Pagi harinya, Bagas memerintahkan Ratih untuk membuang perabotan rumah dan menggantinya dengan yang baru.
“Coba lihat! Ini akan terlihat bagus. Senang, kan?” tanyanya, tersenyum bangga.
"Iya, Mas. Ratih senang," jawabnya ragu.
Ratih fokus melihat ke arah lengannya yang membiru akibat genggaman tangan Bagas yang menekannya di tempat tidur. Hampir tiap pagi tanda biru muncul di tubuhnya."Hasil panen kita hari ini juga banyak. Nanti aku pekerjakan orang untuk mengolah ladang kita!" ujarnya sambil bertolak pinggang.
Sebelum Ratih menjawab, Bagas melanjutkan ucapannya kembali, "Oh iya, aku minta kamu jangan bersikap seperti orang susah lagi," ujarnya tajam.
Ratih pun mengangguk dengan wajah menahan rasa sakit di sekujur tubuh. Herannya, Bagas tidak menyadari hal itu. Pria itu tetap fokus dengan kekayaan yang lagi dimilikinya saat ini, dia terus berbicara bagai burung beo.
"Kalau ada yang menghina kamu, kasih tau aku! Aku akan urus mereka!" seru Bagas, merasa bangga.
Ratih hanya mengangguk lagi. Rahangnya terasa kelu untuk mengucapkan beberapa kalimat. Bahkan dia makin menyadari perubahan Bagas, saat malam hari terlihat dingin dan menakutkan baginya. Ada rasa trauma jika malam tiba, Ratih takut kalau Bagas ingin meminta haknya sebagai suami. Membayangkan wajah Bagas di malam hari dengan di siang hari membuat Ratih menggelengkan kepalanya.
“Kamu kenapa? Ada yang membuatmu nggak suka atau ada warga yang menyakiti hatimu?”
Ratih menelan saliva, dia menyadari jika salah bicara takut melukai orang lain.
“Eng – enggak Mas. Aku kayaknya mau buang air kecil. Jadi bergidik sampai menggelengkan kepala, nggak enak mau tinggalin Mas di sini,” kilah Ratih membuat Bagas tersenyum.
“Aku akan keluar, melihat tukang dulu. Kalau nggak diawasi, takut nggak bener kerjanya.” Ratih mengangguk, membiarkan Bagas keluar rumah mengawasi tukang.
Ketika asyik melihat rumah yang sedang direnovasi, warga desa mulai berdatangan dan memanggil Bagas dengan sebutan Juragan. Mereka datang membawa berbagai permintaan.
"Juragan Bagas, tolong saya!" kata salah seorang penduduk desa, memelas.
"Anak saya sakit, Juragan, mohon bantuannya," pinta yang lain.
Tanpa ragu, Bagas membantu mereka, memberikan uang lalu pergi. Begitu terus sampai warga yang berbondong-bondong itu pergi satu per satu. Ratih yang memperhatikan dari dalam rumah merasa bingung. Seolah uang bukan lagi masalah bagi mereka, bahkan menurut Ratih seharusnya mereka menabung saat ini.
‘Bukannya nabung, mana tau bulan berikutnya panen nggak sama lagi,’ batin Ratih kesal. Kemudian, dia menemui Bagas di luar rumah.
“Mas, nggak takut uang kita habis?” tanyanya sembari menarik tangan Bagas, membuat Bagas terkejut dan menatapnya tajam.
Bagas tersenyum. “Tenang aja! Kita nggak akan kehabisan uang.”
Jawaban Bagas yang sombong membuat bulu kuduk Ratih bergidik. Dia takut suaminya terlena sesaat, Ratih masih takut kejadian-kejadian saat mereka tidak memiliki uang terulang lagi. Para rentenir datang menagih. Ratih mencoba berbicara dengan berbisik ke Bagas, dia takut suaminya akan bersuara tinggi seperti sebelumnya.
“Mas, Ratih takut kalau ini hanya panen bagus sesaat.” Wajah Ratih sangat ketakutan kali ini, terlihat jelas dia melihat ke kanan dan ke kiri saat berbisik ke Bagas.
“Tih, sudah Mas bilang, mulai sekarang kamu jangan bersikap seperti orang miskin lagi! Kamu harus tampak berani dan berwibawa. Lihat mereka, menatap rasa khawatir di dirimu! Jangan sampai ini akan menjadi bumerang dan bahan mereka mengunjing kita!” Bagas menekan tangan Ratih, berbicara pelan dengan menekankan suaranya, terasa itu adalah perintah bagi Ratih.
