“Kamu sadar, nggak? Banyak hal keberuntungan bagi mereka,” ujar seorang Ibu yang masih memotong padi. Tidak lama, pekerja lain datang berbisik di sampingnya, wajahnya tidak begitu Ratih kenal.
“Kamu nggak curiga?” tanya pria itu.
Ratih menatapnya dengan mengernyitkan dahi. Ratih merasa, pria itu ingin memprovokasi para warga yang bekerja padanya. Bahkan, walau semua yang dia katakan saat ini juga melanda Ratih. Perasaan penuh curiga dan gelisah yang menghantui hari-harinya. Sampai sebuah pernyataan yang menjadi kegelisahannya bertambah, suara sumbang dari warga yang menanggapi pria tersebut.
“Jangan-jangan dia melakukan hal yang mistis,” ujarnya.Membuat mata Ratih mendelik, wanita itu sadar saat melihat tatapan Ratih yang menunduk ketakutan, merasa secara tidak langsung menyinggung Ratih.
“Waduh, aku nggak sadar kalo ada Nyonya besar. Gimana ini?” Dia memegang tangan temannya karena panik.
“Bahaya, inget jasad Juragan Suwandi!”
Terasa di mata Ratih mereka saling menelan saliva saat menyebut nama Juragan Suwandi. Begitu juga Ratih, menelan saliva seketika itu juga dan menyuruh Bagas bergegas menuju tempat emas itu ditemukan.
Ratih takut kalau saja yang digunjingkan pekerjanya itu benar, bahkan Ratih takut rumor buruk akan semakin beredar. Walau semua keraguannya itu belum bisa dia buktikan, tapi desas-desus yang beredar berbahaya jika terdengar di telinga Bagas, Ratih teringat pesan Bagas sebelumnya.
“Ayo mas, buruan!” ajak Ratih yang menarik tangan suaminya.
“Lah kok jadi semangat, Tih? Tapi, mas senang lihat kamu yang semangat tidak seperti biasanya.”
Ratih hanya melempar senyum palsu di hadapan suaminya. Sedangkan di balik tubuhnya, keringat dingin sebutir jagung mulai jatuh satu per satu membasahi tubuhnya.
“Semua emas ini milik saya, kalian dengar itu!” teriak Bagas di tengah-tengah warga yang penasaran.
“Inilah penyebab kenapa lahan saya sempat tidak subur selama ini,” lanjutnya. Pernyataan itu sengaja dia ungkapkan untuk membungkam rasa penasaran warga desa.
Ratih yang mendengar juga mengembuskan napas lega. Walau perasaan yang menakutkan masih menghantuinya, bahkan ketika hari menjelang magrib.
“Mas, kita harus pulang sekarang. Matahari udah mau tenggelam. Sebentar lagi magrib, mereka juga mungkin mau beristirahat,” ucap Ratih lembut.
Bagas tersenyum melihat istrinya berbicara seolah tidak ada kekhawatiran mendalam lagi. Dia segera menyuruh semua pekerja dan warga pulang, Bagas tidak lupa memberikan mereka uang untuk dibawa pulang serta beberapa makanan. Sebab itulah mereka semua senang bekerja di tempat Bagas.
Malam harinya, Ratih terbangun dengan jantung berdegup kencang. Mimpi buruk yang mencekam membuatnya tidak nyaman.
“Mas, Bagas?” panggilnya, suaranya gemetar. Tak ada jawaban.
Ratih mulai merasakan ada sesuatu yang mengawasinya dalam kegelapan. Suara aneh, seperti bisikan atau langkah kaki samar, terdengar dari arah dapur. Pintu kamar berderit. Bagas masuk dengan langkah tenang.
“Maaf, aku terlambat. Ada urusan di ladang,” katanya, mengabaikan wajah pucat Ratih.
“Mas ... aku takut. Mungkin kita harus panggil orang untuk memeriksa rumah ini.”
