Rumah mereka kini lebih besar dari sebelumnya. Tapi ada sesuatu yang ganjil, pagar depan belum selesai, satu ruangan di lantai atas tak pernah diberi pintu dan dapur baru hanya setengah jadi. Lila memperhatikan setiap detail itu dengan rasa gelisah yang kian hari kian membesar.
“Arif, kenapa dapur itu belum selesai lagi?” tanya Lila saat mereka duduk di ruang makan, menatap secangkir teh yang dingin.
Arif, yang sibuk memeriksa catatan renovasi, hanya mendongak sekilas. “Nanti, Lila. Tukangnya sibuk. Lagipula, kita bisa tunggu sebentar.”
Lila menyipitkan mata, meletakkan cangkirnya dengan suara berdenting. “Sebentar? Ini sudah berbulan-bulan, Arif. Kamu terus mulai proyek baru tapi tak pernah menyelesaikannya.”
Arif menghela napas, mencoba tersenyum. “Semua akan selesai pada waktunya. Jangan terlalu dipikirkan.”
“Tapi aku pikirkan, Arif,” suara Lila mulai meninggi, mencerminkan kecemasannya. “A
Malam itu, rumah Arif terasa lebih sunyi dari biasanya. Lila dan bayi mereka telah terlelap, meninggalkan Arif sendirian di ruang kerjanya yang luas. Lampu redup menyorot meja penuh catatan proyek yang setengah jadi. Arif memijat pelipisnya, mencoba mengusir lelah yang perlahan berubah menjadi kecemasan.Lalu, itu terjadi lagi.Bisikan halus menyusup dari sudut ruangan. Seolah-olah suara itu berasal dari balik dinding, bercampur dengan desah angin malam. Suara itu lembut, hampir seperti gumaman, namun cukup jelas untuk membuat bulu kuduknya meremang.“Arif…”Nama itu dipanggil perlahan, hampir seperti nyanyian. Arif menoleh, matanya menyapu ruangan kosong. Tidak ada apa-apa, hanya keheningan. Tapi bisikan itu kembali, kali ini lebih dekat, lebih mendesak.“Siapa di sana?!” seru Arif, suaranya menggema di dinding.Tidak ada jawaban, hanya suara ketukan halus di jendela. Dengan tangan gemetar, Arif mendekati jendela dan membuka tirai. Yang terlihat hanyalah halaman gelap, diterangi caha
Arif terbangun dengan rasa cemas yang semakin mendalam, meskipun fajar mulai menyinari rumah besar mereka. Kamar itu terasa lebih sunyi dari sebelumnya, meskipun Lila masih tertidur di sebelahnya, udara di sekitar Arif terasa berat.Dalam kegelapan semalam, bisikan-bisikan itu tidak lagi terasa seperti angin yang berlalu, melainkan seperti suara yang datang dari dalam dirinya, mengalir melalui tulang dan darahnya.Pagi itu, rutinitas yang semula terasa biasa kini terasa semakin membebani. Sarapan di meja terasa hambar, tanpa kata-kata yang berarti. Lila, yang masih belum mengetahui apa yang terjadi pada suaminya, menatap Arif dengan perhatian penuh, namun dia tak bisa menangkap apa yang meresahkan hati pria itu."Arif, kamu tidak bisa terus-menerus seperti ini," kata Lila lembut. “Aku tahu ada yang mengganggu pikiranmu. Apa yang terjadi?"Arif hanya menggelengkan kepala, mencoba menekan perasaan yang mulai menyeruak. "Aku hanya lelah, Lila. Hanya itu."Namun di dalam hatinya, Arif tah
Malam itu terasa lebih mencekam daripada biasanya. Angin berhembus dengan suara yang lebih tajam, seperti membawa pesan yang tersembunyi di antara desahnya. Arif terjaga, tubuhnya basah oleh keringat dingin meskipun udara malam begitu sejuk.Arif tak bisa tidur, pikiran dan perasaan cemas menyelimuti setiap inci tubuhnya. Semuanya tampak lebih nyata sekarang, kekuatan yang tak bisa dijelaskan, bisikan yang semakin dekat, dan perasaan seperti ada sesuatu yang mengawasi setiap gerakannya.Lila tidur dengan damai di sampingnya, tak menyadari apa yang terjadi di dalam hati suaminya. Arif tidak tahu bagaimana harus menghadapinya. Sejak pertemuannya dengan Iva, dunia seakan terbalik. Dia merasa terperangkap dalam pusaran yang semakin dalam, dan tak ada jalan keluar yang jelas.Tiba-tiba, ketukan yang begitu keras mengguncang pintu rumah. Arif terlonjak, jantungnya berdetak lebih cepat. Dia ingin mengabaikannya, namun suara ketukan itu tidak berhenti. Dengan tubuh yang masih gemetar, Arif ba
