“Kamu sadar, nggak? Banyak hal keberuntungan bagi mereka,” ujar seorang Ibu yang masih memotong padi. Tidak lama, pekerja lain datang berbisik di sampingnya, wajahnya tidak begitu Ratih kenal.
“Kamu nggak curiga?” tanya pria itu.
Ratih menatapnya dengan mengernyitkan dahi. Ratih merasa, pria itu ingin memprovokasi para warga yang bekerja padanya. Bahkan, walau semua yang dia katakan saat ini juga melanda Ratih. Perasaan penuh curiga dan gelisah yang menghantui hari-harinya. Sampai sebuah pernyataan yang menjadi kegelisahannya bertambah, suara sumbang dari warga yang menanggapi pria tersebut.
“Jangan-jangan dia melakukan hal yang mistis,” ujarnya.Membuat mata Ratih mendelik, wanita itu sadar saat melihat tatapan Ratih yang menunduk ketakutan, merasa secara tidak langsung menyinggung Ratih.
“Waduh, aku nggak sadar kalo ada Nyonya besar. Gimana ini?” Dia memegang tangan temannya karena panik.
“Bahaya, inget jasad Juragan Suwandi!”
Terasa di mata Ratih mereka saling menelan saliva saat menyebut nama Juragan Suwandi. Begitu juga Ratih, menelan saliva seketika itu juga dan menyuruh Bagas bergegas menuju tempat emas itu ditemukan.
Ratih takut kalau saja yang digunjingkan pekerjanya itu benar, bahkan Ratih takut rumor buruk akan semakin beredar. Walau semua keraguannya itu belum bisa dia buktikan, tapi desas-desus yang beredar berbahaya jika terdengar di telinga Bagas, Ratih teringat pesan Bagas sebelumnya.
“Ayo mas, buruan!” ajak Ratih yang menarik tangan suaminya.
“Lah kok jadi semangat, Tih? Tapi, mas senang lihat kamu yang semangat tidak seperti biasanya.”
Ratih hanya melempar senyum palsu di hadapan suaminya. Sedangkan di balik tubuhnya, keringat dingin sebutir jagung mulai jatuh satu per satu membasahi tubuhnya.
“Semua emas ini milik saya, kalian dengar itu!” teriak Bagas di tengah-tengah warga yang penasaran.
“Inilah penyebab kenapa lahan saya sempat tidak subur selama ini,” lanjutnya. Pernyataan itu sengaja dia ungkapkan untuk membungkam rasa penasaran warga desa.
Ratih yang mendengar juga mengembuskan napas lega. Walau perasaan yang menakutkan masih menghantuinya, bahkan ketika hari menjelang magrib.
“Mas, kita harus pulang sekarang. Matahari udah mau tenggelam. Sebentar lagi magrib, mereka juga mungkin mau beristirahat,” ucap Ratih lembut.
Bagas tersenyum melihat istrinya berbicara seolah tidak ada kekhawatiran mendalam lagi. Dia segera menyuruh semua pekerja dan warga pulang, Bagas tidak lupa memberikan mereka uang untuk dibawa pulang serta beberapa makanan. Sebab itulah mereka semua senang bekerja di tempat Bagas.
Malam harinya, Ratih terbangun dengan jantung berdegup kencang. Mimpi buruk yang mencekam membuatnya tidak nyaman.
“Mas, Bagas?” panggilnya, suaranya gemetar. Tak ada jawaban.
Ratih mulai merasakan ada sesuatu yang mengawasinya dalam kegelapan. Suara aneh, seperti bisikan atau langkah kaki samar, terdengar dari arah dapur. Pintu kamar berderit. Bagas masuk dengan langkah tenang.
“Maaf, aku terlambat. Ada urusan di ladang,” katanya, mengabaikan wajah pucat Ratih.
“Mas ... aku takut. Mungkin kita harus panggil orang untuk memeriksa rumah ini.”
