Pagi harinya, Bagas memerintahkan Ratih untuk membuang perabotan rumah dan menggantinya dengan yang baru.
“Coba lihat! Ini akan terlihat bagus. Senang, kan?” tanyanya, tersenyum bangga.
"Iya, Mas. Ratih senang," jawabnya ragu.
Ratih fokus melihat ke arah lengannya yang membiru akibat genggaman tangan Bagas yang menekannya di tempat tidur. Hampir tiap pagi tanda biru muncul di tubuhnya."Hasil panen kita hari ini juga banyak. Nanti aku pekerjakan orang untuk mengolah ladang kita!" ujarnya sambil bertolak pinggang.
Sebelum Ratih menjawab, Bagas melanjutkan ucapannya kembali, "Oh iya, aku minta kamu jangan bersikap seperti orang susah lagi," ujarnya tajam.
Ratih pun mengangguk dengan wajah menahan rasa sakit di sekujur tubuh. Herannya, Bagas tidak menyadari hal itu. Pria itu tetap fokus dengan kekayaan yang lagi dimilikinya saat ini, dia terus berbicara bagai burung beo.
"Kalau ada yang menghina kamu, kasih tau aku! Aku akan urus mereka!" seru Bagas, merasa bangga.
Ratih hanya mengangguk lagi. Rahangnya terasa kelu untuk mengucapkan beberapa kalimat. Bahkan dia makin menyadari perubahan Bagas, saat malam hari terlihat dingin dan menakutkan baginya. Ada rasa trauma jika malam tiba, Ratih takut kalau Bagas ingin meminta haknya sebagai suami. Membayangkan wajah Bagas di malam hari dengan di siang hari membuat Ratih menggelengkan kepalanya.
“Kamu kenapa? Ada yang membuatmu nggak suka atau ada warga yang menyakiti hatimu?”
Ratih menelan saliva, dia menyadari jika salah bicara takut melukai orang lain.
“Eng – enggak Mas. Aku kayaknya mau buang air kecil. Jadi bergidik sampai menggelengkan kepala, nggak enak mau tinggalin Mas di sini,” kilah Ratih membuat Bagas tersenyum.
“Aku akan keluar, melihat tukang dulu. Kalau nggak diawasi, takut nggak bener kerjanya.” Ratih mengangguk, membiarkan Bagas keluar rumah mengawasi tukang.
Ketika asyik melihat rumah yang sedang direnovasi, warga desa mulai berdatangan dan memanggil Bagas dengan sebutan Juragan. Mereka datang membawa berbagai permintaan.
"Juragan Bagas, tolong saya!" kata salah seorang penduduk desa, memelas.
"Anak saya sakit, Juragan, mohon bantuannya," pinta yang lain.
Tanpa ragu, Bagas membantu mereka, memberikan uang lalu pergi. Begitu terus sampai warga yang berbondong-bondong itu pergi satu per satu. Ratih yang memperhatikan dari dalam rumah merasa bingung. Seolah uang bukan lagi masalah bagi mereka, bahkan menurut Ratih seharusnya mereka menabung saat ini.
‘Bukannya nabung, mana tau bulan berikutnya panen nggak sama lagi,’ batin Ratih kesal. Kemudian, dia menemui Bagas di luar rumah.
“Mas, nggak takut uang kita habis?” tanyanya sembari menarik tangan Bagas, membuat Bagas terkejut dan menatapnya tajam.
Bagas tersenyum. “Tenang aja! Kita nggak akan kehabisan uang.”
Jawaban Bagas yang sombong membuat bulu kuduk Ratih bergidik. Dia takut suaminya terlena sesaat, Ratih masih takut kejadian-kejadian saat mereka tidak memiliki uang terulang lagi. Para rentenir datang menagih. Ratih mencoba berbicara dengan berbisik ke Bagas, dia takut suaminya akan bersuara tinggi seperti sebelumnya.
“Mas, Ratih takut kalau ini hanya panen bagus sesaat.” Wajah Ratih sangat ketakutan kali ini, terlihat jelas dia melihat ke kanan dan ke kiri saat berbisik ke Bagas.
