Saat membuka kantung itu, petani tercengang dengan kilauan emas di genggamannya. "Ju—Juragan! Ju—Juragan ini buat saya?" tanyanya bergetar."Ya. Itu buatmu, hanya 2 koin emas aja aku kasih," kata Bagas sambil bertolak pinggang."I—Ini udah sangat banyak Juragan! Terima kasih ... Terima kasih!" balas petani sambil sujud di hadapan Bagas. "Udah hentikan!" Bagas melirik dengan tajam. "Nanti, anak buahku akan antar beras dan sayur ke rumahmu, jadi kamu tidak kelaparan lagi," lanjutnya berbicara."Alhamdulillah, terima kasih juragan! Terima kasih banyak!" Petani itu semakin bersujud di hadapan Bagas. Saat petani bersujud syukur pada Bagas, Ratih muncul melihat pandangan yang berbeda. "Ada apa, Mas?" tanyanya heran."Nggak ada apa-apa?" balas singkat sambil memalingkan badannya."Juragan Ratih! Saya pamit pulang, terima kasih!" ucapnya lalu pergi. Ratih menyusul Bagas yang masuk ke dalam rumah. Melihat Bagas duduk di ruang tamu sambil menggenggam handphone. Di ujung telepon dia berbica
"Ratih! Tih! Bangun!" Teriakan Bagas menggema di dapur. Tangannya mengguncang tubuh istrinya yang tergeletak lemah di lantai dingin.Mata Ratih perlahan terbuka, tapi terasa berat. Bayangan wajah suaminya terlihat samar di atasnya."Mas ... Mas Bagas? Itu kamu?" rintihnya dengan suara serak, tubuhnya terasa kaku."Iya, ini aku! Cepat bangun! Ini udah pagi. Ngapain kamu tidur di dapur kayak orang nggak waras!" Bagas mendengus kesal, nada suaranya keras.Ratih menggigil, entah karena dingin atau ketakutan. Dia mencoba berdiri, tapi tubuhnya terasa limbung, hampir jatuh lagi. Dengan susah payah, dia meraih meja untuk menopang dirinya.Tanpa berkata-kata, Ratih berjalan sempoyongan menuju kamar mandi. Saat melihat cermin, pandangannya langsung terpaku.Di wajahnya, di leher, dan di lengannya tampak memar-memar ungu kehitaman. Pergelangan tangannya penuh cap jari besar, seakan-akan telah dicengkeram dengan kekuatan luar biasa. Nafasnya tersengal, jantungnya berdegup kencang."I—ini apa? Ap
"Mas, nggak ikut ngelayat ke rumah Bu Sunar?" tanya Ratih pelan sambil melepas selendang yang dikenakannya. Dia baru saja pulang dari pemakaman, tetapi pemandangan di ruang tamu membuat langkahnya terhenti. Di depan meja kecil, Bagas sedang meletakkan kemenyan dan menyalakan dupa."Untuk apa? Kalau udah mati, ya mati aja," jawab Bagas datar tanpa sedikit pun menoleh. Suaranya dingin, tanpa empati.Ratih terpaku. Perasaan takut bercampur bingung menyelimutinya. 'Sejak kapan Mas Bagas berubah seperti ini?' pikirnya. Perlahan, dia mencoba memberanikan diri."Mas ... dupa itu untuk apa? Mas sebenarnya melakukan apa, sih?" tanyanya, mencoba terdengar setenang mungkin meskipun suaranya bergetar.Tangan Bagas, yang tengah sibuk menyiapkan dupa, berhenti seketika. Dia mengangkat wajahnya perlahan, menatap Ratih dengan pandangan tajam yang membuat nyalinya ciut."Ratih, jangan ikut campur urusan ini!" suaranya rendah, tetapi penuh ancaman.Namun, Ratih tidak menyerah. Rasa takutnya kalah oleh
'Mas Bagas? Apa di hadapanku ini benar Mas Bagas? Kenapa sentuhannya berbeda?'Ratih menggigil dalam batinnya. Tubuhnya terasa berat, tidak bisa digerakkan sama sekali. Semakin dia berusaha melawan, semakin kuat cengkeraman itu mencengkeramnya, membuatnya seperti terjebak dalam sesuatu yang gelap dan dingin.'Kalau dia bukan Mas Bagas, lalu siapa? Mas Bagas, tolong aku!'Ratih mencoba meronta dalam pikirannya, tapi sia-sia. Tubuhnya terasa kaku dan tidak bertenaga. Samar-samar, matanya menangkap bayangan seseorang di atasnya. Sosok itu hanya diam, tidak mengucapkan sepatah kata pun.Ratih memicingkan mata, mencoba menjernihkan pandangan. Sekilas, wajah di hadapannya memang mirip dengan Bagas, suaminya. Tapi ketika dia berkedip beberapa saat, wajah itu berubah—menjadi sesuatu yang menyeramkan.'Mas Bagas! Aku nggak bisa!' rintihnya pelan, napasnya tersengal.Perasaan itu kembali datang, rasa yang familiar tapi juga mengerikan. Tubuhnya terasa sakit, berat, dan dipaksa tunduk pada kehen
