Beranda / Horor / Pesugihan Genderuwo / 06. Kilau Kekayaan

Share

06. Kilau Kekayaan

Pagi harinya, Bagas memerintahkan Ratih untuk membuang perabotan rumah dan menggantinya dengan yang baru. 

“Coba lihat! Ini akan terlihat bagus. Senang, kan?” tanyanya, tersenyum bangga.  

"Iya, Mas. Ratih senang," jawabnya ragu. 

 

Ratih fokus melihat ke arah lengannya yang membiru akibat genggaman tangan Bagas yang menekannya di tempat tidur. Hampir tiap pagi tanda biru muncul di tubuhnya.  

"Hasil panen kita hari ini juga banyak. Nanti aku pekerjakan orang untuk mengolah ladang kita!" ujarnya sambil bertolak pinggang.  

Sebelum Ratih menjawab, Bagas melanjutkan ucapannya kembali, "Oh iya, aku minta kamu jangan bersikap seperti orang susah lagi," ujarnya tajam.  

Ratih pun mengangguk dengan wajah menahan rasa sakit di sekujur tubuh. Herannya, Bagas tidak menyadari hal itu. Pria itu tetap fokus dengan kekayaan yang lagi dimilikinya saat ini, dia terus berbicara bagai burung beo.  

"Kalau ada yang menghina kamu, kasih tau aku! Aku akan urus mereka!" seru Bagas, merasa bangga.

Ratih hanya mengangguk lagi. Rahangnya terasa kelu untuk mengucapkan beberapa kalimat. Bahkan dia makin menyadari perubahan Bagas, saat malam hari terlihat dingin dan menakutkan baginya. Ada rasa trauma jika malam tiba, Ratih takut kalau Bagas ingin meminta haknya sebagai suami. Membayangkan wajah Bagas di malam hari dengan di siang hari membuat Ratih menggelengkan kepalanya.  

“Kamu kenapa? Ada yang membuatmu nggak suka atau ada warga yang menyakiti hatimu?” 

Ratih menelan saliva, dia menyadari jika salah bicara takut melukai orang lain.  

“Eng – enggak Mas. Aku kayaknya mau buang air kecil. Jadi bergidik sampai menggelengkan kepala, nggak enak mau tinggalin Mas di sini,” kilah Ratih membuat Bagas tersenyum.  

“Aku akan keluar, melihat tukang dulu. Kalau nggak diawasi, takut nggak bener kerjanya.” Ratih mengangguk, membiarkan Bagas keluar rumah mengawasi tukang.  

Ketika asyik melihat rumah yang sedang direnovasi, warga desa mulai berdatangan dan memanggil Bagas dengan sebutan Juragan. Mereka datang membawa berbagai permintaan.  

"Juragan Bagas, tolong saya!" kata salah seorang penduduk desa, memelas.  

"Anak saya sakit, Juragan, mohon bantuannya," pinta yang lain.

Tanpa ragu, Bagas membantu mereka, memberikan uang lalu pergi. Begitu terus sampai warga yang berbondong-bondong itu pergi satu per satu. Ratih yang memperhatikan dari dalam rumah merasa bingung. Seolah uang bukan lagi masalah bagi mereka, bahkan menurut Ratih seharusnya mereka menabung saat ini.

‘Bukannya nabung, mana tau bulan berikutnya panen nggak sama lagi,’ batin Ratih kesal. Kemudian, dia menemui Bagas di luar rumah.

“Mas, nggak takut uang kita habis?” tanyanya sembari menarik tangan Bagas, membuat Bagas terkejut dan menatapnya tajam.

Bagas tersenyum. “Tenang aja! Kita nggak akan kehabisan uang.” 

Jawaban Bagas yang sombong membuat bulu kuduk Ratih bergidik. Dia takut suaminya terlena sesaat, Ratih masih takut kejadian-kejadian saat mereka tidak memiliki uang terulang lagi. Para rentenir datang menagih. Ratih mencoba berbicara dengan berbisik ke Bagas, dia takut suaminya akan bersuara tinggi seperti sebelumnya.

“Mas, Ratih takut kalau ini hanya panen bagus sesaat.” Wajah Ratih sangat ketakutan kali ini, terlihat jelas dia melihat ke kanan dan ke kiri saat berbisik ke Bagas.

“Tih, sudah Mas bilang, mulai sekarang kamu jangan bersikap seperti orang miskin lagi! Kamu harus tampak berani dan berwibawa. Lihat mereka, menatap rasa khawatir di dirimu! Jangan sampai ini akan menjadi bumerang dan bahan mereka mengunjing kita!” Bagas menekan tangan Ratih, berbicara pelan dengan menekankan suaranya, terasa itu adalah perintah bagi Ratih.

Ratih meringis kesakitan, lalu masuk kembali ke rumah. Dalam diam, Ratih berpikir kencang, tapi semakin dipikir semakin rumit dia rasa. Bahkan yang menjadi kebingungan Ratih setiap hari uang itu semakin bertambah. Bahkan uang yang diberikan Bagas untuknya belum pernah tergerak sedikit pun.

‘Tenang, Ratih! Mungkin ini cuma perasaan kaget melihat uang banyak. Wajar aja kalo semakin hari semakin punya harta berlimpah. Toh, hasil panen juga berlimpah, tetap berpikir positif,’ batin Ratih lagi meyakinkan diri.

Hari-hari berlalu, Ratih mulai terbiasa. Begitu juga dengan rasa sakit di sekujur tubuhnya. Dia berharap Bagas mulai menyadari hal ini. Rumah mereka semakin ramai karena banyak warga yang datang. Tapi kali ini bukan sebagai tetangga, melainkan sebagai buruh yang membantu panen di ladang mereka.

“Kalian kerjanya yang benar!” teriak Bagas memerintah para pekerja.

Lalu lalang mereka memindahkan hasil panen ke dalam gudang, Bagas berdiri di tengah mereka, mengawasi dengan tatapan puas. Ratih mendekat pelan, wajahnya masih dipenuhi kekhawatiran.

Ratih berbicara pelan dan terdengar seperti berbisik, “Mas! Panen kita semakin banyak. Bahkan lebih dari biasanya.”

Bagas menjawab dengan tawa sinis. “Itulah untungnya jadi kaya, Ratih! Apa pun yang kita tanam sekarang, pasti berbuah lebat.”

Ratih membalas dengan ragu. “Tapi, Mas! Uang kita ... dari mana semua ini datang? Setiap hari, selalu ada saja hasil panen dan barang-barang baru di rumah ini.”

Bagas sambil tersenyum misterius. “Jangan terlalu banyak tanya, Ratih! Nikmati aja kemewahan ini selagi ada! Kita nggak akan kekurangan apa-apa lagi.”

Ratih terdiam, wajahnya semakin dipenuhi kegelisahan. Dia merasakan ada sesuatu yang salah, tetapi tidak berani menanyakan lebih lanjut.

“Juragan!” teriak pekerja Bagas, sambil berlari tergopoh-gopoh.

“Apa? Ada apa?” sahut Bagas yang terkejut, melihat cara pekerja itu memanggilnya.

“Di tanah ladang ada batangan emas, Juragan!” ucapnya sambil menunjuk ke arah ladang. Wajahnya sangat terkejut.

Bagas dan Ratih bergegas mendatangi area ladang yang telah membuat kehebohan di desa. Para pekerja tidak berani menyentuh benda itu. Tapi, mereka saling berbisik satu sama lain dan terdengar di telinga Ratih.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status