Bagas tertawa kecil. “Ratih, itu cuma perasaan kamu aja! Jangan terlalu cemas!” serunya tajam.
Namun, Ratih semakin gelisah. Suara-suara aneh itu terus menghantui tiap malam. Kadang, dia merasa ada sesuatu yang mendekatinya, sesuatu yang menakutkan.
“Mas ... aku benar-benar takut. Seperti ada yang menyentuhku saat aku tidur,” cerita Ratih dengan mata berkaca-kaca.
“Udahlah, itu cuma perasaan kamu doang! Sudah malem, aku mau tidur.” Bagas memotongnya, masuk ke kamar tanpa mempedulikan perasaan istrinya.
Ratih duduk termenung, memeluk dirinya sendiri. Suaminya kini terasa asing. Bahkan saat Ratih mengeluh, biasa Bagas sangat peduli padanya.
‘Mas, kamu kenapa sih berubah?’ keluh Ratih di dalam hati, sampai dia melihat sosok hitam besar dengan bulu di sekujur badannya, menatapnya tajam.
Gigi runcing dengan tetesan lendir yang bercampur warna merah menyeringai ke arahnya. Sambil bersuara, “Aku akan selalu bersamamu!” Lengkingan suara berat dan diikuti tawa seperti monster membuat tubuh Ratih bergetar ketakutan.
Dia langsung menarik selimut menutup tubuhnya penuh. Bagas terbangun dari tidurnya, merasa Ratih teriak ketakutan. Dia mencoba membangunkan dan membuka selimut yang menutup penuh tubuh Ratih.
“Tih, Ratih!” Bagas mengguncang tubuh Ratih, bahkan memaksa Ratih membuka mata.
“Kamu kenapa, sih?!” bentak Bagas yang membuat Ratih menangis.
Bahkan Ratih hanya memeluk dan menunjuk ke arah depannya. Bagas melihat ke arah itu, tetapi tidak ada apapun di sana.
“Kamu hanya berhalusinasi,” ujar Bagas.
Ratih membuka mata dan menelan saliva, kali ini dia melihat lagi sosok itu. Kini berada tepat di belakang tubuh suaminya, bahkan menyeringai dengan senyuman yang sangat menyeramkan. Mata Ratih mendelik, napasnya berderu dengan sangat kencang.
“I-itu, di be-belakang kamu!” pekiknya terbata-bata dengan keringat dingin mengucur di tubuh.
"Ratih, hentikan halusinasimu!" Bagas membentak, suaranya terdengar marah, seolah-olah menyembunyikan sesuatu.Ratih gemetar, memeluk tubuhnya erat-erat, berusaha menenangkan diri meski ketakutan melingkupinya."Mas ... aku nggak bohong! Aku lihat sesuatu, aku ... aku nggak mungkin salah! Itu tadi ada di belakangmu, Mas!" suaranya bergetar, nyaris tidak terdengar.Bagas menggelengkan kepala, berusaha menenangkan Ratih. "Udahlah! Itu cuma perasaanmu. Kamu terlalu stres, Tih. Tidur aja, jangan dipikirkan!"Namun, Ratih tetap tidak bisa menutup mata. Perasaan bahwa ada sesuatu yang mengintai setiap gerakannya membuatnya tetap terjaga.'Apa ini? Kenapa aku merasa tubuhku disentuh bukan oleh suamiku? Kenapa Mas Bagas selalu terasa berbeda tiap malam?' pikir Ratih dalam kebingungan.Beberapa detik berlalu dalam keheningan yang menyesakkan. Bagas kembali mencoba tidur, tetapi waktu terasa berjalan sangat lambat bagi Ratih. Dia terus mengawasi setiap sudut kamar dengan ketegangan yang semakin