Bagas tertawa kecil. “Ratih, itu cuma perasaan kamu aja! Jangan terlalu cemas!” serunya tajam.
Namun, Ratih semakin gelisah. Suara-suara aneh itu terus menghantui tiap malam. Kadang, dia merasa ada sesuatu yang mendekatinya, sesuatu yang menakutkan.
“Mas ... aku benar-benar takut. Seperti ada yang menyentuhku saat aku tidur,” cerita Ratih dengan mata berkaca-kaca.
“Udahlah, itu cuma perasaan kamu doang! Sudah malem, aku mau tidur.” Bagas memotongnya, masuk ke kamar tanpa mempedulikan perasaan istrinya.
Ratih duduk termenung, memeluk dirinya sendiri. Suaminya kini terasa asing. Bahkan saat Ratih mengeluh, biasa Bagas sangat peduli padanya.
‘Mas, kamu kenapa sih berubah?’ keluh Ratih di dalam hati, sampai dia melihat sosok hitam besar dengan bulu di sekujur badannya, menatapnya tajam.
Gigi runcing dengan tetesan lendir yang bercampur warna merah menyeringai ke arahnya. Sambil bersuara, “Aku akan selalu bersamamu!” Lengkingan suara berat dan diikuti tawa seperti monster membuat tubuh Ratih bergetar ketakutan.
Dia langsung menarik selimut menutup tubuhnya penuh. Bagas terbangun dari tidurnya, merasa Ratih teriak ketakutan. Dia mencoba membangunkan dan membuka selimut yang menutup penuh tubuh Ratih.
“Tih, Ratih!” Bagas mengguncang tubuh Ratih, bahkan memaksa Ratih membuka mata.
“Kamu kenapa, sih?!” bentak Bagas yang membuat Ratih menangis.
Bahkan Ratih hanya memeluk dan menunjuk ke arah depannya. Bagas melihat ke arah itu, tetapi tidak ada apapun di sana.
“Kamu hanya berhalusinasi,” ujar Bagas.
Ratih membuka mata dan menelan saliva, kali ini dia melihat lagi sosok itu. Kini berada tepat di belakang tubuh suaminya, bahkan menyeringai dengan senyuman yang sangat menyeramkan. Mata Ratih mendelik, napasnya berderu dengan sangat kencang.
“I-itu, di be-belakang kamu!” pekiknya terbata-bata dengan keringat dingin mengucur di tubuh.
"Ratih, hentikan halusinasimu!" Bagas membentak, suaranya terdengar marah, seolah-olah menyembunyikan sesuatu.Ratih gemetar, memeluk tubuhnya erat-erat, berusaha menenangkan diri meski ketakutan melingkupinya."Mas ... aku nggak bohong! Aku lihat sesuatu, aku ... aku nggak mungkin salah! Itu tadi ada di belakangmu, Mas!" suaranya bergetar, nyaris tidak terdengar.Bagas menggelengkan kepala, berusaha menenangkan Ratih. "Udahlah! Itu cuma perasaanmu. Kamu terlalu stres, Tih. Tidur aja, jangan dipikirkan!"Namun, Ratih tetap tidak bisa menutup mata. Perasaan bahwa ada sesuatu yang mengintai setiap gerakannya membuatnya tetap terjaga.'Apa ini? Kenapa aku merasa tubuhku disentuh bukan oleh suamiku? Kenapa Mas Bagas selalu terasa berbeda tiap malam?' pikir Ratih dalam kebingungan.Beberapa detik berlalu dalam keheningan yang menyesakkan. Bagas kembali mencoba tidur, tetapi waktu terasa berjalan sangat lambat bagi Ratih. Dia terus mengawasi setiap sudut kamar dengan ketegangan yang semakin
