Beranda / Horor / Pesugihan Genderuwo / 07. Tatapan dari Kegelapan

Share

07. Tatapan dari Kegelapan

“Kamu sadar, nggak? Banyak hal keberuntungan bagi mereka,” ujar seorang Ibu yang masih memotong padi. Tidak lama, pekerja lain datang berbisik di sampingnya, wajahnya tidak begitu Ratih kenal.  

“Kamu nggak curiga?” tanya pria itu. 

Ratih menatapnya dengan mengernyitkan dahi. Ratih merasa, pria itu ingin memprovokasi para warga yang bekerja padanya. Bahkan, walau semua yang dia katakan saat ini juga melanda Ratih. Perasaan penuh curiga dan gelisah yang menghantui hari-harinya. Sampai sebuah pernyataan yang menjadi kegelisahannya bertambah, suara sumbang dari warga yang menanggapi pria tersebut. 

 

“Jangan-jangan dia melakukan hal yang mistis,” ujarnya. 

Membuat mata Ratih mendelik, wanita itu sadar saat melihat tatapan Ratih yang menunduk ketakutan, merasa secara tidak langsung menyinggung Ratih.  

“Waduh, aku nggak sadar kalo ada Nyonya besar. Gimana ini?” Dia memegang tangan temannya karena panik.  

“Bahaya, inget jasad Juragan Suwandi!” 

Terasa di mata Ratih mereka saling menelan saliva saat menyebut nama Juragan Suwandi. Begitu juga Ratih, menelan saliva seketika itu juga dan menyuruh Bagas bergegas menuju tempat emas itu ditemukan.  

Ratih takut kalau saja yang digunjingkan pekerjanya itu benar, bahkan Ratih takut rumor buruk akan semakin beredar. Walau semua keraguannya itu belum bisa dia buktikan, tapi desas-desus yang beredar berbahaya jika terdengar di telinga Bagas, Ratih teringat pesan Bagas sebelumnya.  

“Ayo mas, buruan!” ajak Ratih yang menarik tangan suaminya.  

“Lah kok jadi semangat, Tih? Tapi, mas senang lihat kamu yang semangat tidak seperti biasanya.” 

Ratih hanya melempar senyum palsu di hadapan suaminya. Sedangkan di balik tubuhnya, keringat dingin sebutir jagung mulai jatuh satu per satu membasahi tubuhnya.  

“Semua emas ini milik saya, kalian dengar itu!” teriak Bagas di tengah-tengah warga yang penasaran.  

“Inilah penyebab kenapa lahan saya sempat tidak subur selama ini,” lanjutnya. Pernyataan itu sengaja dia ungkapkan untuk membungkam rasa penasaran warga desa.  

Ratih yang mendengar juga mengembuskan napas lega. Walau perasaan yang menakutkan masih menghantuinya, bahkan ketika hari menjelang magrib.  

“Mas, kita harus pulang sekarang. Matahari udah mau tenggelam. Sebentar lagi magrib, mereka juga mungkin mau beristirahat,” ucap Ratih lembut. 

Bagas tersenyum melihat istrinya berbicara seolah tidak ada kekhawatiran mendalam lagi. Dia segera menyuruh semua pekerja dan warga pulang, Bagas tidak lupa memberikan mereka uang untuk dibawa pulang serta beberapa makanan. Sebab itulah mereka semua senang bekerja di tempat Bagas.  

Malam harinya, Ratih terbangun dengan jantung berdegup kencang. Mimpi buruk yang mencekam membuatnya tidak nyaman. 

“Mas, Bagas?” panggilnya, suaranya gemetar. Tak ada jawaban.

Ratih mulai merasakan ada sesuatu yang mengawasinya dalam kegelapan. Suara aneh, seperti bisikan atau langkah kaki samar, terdengar dari arah dapur. Pintu kamar berderit. Bagas masuk dengan langkah tenang. 

“Maaf, aku terlambat. Ada urusan di ladang,” katanya, mengabaikan wajah pucat Ratih. 

“Mas ... aku takut. Mungkin kita harus panggil orang untuk memeriksa rumah ini.” 

Bagas tertawa kecil. “Ratih, itu cuma perasaan kamu aja! Jangan terlalu cemas!” serunya tajam. 

Namun, Ratih semakin gelisah. Suara-suara aneh itu terus menghantui tiap malam. Kadang, dia merasa ada sesuatu yang mendekatinya, sesuatu yang menakutkan. 

“Mas ... aku benar-benar takut. Seperti ada yang menyentuhku saat aku tidur,” cerita Ratih dengan mata berkaca-kaca. 

“Udahlah, itu cuma perasaan kamu doang! Sudah malem, aku mau tidur.” Bagas memotongnya, masuk ke kamar tanpa mempedulikan perasaan istrinya. 

Ratih duduk termenung, memeluk dirinya sendiri. Suaminya kini terasa asing. Bahkan saat Ratih mengeluh, biasa Bagas sangat peduli padanya. 

‘Mas, kamu kenapa sih berubah?’ keluh Ratih di dalam hati, sampai dia melihat sosok hitam besar dengan bulu di sekujur badannya, menatapnya tajam. 

Gigi runcing dengan tetesan lendir yang bercampur warna merah menyeringai ke arahnya. Sambil bersuara, “Aku akan selalu bersamamu!” Lengkingan suara berat dan diikuti tawa seperti monster membuat tubuh Ratih bergetar ketakutan. 

Dia langsung menarik selimut menutup tubuhnya penuh. Bagas terbangun dari tidurnya, merasa Ratih teriak ketakutan. Dia mencoba membangunkan dan membuka selimut yang menutup penuh tubuh Ratih. 

“Tih, Ratih!” Bagas mengguncang tubuh Ratih, bahkan memaksa Ratih membuka mata. 

“Kamu kenapa, sih?!” bentak Bagas yang membuat Ratih menangis. 

Bahkan Ratih hanya memeluk dan menunjuk ke arah depannya. Bagas melihat ke arah itu, tetapi tidak ada apapun di sana. 

“Kamu hanya berhalusinasi,” ujar Bagas. 

Ratih membuka mata dan menelan saliva, kali ini dia melihat lagi sosok itu. Kini berada tepat di belakang tubuh suaminya, bahkan menyeringai dengan senyuman yang sangat menyeramkan. Mata Ratih mendelik, napasnya berderu dengan sangat kencang. 

“I-itu, di be-belakang kamu!” pekiknya terbata-bata dengan keringat dingin mengucur di tubuh.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status