"Mas! Ini sarapannya," panggil Ratih sambil menata makanan di meja, menyiapkan hidangan mewah untuk suaminya.Bagas menoleh, menatap Ratih yang tampak lebih rapi dan berdandan dari biasanya. "Mau ke mana, Tih? Tumben rapi?" tanyanya, nada curiga tersirat dalam suaranya."Ehm! I—Ini Mas, anu ... Ehm!" Ratih tergagap, berusaha menjawab tapi suaranya tersendat-sendat karena gugup.Bagas menggelengkan kepala, sedikit mendengus. "Haduh, udah-udah! Kamu ini, semakin hari makin aneh saja," sahutnya sambil mulai menyantap makanannya.Ratih hanya diam, menyaksikan suaminya yang lahap memakan daging setengah matang di piringnya. Aroma daging itu membuat perut Ratih terasa mual. Makanan itu bukanlah sesuatu yang biasanya mereka makan sehari-hari. Namun, belakangan makanan agak mentah menjadi kesukaan Bagas.'Bukannya kamu yang hari demi hari makin aneh, Mas!' batin Ratih dengan getir, tapi dia menahan kata-kata itu dalam hati.Ratih terus memandangi Bagas yang tampak berbeda, seolah sedang meni
Saat membuka kantung itu, petani tercengang dengan kilauan emas di genggamannya. "Ju—Juragan! Ju—Juragan ini buat saya?" tanyanya bergetar."Ya. Itu buatmu, hanya 2 koin emas aja aku kasih," kata Bagas sambil bertolak pinggang."I—Ini udah sangat banyak Juragan! Terima kasih ... Terima kasih!" balas petani sambil sujud di hadapan Bagas. "Udah hentikan!" Bagas melirik dengan tajam. "Nanti, anak buahku akan antar beras dan sayur ke rumahmu, jadi kamu tidak kelaparan lagi," lanjutnya berbicara."Alhamdulillah, terima kasih juragan! Terima kasih banyak!" Petani itu semakin bersujud di hadapan Bagas. Saat petani bersujud syukur pada Bagas, Ratih muncul melihat pandangan yang berbeda. "Ada apa, Mas?" tanyanya heran."Nggak ada apa-apa?" balas singkat sambil memalingkan badannya."Juragan Ratih! Saya pamit pulang, terima kasih!" ucapnya lalu pergi. Ratih menyusul Bagas yang masuk ke dalam rumah. Melihat Bagas duduk di ruang tamu sambil menggenggam handphone. Di ujung telepon dia berbica
"Ratih! Tih! Bangun!" Teriakan Bagas menggema di dapur. Tangannya mengguncang tubuh istrinya yang tergeletak lemah di lantai dingin.Mata Ratih perlahan terbuka, tapi terasa berat. Bayangan wajah suaminya terlihat samar di atasnya."Mas ... Mas Bagas? Itu kamu?" rintihnya dengan suara serak, tubuhnya terasa kaku."Iya, ini aku! Cepat bangun! Ini udah pagi. Ngapain kamu tidur di dapur kayak orang nggak waras!" Bagas mendengus kesal, nada suaranya keras.Ratih menggigil, entah karena dingin atau ketakutan. Dia mencoba berdiri, tapi tubuhnya terasa limbung, hampir jatuh lagi. Dengan susah payah, dia meraih meja untuk menopang dirinya.Tanpa berkata-kata, Ratih berjalan sempoyongan menuju kamar mandi. Saat melihat cermin, pandangannya langsung terpaku.Di wajahnya, di leher, dan di lengannya tampak memar-memar ungu kehitaman. Pergelangan tangannya penuh cap jari besar, seakan-akan telah dicengkeram dengan kekuatan luar biasa. Nafasnya tersengal, jantungnya berdegup kencang."I—ini apa? Ap