"Mas! Ini sarapannya," panggil Ratih sambil menata makanan di meja, menyiapkan hidangan mewah untuk suaminya.Bagas menoleh, menatap Ratih yang tampak lebih rapi dan berdandan dari biasanya. "Mau ke mana, Tih? Tumben rapi?" tanyanya, nada curiga tersirat dalam suaranya."Ehm! I—Ini Mas, anu ... Ehm!" Ratih tergagap, berusaha menjawab tapi suaranya tersendat-sendat karena gugup.Bagas menggelengkan kepala, sedikit mendengus. "Haduh, udah-udah! Kamu ini, semakin hari makin aneh saja," sahutnya sambil mulai menyantap makanannya.Ratih hanya diam, menyaksikan suaminya yang lahap memakan daging setengah matang di piringnya. Aroma daging itu membuat perut Ratih terasa mual. Makanan itu bukanlah sesuatu yang biasanya mereka makan sehari-hari. Namun, belakangan makanan agak mentah menjadi kesukaan Bagas.'Bukannya kamu yang hari demi hari makin aneh, Mas!' batin Ratih dengan getir, tapi dia menahan kata-kata itu dalam hati.Ratih terus memandangi Bagas yang tampak berbeda, seolah sedang meni
Saat membuka kantung itu, petani tercengang dengan kilauan emas di genggamannya. "Ju—Juragan! Ju—Juragan ini buat saya?" tanyanya bergetar."Ya. Itu buatmu, hanya 2 koin emas aja aku kasih," kata Bagas sambil bertolak pinggang."I—Ini udah sangat banyak Juragan! Terima kasih ... Terima kasih!" balas petani sambil sujud di hadapan Bagas. "Udah hentikan!" Bagas melirik dengan tajam. "Nanti, anak buahku akan antar beras dan sayur ke rumahmu, jadi kamu tidak kelaparan lagi," lanjutnya berbicara."Alhamdulillah, terima kasih juragan! Terima kasih banyak!" Petani itu semakin bersujud di hadapan Bagas. Saat petani bersujud syukur pada Bagas, Ratih muncul melihat pandangan yang berbeda. "Ada apa, Mas?" tanyanya heran."Nggak ada apa-apa?" balas singkat sambil memalingkan badannya."Juragan Ratih! Saya pamit pulang, terima kasih!" ucapnya lalu pergi. Ratih menyusul Bagas yang masuk ke dalam rumah. Melihat Bagas duduk di ruang tamu sambil menggenggam handphone. Di ujung telepon dia berbica
"Ratih! Tih! Bangun!" Teriakan Bagas menggema di dapur. Tangannya mengguncang tubuh istrinya yang tergeletak lemah di lantai dingin.Mata Ratih perlahan terbuka, tapi terasa berat. Bayangan wajah suaminya terlihat samar di atasnya."Mas ... Mas Bagas? Itu kamu?" rintihnya dengan suara serak, tubuhnya terasa kaku."Iya, ini aku! Cepat bangun! Ini udah pagi. Ngapain kamu tidur di dapur kayak orang nggak waras!" Bagas mendengus kesal, nada suaranya keras.Ratih menggigil, entah karena dingin atau ketakutan. Dia mencoba berdiri, tapi tubuhnya terasa limbung, hampir jatuh lagi. Dengan susah payah, dia meraih meja untuk menopang dirinya.Tanpa berkata-kata, Ratih berjalan sempoyongan menuju kamar mandi. Saat melihat cermin, pandangannya langsung terpaku.Di wajahnya, di leher, dan di lengannya tampak memar-memar ungu kehitaman. Pergelangan tangannya penuh cap jari besar, seakan-akan telah dicengkeram dengan kekuatan luar biasa. Nafasnya tersengal, jantungnya berdegup kencang."I—ini apa? Ap