“Tih, sudah Mas bilang, mulai sekarang kamu jangan bersikap seperti orang miskin lagi! Kamu harus tampak berani dan berwibawa. Lihat mereka, menatap rasa khawatir di dirimu! Jangan sampai ini akan menjadi bumerang dan bahan mereka mengunjing kita!” Bagas menekan tangan Ratih, berbicara pelan dengan menekankan suaranya, terasa itu adalah perintah bagi Ratih.
Ratih meringis kesakitan, lalu masuk kembali ke rumah. Dalam diam, Ratih berpikir kencang, tapi semakin dipikir semakin rumit dia rasa. Bahkan yang menjadi kebingungan Ratih setiap hari uang itu semakin bertambah. Bahkan uang yang diberikan Bagas untuknya belum pernah tergerak sedikit pun.
‘Tenang, Ratih! Mungkin ini cuma perasaan kaget melihat uang banyak. Wajar aja kalo semakin hari semakin punya harta berlimpah. Toh, hasil panen juga berlimpah, tetap berpikir positif,’ batin Ratih lagi meyakinkan diri.
Hari-hari berlalu, Ratih mulai terbiasa. Begitu juga dengan rasa sakit di sekujur tubuhnya. Dia berharap Bagas mulai menyadari hal ini. Rumah mereka semakin ramai karena banyak warga yang datang. Tapi kali ini bukan sebagai tetangga, melainkan sebagai buruh yang membantu panen di ladang mereka.
“Kalian kerjanya yang benar!” teriak Bagas memerintah para pekerja.
Lalu lalang mereka memindahkan hasil panen ke dalam gudang, Bagas berdiri di tengah mereka, mengawasi dengan tatapan puas. Ratih mendekat pelan, wajahnya masih dipenuhi kekhawatiran.
Ratih berbicara pelan dan terdengar seperti berbisik, “Mas! Panen kita semakin banyak. Bahkan lebih dari biasanya.”
Bagas menjawab dengan tawa sinis. “Itulah untungnya jadi kaya, Ratih! Apa pun yang kita tanam sekarang, pasti berbuah lebat.”
Ratih membalas dengan ragu. “Tapi, Mas! Uang kita ... dari mana semua ini datang? Setiap hari, selalu ada saja hasil panen dan barang-barang baru di rumah ini.”
Bagas sambil tersenyum misterius. “Jangan terlalu banyak tanya, Ratih! Nikmati aja kemewahan ini selagi ada! Kita nggak akan kekurangan apa-apa lagi.”
Ratih terdiam, wajahnya semakin dipenuhi kegelisahan. Dia merasakan ada sesuatu yang salah, tetapi tidak berani menanyakan lebih lanjut.
“Juragan!” teriak pekerja Bagas, sambil berlari tergopoh-gopoh.
“Apa? Ada apa?” sahut Bagas yang terkejut, melihat cara pekerja itu memanggilnya.
“Di tanah ladang ada batangan emas, Juragan!” ucapnya sambil menunjuk ke arah ladang. Wajahnya sangat terkejut.
Bagas dan Ratih bergegas mendatangi area ladang yang telah membuat kehebohan di desa. Para pekerja tidak berani menyentuh benda itu. Tapi, mereka saling berbisik satu sama lain dan terdengar di telinga Ratih.
