Beranda / Horor / Pesugihan Kandang Bubrah / 243. Jejak di Dinding

Share

243. Jejak di Dinding

Penulis: Ndraa Archer
last update Terakhir Diperbarui: 2025-04-23 07:04:49
Tiba-tiba, suara dari kamar Jatinegara memecah keheningan.

“BUUUU!!”

Lila berlari masuk, diikuti Dimas. Jatinegara duduk di atas ranjang, tubuhnya gemetar hebat.

“Dia di dalam dinding! Dia ngomong sama aku!” teriaknya.

Lila memeluk anaknya erat. “Tenang... tenang sayang, Ibu di sini.”

Dimas menyalakan senter dari ponselnya dan menyorot ke arah dinding yang ditunjuk. Tidak ada apa-apa. Hanya cat putih polos.

Tapi ketika mereka mendekat, terlihat sesuatu yang membuat napas mereka tercekat.

Jejak tangan. Kecil. Seperti tangan anak-anak. Tertempel samar di permukaan dinding, tepat di atas sandaran ranjang Jatinegara. Jejak itu tidak seperti bekas tangan biasa. Bentuknya aneh. Jari-jarinya lebih panjang, dan susunannya tidak sempurna.

“Jangan-jangan... ini bukan Aldi,” bisik Lila.

Dimas mengusap wajahnya. “Besok kita bersihkan temboknya. Malam ini, Jati tidur sama kita.”

Dan malam itu, mereka bertiga tidur di ruang tengah. Semua lampu dibiarkan menyala. Tapi tetap saja, di antara sela-sela
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terkait

  • Pesugihan Kandang Bubrah   244. Malam Kedua

    "Jati, ayo minum susunya dulu," panggilnya sambil meletakkan gelas di meja kecil.Anaknya menoleh, lalu berdiri pelan dan menghampiri. “Bu... aku tadi nggak sendirian.”Lila menelan ludah. “Di mana?”“Di kamar. Waktu aku ambil kertas. Ada suara bilang, ‘Ayo gambar aku lagi.’ Terus... aku dengar suara gesek-gesek dari dalam lemari.”Lila segera memeluk anaknya. Wajah Jatinegara dingin dan tubuhnya sedikit menggigil meski cuaca tidak terlalu dingin. Ia tahu tak bisa lagi menganggap semua ini sebagai halusinasi anak-anak.“Suara itu kayak... pelan banget, Bu. Tapi aku tahu dia ada di sana. Suaranya kayak bisikan yang nyangkut di kepala.”Setelah Jatinegara tertidur di kamarnya—dipenuhi oleh lampu tidur, kantong pelindung dari Bu Ngatmi, dan doa-doa yang ia baca dengan suara bergetar—Lila duduk di ruang tamu bersama Dimas. Mereka berdua tak bicara lama. Hanya diam dan saling bertukar pandang. Saling tahu bahwa sesuatu sedang berjalan di luar batas pemahaman mereka.“Besok kita ke rumah Bu

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-23
  • Pesugihan Kandang Bubrah   245. Pagar Tak Terlihat

    Pagi itu, suasana rumah dipenuhi keheningan yang bukan berasal dari ketenangan, tapi dari sesuatu yang menggantung, belum selesai, dan terus mengintai. Lila bangun lebih awal dari biasanya. Sinar matahari belum sepenuhnya menembus tirai, namun ia sudah duduk di tepi tempat tidur, matanya sembab, dan napasnya pendek-pendek. Ia tidak benar-benar tidur semalam.Dimas sudah di dapur, memanaskan air. Wajahnya sama letih. Ia belum bercerita bahwa malam sebelumnya, ia mendengar suara ketukan pelan dari balik dinding kamarnya sendiri. Ketukan yang berirama. Seolah seseorang mencoba mengetuk... dan mengetuk... meminta diizinkan masuk.“Pagi ini kita ke rumah Bu Retno. Habis itu, kita cari orang pintar yang bisa bantu,” ujar Dimas tanpa menoleh.Lila hanya mengangguk. Ia tak punya tenaga untuk membantah. Ia hanya tahu, apa pun yang mengikuti mereka, itu bukan hanya dari rumah Pak Bagas. Mungkin dari masa lalu mereka sendiri, dari tanah yang pernah terjamah keg