Bagas terdiam, mencoba mencerna kata-kata Ratih. Wajah istrinya yang basah oleh air mata menambah beban di dadanya."Lalu, aku ... aku terbangun dengan darah ini. Tapi aku nggak tau dari mana darah ini datang," suara Ratih makin kecil, terputus-putus karena tangis.Bagas mendekat, mengelus kepala istrinya pelan. "Udah, yang penting sekarang kamu aman. Jangan takut, aku di sini."Namun, seolah tidak ingin memberikan ketenangan, lampu kamar tiba-tiba berkedip-kedip. Ratih menoleh cepat ke arah lampu, napasnya kembali memburu."Mas ... kenapa lampunya kayak gitu?" tanyanya dengan suara bergetar.Bagas menghela napas panjang, mencoba tetap tenang. "Mungkin ada korsleting. Kamu tunggu di sini, aku cek dulu ke depan.""Jangan pergi, Mas! Jangan tinggalin aku sendirian!" Ratih memegang lengan Bagas erat-erat, matanya memohon.Bagas tersenyum kecil, berusaha menenangkannya. "Aku cuma sebentar, Ratih. Nggak akan lama."Dengan berat hati, Ratih melepas pegangannya. Bagas berjalan keluar kamar,
Bagas mundur selangkah, matanya berkaca-kaca. "Jangan! Jangan sentuh dia! Aku akan lakukan apa aja, tapi jangan dia! Kamu udah cukup menyentuhnya malam ini!"Makhluk itu mendekat, langkahnya berat dan menyeret, seolah sengaja menciptakan suara yang menakutkan."Oh, kamu akan melakukannya? Bagus, Maka bawakan aku darah segar. Satu jiwa lagi, Bagas. Lalu kamu akan merasakan ketenangan—untuk sementara. Tapi ingat ... aku nggak pernah kenyang. Nggak pernah puas."Bagas menggelengkan kepalanya dengan panik. "Berapa lama aku harus melayani ini? Sampai kapan?! Aku nggak sanggup lagi!""Kamu sudah memilih jalan ini, Bagas. Jalan yang nggak ada akhirnya. Penyesalanmu hanya akan memperburuk segalanya. Malam ini, aku menunggumu membawa korbanmu. Jangan membuatku kecewa."Lampu di kamar kembali berkedip-kedip, disertai dengan tawa berat yang bergema. Bayangan makhluk itu perlahan memudar, meninggalkan Bagas yang terjatuh lemas di lantai. Tubuhnya gem
"Kamu belum selesai, Andi?" tanya Bagas, mencoba berbicara santai agar tidak menimbulkan kecurigaan."Iya, Juragan! Ini sebentar lagi selesai," sahut Andi dengan suara bersemangat, meskipun tubuhnya terlihat lelah."Udah, besok pagi aja dilanjut. Bawa ini pulang," ujar Bagas seraya menyerahkan sebuah kantung merah kepada Andi.Andi menerima kantung itu dengan ragu. Namun, begitu tangannya menyentuh kantung tersebut, ekspresinya berubah drastis. Wajahnya mendadak kosong, matanya menerawang tanpa fokus, seolah pikirannya telah diambil alih oleh sesuatu yang tak kasatmata."Aku serahkan dia untuk menjadi tumbalku malam ini," ucap Bagas dengan suara lirih, menggunakan bahasa Jawa yang terdengar seperti mantra.Andi tidak merespons. Tubuhnya seolah menjadi boneka yang digerakkan oleh kekuatan lain. Dengan langkah pelan, ia berjalan menuju ladang yang gelap, meninggalkan Bagas yang berdiri mematung.Di kejauhan, Bagas melihat sosok Gen
