Share

Pesugihan Kandang Bubrah
Pesugihan Kandang Bubrah
Author: Ndraa Archer

1. Membuat Malu

“Arif!” Suara Sungkai Mahoni terdengar melengking dari luar rumah.  

"Buat malu Ayah saja! Kamu selalu jadi bahan cerita di keluarga," omel Sungkai begitu masuk ke rumah. Dia menutup pintu dengan keras.  

Malam itu, langit di Desa Misahan berwarna kelam. Awan tebal menggantung rendah menandakan datangnya hujan. Suara cicada melengking di udara, dan menciptakan suasana tegang yang menyelimuti rumah Arif.  

"Ada apa, Yah?" tanya Misna Bengkirai, ibunya Arif.  

Ayahnya kemudian bercerita panjang lebar sambil meremas rambutnya. Di ruang tamu yang sempit, Arif berusaha mencuri dengar pokok permasalahan yang membuat ayahnya marah-marah.  

Sungkai duduk bersama istrinya. "Tanya sama anakmu! Dia selalu bikin malu saja! Dia mau melamar Lila Cendana, tapi nggak punya pekerjaan."

Arif menghela napas. Dia menahan emosinya.

"Untung saja yang menegurku mas Bintan Mahoni, kakakku yang kaya dan pelit itu. Malu! malu! Mau ditaruh di mana wajah Ayah?!"

Keluhan Sungkai memancing emosi Misna.  

"Kamu ini, Arif! Selalu jadi beban! Apa kamu tidak malu dengan dirimu sendiri?!" teriak Misna. Wajahnya memerah, dan matanya menyala penuh kekecewaan.  

Arif duduk meresapi setiap kata pedih yang terlontar dari mulut orang tuanya. Teriakan Misna mampu membuat lampu minyak bergetar di sudut ruangan, memantulkan bayangan wajah-wajah tegang. Suasana pun semakin mencekam.

  

"Mimpi yang tinggi itu hanya akan membuatmu jatuh lebih dalam! Tidak ada yang bisa kamu banggakan!" sambung Sungkai. Nada suaranya menekan dan wajahnya keras seperti batu.

Setiap kata seperti pisau tajam yang menghujam jiwanya. Arif merasa semakin terasing dan tidak dihargai di rumahnya sendiri. Dia menahan amarah yang berkobar, dan berjuang melawan keinginan untuk berteriak.

Dalam hatinya, perasaan cinta kepada orang tua masih terikat. Namun, penghinaan yang terus-menerus membuatnya ingin pergi jauh dari tempat ini.  

"Apalagi, mimpi nikah sama Lila Cendana. Ingat, dia itu anak juragan! Lihat aja! Keluarga Ayahmu jadi menghina kita. Kalau Gibran Mahoni, anak pakdemu yang mau melamar Lila itu wajar. Karena dia orang kaya. Seharusnya sebelum kamu bicara sama pakdemu, dipikir dulu!" Ibunya terus mengomel.

Dengan langkah berat, Arif bangkit dari kursi kayu yang berderit dan berjalan ke jendela. Di luar, kegelapan hutan seolah memanggilnya.

Bayangan pohon-pohon tinggi menjulang seperti tangan-tangan meraih, siap menyambut Arif dan menariknya ke dalam kegelapan. Angin malam berhembus dingin dan menggoyangkan daun-daun, seolah menyiratkan sesuatu yang tidak baik.

Dalam hatinya, Arif merasakan desakan untuk melarikan diri, lalu mencari tempat di mana dia bisa diterima.  

Tiba-tiba, suara ketukan keras menggema di pintu depan, memecah ketegangan. Arif menoleh, jantungnya berdegup kencang.  

"Siapa itu?!" tanya ibunya masih dengan emosi.

Arif ingin membuka pintu, namun langkahnya terhenti. "Jangan dibuka!" teriak ibunya lagi, suaranya kini panik.  

Arif terhenti. Matanya melebar, bingung dan ketakutan. Suara ketukan itu kembali terdengar, lebih keras dan lebih mendesak.  

"Bu?" tanya Arif meminta persetujuan ibunya. Tapi wajah panik ibunya seolah menjawab.

  

Arif kembali terdiam, rasa ingin tahunya mendorongnya maju, tetapi ketakutan akan konsekuensi membuatnya ragu. Dia menatap wajah orang tuanya yang cemas. Bayangan di balik pintu seolah memanggilnya, menggoda dengan janji-janji yang tak jelas dalam pikirannya.  

"Jangan-jangan, itu pakdemu! Kamu sudah membuat mereka malu. Karena berani-beraninya ingin melamar gadis pujaan anaknya." Suara ayahnya kembali terdengar pelan, dengan berbagai pikiran konyol di kepala.

  

Arif merasakan angin yang masuk dari luar sangat dingin dan terasa kencang, mendesaknya untuk mengambil keputusan.

“Tapi kalau benar itu pakde, udara dingin sekali, Yah." Arif memberanikan diri berbicara.

Ibu dan Ayahnya melirik tajam, lalu menggelengkan kepala. Arif yang bingung semakin merasakan dorongan untuk keluar, menjawab panggilan yang tak bisa dia jelaskan.

Apa yang tersembunyi di balik pintu malam itu? Ketika ketukan semakin keras, suara hatinya membisikkan, “Apa kau akan tetap terkurung di sini, atau berani menghadapi apa yang ada di luar?”

Akhirnya, tanpa berpikir panjang, Arif mengulurkan tangan dan membuka pintu. Di luar, hutan menunggu, dan suara-suara malam menyambutnya. Arif menatap ke arah jalan setapak yang terbentang menuju kegelapan.

‘Aku butuh udara segar,’ bisiknya dalam hati.  ‘Jika hanya mereka yang mengerti,' lanjutnya lagi.

Dengan langkah mantap, Arif melangkah menjauh dari rumah yang penuh dengan kenangan pahit. Setiap langkah terasa berat, tetapi di dalam hatinya ada dorongan kuat untuk menemukan tempat di mana dia bisa diterima, dan di mana mimpi-mimpinya bukan lagi bahan ejekan.

“Mau ke mana Rif?” tanya Dimas yang melintas.

Arif hanya tersenyum dan menunjuk ke arah hutan Misahan yang berada di desanya. Sekitar lima langkah Arif berjalan baru dia tersadar, Arif menoleh ke arah Dimas berjalan.

“Loh, Dimas tadi ke mana? Seharusnya dia saat ini sampai tepat di depan rumahku?” tanya Arif yang tidak lama diikuti pekikan burung hantu yang bersautan dengan lengkingan suara cicada.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status