“Kamu sadar, nggak? Banyak hal keberuntungan bagi mereka,” ujar seorang Ibu yang masih memotong padi. Tidak lama, pekerja lain datang berbisik di sampingnya, wajahnya tidak begitu Ratih kenal. “Kamu nggak curiga?” tanya pria itu. Ratih menatapnya dengan mengernyitkan dahi. Ratih merasa, pria itu ingin memprovokasi para warga yang bekerja padanya. Bahkan, walau semua yang dia katakan saat ini juga melanda Ratih. Perasaan penuh curiga dan gelisah yang menghantui hari-harinya. Sampai sebuah pernyataan yang menjadi kegelisahannya bertambah, suara sumbang dari warga yang menanggapi pria tersebut. “Jangan-jangan dia melakukan hal yang mistis,” ujarnya. Membuat mata Ratih mendelik, wanita itu sadar saat melihat tatapan Ratih yang menunduk ketakutan, merasa secara tidak langsung menyinggung Ratih. “Waduh, aku nggak sadar kalo ada Nyonya besar. Gimana ini?” Dia memegang tangan temannya karena panik. “Bahaya, inget jasad Juragan Suwandi!” Terasa di mata Ratih mereka saling menelan sal
"Ratih, hentikan halusinasimu!" Bagas membentak, suaranya terdengar marah, seolah-olah menyembunyikan sesuatu.Ratih gemetar, memeluk tubuhnya erat-erat, berusaha menenangkan diri meski ketakutan melingkupinya."Mas ... aku nggak bohong! Aku lihat sesuatu, aku ... aku nggak mungkin salah! Itu tadi ada di belakangmu, Mas!" suaranya bergetar, nyaris tidak terdengar.Bagas menggelengkan kepala, berusaha menenangkan Ratih. "Udahlah! Itu cuma perasaanmu. Kamu terlalu stres, Tih. Tidur aja, jangan dipikirkan!"Namun, Ratih tetap tidak bisa menutup mata. Perasaan bahwa ada sesuatu yang mengintai setiap gerakannya membuatnya tetap terjaga.'Apa ini? Kenapa aku merasa tubuhku disentuh bukan oleh suamiku? Kenapa Mas Bagas selalu terasa berbeda tiap malam?' pikir Ratih dalam kebingungan.Beberapa detik berlalu dalam keheningan yang menyesakkan. Bagas kembali mencoba tidur, tetapi waktu terasa berjalan sangat lambat bagi Ratih. Dia terus mengawasi setiap sudut kamar dengan ketegangan yang semakin
"Mas! Ini sarapannya," panggil Ratih sambil menata makanan di meja, menyiapkan hidangan mewah untuk suaminya.Bagas menoleh, menatap Ratih yang tampak lebih rapi dan berdandan dari biasanya. "Mau ke mana, Tih? Tumben rapi?" tanyanya, nada curiga tersirat dalam suaranya."Ehm! I—Ini Mas, anu ... Ehm!" Ratih tergagap, berusaha menjawab tapi suaranya tersendat-sendat karena gugup.Bagas menggelengkan kepala, sedikit mendengus. "Haduh, udah-udah! Kamu ini, semakin hari makin aneh saja," sahutnya sambil mulai menyantap makanannya.Ratih hanya diam, menyaksikan suaminya yang lahap memakan daging setengah matang di piringnya. Aroma daging itu membuat perut Ratih terasa mual. Makanan itu bukanlah sesuatu yang biasanya mereka makan sehari-hari. Namun, belakangan makanan agak mentah menjadi kesukaan Bagas.'Bukannya kamu yang hari demi hari makin aneh, Mas!' batin Ratih dengan getir, tapi dia menahan kata-kata itu dalam hati.Ratih terus memandangi Bagas yang tampak berbeda, seolah sedang meni