Malam itu terasa seperti sebuah ketegangan yang menunggu untuk meledak. Setelah pertemuannya dengan Mbah Mijan, Arif merasa dirinya semakin terperangkap dalam kesepakatan gelap yang tidak dapat dipahami sepenuhnya.Rasa cemasnya tumbuh menjadi sesuatu yang lebih gelap seperti bayang-bayang yang terus mengikutinya tanpa bisa dilihat, namun selalu ada.Di sebuah rumah tua di pinggir desa, Arif duduk di ruang tamu yang gelap, bersama beberapa orang yang sebelumnya tidak pernah dia kenal. Mereka adalah keluarga dan kerabat yang, seperti dirinya, terjebak dalam jaring pesugihan yang jahat.Setiap wajah di sekitar meja itu tampak lelah, dipenuhi keputusasaan yang sama seperti mereka telah kehilangan sesuatu yang sangat berharga namun tak tahu bagaimana cara mendapatkannya kembali.“Arif, ini adalah pertama kalinya kita berkumpul untuk berbicara tentang jalan yang telah kita pilih,” kata seorang pria paruh baya, dengan suara serak dan mata yang tampak kosong. Pria ini, yang dikenalkan sebaga
Malam itu, Arif duduk sendiri di ruang kerjanya, ditemani hanya oleh kilatan petir yang mengiringi hujan deras di luar. Lila sudah tertidur di kamar dan Arif merasa tak bisa lepas dari pikiran yang terus menggerogoti. Semua yang telah terjadi keputusan-keputusan yang telah dia buat seakan membawanya lebih dekat ke jurang yang tidak bisa ia hindari.Tiba-tiba, pintu ruang kerja diketuk dengan suara lembut, namun tajam, seperti ada yang menunggu di luar. Arif terlonjak dan bergegas membuka pintu. Di ambang pintu berdiri seorang wanita muda dengan ekspresi yang tidak bisa dia baca. Wajahnya pucat, dan mata hitamnya terlihat seperti menyimpan banyak rahasia."Arif Mahoni?" Suaranya bergetar, namun penuh tekad."Ya?" jawab Arif, kebingungannya mulai berubah menjadi rasa curiga.Wanita itu melangkah masuk tanpa izin, seolah-olah dia sudah terbiasa dengan tempat ini. "Saya hanya ingin bicara. Ada hal yang harus kamu ketahui."Arif merasa perasaan asing mulai merayap ke dalam dirinya. "Siapa
Malam itu, Arif duduk di ruang kerjanya, ditemani oleh lampu meja yang redup dan suara hujan yang mengguyur deras di luar. Dia merasa tenggelam dalam rasa cemas yang tak pernah mereda.Sesuatu yang gelap dan menakutkan terus menggerogoti pikirannya. Hatinya terpecah antara dua dunia yang tak pernah sejalan dunia kekayaan dan kemewahan yang dicapainya melalui pesugihan dan dunia moralitas yang terus berteriak, mengingatkan akan segala yang telah dia korbankan.Setiap kali dia memandang kekayaannya, Arif tidak bisa mengabaikan bayangan gelap yang selalu mengikuti kenyataan bahwa setiap pencapaian itu membawa serta harga yang harus dibayar. Hanya dengan ritual itu, dia bisa terus mempertahankan semua yang dia miliki. Tapi semakin dia terjerat, semakin dalam pula perasaan bersalahnya menggerogoti. Apakah semua ini sepadan?Di tengah perenungannya, pintu ruang kerja diketuk. Arif terkejut. Hanya beberapa orang yang tahu di mana dia berada saat itu. Pintu terbuka perlahan dan di ambang pint
