“Ladangku tandus, utang menumpuk, istriku sakit. Nggak ada lagi penghasilan! Nggak ada lagi harapan! Kalian nggak merasakan yang aku rasakan! Maka dari itu ... aku akan lakukan apa pun asalkan keluar dari situasi ini!” Bagas Santoso, pria miskin 35 tahun, memutuskan melakukan pesugihan demi mendapatkan kekayaan instan dan cepat. Mendadak, takdir mengubah dia dan keluarganya. ——— Jangan lupa Follow IG @hitanaru_21
View More"Aku sudah bilang, suami Ratih itu bukan manusia biasa!""Benar! Aku juga pernah melihat sesuatu yang aneh di rumah mereka dulu.""Apa mungkin dia yang membunuh Feri?"Bisikan demi bisikan memenuhi udara malam yang dingin. Warga Desa Karangjati berkumpul di depan pendopo, membicarakan hal yang selama ini tak pernah mereka ungkapkan dengan lantang. Sosok Bagas, yang dulunya hanyalah seorang lelaki pendiam, kini kembali menjadi pusat ketakutan mereka."Genderuwo!" "Wah, itu makhluk terbesar yang pernah aku lihat di ladang Bagas!" Ratih berdiri tak jauh dari kerumunan, tubuhnya lelah dan wajahnya penuh luka cakaran. Darah yang mengering di pipinya terasa perih, namun lebih perih lagi mendengar namanya dan Bagas disebut-sebut sebagai sumber malapetaka."Aku dengar, Bagas dan Ratih dulu sering bertengkar di rumah mereka.""Dia, katanya Ratih ingin pergi, tapi Bagas tak pernah membiarkannya!""Apa jangan-ja
"Astagfirullah, Kiai!"Ratih mundur beberapa langkah, tubuhnya bergetar hebat.Darah.Darah mengalir di lantai kayu, merembes ke sela-sela papan yang mulai lapuk. Tubuh Kiai Ahmad terkulai di atas tikar dengan napas yang tersengal-sengal.Matanya setengah terbuka, tapi pandangannya kosong."Ya Allah, Kiai! Apa yang telah terjadi!" Seluruh tubuhnya dipenuhi luka. Sayatan panjang di dadanya menganga, dan bekas cakaran mencabik kulit di lengannya.Ada sesuatu yang telah menyerangnya.Ratih menutup mulutnya, rasa mual merayap di tenggorokannya.Ini ulah mereka.Jagat dan Kala."Na—Nak Ratih..."Suara Kiai Ahmad bergetar, nyaris tak terdengar.Ratih buru-buru berlutut di sampingnya, berusaha mencari cara untuk menghentikan pendarahan. Namun, darah terus mengalir, membasahi jubah putihnya."Kiai, bertahanlah!" Ratih menahan air matanya. "Saya akan minta bantuan!""A—anak ... anak mu! ha—harus segera—"Dengan tangan gemetar, Ratih berlari ke luar rumah."Tolong! Ada yang bisa membantu?!"Be
"Siapa yang telah terbunuh?"Jantung Ratih berdegup kencang. Keringat dingin mengalir di pelipisnya.Tidak... ini tidak mungkin terjadi lagi.Ratih menggigit bibir, mencoba menenangkan napasnya yang tersengal. Dadanya naik turun dengan cepat, pikirannya berkecamuk."Mayat siapa itu? Ke—kenapa...?"Tangannya mencengkeram gagang pintu dengan erat. Tubuhnya terasa kaku, namun ketakutan yang mencekam membuatnya tidak bisa berdiam diri.Dia harus melihatnya.Ratih melangkah maju, lalu berhenti. Ragu.Tangannya gemetar saat dia meraih sebilah pisau di atas meja. Genggamannya erat, seakan itu satu-satunya hal yang bisa melindunginya dari kengerian di balik pintu.Duka dan ketakutan menyelimuti hatinya.Lalu, dengan gerakan perlahan, dia mendorong pintu kamar itu.Kreek...Suara engsel berderit, membuka pemandangan yang membuat Ratih membeku.Darah.Darah ada di mana