Saat membuka kantung itu, petani tercengang dengan kilauan emas di genggamannya. "Ju—Juragan! Ju—Juragan ini buat saya?" tanyanya bergetar."Ya. Itu buatmu, hanya 2 koin emas aja aku kasih," kata Bagas sambil bertolak pinggang."I—Ini udah sangat banyak Juragan! Terima kasih ... Terima kasih!" balas petani sambil sujud di hadapan Bagas. "Udah hentikan!" Bagas melirik dengan tajam. "Nanti, anak buahku akan antar beras dan sayur ke rumahmu, jadi kamu tidak kelaparan lagi," lanjutnya berbicara."Alhamdulillah, terima kasih juragan! Terima kasih banyak!" Petani itu semakin bersujud di hadapan Bagas. Saat petani bersujud syukur pada Bagas, Ratih muncul melihat pandangan yang berbeda. "Ada apa, Mas?" tanyanya heran."Nggak ada apa-apa?" balas singkat sambil memalingkan badannya."Juragan Ratih! Saya pamit pulang, terima kasih!" ucapnya lalu pergi. Ratih menyusul Bagas yang masuk ke dalam rumah. Melihat Bagas duduk di ruang tamu sambil menggenggam handphone. Di ujung telepon dia berbica
"Ratih! Tih! Bangun!" Teriakan Bagas menggema di dapur. Tangannya mengguncang tubuh istrinya yang tergeletak lemah di lantai dingin.Mata Ratih perlahan terbuka, tapi terasa berat. Bayangan wajah suaminya terlihat samar di atasnya."Mas ... Mas Bagas? Itu kamu?" rintihnya dengan suara serak, tubuhnya terasa kaku."Iya, ini aku! Cepat bangun! Ini udah pagi. Ngapain kamu tidur di dapur kayak orang nggak waras!" Bagas mendengus kesal, nada suaranya keras.Ratih menggigil, entah karena dingin atau ketakutan. Dia mencoba berdiri, tapi tubuhnya terasa limbung, hampir jatuh lagi. Dengan susah payah, dia meraih meja untuk menopang dirinya.Tanpa berkata-kata, Ratih berjalan sempoyongan menuju kamar mandi. Saat melihat cermin, pandangannya langsung terpaku.Di wajahnya, di leher, dan di lengannya tampak memar-memar ungu kehitaman. Pergelangan tangannya penuh cap jari besar, seakan-akan telah dicengkeram dengan kekuatan luar biasa. Nafasnya tersengal, jantungnya berdegup kencang."I—ini apa? Ap
"Mas, nggak ikut ngelayat ke rumah Bu Sunar?" tanya Ratih pelan sambil melepas selendang yang dikenakannya. Dia baru saja pulang dari pemakaman, tetapi pemandangan di ruang tamu membuat langkahnya terhenti. Di depan meja kecil, Bagas sedang meletakkan kemenyan dan menyalakan dupa."Untuk apa? Kalau udah mati, ya mati aja," jawab Bagas datar tanpa sedikit pun menoleh. Suaranya dingin, tanpa empati.Ratih terpaku. Perasaan takut bercampur bingung menyelimutinya. 'Sejak kapan Mas Bagas berubah seperti ini?' pikirnya. Perlahan, dia mencoba memberanikan diri."Mas ... dupa itu untuk apa? Mas sebenarnya melakukan apa, sih?" tanyanya, mencoba terdengar setenang mungkin meskipun suaranya bergetar.Tangan Bagas, yang tengah sibuk menyiapkan dupa, berhenti seketika. Dia mengangkat wajahnya perlahan, menatap Ratih dengan pandangan tajam yang membuat nyalinya ciut."Ratih, jangan ikut campur urusan ini!" suaranya rendah, tetapi penuh ancaman.Namun, Ratih tidak menyerah. Rasa takutnya kalah oleh
'Mas Bagas? Apa di hadapanku ini benar Mas Bagas? Kenapa sentuhannya berbeda?'Ratih menggigil dalam batinnya. Tubuhnya terasa berat, tidak bisa digerakkan sama sekali. Semakin dia berusaha melawan, semakin kuat cengkeraman itu mencengkeramnya, membuatnya seperti terjebak dalam sesuatu yang gelap dan dingin.'Kalau dia bukan Mas Bagas, lalu siapa? Mas Bagas, tolong aku!'Ratih mencoba meronta dalam pikirannya, tapi sia-sia. Tubuhnya terasa kaku dan tidak bertenaga. Samar-samar, matanya menangkap bayangan seseorang di atasnya. Sosok itu hanya diam, tidak mengucapkan sepatah kata pun.Ratih memicingkan mata, mencoba menjernihkan pandangan. Sekilas, wajah di hadapannya memang mirip dengan Bagas, suaminya. Tapi ketika dia berkedip beberapa saat, wajah itu berubah—menjadi sesuatu yang menyeramkan.'Mas Bagas! Aku nggak bisa!' rintihnya pelan, napasnya tersengal.Perasaan itu kembali datang, rasa yang familiar tapi juga mengerikan. Tubuhnya terasa sakit, berat, dan dipaksa tunduk pada kehen
