ketenangannya, meskipun ia tahu dirinya tidak memiliki kendali penuh di dunia ini. “Aku tidak akan membiarkan kalian mengambil Jatinegara!” suaranya tegas, tetapi gemetar di bawah tekanan roh-roh tersebut.“Kau berpikir kami peduli pada pengorbananmu? Kau
Arif berjalan dalam kegelapan yang seakan tiada ujung. Suara-suara bergema di sekelilingnya, memanggil namanya dengan nada penuh dendam. Sesekali, bayangan-bayangan kabur muncul, membentuk sosok yang familiar namun menakutkan.“Tumbal-tumbal yang kau serahkan,” bisik sebuah suara tajam di telinganya. “Kami datang untuk menagih!”Tiba-tiba, di depannya muncul sejumlah roh dengan wujud menyeramkan. Mata mereka menyala merah, tubuh mereka tampak seperti bayangan yang melayang, tetapi wajah mereka masih menunjukkan rasa sakit dan amarah.“Kau ingin membebaskan dirimu? Membebaskan keluargamu? Tidak semudah itu, Arif,” ujar salah satu roh. “Kami ingin keadilan. Jika bukan kau, maka anakmu akan menjadi gantinya.”Arif berusaha mempertahankan ketenangannya, meskipun ia tahu dirinya tidak memiliki kendali penuh di dunia ini. “Aku tidak akan membiarkan kalian mengambil Jatinegara!” suaranya tegas, tetapi gemetar di bawah tekanan roh-roh tersebut.“Kau berpikir kami peduli pada pengorbananmu? Ka
Dari balik bayang-bayang, Mbah Mijan melangkah maju, senyum tipis yang menyeramkan terukir di wajahnya.“Lila, waktumu tidak banyak,” katanya dengan suara yang terdengar seperti bisikan bercampur desis ular. “Kau bisa mengakhiri semua ini. Tapi, untuk itu, Jatinegara harus menjadi tumbal terakhir.”Lila menatap Mbah Mijan dengan mata membelalak. “Tidak! Aku tidak akan menyerahkan anakku! Kau gila!” serunya dengan penuh ketegasan, meskipun tubuhnya gemetar ketakutan.Mbah Mijan tertawa kecil, tetapi ada kegelapan di matanya. “Kalau begitu, pilih jalan lain. Tapi ingat, semakin lama kau menunda, kutukan ini akan merenggut nyawa Jatinegara secara perlahan, sampai tidak ada yang tersisa. Apa kau siap melihatnya menderita?”Lila memeluk Jatinegara yang tubuhnya semakin dingin. Pola-pola gaib di kulit anaknya semakin menyala, seakan-akan menjadi tanda bahwa waktunya hampir habis.“Tidak ada cara lain?” Lila bertanya dengan suara bergetar. Air mata mengalir di pipinya, mencerminkan rasa putu
”Mereka sudah sampai,” gumam Lila ketakutan. Sedangkan Mbah Mijan seketika menghilang bersama dengan suara warga yang mendekat.Suara kayu pintu yang didobrak bergema di dalam rumah Mahoni. Warga desa menyerbu masuk dengan amarah yang meluap, membawa obor, golok, dan kayu yang mereka ayunkan ke segala arah. Suasana berubah menjadi kekacauan dalam hitungan detik. Perabotan di ruang tamu hancur berantakan, dan simbol-simbol ritual yang ada di rumah itu menjadi sasaran pertama.“Ini bukti! Mereka melakukan pesugihan!” teriak salah satu warga sambil menunjuk lingkaran ritual di tengah ruangan.“Akhiri keluarga ini! Mereka telah menghancurkan hidup kita!” seru yang lain, membakar amarah massa lebih jauh.Lila berdiri mematung, memeluk Jatinegara yang kini menangis ketakutan di pelukannya. Mbah Mijan entah bagaimana menghilang di tengah kekacauan itu, meninggalkan Lila dan Jatinegara menghadapi amukan massa seorang diri.“Dengarkan aku!” Lila berteriak, mencoba menjangkau akal sehat warga. “