"Ibu... kita di sini!"Suara itu kembali terdengar, menggetarkan udara malam yang dingin. Ratih menoleh ke kanan dan kiri, matanya liar mencari sumber suara. Namun, yang dia temukan hanyalah pepohonan tinggi yang menjulang, menciptakan bayangan gelap yang bergerak seiring tiupan angin."Di sini, Bu... di sini!"Ratih menelan ludah. Suaranya semakin dekat, tapi bayangan kedua anaknya tak juga terlihat.Bagaimana mereka bisa keluar rumah?Jantungnya berdebar kencang. Rasa takut menyusup ke setiap sudut pikirannya."Jagat... Kala!" teriaknya, suaranya bergetar.Namun, hanya sunyi yang menjawabnya.Argh!Sebuah erangan tajam menggema di kegelapan.Ratih terperanjat, tangannya mencengkeram bajunya sendiri. Dia melangkah mundur, matanya liar mencari sumber suara.Tapi tidak ada siapa-siapa.Srek!Sesuatu bergerak di antara dedaunan kering. Ratih menahan napas. Dia tahu dia tidak sendirian di sini."Ibu... kami di sini!"Suara itu kembali terdengar, kali ini dari arah yang berbeda. Ratih mel
"Bu, kenapa mereka takut?"Suara kecil itu membuat Ratih tersentak. Dia menoleh, melihat Jagat dan Kala duduk di ambang pintu, mata merah mereka berkilat dalam gelap."Kenapa mereka ketakutan, Bu?" ulang Jagat, kepalanya sedikit miring, seperti tidak mengerti.Ratih menggigit bibirnya. Tangannya mengepal di sisi tubuhnya, berusaha menahan gemetar yang perlahan merayapi dirinya.Mereka tidak tahu? Atau mereka hanya berpura-pura?Malam semakin larut. Di ujung desa, Pak Tarjo duduk di depan kandangnya, menggenggam obor yang menyala redup.Sejak kematian tragis istri Pakde Karto, warga Sumberarum mulai ketakutan. Kini, kejadian aneh terus berulang—ternak mati kehabisan darah, dan mayat ditemukan dengan luka mengerikan.Pak Tarjo menguap kecil, namun matanya tetap awas. Sudah tiga ekor kambingnya mati dalam dua malam terakhir.“Aku tidak akan membiarkan kejadian itu terulang lagi,” gumamnya, mempererat genggaman pada
"Jagat... Kala...."Ratih melihat kedua anaknya berjalan perlahan ke arah Hutan Terlarang—tempat yang seharusnya tak boleh dimasuki siapa pun. Panik, dia segera berlari mengejar mereka. Namun, semakin cepat dia berlari, semakin jauh jarak mereka."Jangan ke sana! Jangan!"Dia berteriak sekuat tenaga, tetapi kedua anaknya tidak menoleh. Seolah-olah mereka tidak mendengar suara ibunya sama sekali.Lalu, di dalam kegelapan hutan, sesosok makhluk besar bertanduk berdiri tegak di hadapan Jagat dan Kala. Makhluk itu berbicara kepada mereka dalam bahasa yang tak dimengerti Ratih. Suaranya bergemuruh seperti kilat yang menyambar."Jagat... Kala, jangan—"Ratih tersentak. Tatapan anak-anaknya kini berubah. Mata mereka bersinar merah menyala, seperti bara api yang menyala-nyala dalam kegelapan.Tiba-tiba saja, tubuh mereka melesat cepat—dalam sekejap, wajah mereka sudah tepat di depan wajah Ratih!Ratih gemetar. "Nak, kalian anakku! Mau seperti apa pun diri kalian... kalian tetap anakku!" ucapn
"Wah, ini persis seperti kematian Bu Ajeng!" Bisik-bisik warga mulai terdengar, mereka saling berpandangan dengan wajah penuh kecemasan. Jasad Siti terbujur kaku dengan kondisi yang mengenaskan, sementara suaminya tersedu di depan tubuh tak bernyawa istrinya. "Maafkan saya, Pak..." ucap Ratih lirih. Suami Siti hanya menatapnya dengan mata sayu, penuh kesedihan dan kebingungan. Dia sendiri tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada istrinya. Kyai Ahmad maju ke tengah kerumunan, lalu mengarahkan warga untuk segera memandikan jenazah. "Semua perlengkapan sudah disiapkan?" "Sudah, Pak Kyai," jawab seorang lelaki paruh baya. Jasad Siti diangkat dengan hati-hati dan diletakkan di atas meja panjang. Para ibu-ibu mulai menyiram tubuhnya dengan air perlahan. Namun, saat air siraman pertama mengenai wajahnya, sesuatu yang tak terduga terjadi. Mata Siti terbuka lebar! Jeritan histeris langsung memenuhi ruangan. Beberapa orang berhamburan keluar, sementara yang lain hanya bisa berdiri ka