"Saya nggak ngerti maksud Pak Lurah," jawab Bagas dengan tenang, meskipun keringat dingin mengalir di pelipisnya. "Saya juga baru tahu kalau Andi ditemukan seperti ini. Saya nggak ada sangkut pautnya."Pria tua itu, Pak Marwan, tidak menurunkan telunjuknya. "Jangan bohong, Nak Bagas. Sejak kapan kamu, yang dulu hidup serba pas-pasan, mendadak punya sawah luas, dan rumah besar? Semua orang tau, kekayaan seperti itu nggak mungkin datang tanpa harga!"Para warga mulai bersuara, bisik-bisik yang tadinya samar berubah menjadi gumaman keras."Iya, bener! Dia tiba-tiba kaya. Aneh banget!""Pesugihan, ya? Kalau nggak, kenapa Andi mati begini?""Makanya aku bilang, ada yang nggak beres sama Juragan Bagas ini!"Bagas melangkah mundur perlahan, matanya beralih dari satu wajah ke wajah lainnya. Wajah-wajah yang dulunya penuh penghormatan kini berubah menjadi lautan kebencian dan kecurigaan."Saya ini kerja keras, Pak Marwan," kata B
"Aku akan aman di sini!" Bagas berteduh di sebuah gubuk tua di tengah hutan. Napasnya masih tersengal-sengal setelah berlari sejauh itu. Dadanya naik turun, mencoba mengatur ritme pernapasannya yang terasa berat. Hujan mulai turun rintik-rintik, menambah suasana semakin kelam. Dia menatap kosong ke depan, pikirannya melayang. Entah sejak kapan, hidupnya mulai terasa seperti mengulang takdir kakeknya, Wartono—diusir dari desa, terpaksa pergi tanpa tujuan. "Ah, hidup macam apa ini?! Aku benci diriku sendiri!" Bagas menggeram frustasi. Dengan penuh amarah, dia memukul batu besar di hadapannya. Tangannya terasa sakit, tapi tidak sebanding dengan rasa sakit yang dia pendam dalam hatinya. Semua terasa sia-sia. Tidak ada lagi tempat baginya untuk kembali."Sampai sekarang pun aku masih mendapatkan informasi yang simpang siur tentang Mbah dan Ki Praja! Ah, kenapa sih dunia ini buat aku pusing?!"Bagas berteriak, suaranya menggema di tengah hutan yang sunyi. Dadanya naik turun, dipenuh
"Cari dia sampai ketemu!"Teriakan salah seorang warga menggema di dalam gelapnya hutan. Obor-obor yang mereka bawa menebarkan sinar temaram di antara pepohonan lebat, namun hanya kegelapan hutan yang menyambut mereka. Beberapa warga terlihat gugup, langkah mereka melambat seiring dengan makin dalamnya perjalanan ke hutan terlarang."Eh, ini kan hutan terlarang di desa kita," ucap salah seorang warga dengan suara bergetar, berusaha mengingatkan yang lain."Benar juga," sahut warga lain yang tampaknya mulai menyadari situasi mereka. "Kita sudah terlalu jauh masuk. Ini bukan tempat biasa. Jangan-jangan ada sesuatu di sini!"Rasa takut mulai menyelimuti mereka. Beberapa warga mengangguk setuju, dan perlahan mereka memutuskan untuk berbalik arah. Namun, baru saja mereka ingin melangkah kembali menuju desa, suara keras tiba-tiba menggema dari dalam hutan.Graawwrr!Suara itu menyerupai raungan binatang buas, tetapi terdengar tidak seperti suara makhluk biasa. Suaranya memekakkan telinga, m
"Kenapa aku bisa di rumah? Bukannya tadi aku ada di rumah Ki Praja?" Bagas duduk termenung di ruang tamu, mencoba mengingat kejadian terakhir yang dialaminya. Semuanya terasa kabur dan membingungkan. Dia merasa ada sesuatu yang salah, tetapi tak tahu apa. Tatapannya kosong, pikirannya terus berputar-putar mencari jawaban. Namun, belum sempat dia memahami apa yang terjadi, suara gaduh dari luar rumah mengalihkan perhatiannya. Terdengar langkah kaki banyak orang, disertai suara teriakan yang semakin mendekat. Bagas segera berdiri, matanya menatap penuh kewaspadaan ke arah jendela. "Usir dia! Keluar dia dari desa ini!" "Kita harus bertindak tegas!" Teriakan itu menggema di luar, membuat dada Bagas berdebar kencang. Dia menelan ludah, mencoba menenangkan diri meski rasa cemas sudah membanjiri pikirannya. "Apa lagi ini?" gumamnya pelan. Pandangannya tak lepas dari kerumunan warga yang semakin dekat. Apa pun yang terjadi, Bagas tahu malam ini tidak akan berlalu dengan mudah. Bamban