Bagas terdiam, mencoba mencerna kata-kata Ratih. Wajah istrinya yang basah oleh air mata menambah beban di dadanya."Lalu, aku ... aku terbangun dengan darah ini. Tapi aku nggak tau dari mana darah ini datang," suara Ratih makin kecil, terputus-putus karena tangis.Bagas mendekat, mengelus kepala istrinya pelan. "Udah, yang penting sekarang kamu aman. Jangan takut, aku di sini."Namun, seolah tidak ingin memberikan ketenangan, lampu kamar tiba-tiba berkedip-kedip. Ratih menoleh cepat ke arah lampu, napasnya kembali memburu."Mas ... kenapa lampunya kayak gitu?" tanyanya dengan suara bergetar.Bagas menghela napas panjang, mencoba tetap tenang. "Mungkin ada korsleting. Kamu tunggu di sini, aku cek dulu ke depan.""Jangan pergi, Mas! Jangan tinggalin aku sendirian!" Ratih memegang lengan Bagas erat-erat, matanya memohon.Bagas tersenyum kecil, berusaha menenangkannya. "Aku cuma sebentar, Ratih. Nggak akan lama."Dengan berat hati, Ratih melepas pegangannya. Bagas berjalan keluar kamar,
"Pak, tolong selesaikan rumah ini!" Ratih menyerahkan sejumlah uang kepada seorang pekerja bangunan. Namun, pria itu menolak dengan halus. "Maaf, Mbak. Saya nggak bisa melanjutkan ini," katanya sambil terus menatap pondasi rumah yang dulu pernah dikerjakan oleh almarhum Bagas. Ratih menyilangkan lengannya. "Kenapa, Pak? Apakah uangnya kurang? Kalau soal uang, saya bisa menambahkannya beberapa bulan lagi. Saya harus kerja dulu." Tapi, pria itu terlihat gugup dan ketakutan. "Bukan itu masalahnya, Bu. Maaf, saya benar-benar nggak bisa," ujarnya sambil terburu-buru pergi, meninggalkan Ratih yang masih berdiri kebingungan. "Ada apa dengannya?" gumam Ratih. Raut wajah pria itu seperti seseorang yang baru saja melihat sesuatu yang sangat mengerikan.*** Beberapa hari kemudian, Ratih tetap berusaha mencari pekerja bangunan lain yang mau menyelesaikan rumahnya. "Bagaimana ini? Semua orang menolak. Nggak ada yang mau mengerjakan rumah ini. Bagaimana kalau apa yang dikhawatirkan Mas Baga
"Jagat... Kala, hentikan!"Suasana begitu mencekam.Ratih berdiri dengan tubuh gemetar, matanya tak bisa lepas dari pemandangan mengerikan di hadapannya. Jagat dan Kala sedang melahap beberapa kambing hidup. Daging dan darah segar berceceran, memenuhi tanah kandang ternak.Mereka seperti binatang buas yang kelaparan. Tidak—mereka lebih dari itu. Mereka bukan lagi manusia sepenuhnya.Walaupun Kala tampak lebih normal, tetap saja sifat iblis mengalir dalam darahnya, sama seperti Jagat, kakaknya.Kala menoleh dengan mulut berlumuran darah."Ini enak, Bu. Mau coba?"Suara itu tidak keluar dari mulutnya—suara itu menggema di dalam kepala Ratih.Ratih melangkah mundur, tangannya mencengkeram dadanya yang terasa sesak. Mata kedua anaknya semakin tajam, semakin menyeramkan.Dan yang lebih menakutkan—mereka bahkan tidak ragu untuk menyerangnya."Jagat... Kala! Hentikan perbuatan kalian!"Ratih berteriak, suaranya menggema di kandang ternak milik seorang warga yang baru saja pindah ke desa Sumb