"Mas, nggak ikut ngelayat ke rumah Bu Sunar?" tanya Ratih pelan sambil melepas selendang yang dikenakannya. Dia baru saja pulang dari pemakaman, tetapi pemandangan di ruang tamu membuat langkahnya terhenti. Di depan meja kecil, Bagas sedang meletakkan kemenyan dan menyalakan dupa."Untuk apa? Kalau udah mati, ya mati aja," jawab Bagas datar tanpa sedikit pun menoleh. Suaranya dingin, tanpa empati.Ratih terpaku. Perasaan takut bercampur bingung menyelimutinya. 'Sejak kapan Mas Bagas berubah seperti ini?' pikirnya. Perlahan, dia mencoba memberanikan diri."Mas ... dupa itu untuk apa? Mas sebenarnya melakukan apa, sih?" tanyanya, mencoba terdengar setenang mungkin meskipun suaranya bergetar.Tangan Bagas, yang tengah sibuk menyiapkan dupa, berhenti seketika. Dia mengangkat wajahnya perlahan, menatap Ratih dengan pandangan tajam yang membuat nyalinya ciut."Ratih, jangan ikut campur urusan ini!" suaranya rendah, tetapi penuh ancaman.Namun, Ratih tidak menyerah. Rasa takutnya kalah oleh
'Mas Bagas? Apa di hadapanku ini benar Mas Bagas? Kenapa sentuhannya berbeda?'Ratih menggigil dalam batinnya. Tubuhnya terasa berat, tidak bisa digerakkan sama sekali. Semakin dia berusaha melawan, semakin kuat cengkeraman itu mencengkeramnya, membuatnya seperti terjebak dalam sesuatu yang gelap dan dingin.'Kalau dia bukan Mas Bagas, lalu siapa? Mas Bagas, tolong aku!'Ratih mencoba meronta dalam pikirannya, tapi sia-sia. Tubuhnya terasa kaku dan tidak bertenaga. Samar-samar, matanya menangkap bayangan seseorang di atasnya. Sosok itu hanya diam, tidak mengucapkan sepatah kata pun.Ratih memicingkan mata, mencoba menjernihkan pandangan. Sekilas, wajah di hadapannya memang mirip dengan Bagas, suaminya. Tapi ketika dia berkedip beberapa saat, wajah itu berubah—menjadi sesuatu yang menyeramkan.'Mas Bagas! Aku nggak bisa!' rintihnya pelan, napasnya tersengal.Perasaan itu kembali datang, rasa yang familiar tapi juga mengerikan. Tubuhnya terasa sakit, berat, dan dipaksa tunduk pada kehen
Bagas terdiam, mencoba mencerna kata-kata Ratih. Wajah istrinya yang basah oleh air mata menambah beban di dadanya."Lalu, aku ... aku terbangun dengan darah ini. Tapi aku nggak tau dari mana darah ini datang," suara Ratih makin kecil, terputus-putus karena tangis.Bagas mendekat, mengelus kepala istrinya pelan. "Udah, yang penting sekarang kamu aman. Jangan takut, aku di sini."Namun, seolah tidak ingin memberikan ketenangan, lampu kamar tiba-tiba berkedip-kedip. Ratih menoleh cepat ke arah lampu, napasnya kembali memburu."Mas ... kenapa lampunya kayak gitu?" tanyanya dengan suara bergetar.Bagas menghela napas panjang, mencoba tetap tenang. "Mungkin ada korsleting. Kamu tunggu di sini, aku cek dulu ke depan.""Jangan pergi, Mas! Jangan tinggalin aku sendirian!" Ratih memegang lengan Bagas erat-erat, matanya memohon.Bagas tersenyum kecil, berusaha menenangkannya. "Aku cuma sebentar, Ratih. Nggak akan lama."Dengan berat hati, Ratih melepas pegangannya. Bagas berjalan keluar kamar,