"Mas, nggak ikut ngelayat ke rumah Bu Sunar?" tanya Ratih pelan sambil melepas selendang yang dikenakannya. Dia baru saja pulang dari pemakaman, tetapi pemandangan di ruang tamu membuat langkahnya terhenti. Di depan meja kecil, Bagas sedang meletakkan kemenyan dan menyalakan dupa."Untuk apa? Kalau udah mati, ya mati aja," jawab Bagas datar tanpa sedikit pun menoleh. Suaranya dingin, tanpa empati.Ratih terpaku. Perasaan takut bercampur bingung menyelimutinya. 'Sejak kapan Mas Bagas berubah seperti ini?' pikirnya. Perlahan, dia mencoba memberanikan diri."Mas ... dupa itu untuk apa? Mas sebenarnya melakukan apa, sih?" tanyanya, mencoba terdengar setenang mungkin meskipun suaranya bergetar.Tangan Bagas, yang tengah sibuk menyiapkan dupa, berhenti seketika. Dia mengangkat wajahnya perlahan, menatap Ratih dengan pandangan tajam yang membuat nyalinya ciut."Ratih, jangan ikut campur urusan ini!" suaranya rendah, tetapi penuh ancaman.Namun, Ratih tidak menyerah. Rasa takutnya kalah oleh
'Mas Bagas? Apa di hadapanku ini benar Mas Bagas? Kenapa sentuhannya berbeda?'Ratih menggigil dalam batinnya. Tubuhnya terasa berat, tidak bisa digerakkan sama sekali. Semakin dia berusaha melawan, semakin kuat cengkeraman itu mencengkeramnya, membuatnya seperti terjebak dalam sesuatu yang gelap dan dingin.'Kalau dia bukan Mas Bagas, lalu siapa? Mas Bagas, tolong aku!'Ratih mencoba meronta dalam pikirannya, tapi sia-sia. Tubuhnya terasa kaku dan tidak bertenaga. Samar-samar, matanya menangkap bayangan seseorang di atasnya. Sosok itu hanya diam, tidak mengucapkan sepatah kata pun.Ratih memicingkan mata, mencoba menjernihkan pandangan. Sekilas, wajah di hadapannya memang mirip dengan Bagas, suaminya. Tapi ketika dia berkedip beberapa saat, wajah itu berubah—menjadi sesuatu yang menyeramkan.'Mas Bagas! Aku nggak bisa!' rintihnya pelan, napasnya tersengal.Perasaan itu kembali datang, rasa yang familiar tapi juga mengerikan. Tubuhnya terasa sakit, berat, dan dipaksa tunduk pada kehen
Bagas terdiam, mencoba mencerna kata-kata Ratih. Wajah istrinya yang basah oleh air mata menambah beban di dadanya."Lalu, aku ... aku terbangun dengan darah ini. Tapi aku nggak tau dari mana darah ini datang," suara Ratih makin kecil, terputus-putus karena tangis.Bagas mendekat, mengelus kepala istrinya pelan. "Udah, yang penting sekarang kamu aman. Jangan takut, aku di sini."Namun, seolah tidak ingin memberikan ketenangan, lampu kamar tiba-tiba berkedip-kedip. Ratih menoleh cepat ke arah lampu, napasnya kembali memburu."Mas ... kenapa lampunya kayak gitu?" tanyanya dengan suara bergetar.Bagas menghela napas panjang, mencoba tetap tenang. "Mungkin ada korsleting. Kamu tunggu di sini, aku cek dulu ke depan.""Jangan pergi, Mas! Jangan tinggalin aku sendirian!" Ratih memegang lengan Bagas erat-erat, matanya memohon.Bagas tersenyum kecil, berusaha menenangkannya. "Aku cuma sebentar, Ratih. Nggak akan lama."Dengan berat hati, Ratih melepas pegangannya. Bagas berjalan keluar kamar,