"Astaghfirullah, Mbak Siti!" Mata Ratih terbelalak melihat Siti terbujur kaku di lantai. Kulitnya gosong dan kering, matanya melotot ke atas seolah menyaksikan sesuatu yang mengerikan sebelum ajal menjemput. "Mbak Siti, kenapa?" suara Ratih bergetar, dadanya sesak oleh ketakutan. Dia berlutut di samping jasad Siti, tangannya gemetar saat mencoba meraba denyut nadinya. Tidak ada detak, tidak ada kehidupan. Siti telah tewas dengan cara yang mengenaskan. Ratih menelan ludah, berusaha mengendalikan kepanikannya. "Kiai, bagaimana ini?" tanyanya dengan suara tercekat. Kiai Ahmad memandang jasad Siti dengan dahi berkerut. "Kenapa bisa seperti ini?" Ratih menghela napas berat. "Aku... aku meminta tolong padanya untuk menjaga Jagat dan Kala, Kiai," ucapnya, sedikit ragu. Kiai Ahmad mundur selangkah. Wajahnya menegang, dia mulai menyadari sesuatu yang mengerikan. "Tapi, kamu kasih tahu, kan? Dia nggak boleh menatap Jagat dan Kala terlalu lama?" Ratih terdiam sejenak, mencoba meng
"Kiai, tunggu!" Ratih berteriak sekencang mungkin. Dia tahu tidak ada waktu untuk menenangkan diri. Waktu terus berjalan, dan setiap detik terasa berharga. "Kiai, tunggu saya!" napasnya memburu, jantungnya berdetak tak beraturan. Kiai Ahmad, yang baru saja pulang dari masjid, menghentikan langkahnya dengan dahi berkerut. "Ada apa?" tanyanya. "Mas Bagas, Kiai... itu... Mas Bagas!" suara Ratih terdengar gemetar, ucapannya terbata-bata. Kiai Ahmad segera memahami ada sesuatu yang serius. Dia menepuk bahu Ratih dengan lembut, mencoba menenangkannya. "Coba jelaskan perlahan. Apa yang terjadi?" Ratih menarik napas dalam-dalam. Dia berusaha mengatur jantungnya yang masih berdegup kencang. Setelah beberapa saat, dia mulai menceritakan apa yang telah terjadi. "Mas Bagas sudah berubah sepenuhnya!" kata Ratih dengan mata berkaca-kaca. Kiai Ahmad tersentak. Dia memang sudah menduga hal ini akan terjadi pada Bagas. Bagaimana tidak? Bagas telah bersekutu dengan iblis. Silsilah keluarganya p
Brak!Pintu kayu rapuh ditendang oleh seseorang. Muncul pria berbadan besar bersama anak buahnya.“Bagas, bayar utang kamu sekarang! Ayo cepetan!” teriak si pria yang tidak lain adalah Juragan Suwandi, seorang rentenir di Desa Karang Jati.Bagas dan Ratihーistrinya, terkejut. Mereka meletakkan piring menyudahi sarapannya. Keduanya segera berdiri dengan gugup dan ketakutan. Bagas berlutut. Memohon belas kasih Juragan Suwandi, “Maaf, Juragan. Saya belum bisa bayar. Saya belum ada uang."Ekspresi Suwandi kelam. “Ah! Yang benar aja! Kamu udah menunggak 8 bulan. Bunganya udah membengkak. Gimana sih kamu, Bagas?!” "Usaha saya sepi, Juragan," kata Bagas, memberikan alasan. "Ladang saya gersang dan Istri saya lagi sakit. Mohon maaf Juragan," lanjutnya, berbicara.Suwandi semakin naik pitam saat Bagas mulai beralasan lagi. Suwandi menggosok-gosok ujung hidung. “Kamu selalu aja alasan. Kamu pikir, saya ini ngasih uang dengan cuma-cuma?!"Suwandi menatap anak buahnya. "Hei, kalian! Cepet ambi...
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments