“Kamu sadar, nggak? Banyak hal keberuntungan bagi mereka,” ujar seorang Ibu yang masih memotong padi. Tidak lama, pekerja lain datang berbisik di sampingnya, wajahnya tidak begitu Ratih kenal.
“Kamu nggak curiga?” tanya pria itu.
Ratih menatapnya dengan mengernyitkan dahi. Ratih merasa, pria itu ingin memprovokasi para warga yang bekerja padanya. Bahkan, walau semua yang dia katakan saat ini juga melanda Ratih. Perasaan penuh curiga dan gelisah yang menghantui hari-harinya. Sampai sebuah pernyataan yang menjadi kegelisahannya bertambah, suara sumbang dari warga yang menanggapi pria tersebut.
“Jangan-jangan dia melakukan hal yang mistis,” ujarnya.Membuat mata Ratih mendelik, wanita itu sadar saat melihat tatapan Ratih yang menunduk ketakutan, merasa secara tidak langsung menyinggung Ratih.
“Waduh, aku nggak sadar kalo ada Nyonya besar. Gimana ini?” Dia memegang tangan temannya karena panik.
“Bahaya, inget jasad Juragan Suwandi!”
Terasa di mata Ratih mereka saling menelan saliva saat menyebut nama Juragan Suwandi. Begitu juga Ratih, menelan saliva seketika itu juga dan menyuruh Bagas bergegas menuju tempat emas itu ditemukan.
Ratih takut kalau saja yang digunjingkan pekerjanya itu benar, bahkan Ratih takut rumor buruk akan semakin beredar. Walau semua keraguannya itu belum bisa dia buktikan, tapi desas-desus yang beredar berbahaya jika terdengar di telinga Bagas, Ratih teringat pesan Bagas sebelumnya.
“Ayo mas, buruan!” ajak Ratih yang menarik tangan suaminya.
“Lah kok jadi semangat, Tih? Tapi, mas senang lihat kamu yang semangat tidak seperti biasanya.”
Ratih hanya melempar senyum palsu di hadapan suaminya. Sedangkan di balik tubuhnya, keringat dingin sebutir jagung mulai jatuh satu per satu membasahi tubuhnya.
“Semua emas ini milik saya, kalian dengar itu!” teriak Bagas di tengah-tengah warga yang penasaran.
“Inilah penyebab kenapa lahan saya sempat tidak subur selama ini,” lanjutnya. Pernyataan itu sengaja dia ungkapkan untuk membungkam rasa penasaran warga desa.
Ratih yang mendengar juga mengembuskan napas lega. Walau perasaan yang menakutkan masih menghantuinya, bahkan ketika hari menjelang magrib.
“Mas, kita harus pulang sekarang. Matahari udah mau tenggelam. Sebentar lagi magrib, mereka juga mungkin mau beristirahat,” ucap Ratih lembut.
Bagas tersenyum melihat istrinya berbicara seolah tidak ada kekhawatiran mendalam lagi. Dia segera menyuruh semua pekerja dan warga pulang, Bagas tidak lupa memberikan mereka uang untuk dibawa pulang serta beberapa makanan. Sebab itulah mereka semua senang bekerja di tempat Bagas.
Malam harinya, Ratih terbangun dengan jantung berdegup kencang. Mimpi buruk yang mencekam membuatnya tidak nyaman.
“Mas, Bagas?” panggilnya, suaranya gemetar. Tak ada jawaban.
Ratih mulai merasakan ada sesuatu yang mengawasinya dalam kegelapan. Suara aneh, seperti bisikan atau langkah kaki samar, terdengar dari arah dapur. Pintu kamar berderit. Bagas masuk dengan langkah tenang.
“Maaf, aku terlambat. Ada urusan di ladang,” katanya, mengabaikan wajah pucat Ratih.
“Mas ... aku takut. Mungkin kita harus panggil orang untuk memeriksa rumah ini.”
Bagas tertawa kecil. “Ratih, itu cuma perasaan kamu aja! Jangan terlalu cemas!” serunya tajam.
Namun, Ratih semakin gelisah. Suara-suara aneh itu terus menghantui tiap malam. Kadang, dia merasa ada sesuatu yang mendekatinya, sesuatu yang menakutkan.