Malam itu sunyi, tetapi di kedalaman rumah Arif Mahoni, keheningan terasa seperti pisau yang memotong jiwa. Lila sudah terlelap, tidak menyadari pergolakan batin suaminya yang semakin berat. Di ruang kerja, Arif duduk diam, menatap setumpuk dokumen yang tidak pernah disentuh. Pikirannya jauh melayang, tersedot ke dalam pusaran rasa bersalah dan ketakutan.Kilatan petir dari luar jendela memperlihatkan sekilas sosok bayangan yang berdiri di sudut ruangan. Arif terlonjak, tetapi saat dia menoleh, tidak ada apa-apa. Keringat dingin mengalir di pelipisnya. Penglihatannya menjadi kabur sejenak, tetapi suara halus seperti bisikan mulai memenuhi ruangan, menyusup ke setiap celah kesadarannya.“Bayarnya tak bisa ditunda…” suara itu samar, tetapi menusuk ke dalam kepala Arif.Arif merasakan dadanya sesak. Ini bukan pertama kalinya hal seperti ini terjadi, tetapi intensitasnya semakin meningkat. Dia menyadari sesuatu yang lain sedang mengintai, sesuatu yang lebih dari sekadar rasa bersalah.Dal
Hutan Srengege selalu diselimuti kabut tipis yang dingin, seperti selimut abu-abu yang tak pernah terangkat. Kabut itu seolah-olah menjaga rahasia kelam yang tersembunyi di setiap sudutnya.Malam itu, kabut terasa lebih tebal dari biasanya di desa Misahan, menyusup ke pori-pori kulit Arif Mahoni. Bahkan embusan napasnya seperti terperangkap di antara udara lembab yang pekat. Arif menatap rumah tua, tempat di mana ritual pesugihan tahunan akan dilakukan. Rumah itu berdiri di tengah hutan Srengege tepanya di antara Hutan Misahan dan perbatasan akhir desa Misahan, terpisah dari hiruk pikuk kehidupan, seperti menunggu sesuatu yang menyeramkan datang.’Aku kembali lagi kesini, teringat pertama kali aku menuju tempat ini. Entah ke mana Dimas perginya,’ batin Arif menggingat Dimas yang berjuang bersamanya.Di depan rumah, Mbah Mijan sudah berdiri dengan tubuh membungkuk, tangannya menggenggam tongkat kayu hitam yang selalu menemaninya. Sorot matanya tajam, seolah menembus langsung ke dalam
Lila menggenggam tangan anaknya. Ia masih bernapas. Tapi tubuhnya lemas.Dalam keheningan yang tersisa, hanya suara hujan yang terdengar. Tapi suasana rumah sudah berbeda. Tidak lagi terasa ditekan. Tidak lagi ada suara-suara bisik.Namun saat Dimas membantu Lila berdiri, mereka melihat satu hal terakhir.Di dinding tempat bayangan muncul, pasir hitam mengumpul membentuk pola baru.Pola itu menyerupai pintu. Dan di tengah-tengahnya, satu kalimat terukir:“Celah sudah ditutup. Tapi penjaga akan kembali.”Udara pagi di Desa Misahan terasa lebih lembut dari biasanya. Hujan semalam telah membersihkan debu-debu yang selama ini menggantung di antara daun-daun dan atap rumah. Tapi di rumah Lila, meski cahaya mentari menyusup lewat celah tirai dan suara burung bersahutan dari kejauhan, bayangan yang tertinggal belum benar-benar pergi.Jatinegara duduk di dekat jendela ruang tamu. Krayon berwarna hijau muda di tangannya menari pelan di atas kertas putih. Wajahnya tampak lebih segar, pipinya mu
Dalam perjalanan pulang, malam sudah mulai turun. Jalan desa yang gelap dilalui dengan perasaan campur aduk. Tapi mereka tahu, ini bukan hanya soal pengusiran. Ini soal menutup celah yang selama ini dibiarkan terbuka oleh luka-luka lama.Dan saat mereka sampai di rumah......pintu depan terbuka sedikit.Mereka saling tatap. Tidak ada yang merasa membukanya.Saat melangkah masuk, mereka langsung mencium aroma asing.Bunga melati.Dan di lantai ruang tamu, tersebar koin-koin logam. Bukan hanya satu. Tapi puluhan.Berderet. Mengarah ke kamar Jatinegara.Dan di dinding, tergambar satu kalimat:"Kami sudah menunggu."Dalam keheningan itu, sebuah suara kecil terdengar dari dalam kamar.Ketukan. Pelan.Satu...Dua...Tiga...Seolah memanggil mereka... untuk membuka pintu mimpi yang belum selesai.Hujan kembali turun malam itu. Lebih deras dari malam-malam sebelumnya, seolah langi