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-24
  • Pesugihan Kandang Bubrah   246. Penjaga Celah

    Dalam perjalanan pulang, malam sudah mulai turun. Jalan desa yang gelap dilalui dengan perasaan campur aduk. Tapi mereka tahu, ini bukan hanya soal pengusiran. Ini soal menutup celah yang selama ini dibiarkan terbuka oleh luka-luka lama.Dan saat mereka sampai di rumah......pintu depan terbuka sedikit.Mereka saling tatap. Tidak ada yang merasa membukanya.Saat melangkah masuk, mereka langsung mencium aroma asing.Bunga melati.Dan di lantai ruang tamu, tersebar koin-koin logam. Bukan hanya satu. Tapi puluhan.Berderet. Mengarah ke kamar Jatinegara.Dan di dinding, tergambar satu kalimat:"Kami sudah menunggu."Dalam keheningan itu, sebuah suara kecil terdengar dari dalam kamar.Ketukan. Pelan.Satu...Dua...Tiga...Seolah memanggil mereka... untuk membuka pintu mimpi yang belum selesai.Hujan kembali turun malam itu. Lebih deras dari malam-malam sebelumnya, seolah langi

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-24
  • Pesugihan Kandang Bubrah   247. Rumah yang Masih Terbelah

    Lila menggenggam tangan anaknya. Ia masih bernapas. Tapi tubuhnya lemas.Dalam keheningan yang tersisa, hanya suara hujan yang terdengar. Tapi suasana rumah sudah berbeda. Tidak lagi terasa ditekan. Tidak lagi ada suara-suara bisik.Namun saat Dimas membantu Lila berdiri, mereka melihat satu hal terakhir.Di dinding tempat bayangan muncul, pasir hitam mengumpul membentuk pola baru.Pola itu menyerupai pintu. Dan di tengah-tengahnya, satu kalimat terukir:“Celah sudah ditutup. Tapi penjaga akan kembali.”Udara pagi di Desa Misahan terasa lebih lembut dari biasanya. Hujan semalam telah membersihkan debu-debu yang selama ini menggantung di antara daun-daun dan atap rumah. Tapi di rumah Lila, meski cahaya mentari menyusup lewat celah tirai dan suara burung bersahutan dari kejauhan, bayangan yang tertinggal belum benar-benar pergi.Jatinegara duduk di dekat jendela ruang tamu. Krayon berwarna hijau muda di tangannya menari pelan di atas kertas putih. Wajahnya tampak lebih segar, pipinya mu

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-25
  • Pesugihan Kandang Bubrah   248. Tak Ada Suara Ketukan

    “Bagaimana Bapak tahu?”“Karena itu warisan keluarga Bagas. Dan karena aku yang menyuruh ibunya menyembunyikannya.”Pak Arwan berdiri. “Ada sesuatu yang harus kalian tahu. Pintu-pintu seperti yang kalian alami... tidak muncul sendiri. Ia tumbuh dari perjanjian. Perjanjian yang tidak pernah ditepati. Bagas pernah berjanji untuk menyerahkan sesuatu... demi anaknya bisa sembuh dari penyakit. Tapi ia menunda. Dan saat istrinya meninggal, ia kabur. Tapi makhluk itu tidak pernah lupa.”“Jadi semua ini... karena janji yang dilanggar?”“Dan karena tidak ada yang memperingatkan kalian. Kalian datang ke rumah yang menyimpan luka, lalu luka itu meresap ke dalam kalian.”Lila menatap Dimas. “Apa yang harus kita lakukan?”“Bakar surat dan foto itu. Tapi jangan di rumah. Lakukan di tanah tinggi. Bersihkan energi dari tempat kalian tinggal. Dan ajari anak kalian... untuk mengenali perbedaan antara teman dan penunggu.”Malam itu, mereka pergi ke bukit di ujung desa. Di sana, mereka menyalakan api ung