"Jangan...!"Napas Ratih memburu, memenuhi ruangan yang kini terasa semakin sempit. Tubuhnya gemetar hebat, peluh membasahi pelipisnya."Tidak mungkin... Ini tidak akan terjadi!"Ratih berdiri dari duduknya dengan tergesa, tangannya meraih teko air di atas meja dan meneguk beberapa gelas sekaligus. Namun, rasa sesak di dadanya tak kunjung mereda."Mimpi itu datang lagi!"Tangan Ratih semakin gemetar. Keringat dingin mengalir deras di punggungnya. Kenapa dia selalu bermimpi buruk tentang masa depan? Mengapa bayangan Jagat dan Kala yang berubah menjadi sosok mengerikan selalu menghantuinya?Dia menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri. Namun, pikirannya terus berkecamuk."Tidak mungkin ini akan terjadi, kan? Apa yang harus aku lakukan jika semua itu benar-benar terjadi?"Krek!Ratih terperanjat.Suara itu datang dari belakangnya—suara seperti kuku yang mencakar kayu.Krek!Kali ini suara itu semakin jelas. Seolah-olah sesuatu sedang merayap mendekat.Ratih membeku. Tangannya men
“Bakar rumahnya!”Teriakan itu menggema di sepanjang gang sempit menuju rumah kontrakan Ratih. Puluhan warga dari Desa Sumberarum dan Karangjati berkumpul dengan wajah penuh amarah. Beberapa membawa obor, yang lainnya menggenggam golok, kayu, atau batu. Mereka datang bukan untuk berdialog, melainkan untuk menghakimi."Keluar, Ratih! Jangan sembunyikan lagi anak-anak setanmu itu!"Suara-suara itu semakin mendekat. Ratih yang berada di dalam rumah segera meraih kedua anak balitanya, Jagat dan Kala, lalu berlari ke dalam kamar.“Diam ya, Nak… jangan bersuara,” bisiknya dengan napas memburu.Tangannya gemetar saat membuka lemari pakaian kayu yang mulai lapuk. Dia memasukkan kedua anaknya ke dalam, lalu menutup pintunya pelan."Jangan keluar sampai Ibu bilang, ya?" suaranya nyaris berbisik.Jagat dan Kala menatapnya dengan mata bulat mereka yang hitam pekat. Mereka tidak menangis, tidak bersuara.Ratih menarik napas dalam, lalu berbalik. Di luar, suara warga semakin memanas.Braak! Braak!
Ratih melangkah perlahan memasuki kediaman Kiai Ahmad. Hatinya diliputi kegelisahan, tetapi dia berusaha menenangkan diri. Dua hari telah berlalu sejak Kiai Ahmad dilarikan ke rumah sakit setelah kejadian mengerikan di pendopo. Ratih masih belum bisa melupakan peristiwa itu, terutama sosok dua anaknya yang dia lihat di sana.Namun, kali ini dia memilih diam.Di dalam rumah, dia melihat Kiai Ahmad sedang beristirahat di dipan, tubuhnya dipenuhi perban. Luka-luka yang tampak di lengan dan wajahnya membuat dada Ratih semakin sesak."Kiai, bagaimana keadaannya?" tanyanya dengan suara pelan.Seorang perempuan muda yang duduk di dekat Kiai Ahmad menoleh. Dia adalah anak perempuan Kiai Ahmad, seorang wanita yang terlihat kuat namun tetap lembut dalam sikapnya."Ini sudah lebih baik, Mbak Ratih," jawabnya dengan senyum tipis.Ratih mengangguk. "Syukur alhamdulillah," ucapnya lega, meskipun di dalam hati, dia masih menyimpan banyak pertanyaan.Dia duduk di kursi kayu yang berada di samping tem
"Ada apa itu?""Sepertinya dari rumah Pak Windra!"Suara teriakan dari arah ladang membuat Ratih tersentak. Warga desa yang masih berkumpul di pendopo pun langsung menoleh.Beberapa warga segera berlari ke arah sumber suara. Ratih berdiri mematung, tubuhnya seakan tidak bisa digerakkan. Jagat dan Kala masih berdiri di tempat yang sama, menatapnya dengan senyum aneh itu."Ayo-ayo kita kesana!""Iya, ada apa di sana?"Ratih tidak mau tahu. Dia harus pergi ke rumah Pak Windra! Dia harus memastikan.Dengan cepat, Ratih berlari menyusul warga yang sudah lebih dulu sampai. Ketika dia tiba di sana, teriakan histeris memenuhi udara."Ya Allah, Pak Windra!"Ratih menyibak kerumunan dan langsung terkejut.Pak Windra tergeletak di tanah dengan mata membelalak ketakutan. Tubuhnya penuh luka, robek di sana-sini, dan yang paling mengerikan—darah menggenang di sekitar lehernya yang hampir putus.