Pagi itu, suasana rumah dipenuhi keheningan yang bukan berasal dari ketenangan, tapi dari sesuatu yang menggantung, belum selesai, dan terus mengintai. Lila bangun lebih awal dari biasanya. Sinar matahari belum sepenuhnya menembus tirai, namun ia sudah duduk di tepi tempat tidur, matanya sembab, dan napasnya pendek-pendek. Ia tidak benar-benar tidur semalam.Dimas sudah di dapur, memanaskan air. Wajahnya sama letih. Ia belum bercerita bahwa malam sebelumnya, ia mendengar suara ketukan pelan dari balik dinding kamarnya sendiri. Ketukan yang berirama. Seolah seseorang mencoba mengetuk... dan mengetuk... meminta diizinkan masuk.“Pagi ini kita ke rumah Bu Retno. Habis itu, kita cari orang pintar yang bisa bantu,” ujar Dimas tanpa menoleh.Lila hanya mengangguk. Ia tak punya tenaga untuk membantah. Ia hanya tahu, apa pun yang mengikuti mereka, itu bukan hanya dari rumah Pak Bagas. Mungkin dari masa lalu mereka sendiri, dari tanah yang pernah terjamah keg
"Jati, ayo minum susunya dulu," panggilnya sambil meletakkan gelas di meja kecil.Anaknya menoleh, lalu berdiri pelan dan menghampiri. “Bu... aku tadi nggak sendirian.”Lila menelan ludah. “Di mana?”“Di kamar. Waktu aku ambil kertas. Ada suara bilang, ‘Ayo gambar aku lagi.’ Terus... aku dengar suara gesek-gesek dari dalam lemari.”Lila segera memeluk anaknya. Wajah Jatinegara dingin dan tubuhnya sedikit menggigil meski cuaca tidak terlalu dingin. Ia tahu tak bisa lagi menganggap semua ini sebagai halusinasi anak-anak.“Suara itu kayak... pelan banget, Bu. Tapi aku tahu dia ada di sana. Suaranya kayak bisikan yang nyangkut di kepala.”Setelah Jatinegara tertidur di kamarnya—dipenuhi oleh lampu tidur, kantong pelindung dari Bu Ngatmi, dan doa-doa yang ia baca dengan suara bergetar—Lila duduk di ruang tamu bersama Dimas. Mereka berdua tak bicara lama. Hanya diam dan saling bertukar pandang. Saling tahu bahwa sesuatu sedang berjalan di luar batas pemahaman mereka.“Besok kita ke rumah Bu
Tiba-tiba, suara dari kamar Jatinegara memecah keheningan.“BUUUU!!”Lila berlari masuk, diikuti Dimas. Jatinegara duduk di atas ranjang, tubuhnya gemetar hebat.“Dia di dalam dinding! Dia ngomong sama aku!” teriaknya.Lila memeluk anaknya erat. “Tenang... tenang sayang, Ibu di sini.”Dimas menyalakan senter dari ponselnya dan menyorot ke arah dinding yang ditunjuk. Tidak ada apa-apa. Hanya cat putih polos.Tapi ketika mereka mendekat, terlihat sesuatu yang membuat napas mereka tercekat.Jejak tangan. Kecil. Seperti tangan anak-anak. Tertempel samar di permukaan dinding, tepat di atas sandaran ranjang Jatinegara. Jejak itu tidak seperti bekas tangan biasa. Bentuknya aneh. Jari-jarinya lebih panjang, dan susunannya tidak sempurna.“Jangan-jangan... ini bukan Aldi,” bisik Lila.Dimas mengusap wajahnya. “Besok kita bersihkan temboknya. Malam ini, Jati tidur sama kita.”Dan malam itu, mereka bertiga tidur di ruang tengah. Semua lampu dibiarkan menyala. Tapi tetap saja, di antara sela-sela
Dimas membaca situasi dalam sekejap. Ia duduk di lantai di samping anaknya. “Jati, kamu tahu nggak kalau gambar bisa menyimpan energi?”Jatinegara mengangguk pelan. “Kayak buku cerita yang hidup, kan?”“Iya. Makanya, nanti gambar ini kita simpan dulu, ya. Jangan tempel di dinding kamar.”Jatinegara menurut, meski tampak sedikit enggan.Hari itu berjalan tenang, tapi tidak sepenuhnya lepas dari rasa waspada. Saat sore menjelang, Lila memberanikan diri untuk berjalan ke rumah seberang. Ia mengetuk pintu rumah Pak Bagas. Tidak ada sahutan. Ia mengetuk sekali lagi, lebih keras. Masih tak ada jawaban. Tapi jendela di lantai atas terlihat sedikit terbuka, tirainya bergerak perlahan meski angin nyaris tidak terasa.Saat ia hendak berbalik, pintu terbuka setengah.Seorang pria dengan wajah lelah dan kantong mata dalam menatap dari balik celah. “Ada perlu, Bu?”Lila tersenyum sopan. “Maaf, Pak. Saya Lila, dari seberang. Anak saya bilang semalam bertemu dengan Aldi. Saya cuma ingin memastikan..