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-26
  • Pesugihan Kandang Bubrah    1. Membuat Malu

    “Arif!” Suara Sungkai Mahoni terdengar melengking dari luar rumah. "Buat malu Ayah saja! Kamu selalu jadi bahan cerita di keluarga," omel Sungkai begitu masuk ke rumah. Dia menutup pintu dengan keras. Malam itu, langit di Desa Misahan berwarna kelam. Awan tebal menggantung rendah menandakan datangnya hujan. Suara cicada melengking di udara, dan menciptakan suasana tegang yang menyelimuti rumah Arif. "Ada apa, Yah?" tanya Misna Bengkirai, ibunya Arif. Ayahnya kemudian bercerita panjang lebar sambil meremas rambutnya. Di ruang tamu yang sempit, Arif berusaha mencuri dengar pokok permasalahan yang membuat ayahnya marah-marah. Sungkai duduk bersama istrinya. "Tanya sama anakmu! Dia selalu bikin malu saja! Dia mau melamar Lila Cendana, tapi nggak punya pekerjaan."Arif menghela napas. Dia menahan emosinya."Untung saja yang menegurku mas Bintan Mahoni, kakakku yang kaya dan pelit itu. Malu! malu! Mau ditaruh di mana wajah Ayah?!"Keluhan Sungkai memancing emosi Misna. "Kamu ini

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-08
  • Pesugihan Kandang Bubrah   2. Gelapnya malam di hutan Misahan

    “Mungkin itu perasaanku saja, karena melamun merasa Dimas lewat,” gumamnya lagi menenangkan diri. Arif terus berjalan di suasana malam yang sepi, membuatnya merasa seolah-olah dunia hanya miliknya. Kebebasan yang sudah lama terpendam mengalir dalam nadinya, tetapi ketakutan akan masa depan menghantuinya. Dia tahu bahwa melangkah pergi bukanlah keputusan yang mudah, namun rasa terpuruk yang selama ini menggerogoti hatinya membuatnya tak lagi mampu bertahan. “Seandainya aku tidak bercerita dengan Gibran, pasti orang tuaku tidak akan semalu ini,” sesalnya lagi sembari mengembuskan napas. Hingga Arif tersadar bahwa saat ini dia berada antara batas desa dan hutan di Misahan. Perasaan ragu kembali menghampirinya saat akan melangkah masuk ke dalam hutan, dia merasakan kegelapan di sekelilingnya. Bayangan pohon-pohon besar menakutkan di bawah cahaya bulan. “Apa yang bisa terjadi jika aku pergi ke sana?” tanyanya, bergumul dengan rasa ingin tahunya. Rasa takutnya bercampur dengan har

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-08
  • Pesugihan Kandang Bubrah   3. Terjebak dalam Labirin Hutan Misahan

    Arif merasa seolah hutan ini bukan hanya sekadar tempat biasa, melainkan labirin berbahaya. Tentunya penuh dengan rahasia yang tak terungkap. Dia berusaha untuk kembali ke jalan yang dia lewati. Namun, setiap langkah terasa salah. Bayangan di sekelilingnya bergerak semakin dekat, membuatnya merinding. Ssshhh!Suara desisan itu terdengar lagi, membuat mata Arif membelalak. Bahkan degup jantungnya berderu kencang sampai terdengar di telinga. Srek! Srek!Ditambah suara langkah kaki yang beriringan dengan desisan semakin menggema di telinga Arif.Arif mulai berlari. Dia terjerembab dalam semak-semak, mencoba menemukan arah pulang. Hatinya berdebar kencang, setiap detak jantungnya menggema dalam kesunyian malam. Saat dia berlari, suara langkah kaki di belakangnya semakin mendekat, seolah-olah mengikutinya. “Apa ini?!” teriaknya, tetapi suaranya seolah hilang ditelan kegelapan. Dalam kepanikannya, Arif melihat ke belakang. Ada bayangan besar muncul di antara pepohonan. Sesuatu yang