Bagas mundur selangkah, matanya berkaca-kaca. "Jangan! Jangan sentuh dia! Aku akan lakukan apa aja, tapi jangan dia! Kamu udah cukup menyentuhnya malam ini!"Makhluk itu mendekat, langkahnya berat dan menyeret, seolah sengaja menciptakan suara yang menakutkan."Oh, kamu akan melakukannya? Bagus, Maka bawakan aku darah segar. Satu jiwa lagi, Bagas. Lalu kamu akan merasakan ketenangan—untuk sementara. Tapi ingat ... aku nggak pernah kenyang. Nggak pernah puas."Bagas menggelengkan kepalanya dengan panik. "Berapa lama aku harus melayani ini? Sampai kapan?! Aku nggak sanggup lagi!""Kamu sudah memilih jalan ini, Bagas. Jalan yang nggak ada akhirnya. Penyesalanmu hanya akan memperburuk segalanya. Malam ini, aku menunggumu membawa korbanmu. Jangan membuatku kecewa."Lampu di kamar kembali berkedip-kedip, disertai dengan tawa berat yang bergema. Bayangan makhluk itu perlahan memudar, meninggalkan Bagas yang terjatuh lemas di lantai. Tubuhnya gem
Bagas memandang jimat di tangannya. “Hancurkan?” pikirnya dalam hati. Sebuah ide gila muncul dalam benaknya. Jika jimat ini dihancurkan, mungkin semua perjanjian akan berakhir. Namun, dia tahu risikonya—bisa saja hidupnya berakhir seketika.Genderuwo tertawa keras, suaranya menggema di seluruh ruangan. “Kamu tak punya keberanian untuk itu, Bagas! Kamu terlalu lemah!”“Diam!” Bagas berteriak, menggenggam jimat itu erat-erat. Pikirannya berkecamuk. Jika ini satu-satunya cara untuk menyelamatkan Ratih, maka dia harus melakukannya.“Lebih baik aku hancur, daripada kehilangan dia!” teriak Bagas. Dengan sisa tenaga dan keberanian, dia melempar jimat itu ke lantai, lalu menginjaknya dengan sekuat tenaga.“Tidakkkk!” suara Genderuwo melengking, bersamaan dengan jimat yang pecah berkeping-keping. Hawa panas menyembur dari retakan lantai, dan sosok Genderuwo itu mulai bergetar, tubuhnya terdistorsi seperti asap yang terbakar.Bagas jatuh terduduk,
"Bagas, jangan biarkan jimat itu rusak atau ditemukan. Kalau terjadi, aku akan mengambil semuanya, termasuk dia."Suara itu menggema, berat dan mengerikan, memenuhi setiap sudut mimpi Bagas. Dalam kegelapan pekat, sosok Genderuwo berdiri menjulang.Genderowo mendekat dengan langkah berat yang mengguncang tanah, menciptakan retakan di bawah kaki Bagas.Bagas mundur perlahan, tubuhnya gemetar. “Nggak ... tolong jangan ambil dia! Jangan ambil Ratih!” teriaknya, suaranya pecah penuh ketakutan.“Aku sudah peringatkan berapa kali jangan rusak perjanjianmu, Bagas. Atau semuanya akan lenyap.” Genderuwo menyeringai, menunjukkan gigi-gigi tajamnya yang mengerikan. Suaranya terdengar seperti geraman seekor binatang buas.Sebelum Bagas sempat menjawab, sosok itu tiba-tiba melompat ke arahnya, menerkam dengan cakar besar. Bagas terbangun dengan teriakan keras, tubuhnya basah oleh keringat.Tak lama dia terbangun dari mimpi itu. "Hah! Mimpi be
“Aku tau,” kata Ratih pelan tapi tegas. “Aku tau ada harga yang harus dibayar. Tapi aku juga tau kalau kita tetap di jalan ini, harga yang kita bayar akan jauh lebih besar. Bahkan mungkin nyawa mu sendiri akan jadi bayarannya.”Suasana hening menyelimuti mereka. Ratih tahu perjuangannya tidak akan mudah. Bagas sudah terjerat dalam janji kekuatan gelap.Namun, Ratih tidak ingin menyerah. Dia teringat pesan Kyai Ahmad. "Kekuatan itu akan terus menuntut, hingga segalanya hancur."Bagas merasa terpojok. Dia menyadari bahwa Ratih benar, tapi ketakutannya lebih besar. Dia takut kehilangan segalanya. Kekayaan, status, bahkan nyawanya.“Aku cuma butuh waktu, Ratih,” kata Bagas akhirnya, suaranya melembut. “Berikan aku waktu untuk memikirkan semua ini.”Ratih menggeleng, ekspresinya tegas. “Aku rasa waktu yang kamu punya udah lebih dari cukup, Mas. Bahkan kamu udah menipu aku dengan amarahmu itu!”Bagas terdiam. Sorot matanya berubah, men