Pagi pertama di rumah baru dimulai dengan aroma roti bakar dan suara sepeda motor yang melintas di depan gang. Lila membuka jendela dapur dan menyambut sinar matahari dengan napas panjang. Udara di lingkungan itu berbeda. Ramai, tapi tidak berisik. Hiruk-pikuknya justru terasa hidup, bukan membebani.Jatinegara duduk di ruang tamu, mengenakan seragam sekolah barunya. Kemeja putih, celana abu-abu, dan sepatu hitam yang masih mengilap. Di tangannya ada bekal berisi roti keju dan selembar surat kecil dari ibunya yang ditulis malam sebelumnya.“Kamu gugup?” tanya Lila sambil memeriksa kerah seragam anaknya.“Sedikit,” jawab Jatinegara jujur. “Tapi aku juga penasaran. Mungkin di sekolah ini nggak ada yang bisa lihat... bayangan-bayangan kayak dulu.”Lila menunduk dan mengecup kening anaknya. “Kalau pun ada, kamu tahu caranya tetap kuat.”Dimas yang berdiri di dekat pintu memberi kode. “Ayo, kita antar Jati dulu. Nanti aku lanjut ke bengkel motor.”Setelah mengantar Jatinegara ke sekolah da
“Bu, itu rumahnya?” tanya Jatinegara, menempelkan wajah ke kaca mobil yang sedikit berembun. Suaranya penuh rasa ingin tahu, tapi juga hati-hati—seperti masih belum yakin apakah mereka benar-benar sudah sampai di tempat yang aman.Lila menoleh ke luar, melihat bangunan sederhana dengan dinding abu-abu dan pagar besi setinggi pinggang orang dewasa. Ia mengangguk pelan. “Iya, Nak. Itu rumah kita sekarang.”Jatinegara diam sesaat, lalu menoleh pada ibunya. “Apa di sini nanti nggak ada suara-suara aneh lagi?”Lila tersenyum lembut, mengusap kepala anaknya. “Nggak ada, Sayang. Tempat ini baru. Bersih. Kita mulai hidup yang baru di sini.”Dimas yang duduk di depan menambahkan, “Nggak besar. Tapi cukup buat kita bertiga. Dan yang paling penting, tempat ini belum punya cerita buruk.”“Berarti kita bisa mulai dari awal, ya?” Jatinegara masih menatap rumah itu, matanya menyipit kar
Hari terakhir di rumah tua itu tiba lebih cepat dari yang mereka bayangkan. Matahari baru saja menyembul dari balik bukit ketika Lila membuka jendela dan menghirup udara pagi yang basah. Kabut tipis menggantung rendah di halaman, seperti selimut terakhir yang diberikan alam pada tempat itu sebelum perpisahan yang tak terhindarkan.Bau kayu, tanah lembap, dan wangi samar dari bunga melati liar yang tumbuh di sudut pagar memenuhi udara. Rasanya seperti aroma yang menempel dalam ingatan, seolah rumah itu sendiri menginginkan mereka untuk tetap tinggal, meskipun Lila tahu sudah waktunya untuk pergi. Dimas sedang mengikat barang-barang di atas motor gerobak sewaan yang akan mengangkut sebagian besar milik mereka ke tempat baru di kota sebelah. Pekerjaannya tampak terburu-buru, tetapi dia terlihat seperti tidak memperhatikan apapun selain tugasnya. Di belakangnya, suara gemericik ranting yang bergesekan dengan angin terdengar semakin keras, seperti ada yang mencoba untuk mengingatk