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-08

Bab terbaru

  • Pesugihan Kandang Bubrah   248. Tak Ada Suara Ketukan

    “Bagaimana Bapak tahu?”“Karena itu warisan keluarga Bagas. Dan karena aku yang menyuruh ibunya menyembunyikannya.”Pak Arwan berdiri. “Ada sesuatu yang harus kalian tahu. Pintu-pintu seperti yang kalian alami... tidak muncul sendiri. Ia tumbuh dari perjanjian. Perjanjian yang tidak pernah ditepati. Bagas pernah berjanji untuk menyerahkan sesuatu... demi anaknya bisa sembuh dari penyakit. Tapi ia menunda. Dan saat istrinya meninggal, ia kabur. Tapi makhluk itu tidak pernah lupa.”“Jadi semua ini... karena janji yang dilanggar?”“Dan karena tidak ada yang memperingatkan kalian. Kalian datang ke rumah yang menyimpan luka, lalu luka itu meresap ke dalam kalian.”Lila menatap Dimas. “Apa yang harus kita lakukan?”“Bakar surat dan foto itu. Tapi jangan di rumah. Lakukan di tanah tinggi. Bersihkan energi dari tempat kalian tinggal. Dan ajari anak kalian... untuk mengenali perbedaan antara teman dan penunggu.”Malam itu, mereka pergi ke bukit di ujung desa. Di sana, mereka menyalakan api ung

  • Pesugihan Kandang Bubrah   247. Rumah yang Masih Terbelah

    Lila menggenggam tangan anaknya. Ia masih bernapas. Tapi tubuhnya lemas.Dalam keheningan yang tersisa, hanya suara hujan yang terdengar. Tapi suasana rumah sudah berbeda. Tidak lagi terasa ditekan. Tidak lagi ada suara-suara bisik.Namun saat Dimas membantu Lila berdiri, mereka melihat satu hal terakhir.Di dinding tempat bayangan muncul, pasir hitam mengumpul membentuk pola baru.Pola itu menyerupai pintu. Dan di tengah-tengahnya, satu kalimat terukir:“Celah sudah ditutup. Tapi penjaga akan kembali.”Udara pagi di Desa Misahan terasa lebih lembut dari biasanya. Hujan semalam telah membersihkan debu-debu yang selama ini menggantung di antara daun-daun dan atap rumah. Tapi di rumah Lila, meski cahaya mentari menyusup lewat celah tirai dan suara burung bersahutan dari kejauhan, bayangan yang tertinggal belum benar-benar pergi.Jatinegara duduk di dekat jendela ruang tamu. Krayon berwarna hijau muda di tangannya menari pelan di atas kertas putih. Wajahnya tampak lebih segar, pipinya mu

  • Pesugihan Kandang Bubrah   246. Penjaga Celah

    Dalam perjalanan pulang, malam sudah mulai turun. Jalan desa yang gelap dilalui dengan perasaan campur aduk. Tapi mereka tahu, ini bukan hanya soal pengusiran. Ini soal menutup celah yang selama ini dibiarkan terbuka oleh luka-luka lama.Dan saat mereka sampai di rumah......pintu depan terbuka sedikit.Mereka saling tatap. Tidak ada yang merasa membukanya.Saat melangkah masuk, mereka langsung mencium aroma asing.Bunga melati.Dan di lantai ruang tamu, tersebar koin-koin logam. Bukan hanya satu. Tapi puluhan.Berderet. Mengarah ke kamar Jatinegara.Dan di dinding, tergambar satu kalimat:"Kami sudah menunggu."Dalam keheningan itu, sebuah suara kecil terdengar dari dalam kamar.Ketukan. Pelan.Satu...Dua...Tiga...Seolah memanggil mereka... untuk membuka pintu mimpi yang belum selesai.Hujan kembali turun malam itu. Lebih deras dari malam-malam sebelumnya, seolah langi