Bagas mundur selangkah, matanya berkaca-kaca. "Jangan! Jangan sentuh dia! Aku akan lakukan apa aja, tapi jangan dia! Kamu udah cukup menyentuhnya malam ini!"Makhluk itu mendekat, langkahnya berat dan menyeret, seolah sengaja menciptakan suara yang menakutkan."Oh, kamu akan melakukannya? Bagus, Maka bawakan aku darah segar. Satu jiwa lagi, Bagas. Lalu kamu akan merasakan ketenangan—untuk sementara. Tapi ingat ... aku nggak pernah kenyang. Nggak pernah puas."Bagas menggelengkan kepalanya dengan panik. "Berapa lama aku harus melayani ini? Sampai kapan?! Aku nggak sanggup lagi!""Kamu sudah memilih jalan ini, Bagas. Jalan yang nggak ada akhirnya. Penyesalanmu hanya akan memperburuk segalanya. Malam ini, aku menunggumu membawa korbanmu. Jangan membuatku kecewa."Lampu di kamar kembali berkedip-kedip, disertai dengan tawa berat yang bergema. Bayangan makhluk itu perlahan memudar, meninggalkan Bagas yang terjatuh lemas di lantai. Tubuhnya gem
"Mas, apa yang kamu lakukan?" Bagas berdiri di pojok rumah dengan tubuh besarnya. Cahaya redup dari lampu minyak membuat bayangannya tampak semakin menyeramkan. Namun, dia tidak menjawab ucapan Ratih. "Mas, kamu kenapa?" suara Ratih bergetar, mencoba mendekati suaminya. Bagas hanya menggeram. Suaranya terdengar berat dan dalam. Tubuhnya semakin tinggi, lebih besar dari sebelumnya. Ratih mencoba meraih tangan besar itu, tapi Bagas malah menghempaskannya dengan kasar. Hrgh! Erangan itu menggema di ruangan. Ratih mundur selangkah, dadanya berdebar kencang. Lalu, tiba-tiba, Bagas menghilang begitu saja ke balik dinding kayu rumah mereka. Ratih terperangah. Matanya membelalak tidak percaya. "Mas ... Mas!" Dia menggedor dinding itu, berharap Bagas kembali muncul. Tidak ada jawaban. Ratih meremas rambutnya. Napasnya tersengal. Dia benar-benar tidak menyangka Bagas bisa menghilang begitu saja. Tangannya gemetar, menggigit jarinya sendiri sambil mondar-mandir tidak karuan.
"Mas Bagas!"Ratih terbangun dengan napas memburu. Tangannya terulur seolah ingin meraih sesuatu yang tidak ada di sana. Matanya membelalak, keringat dingin membasahi dahinya."Kenapa aku mimpi seperti itu?" gumamnya, masih berusaha menenangkan detak jantungnya yang tidak beraturan.Dalam mimpi itu, dia melihat suaminya berdiri di tepi sungai dengan tubuh yang tidak lagi seperti manusia. Matanya merah menyala, kulitnya ditumbuhi bulu lebat, dan tubuhnya membesar seperti raksasa. Dia tidak mengenali Bagas dalam sosok itu.Ratih turun dari tempat tidur. Perasaan gelisah semakin menguasainya. Rumah terasa begitu sunyi, hanya suara jangkrik dan burung hantu yang terdengar. Dia membuka pintu depan dan melangkah keluar. Angin malam yang dingin menerpa kulitnya, tapi itu tidak menghentikan langkahnya untuk memandang ke sekeliling."Mas Bagas mana, ya? Kenapa sudah malam begini belum pulang?" suaranya terdengar gemetar.Dia kembali masuk ke dalam rumah dan melihat jam dinding. Sudah pukul set
"Bagas, rumah itu buat anak setanmu, ya?" Suara itu terdengar begitu familiar. Bagas mengernyit. Sejak dulu, mereka—warga desa yang selalu mencaci makinya—tak pernah berubah. Saat dia miskin, mereka menghinanya. Saat dia kaya, mereka tetap merendahkannya. Bagas berusaha mengabaikan mereka. Tangannya sibuk menggergaji kayu, mencoba fokus pada pekerjaannya. "Hei, urus saja hidup kalian sendiri! Jangan ikut campur urusan orang lain!" teriak Bagas. Namun, bukannya pergi, warga malah semakin berani. "Sombong