Ratih meringis kesakitan, lalu masuk kembali ke rumah. Dalam diam, Ratih berpikir kencang, tapi semakin dipikir semakin rumit dia rasa. Bahkan yang menjadi kebingungan Ratih setiap hari uang itu semakin bertambah. Bahkan uang yang diberikan Bagas untuknya belum pernah tergerak sedikit pun.
‘Tenang, Ratih! Mungkin ini cuma perasaan kaget melihat uang banyak. Wajar aja kalo semakin hari semakin punya harta berlimpah. Toh, hasil panen juga berlimpah, tetap berpikir positif,’ batin Ratih lagi meyakinkan diri.
Hari-hari berlalu, Ratih mulai terbiasa. Begitu juga dengan rasa sakit di sekujur tubuhnya. Dia berharap Bagas mulai menyadari hal ini. Rumah mereka semakin ramai karena banyak warga yang datang. Tapi kali ini bukan sebagai tetangga, melainkan sebagai buruh yang membantu panen di ladang mereka.
“Kalian kerjanya yang benar!” teriak Bagas memerintah para pekerja.
Lalu lalang mereka memindahkan hasil panen ke dalam gudang, Bagas berdiri di tengah mereka, mengawasi dengan tatapan puas. Ratih mendekat pelan, wajahnya masih dipenuhi kekhawatiran.
Ratih berbicara pelan dan terdengar seperti berbisik, “Mas! Panen kita semakin banyak. Bahkan lebih dari biasanya.”
Bagas menjawab dengan tawa sinis. “Itulah untungnya jadi kaya, Ratih! Apa pun yang kita tanam sekarang, pasti berbuah lebat.”
Ratih membalas dengan ragu. “Tapi, Mas! Uang kita ... dari mana semua ini datang? Setiap hari, selalu ada saja hasil panen dan barang-barang baru di rumah ini.”
Bagas sambil tersenyum misterius. “Jangan terlalu banyak tanya, Ratih! Nikmati aja kemewahan ini selagi ada! Kita nggak akan kekurangan apa-apa lagi.”
Ratih terdiam, wajahnya semakin dipenuhi kegelisahan. Dia merasakan ada sesuatu yang salah, tetapi tidak berani menanyakan lebih lanjut.
“Juragan!” teriak pekerja Bagas, sambil berlari tergopoh-gopoh.
“Apa? Ada apa?” sahut Bagas yang terkejut, melihat cara pekerja itu memanggilnya.
“Di tanah ladang ada batangan emas, Juragan!” ucapnya sambil menunjuk ke arah ladang. Wajahnya sangat terkejut.
Bagas dan Ratih bergegas mendatangi area ladang yang telah membuat kehebohan di desa. Para pekerja tidak berani menyentuh benda itu. Tapi, mereka saling berbisik satu sama lain dan terdengar di telinga Ratih.
“Kamu sadar, nggak? Banyak hal keberuntungan bagi mereka,” ujar seorang Ibu yang masih memotong padi. Tidak lama, pekerja lain datang berbisik di sampingnya, wajahnya tidak begitu Ratih kenal. “Kamu nggak curiga?” tanya pria itu. Ratih menatapnya dengan mengernyitkan dahi. Ratih merasa, pria itu ingin memprovokasi para warga yang bekerja padanya. Bahkan, walau semua yang dia katakan saat ini juga melanda Ratih. Perasaan penuh curiga dan gelisah yang menghantui hari-harinya. Sampai sebuah pernyataan yang menjadi kegelisahannya bertambah, suara sumbang dari warga yang menanggapi pria tersebut. “Jangan-jangan dia melakukan hal yang mistis,” ujarnya. Membuat mata Ratih mendelik, wanita itu sadar saat melihat tatapan Ratih yang menunduk ketakutan, merasa secara tidak langsung menyinggung Ratih. “Waduh, aku nggak sadar kalo ada Nyonya besar. Gimana ini?” Dia memegang tangan temannya karena panik. “Bahaya, inget jasad Juragan Suwandi!” Terasa di mata Ratih mereka saling menelan sal