  • Pesugihan Kandang Bubrah   245. Pagar Tak Terlihat

    Pagi itu, suasana rumah dipenuhi keheningan yang bukan berasal dari ketenangan, tapi dari sesuatu yang menggantung, belum selesai, dan terus mengintai. Lila bangun lebih awal dari biasanya. Sinar matahari belum sepenuhnya menembus tirai, namun ia sudah duduk di tepi tempat tidur, matanya sembab, dan napasnya pendek-pendek. Ia tidak benar-benar tidur semalam.Dimas sudah di dapur, memanaskan air. Wajahnya sama letih. Ia belum bercerita bahwa malam sebelumnya, ia mendengar suara ketukan pelan dari balik dinding kamarnya sendiri. Ketukan yang berirama. Seolah seseorang mencoba mengetuk... dan mengetuk... meminta diizinkan masuk.“Pagi ini kita ke rumah Bu Retno. Habis itu, kita cari orang pintar yang bisa bantu,” ujar Dimas tanpa menoleh.Lila hanya mengangguk. Ia tak punya tenaga untuk membantah. Ia hanya tahu, apa pun yang mengikuti mereka, itu bukan hanya dari rumah Pak Bagas. Mungkin dari masa lalu mereka sendiri, dari tanah yang pernah terjamah keg

  • Pesugihan Kandang Bubrah   244. Malam Kedua

    "Jati, ayo minum susunya dulu," panggilnya sambil meletakkan gelas di meja kecil.Anaknya menoleh, lalu berdiri pelan dan menghampiri. “Bu... aku tadi nggak sendirian.”Lila menelan ludah. “Di mana?”“Di kamar. Waktu aku ambil kertas. Ada suara bilang, ‘Ayo gambar aku lagi.’ Terus... aku dengar suara gesek-gesek dari dalam lemari.”Lila segera memeluk anaknya. Wajah Jatinegara dingin dan tubuhnya sedikit menggigil meski cuaca tidak terlalu dingin. Ia tahu tak bisa lagi menganggap semua ini sebagai halusinasi anak-anak.“Suara itu kayak... pelan banget, Bu. Tapi aku tahu dia ada di sana. Suaranya kayak bisikan yang nyangkut di kepala.”Setelah Jatinegara tertidur di kamarnya—dipenuhi oleh lampu tidur, kantong pelindung dari Bu Ngatmi, dan doa-doa yang ia baca dengan suara bergetar—Lila duduk di ruang tamu bersama Dimas. Mereka berdua tak bicara lama. Hanya diam dan saling bertukar pandang. Saling tahu bahwa sesuatu sedang berjalan di luar batas pemahaman mereka.“Besok kita ke rumah Bu

  • Pesugihan Kandang Bubrah   243. Jejak di Dinding

    Tiba-tiba, suara dari kamar Jatinegara memecah keheningan.“BUUUU!!”Lila berlari masuk, diikuti Dimas. Jatinegara duduk di atas ranjang, tubuhnya gemetar hebat.“Dia di dalam dinding! Dia ngomong sama aku!” teriaknya.Lila memeluk anaknya erat. “Tenang... tenang sayang, Ibu di sini.”Dimas menyalakan senter dari ponselnya dan menyorot ke arah dinding yang ditunjuk. Tidak ada apa-apa. Hanya cat putih polos.Tapi ketika mereka mendekat, terlihat sesuatu yang membuat napas mereka tercekat.Jejak tangan. Kecil. Seperti tangan anak-anak. Tertempel samar di permukaan dinding, tepat di atas sandaran ranjang Jatinegara. Jejak itu tidak seperti bekas tangan biasa. Bentuknya aneh. Jari-jarinya lebih panjang, dan susunannya tidak sempurna.“Jangan-jangan... ini bukan Aldi,” bisik Lila.Dimas mengusap wajahnya. “Besok kita bersihkan temboknya. Malam ini, Jati tidur sama kita.”Dan malam itu, mereka bertiga tidur di ruang tengah. Semua lampu dibiarkan menyala. Tapi tetap saja, di antara sela-sela