"Argh! Aku harus bicara dengan Mas Bagas!" Ratih bangkit dari duduknya, bersiap pulang ke rumah Bagas. Dia ingin suaminya sadar atas semua kesalahannya. Ratih tinggal di kontrakan, jauh dari rumah itu. Namun, setiap hari dia dihantui oleh bayangan Genderuwo. Desas-desus tentang Bagas terdengar di mana-mana. Warga sering membicarakan suaminya dengan nada sinis. Ratih hanya diam, tidak pernah menjawab. Ratih merasa iba dan kasihan pada Bagas. Jika terbongkar, Bagas bisa diusir dari desa. Bahkan, mungkin hal buruk lainnya akan terjadi. Tok! Tok! Ratih mengetuk pintu rumah sedikit keras. Pintu itu tidak terkunci, sehingga terbuka perlahan dengan sendirinya. "Mas Bagas!" panggil Ratih lembut. Tidak ada jawaban. Suasana di dalam rumah terasa sunyi dan dingin. Ratih melangkah ke kamar, tempat dia mendapati Bagas duduk di samping ranjang. Tubuhnya membungkuk, kedua tangan memegang lutut, seola
"Juragan! Ada orang dari kota mencari Juragan!" seru salah satu pekerja dengan wajah panik.Bagas segera bergegas ke ladang. Di sana, seorang pria paruh baya berpakaian rapi berdiri dengan tangan bertumpu di pinggang, ekspresinya tegas."Anda mencari saya?" tanya Bagas dari belakang, suaranya berat namun penasaran.Pria itu berbalik. "Oh, kamu Bagas?""Ya, benar. Ada apa?" Bagas merasakan firasat buruk menjalar di dadanya.Pria itu menarik napas panjang sebelum berkata, "Saya hanya ingin memberitahu, mulai hari ini ... kami menghentikan pembelian sayur dan beras dari ladangmu."Bagas terdiam sejenak, seolah waktu berhenti. Kata-kata itu menghantamnya seperti batu besar. Dengan nada tinggi, dia membalas, "Kenapa, Pak? Apakah hasil panen saya kurang baik?"Pria itu menatapnya dengan dingin. "Ya, benar. Kualitasnya buruk sekali."Bagas tidak percaya dengan apa yang didengarnya. "Tapi selama ini semuanya baik-baik saja, kan? Apa ada masalah baru?" tanyanya tak terima.Tanpa berkata banyak
"Aku harus kasih tahu warga!"Seorang petani yang baru saja menyelesaikan pekerjaannya di ladang Bagas melangkah cepat menjauh dari rumah Bagas. Keringat bercucuran di wajahnya, bukan karena lelah, tetapi karena rasa takut yang menghantuinya. Petani itu berasal dari desa seberang, cukup jauh dari Desa Karang Jati, namun malam ini dia menyaksikan sesuatu yang membuat bulu kuduknya berdiri.Bruk!Tak sengaja, beberapa gentong air yang berada di dekatnya terjatuh. Suara keras itu memecah kesunyian malam. Seketika, jantung petani itu berdetak kencang, lebih cepat dari sebelumnya. Dia mendengar suara Bagas dari dalam rumah."Siapa itu?!" teriak Bagas dengan nada curiga.Petani itu panik. Dengan cepat, dia bersembunyi di bawah tumpukan karung goni di samping gudang kecil yang ada di dekat rumah Bagas. Nafasnya berat, dan tangannya gemetar. Dia memejamkan mata, berharap kehadirannya tidak terendus.“Huff, aku nggak boleh ketahuan!” gumamnya pelan, berusaha menenangkan dirinya sendiri.Namu