"Ratih, hentikan halusinasimu!" Bagas membentak, suaranya terdengar marah, seolah-olah menyembunyikan sesuatu.Ratih gemetar, memeluk tubuhnya erat-erat, berusaha menenangkan diri meski ketakutan melingkupinya."Mas ... aku nggak bohong! Aku lihat sesuatu, aku ... aku nggak mungkin salah! Itu tadi ada di belakangmu, Mas!" suaranya bergetar, nyaris tidak terdengar.Bagas menggelengkan kepala, berusaha menenangkan Ratih. "Udahlah! Itu cuma perasaanmu. Kamu terlalu stres, Tih. Tidur aja, jangan dipikirkan!"Namun, Ratih tetap tidak bisa menutup mata. Perasaan bahwa ada sesuatu yang mengintai setiap gerakannya membuatnya tetap terjaga.'Apa ini? Kenapa aku merasa tubuhku disentuh bukan oleh suamiku? Kenapa Mas Bagas selalu terasa berbeda tiap malam?' pikir Ratih dalam kebingungan.Beberapa detik berlalu dalam keheningan yang menyesakkan. Bagas kembali mencoba tidur, tetapi waktu terasa berjalan sangat lambat bagi Ratih. Dia terus mengawasi setiap sudut kamar dengan ketegangan yang semakin
"Mas! Ini sarapannya," panggil Ratih sambil menata makanan di meja, menyiapkan hidangan mewah untuk suaminya.Bagas menoleh, menatap Ratih yang tampak lebih rapi dan berdandan dari biasanya. "Mau ke mana, Tih? Tumben rapi?" tanyanya, nada curiga tersirat dalam suaranya."Ehm! I—Ini Mas, anu ... Ehm!" Ratih tergagap, berusaha menjawab tapi suaranya tersendat-sendat karena gugup.Bagas menggelengkan kepala, sedikit mendengus. "Haduh, udah-udah! Kamu ini, semakin hari makin aneh saja," sahutnya sambil mulai menyantap makanannya.Ratih hanya diam, menyaksikan suaminya yang lahap memakan daging setengah matang di piringnya. Aroma daging itu membuat perut Ratih terasa mual. Makanan itu bukanlah sesuatu yang biasanya mereka makan sehari-hari. Namun, belakangan makanan agak mentah menjadi kesukaan Bagas.'Bukannya kamu yang hari demi hari makin aneh, Mas!' batin Ratih dengan getir, tapi dia menahan kata-kata itu dalam hati.Ratih terus memandangi Bagas yang tampak berbeda, seolah sedang meni
Saat membuka kantung itu, petani tercengang dengan kilauan emas di genggamannya. "Ju—Juragan! Ju—Juragan ini buat saya?" tanyanya bergetar."Ya. Itu buatmu, hanya 2 koin emas aja aku kasih," kata Bagas sambil bertolak pinggang."I—Ini udah sangat banyak Juragan! Terima kasih ... Terima kasih!" balas petani sambil sujud di hadapan Bagas. "Udah hentikan!" Bagas melirik dengan tajam. "Nanti, anak buahku akan antar beras dan sayur ke rumahmu, jadi kamu tidak kelaparan lagi," lanjutnya berbicara."Alhamdulillah, terima kasih juragan! Terima kasih banyak!" Petani itu semakin bersujud di hadapan Bagas. Saat petani bersujud syukur pada Bagas, Ratih muncul melihat pandangan yang berbeda. "Ada apa, Mas?" tanyanya heran."Nggak ada apa-apa?" balas singkat sambil memalingkan badannya."Juragan Ratih! Saya pamit pulang, terima kasih!" ucapnya lalu pergi. Ratih menyusul Bagas yang masuk ke dalam rumah. Melihat Bagas duduk di ruang tamu sambil menggenggam handphone. Di ujung telepon dia berbica
Brak!Pintu kayu rapuh ditendang oleh seseorang. Muncul pria berbadan besar bersama anak buahnya.“Bagas, bayar utang kamu sekarang! Ayo cepetan!” teriak si pria yang tidak lain adalah Juragan Suwandi, seorang rentenir di Desa Karang Jati.Bagas dan Ratihーistrinya, terkejut. Mereka meletakkan piring menyudahi sarapannya. Keduanya segera berdiri dengan gugup dan ketakutan. Bagas berlutut. Memohon belas kasih Juragan Suwandi, “Maaf, Juragan. Saya belum bisa bayar. Saya belum ada uang."Ekspresi Suwandi kelam. “Ah! Yang benar aja! Kamu udah menunggak 8 bulan. Bunganya udah membengkak. Gimana sih kamu, Bagas?!” "Usaha saya sepi, Juragan," kata Bagas, memberikan alasan. "Ladang saya gersang dan Istri saya lagi sakit. Mohon maaf Juragan," lanjutnya, berbicara.Suwandi semakin naik pitam saat Bagas mulai beralasan lagi. Suwandi menggosok-gosok ujung hidung. “Kamu selalu aja alasan. Kamu pikir, saya ini ngasih uang dengan cuma-cuma?!"Suwandi menatap anak buahnya. "Hei, kalian! Cepet ambi