  • Pesugihan Kandang Bubrah   242. Bayangan dari Aldi

    Dimas membaca situasi dalam sekejap. Ia duduk di lantai di samping anaknya. “Jati, kamu tahu nggak kalau gambar bisa menyimpan energi?”Jatinegara mengangguk pelan. “Kayak buku cerita yang hidup, kan?”“Iya. Makanya, nanti gambar ini kita simpan dulu, ya. Jangan tempel di dinding kamar.”Jatinegara menurut, meski tampak sedikit enggan.Hari itu berjalan tenang, tapi tidak sepenuhnya lepas dari rasa waspada. Saat sore menjelang, Lila memberanikan diri untuk berjalan ke rumah seberang. Ia mengetuk pintu rumah Pak Bagas. Tidak ada sahutan. Ia mengetuk sekali lagi, lebih keras. Masih tak ada jawaban. Tapi jendela di lantai atas terlihat sedikit terbuka, tirainya bergerak perlahan meski angin nyaris tidak terasa.Saat ia hendak berbalik, pintu terbuka setengah.Seorang pria dengan wajah lelah dan kantong mata dalam menatap dari balik celah. “Ada perlu, Bu?”Lila tersenyum sopan. “Maaf, Pak. Saya Lila, dari seberang. Anak saya bilang semalam bertemu dengan Aldi. Saya cuma ingin memastikan..

  • Pesugihan Kandang Bubrah   241. Tetangga Baru

    Pagi pertama di rumah baru dimulai dengan aroma roti bakar dan suara sepeda motor yang melintas di depan gang. Lila membuka jendela dapur dan menyambut sinar matahari dengan napas panjang. Udara di lingkungan itu berbeda. Ramai, tapi tidak berisik. Hiruk-pikuknya justru terasa hidup, bukan membebani.Jatinegara duduk di ruang tamu, mengenakan seragam sekolah barunya. Kemeja putih, celana abu-abu, dan sepatu hitam yang masih mengilap. Di tangannya ada bekal berisi roti keju dan selembar surat kecil dari ibunya yang ditulis malam sebelumnya.“Kamu gugup?” tanya Lila sambil memeriksa kerah seragam anaknya.“Sedikit,” jawab Jatinegara jujur. “Tapi aku juga penasaran. Mungkin di sekolah ini nggak ada yang bisa lihat... bayangan-bayangan kayak dulu.”Lila menunduk dan mengecup kening anaknya. “Kalau pun ada, kamu tahu caranya tetap kuat.”Dimas yang berdiri di dekat pintu memberi kode. “Ayo, kita antar Jati dulu. Nanti aku lanjut ke bengkel motor.”Setelah mengantar Jatinegara ke sekolah da

  • Pesugihan Kandang Bubrah   240. Rumah Baru

    “Bu, itu rumahnya?” tanya Jatinegara, menempelkan wajah ke kaca mobil yang sedikit berembun. Suaranya penuh rasa ingin tahu, tapi juga hati-hati—seperti masih belum yakin apakah mereka benar-benar sudah sampai di tempat yang aman.Lila menoleh ke luar, melihat bangunan sederhana dengan dinding abu-abu dan pagar besi setinggi pinggang orang dewasa. Ia mengangguk pelan. “Iya, Nak. Itu rumah kita sekarang.”Jatinegara diam sesaat, lalu menoleh pada ibunya. “Apa di sini nanti nggak ada suara-suara aneh lagi?”Lila tersenyum lembut, mengusap kepala anaknya. “Nggak ada, Sayang. Tempat ini baru. Bersih. Kita mulai hidup yang baru di sini.”Dimas yang duduk di depan menambahkan, “Nggak besar. Tapi cukup buat kita bertiga. Dan yang paling penting, tempat ini belum punya cerita buruk.”“Berarti kita bisa mulai dari awal, ya?” Jatinegara masih menatap rumah itu, matanya menyipit kar

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status