“Panas… Panas!”Bagas terus mengguyur tubuhnya dengan air dingin dari ember. Namun, rasa terbakar itu tidak kunjung hilang. Kulitnya merah seperti habis dijilat api. Napasnya tersengal-sengal, keringat bercucuran di antara siraman air. Tapi ini bukan hanya panas fisik, melainkan ketakutan yang merayap di benaknya.Dia tahu, apa yang dia lakukan tadi telah membuka pintu bahaya yang lebih besar. Genderuwo itu tidak akan pernah puas—tidak sampai mendapatkan apa yang telah dijanjikan."Aku yakin … pasti ada yang tolong Ratih!" gumamnya penuh amarah. Matanya merah menatap bayangan dirinya di air.Tiba-tiba, suara berat dan serak terdengar di belakangnya.“Bagas … Kamu telah lama tidak memberikan aku persyaratan itu.”Suara itu seperti gemuruh, membuat tubuh Bagas gemetar. Dia menoleh cepat, dan di sana berdiri sosok besar dengan tubuh berbulu hitam legam, mata merah menyala seperti bara api. Genderuwo itu melangkah mendekat, setiap langkahnya mengguncang lantai kayu rumah.“T—tunggu! Beri
"Astaga, kamu siapa?!" Ratih terkejut melihat sosok anak kecil di depannya. Tubuh anak itu dipenuhi bulu tebal, pendek, namun matanya menyala merah seperti bara api. Senyumnya lebar, terlalu lebar untuk wajahnya yang kecil.Ratih mundur dengan napas tersengal, tapi sebelum dia bisa berkata lebih banyak, sosok itu mendekat dengan langkah lambat, tangannya terulur ke arah Ratih.Seketika, Ratih tersentak bangun. Napasnya memburu, keringat dingin membasahi wajahnya. Dia memegang dadanya yang berdegup kencang, mencoba mengatur pernapasannya."Astagfirullah... aku tadi mimpi?" gumamnya, suaranya terdengar gemetar. Dia mengusap wajahnya dengan tangan yang masih bergetar, berharap bisa menghapus sisa ketakutan dari mimpi buruknya.Ratih duduk di tepi tempat tidurnya, mencoba menenangkan diri. Tapi perasaan tidak nyaman itu belum hilang. Seolah bayangan mimpi tadi masih menempel di pikirannya.Dia bangkit perlahan, berjalan menuju jendela kamar. Langit sudah gelap, hanya diterangi oleh bulan
“Anakku… Kenapa begini!”Ratih terhenti. Suara itu terdengar dekat, dipenuhi kesedihan yang mendalam. Dia menoleh ke kanan dan ke kiri, mencoba mencari sumber suara. Di kejauhan, dia melihat bayangan seorang wanita yang duduk di tanah. Wanita itu menangis tersedu, tubuhnya berguncang, sementara di pelukannya ada sosok kecil yang tampak tak bergerak.Hati Ratih berdebar. Dia ragu untuk mendekat, tapi langkah kakinya seolah bergerak sendiri.“Bu, kenapa?” tanyanya dengan suara pelan, nyaris berbisik.Wanita itu tidak menjawab. Tangisannya semakin keras, seperti membelah keheningan malam. Ratih mencoba lebih dekat, tapi setiap kali dia melangkah, jaraknya tetap sama. Seolah-olah hutan itu tidak ingin dia mencapai wanita itu.Ratih mencoba lagi. “Bu, saya bisa bantu. Apa yang terjadi dengan anakmu?”Namun, wanita itu hanya menggeleng, masih menangis tersedu. “Dia… anakku… aku tidak bisa melindunginya…”Ratih tertegun. Ada rasa sakit yang begitu kuat dalam suara itu, seperti sebuah luka y