Malam harinya, Bagas tidak bisa tidur. Dia berbaring di samping Ratih yang sudah tertidur. Dia terus mengingat perkataan Damar pagi tadi. Solusi pesugihan yang Damar tawarkan memang menggoda sekaligus menakutkan.Bagas tahu, jika dia mengambil jalan pesugihan, itu artinya dia harus siap menanggung segala konsekuensinya. Dia ketakutan. Namun detik berikutnya, keinginan memberikan kehidupan layak untuk Ratih membuatnya yakin akan pesugihan itu. Bagas bangun, lalu berjalan ke arah jendela. Dia mengamati langit malam. "Malam ini, malam bulan purnama," katanya, pelan.Bagas tersenyum tipis. Dia telah mengambil keputusan. Setelah berganti pakaian, Bagas membuka pintu kamar dengan sangat hati-hati. Dengan cepat, dia sudah berada di luar rumah. Bagas berjalan menembus malam menuju hutan di sisi utara desa, mengikuti petunjuk yang diberikan Damar. Jalanan yang gelap tidak menyurutkan tekadnya. Ketika Bagas sampai di tengah hutan, dia menemukan sebuah pohon besar dengan akar menjuntai.Baga
“Genderuwo? Apa yang harus saya lakukan untuk mendapatkan kekayaan darinya?” Kata Genderuwo membuat Bagas merinding. Dia pernah mendengar cerita mengerikan tentang makhluk itu. Namun, desakan utang dan himpitan hidup kemiskinan membuatnya penasaran. Ki Praja menatap Bagas dengan serius. “Genderuwo bisa memberikan kamu kekayaan tanpa batas. Tapi sebagai harganya, dia menuntut seorang perempuan menemaninya setiap malam.""Perempuan?" Bagas tidak mengerti. "Saya akan mencari perempuan itu secepatnya, Pak."Ki Praja menggeleng. "Nggak, Bagas. Karena yang dia mau adalah perempuan yang tinggal di rumah kamu.”Bagas terkejut. Dia marah. “Nggak bisa! Saya nggak bisa mengorbankan Ratih untuk pesugihan ini.”Bagas menentang keras syarat yang diberikan Ki Praja. Dia hendak membatalkan niatnya. “Kamu harus tau, Bagas! Kalo kamu mau memperbaiki hidupmu, maka kamu harus siap menghadapi konsekuensinya. Tanpa pengorbanan, nggak ada yang bisa bantu kamu,” ujar Ki Praja, suaranya semakin menekan.Ma
Ki Praja memberi Bagas bungkusan kain merah. "Le!" panggil Ki Praja. "Ini adalah jimat pengikat perjanjianmu dengan Genderuwo!" ucap Ki Praja.Bagas memandang benda tersebut dengan ragu. “Apa ini, Ki? Apa dari perjanjian tadi?”Ki Praja mengangguk sambil menyerahkan jimat itu. "Bener. Ini adalah jimat yang akan melindungi perjanjianmu, Le!" ujar Ki Praja, lanjutnya, "jimat ini pengingat mu agar nggak melanggar perjanjian yang udah dibuat. Selama, memegangnya, kamu akan dilindungi oleh kekuatan dari Genderuwo, dan kekayaan yang di harapkan akan segera datang."Bagas menerima jimat itu dan pulang saat matahari mulai terbit. Bagas langsung tertuju ke ladang di depan rumahnya, dan dia tertegun. Lahan yang dulu tandus dan gersang kini berubah menjadi hijau, dengan tanaman yang mulai tumbuh subur. Hampir tak percaya, dia berjalan mendekat dan meraba daun-daun segar yang tampak sehat.Bagas merasakan kenikmatan hasil dari perjanjian dengan Genderuwo."Ratih! Ratih, cepetan ke sini!" panggil