“Mas ... aku benar-benar takut. Seperti ada yang menyentuhku saat aku tidur,” cerita Ratih dengan mata berkaca-kaca.
“Udahlah, itu cuma perasaan kamu doang! Sudah malem, aku mau tidur.” Bagas memotongnya, masuk ke kamar tanpa mempedulikan perasaan istrinya.
Ratih duduk termenung, memeluk dirinya sendiri. Suaminya kini terasa asing. Bahkan saat Ratih mengeluh, biasa Bagas sangat peduli padanya.
‘Mas, kamu kenapa sih berubah?’ keluh Ratih di dalam hati, sampai dia melihat sosok hitam besar dengan bulu di sekujur badannya, menatapnya tajam.
Gigi runcing dengan tetesan lendir yang bercampur warna merah menyeringai ke arahnya. Sambil bersuara, “Aku akan selalu bersamamu!” Lengkingan suara berat dan diikuti tawa seperti monster membuat tubuh Ratih bergetar ketakutan.
Dia langsung menarik selimut menutup tubuhnya penuh. Bagas terbangun dari tidurnya, merasa Ratih teriak ketakutan. Dia mencoba membangunkan dan membuka selimut yang menutup penuh tubuh Ratih.
“Tih, Ratih!” Bagas mengguncang tubuh Ratih, bahkan memaksa Ratih membuka mata.
“Kamu kenapa, sih?!” bentak Bagas yang membuat Ratih menangis.
Bahkan Ratih hanya memeluk dan menunjuk ke arah depannya. Bagas melihat ke arah itu, tetapi tidak ada apapun di sana.
“Kamu hanya berhalusinasi,” ujar Bagas.
Ratih membuka mata dan menelan saliva, kali ini dia melihat lagi sosok itu. Kini berada tepat di belakang tubuh suaminya, bahkan menyeringai dengan senyuman yang sangat menyeramkan. Mata Ratih mendelik, napasnya berderu dengan sangat kencang.
“I-itu, di be-belakang kamu!” pekiknya terbata-bata dengan keringat dingin mengucur di tubuh.
"Ratih, hentikan halusinasimu!" Bagas membentak, suaranya terdengar marah, seolah-olah menyembunyikan sesuatu.Ratih gemetar, memeluk tubuhnya erat-erat, berusaha menenangkan diri meski ketakutan melingkupinya."Mas ... aku nggak bohong! Aku lihat sesuatu, aku ... aku nggak mungkin salah! Itu tadi ada di belakangmu, Mas!" suaranya bergetar, nyaris tidak terdengar.Bagas menggelengkan kepala, berusaha menenangkan Ratih. "Udahlah! Itu cuma perasaanmu. Kamu terlalu stres, Tih. Tidur aja, jangan dipikirkan!"Namun, Ratih tetap tidak bisa menutup mata. Perasaan bahwa ada sesuatu yang mengintai setiap gerakannya membuatnya tetap terjaga.'Apa ini? Kenapa aku merasa tubuhku disentuh bukan oleh suamiku? Kenapa Mas Bagas selalu terasa berbeda tiap malam?' pikir Ratih dalam kebingungan.Beberapa detik berlalu dalam keheningan yang menyesakkan. Bagas kembali mencoba tidur, tetapi waktu terasa berjalan sangat lambat bagi Ratih. Dia terus mengawasi setiap sudut kamar dengan ketegangan yang semakin
"Mas! Ini sarapannya," panggil Ratih sambil menata makanan di meja, menyiapkan hidangan mewah untuk suaminya.Bagas menoleh, menatap Ratih yang tampak lebih rapi dan berdandan dari biasanya. "Mau ke mana, Tih? Tumben rapi?" tanyanya, nada curiga tersirat dalam suaranya."Ehm! I—Ini Mas, anu ... Ehm!" Ratih tergagap, berusaha menjawab tapi suaranya tersendat-sendat karena gugup.Bagas menggelengkan kepala, sedikit mendengus. "Haduh, udah-udah! Kamu ini, semakin hari makin aneh saja," sahutnya sambil mulai menyantap makanannya.Ratih hanya diam, menyaksikan suaminya yang lahap memakan daging setengah matang di piringnya. Aroma daging itu membuat perut Ratih terasa mual. Makanan itu bukanlah sesuatu yang biasanya mereka makan sehari-hari. Namun, belakangan makanan agak mentah menjadi kesukaan Bagas.'Bukannya kamu yang hari demi hari makin aneh, Mas!' batin Ratih dengan getir, tapi dia menahan kata-kata itu dalam hati.Ratih terus memandangi Bagas yang tampak berbeda, seolah sedang meni