"Aku sudah bilang, suami Ratih itu bukan manusia biasa!""Benar! Aku juga pernah melihat sesuatu yang aneh di rumah mereka dulu.""Apa mungkin dia yang membunuh Feri?"Bisikan demi bisikan memenuhi udara malam yang dingin. Warga Desa Karangjati berkumpul di depan pendopo, membicarakan hal yang selama ini tak pernah mereka ungkapkan dengan lantang. Sosok Bagas, yang dulunya hanyalah seorang lelaki pendiam, kini kembali menjadi pusat ketakutan mereka."Genderuwo!" "Wah, itu makhluk terbesar yang pernah aku lihat di ladang Bagas!" Ratih berdiri tak jauh dari kerumunan, tubuhnya lelah dan wajahnya penuh luka cakaran. Darah yang mengering di pipinya terasa perih, namun lebih perih lagi mendengar namanya dan Bagas disebut-sebut sebagai sumber malapetaka."Aku dengar, Bagas dan Ratih dulu sering bertengkar di rumah mereka.""Dia, katanya Ratih ingin pergi, tapi Bagas tak pernah membiarkannya!""Apa jangan-ja
"Astagfirullah, Kiai!"Ratih mundur beberapa langkah, tubuhnya bergetar hebat.Darah.Darah mengalir di lantai kayu, merembes ke sela-sela papan yang mulai lapuk. Tubuh Kiai Ahmad terkulai di atas tikar dengan napas yang tersengal-sengal.Matanya setengah terbuka, tapi pandangannya kosong."Ya Allah, Kiai! Apa yang telah terjadi!" Seluruh tubuhnya dipenuhi luka. Sayatan panjang di dadanya menganga, dan bekas cakaran mencabik kulit di lengannya.Ada sesuatu yang telah menyerangnya.Ratih menutup mulutnya, rasa mual merayap di tenggorokannya.Ini ulah mereka.Jagat dan Kala."Na—Nak Ratih..."Suara Kiai Ahmad bergetar, nyaris tak terdengar.Ratih buru-buru berlutut di sampingnya, berusaha mencari cara untuk menghentikan pendarahan. Namun, darah terus mengalir, membasahi jubah putihnya."Kiai, bertahanlah!" Ratih menahan air matanya. "Saya akan minta bantuan!""A—anak ... anak mu! ha—harus segera—"Dengan tangan gemetar, Ratih berlari ke luar rumah."Tolong! Ada yang bisa membantu?!"Be
"Siapa yang telah terbunuh?"Jantung Ratih berdegup kencang. Keringat dingin mengalir di pelipisnya.Tidak... ini tidak mungkin terjadi lagi.Ratih menggigit bibir, mencoba menenangkan napasnya yang tersengal. Dadanya naik turun dengan cepat, pikirannya berkecamuk."Mayat siapa itu? Ke—kenapa...?"Tangannya mencengkeram gagang pintu dengan erat. Tubuhnya terasa kaku, namun ketakutan yang mencekam membuatnya tidak bisa berdiam diri.Dia harus melihatnya.Ratih melangkah maju, lalu berhenti. Ragu.Tangannya gemetar saat dia meraih sebilah pisau di atas meja. Genggamannya erat, seakan itu satu-satunya hal yang bisa melindunginya dari kengerian di balik pintu.Duka dan ketakutan menyelimuti hatinya.Lalu, dengan gerakan perlahan, dia mendorong pintu kamar itu.Kreek...Suara engsel berderit, membuka pemandangan yang membuat Ratih membeku.Darah.Darah ada di mana