banget! Miskin tapi belagu!" seseorang berteriak lantang. Bagas mengepalkan tangan, mencoba menahan emosi. Namun, kesabarannya kini hampir habis. Matanya yang tadinya cokelat perlahan berubah merah. Dia berdiri, menatap mereka satu per satu. Napasnya mulai memburu, ada sesuatu yang bergolak dalam dirinya. Buk! Tanpa sadar, kepalan tangannya melayang dan mendarat di wajah salah satu warga. Warga yang lain langsung terperanjat. Mereka tak menyangka Bagas akan melawan. "Kurang
"Apa yang harus ku lakukan sekarang?" Bagas duduk di kursi kayu di depan rumah Ratih, menatap kosong ke arah kegelapan malam. Tangannya terangkat, menyibak lengan bajunya. Mata Bagas membelalak saat melihat bulu halus di lengannya yang semakin lebat dan tebal. Jantungnya berdebar. "Mau dicukur sampai kapan pun, bulu ini selalu tumbuh lebih banyak. Bagaimana sekarang?" gumamnya pelan. Angin malam berembus pelan, membuat helaian bulu di tangannya bergerak perlahan. Bagas meremas ujung bajunya dengan kuat, seolah berusaha menahan gemetar tubuhnya. Kegelisahan di hatinya semakin besar. Dulu, dia masih bisa menyembunyikannya dengan pakaian panjang—baju lengan panjang, celana panjang, bahkan sarung tangan saat bepergian. Tapi kini, tubuhnya semakin sulit dikendalikan. "Sampai kapan aku bisa menutupi ini?" bisiknya. Bagas mengusap wajahnya. Kulitnya terasa kasar, seperti ada sesuatu yang tumbuh di bawah permukaannya. Dia meraba pipinya dan merasakan bulu-bulu halus yang mulai menjalar
"Nak Bagas, kamu harus berhati-hati mulai sekarang!"Bagas mendongakkan kepala. Kejadian seseorang yang dapat mengubah dirinya menjadi Kyai Ahmad membuatnya sulit percaya kepada siapa pun yang ada di pendopo."Bagaimana aku bisa membedakan kalian dengan tipuan?" tanya Feri, yang juga merasakan kebingungan.Bagas mengangguk setuju. "Ya, Kyai! Bagaimana cara membedakannya? Karena tidak ada celah untuk mengetahui yang asli dan yang palsu!"Kyai Ahmad mendekat, lalu membisikkan sesuatu kepada mereka. Setelah itu, beliau memberikan sebuah gelang emas yang akan terlihat hanya ketika mereka membacakan doa. Itu akan menjadi tanda bahwa mereka adalah manusia asli."Gelang ini tidak bisa dilihat oleh orang lain, Bah?" tanya Feri, masih ragu. "Lalu bagaimana dengan yang lain? Apa mereka juga akan diberi gelang seperti ini?"Kyai Ahmad menghela napas, tampak tenang. "Tenang saja! Abah akan memberikannya juga kepada mereka."Saat gel
Bab XII – Rahasia yang Kian Gelap"Mas, kamu ke mana aja?"Ratih menatap tajam ke arah Bagas yang baru saja tiba di rumah. Wajahnya memerah, sorot matanya penuh kemarahan."Kamu tahu nggak sih, Mas? Mereka semua bawa obor dan celurit! Mereka melihat anak kita seperti melihat iblis! Begitu kejamnya!" Ratih naik pitam, suaranya meninggi.Bagas terdiam sejenak. Dia menghela napas berat, jelas ada sesuatu yang mengganjal pikirannya."Maafkan aku, tadi di hutan aku mengalami kejadian aneh," jawab Bagas akhirnya.Ratih tetap cemberut. Dia bahkan tidak tertarik menanyakan kejadian yang dialami Bagas. Tanpa banyak bicara, dia langsung menarik tangan suaminya, menyeretnya ke dalam rumah."Lihat sendiri anak-anak kita!"Saat matanya jatuh pada Jagat, Bagas terkejut. Kulit anaknya tidak seperti biasanya. Ada sesuatu yang berbeda, sesuatu yang tidak seharusnya terjadi."Loh, kenapa dengan Jagat?"Ratih men