Saat membuka kantung itu, petani tercengang dengan kilauan emas di genggamannya. "Ju—Juragan! Ju—Juragan ini buat saya?" tanyanya bergetar."Ya. Itu buatmu, hanya 2 koin emas aja aku kasih," kata Bagas sambil bertolak pinggang."I—Ini udah sangat banyak Juragan! Terima kasih ... Terima kasih!" balas petani sambil sujud di hadapan Bagas. "Udah hentikan!" Bagas melirik dengan tajam. "Nanti, anak buahku akan antar beras dan sayur ke rumahmu, jadi kamu tidak kelaparan lagi," lanjutnya berbicara."Alhamdulillah, terima kasih juragan! Terima kasih banyak!" Petani itu semakin bersujud di hadapan Bagas. Saat petani bersujud syukur pada Bagas, Ratih muncul melihat pandangan yang berbeda. "Ada apa, Mas?" tanyanya heran."Nggak ada apa-apa?" balas singkat sambil memalingkan badannya."Juragan Ratih! Saya pamit pulang, terima kasih!" ucapnya lalu pergi. Ratih menyusul Bagas yang masuk ke dalam rumah. Melihat Bagas duduk di ruang tamu sambil menggenggam handphone. Di ujung telepon dia berbica
Brak!Pintu kayu rapuh ditendang oleh seseorang. Muncul pria berbadan besar bersama anak buahnya.“Bagas, bayar utang kamu sekarang! Ayo cepetan!” teriak si pria yang tidak lain adalah Juragan Suwandi, seorang rentenir di Desa Karang Jati.Bagas dan Ratihーistrinya, terkejut. Mereka meletakkan piring menyudahi sarapannya. Keduanya segera berdiri dengan gugup dan ketakutan. Bagas berlutut. Memohon belas kasih Juragan Suwandi, “Maaf, Juragan. Saya belum bisa bayar. Saya belum ada uang."Ekspresi Suwandi kelam. “Ah! Yang benar aja! Kamu udah menunggak 8 bulan. Bunganya udah membengkak. Gimana sih kamu, Bagas?!” "Usaha saya sepi, Juragan," kata Bagas, memberikan alasan. "Ladang saya gersang dan Istri saya lagi sakit. Mohon maaf Juragan," lanjutnya, berbicara.Suwandi semakin naik pitam saat Bagas mulai beralasan lagi. Suwandi menggosok-gosok ujung hidung. “Kamu selalu aja alasan. Kamu pikir, saya ini ngasih uang dengan cuma-cuma?!"Suwandi menatap anak buahnya. "Hei, kalian! Cepet ambi
Malam harinya, Bagas tidak bisa tidur. Dia berbaring di samping Ratih yang sudah tertidur. Dia terus mengingat perkataan Damar pagi tadi. Solusi pesugihan yang Damar tawarkan memang menggoda sekaligus menakutkan.Bagas tahu, jika dia mengambil jalan pesugihan, itu artinya dia harus siap menanggung segala konsekuensinya. Dia ketakutan. Namun detik berikutnya, keinginan memberikan kehidupan layak untuk Ratih membuatnya yakin akan pesugihan itu. Bagas bangun, lalu berjalan ke arah jendela. Dia mengamati langit malam. "Malam ini, malam bulan purnama," katanya, pelan.Bagas tersenyum tipis. Dia telah mengambil keputusan. Setelah berganti pakaian, Bagas membuka pintu kamar dengan sangat hati-hati. Dengan cepat, dia sudah berada di luar rumah. Bagas berjalan menembus malam menuju hutan di sisi utara desa, mengikuti petunjuk yang diberikan Damar. Jalanan yang gelap tidak menyurutkan tekadnya. Ketika Bagas sampai di tengah hutan, dia menemukan sebuah pohon besar dengan akar menjuntai.Baga