"Kalian di sini saja, biar aku dan Kadir yang ke Desa Sumberarum!"Seorang warga berkata lantang, bersiap berangkat ke desa tempat Ratih dan anak kembarnya tinggal. Malam semakin larut, dan obor yang mereka bawa menari-nari ditiup angin."Kenapa juga ya Ratih pergi dari Desa Karangjati?" tanya salah seorang warga, suaranya penuh rasa ingin tahu.Kadir, pria yang lebih tua dan cukup dihormati, mendengus. "Kalian ini bagaimana sih? Bagas dan Ratih sudah pisah rumah sejak lama!" Dia menyalakan obornya, cahayanya menerangi wajah seriusnya.Beberapa warga saling berpandangan. Salah satu dari mereka berbisik, "Kurasa karena Bagas sudah nggak kaya lagi."Bisikan itu memicu percakapan."Iya juga, dulu dia hidup berkecukupan. Tapi sekarang?""Kalian masih ingat kan, dulu ada desas-desus kalau Bagas pakai pesugihan?""Benar! Apalagi kakeknya juga pernah dituduh melakukan hal yang sama!"Obrolan itu semakin memana
Bab XI: Ancaman yang Menghilang“Anda siapa?”Bagas bergegas mengejar Mbah Sarni yang tiba-tiba meninggalkan kerumunan warga. Napasnya memburu, kakinya melangkah cepat di atas tanah yang berdebu. Tatapan matanya tajam, menatap penuh intimidasi ke arah wanita tua itu.Mbah Sarni tidak berhenti. Dia tetap berjalan dengan tenang seolah tak mendengar panggilan Bagas."Tunggu! Jangan pergi! Saya tidak akan membiarkan Anda pergi begitu saja!" seru Bagas keras.Wanita tua itu akhirnya berhenti. Dia berbalik perlahan, dan untuk pertama kalinya, mereka bertemu pandang dalam jarak dekat. Mata Bagas dipenuhi amarah, sementara mata Mbah Sarni kosong, seolah melihat sesuatu yang tak kasatmata.Bagas mendekat, suaranya bergetar karena emosi yang tertahan."Kenapa Anda berbicara seperti itu kepada warga?" suaranya meninggi. "Jelas-jelas Anda tidak ada di sana saat istri saya melahirkan! Anda bahkan baru muncul di desa ini! Apa tujuan A
"Kalian sudah dengar belum? Ratih melahirkan!" Suara gemuruh memenuhi warung kopi di sudut desa Karangjati. Warga berkumpul, saling berbisik dan bertukar cerita, seolah membicarakan hal yang lebih menarik daripada panen tahun ini. "Serius? Bukannya Ratih sudah lama meninggalkan Bagas?" "Nah, itu dia yang aneh! Tiba-tiba dia pulang, hamil, lalu melahirkan anak kembar! Bagaimana bisa?" Bagas yang kebetulan sedang melewati warung hanya diam. Dia sudah mendengar banyak bisikan serupa selama beberapa minggu terakhir. Langkahnya tetap tenang, meskipun di dalam dadanya ada bara yang siap menyala. Namun, warga tak berhenti berbicara. "Bagas! Hebat juga, ya, si Ratih bisa hamil!" seru seorang lelaki bertopi caping dengan nada mengejek. Bagas pura-pura tak mendengar. Dia sibuk menyusun kayu di hadapannya, memukul paku dengan keras, berusaha mengabaikan suara-suara yang semakin mendekatinya. Tuk! Tuk! "Gas, gimana bisa Ratih hamil? Bukannya dia sudah lama pergi?" Bagas masih m