“Genderuwo? Apa yang harus saya lakukan untuk mendapatkan kekayaan darinya?” Kata Genderuwo membuat Bagas merinding. Dia pernah mendengar cerita mengerikan tentang makhluk itu. Namun, desakan utang dan himpitan hidup kemiskinan membuatnya penasaran. Ki Praja menatap Bagas dengan serius. “Genderuwo bisa memberikan kamu kekayaan tanpa batas. Tapi sebagai harganya, dia menuntut seorang perempuan menemaninya setiap malam.""Perempuan?" Bagas tidak mengerti. "Saya akan mencari perempuan itu secepatnya, Pak."Ki Praja menggeleng. "Nggak, Bagas. Karena yang dia mau adalah perempuan yang tinggal di rumah kamu.”Bagas terkejut. Dia marah. “Nggak bisa! Saya nggak bisa mengorbankan Ratih untuk pesugihan ini.”Bagas menentang keras syarat yang diberikan Ki Praja. Dia hendak membatalkan niatnya. “Kamu harus tau, Bagas! Kalo kamu mau memperbaiki hidupmu, maka kamu harus siap menghadapi konsekuensinya. Tanpa pengorbanan, nggak ada yang bisa bantu kamu,” ujar Ki Praja, suaranya semakin menekan.Ma
Ki Praja memberi Bagas bungkusan kain merah. "Le!" panggil Ki Praja. "Ini adalah jimat pengikat perjanjianmu dengan Genderuwo!" ucap Ki Praja.Bagas memandang benda tersebut dengan ragu. “Apa ini, Ki? Apa dari perjanjian tadi?”Ki Praja mengangguk sambil menyerahkan jimat itu. "Bener. Ini adalah jimat yang akan melindungi perjanjianmu, Le!" ujar Ki Praja, lanjutnya, "jimat ini pengingat mu agar nggak melanggar perjanjian yang udah dibuat. Selama, memegangnya, kamu akan dilindungi oleh kekuatan dari Genderuwo, dan kekayaan yang di harapkan akan segera datang."Bagas menerima jimat itu dan pulang saat matahari mulai terbit. Bagas langsung tertuju ke ladang di depan rumahnya, dan dia tertegun. Lahan yang dulu tandus dan gersang kini berubah menjadi hijau, dengan tanaman yang mulai tumbuh subur. Hampir tak percaya, dia berjalan mendekat dan meraba daun-daun segar yang tampak sehat.Bagas merasakan kenikmatan hasil dari perjanjian dengan Genderuwo."Ratih! Ratih, cepetan ke sini!" panggil
“Kamu nggak lupa sama janji, kan?” tanya Genderuwo dengan suara berat dan besar. Bagas hanya mengangguk dengan wajah pucat pasi, dia meminta waktu untuk mencari celah waktu dari istrinya.“Kalo kamu lupa, kamu akan tau akibatnya,” ujar Genderuwo itu lagi. “Sa-saya nggak lupa, ta-tapi harus tunggu Ratih tidur dulu,” jawab Bagas terbata.Bagas akhirnya masuk menemui Ratih. “Buatin kopi panas ya! Nanti taruh aja di kamar!” pinta Bagas.Ratih segera ke dapur membuatkan kopi untuk suaminya. Sekembalinya Ratih ke dalam kamar, Bagas sudah tidak ada. Dia mencari Bagas keluar rumah. “Mas, di mana? Sudah malem ini. Ayo tidur!” panggil Ratih di kegelapan malam.Sampai sosok Bagas terlihat datang, semula Ratih sedikit takut. Dari kegelapan malam, mata Bagas menyala. Keringat dingin bercucuran. Bagas pun mendekatinya. “Mas, aku pikir tadi apa! Aku ketakutan, Mas. Rasanya hawa malem ini dingin banget,” ujar Ratih yang sempat terkejut.Bagas tidak menjawab sama sekali ucapan Ratih, dia hanya ter