"Ada apa ini? Kenapa warga berkumpul di balai desa?"Ratih yang kebetulan melewati Desa Karang Jati melihat kerumunan besar di balai desa. Wajahnya langsung dipenuhi rasa cemas. Firasat buruk menyelusup dalam pikirannya, dan nama seseorang segera terlintas.“Jangan-jangan mereka—” Ratih menggantungkan kalimatnya, ragu untuk melanjutkan. Namun, kekhawatiran di hatinya semakin menguat. “Mau melabrak Mas Bagas!” gumamnya, suaranya pelan tapi penuh ketegangan.Dengan hati-hati, Ratih bersembunyi di balik pepohonan, berusaha tetap tak terlihat. Dari kejauhan, dia mengamati para warga yang terlihat bersemangat, bahkan penuh emosi. Beberapa membawa obor yang menyala terang, menciptakan pemandangan yang tampak seperti adegan dari masa lampau, di mana massa menghakimi tanpa ampun.“Kenapa mereka begini? Apa yang sebenarnya terjadi?” pikir Ratih dalam hati, was-was. Dia terus memperhatikan tanpa berani mendekat, tubuhnya tegang seolah-olah dia juga merasakan ancaman itu.Namun, jauh di lubuk h
"Usir dan bakar dia hidup-hidup!" Bambang mendengar bisikan itu lagi. Suaranya rendah, berat, tetapi jelas terdengar di telinganya meskipun tidak ada siapa pun di sekitarnya. Dia menoleh ke kiri dan kanan, memastikan dirinya benar-benar sendirian. Namun, bisikan itu terus mengisi kepalanya, seolah berbisik langsung ke jiwanya. “Aku yakin ini benar,” gumam Bambang sambil menatap rumahnya. Tangannya mengepal kuat, dan tatapannya berubah dingin. “Bagas memang pembawa sial. Dia penyebab semua bencana ini.” Langkah Bambang berat tetapi penuh tekad. Dia meninggalkan rumahnya menuju warung kopi tempat warga desa sering berkumpul. Wajahnya terlihat penuh amarah, tetapi tidak ada yang tahu bahwa amarah itu bukan miliknya sepenuhnya. Ada sesuatu yang mempengaruhi pikirannya, mengendalikan setiap gerak dan perkataannya. Di warung, beberapa warga sedang duduk bercengkerama. Mereka tertawa kecil sambil menikmati kopi hitam pekat. Namun, suasana itu segera berubah ketika Bambang datang. “Eh,
“Buka pintunya!”Bagas berteriak sekencang mungkin sambil menarik dan mendorong pintu rumah Ki Praja. Pintu kayu itu tetap terkunci rapat, tidak bergeming sedikit pun meskipun dia mengerahkan seluruh tenaganya.Duk! Duk!Bagas mulai memukul pintu dengan kepalan tangannya hingga kulit di jemarinya memerah dan terasa sakit. “Ayo buka! Aku tahu kau di sini!” teriaknya lagi dengan penuh frustasi.Namun, alih-alih pintu yang terbuka, tiba-tiba terdengar suara benda jatuh dari dalam rumah.Brak!Bagas terpaku sejenak. Dari celah pintu, dia melihat bayangan benda-benda kecil di meja seperti lilin, mangkuk, dan beberapa kain yang tertata rapi kini bergeser dan berjatuhan tanpa alasan yang jelas.“Apa yang terjadi di dalam sana?” gumamnya dengan napas tersengal, keringat mulai membasahi dahinya.Ketika dia hendak kembali memukul pintu, sebuah kejadian tak biasa terjadi. Barang-barang di dalam rumah yang sebelumnya hanya jatuh, kini mulai bergerak seperti ada yang mengangkatnya. Kain-kain hitam
"Aku yakin udah bunuh dia! Tapi—"Bagas semakin diliputi kebingungan. Genderuwo itu perlahan memudar, seperti kabut yang tersapu angin. Tubuh Bagas akhirnya bisa digerakkan kembali. Namun, saat dia melihat lengannya, ada sesuatu yang membuat jantungnya berdegup kencang. Bulu-bulu kasar yang tadi bersentuhan dengan Genderuwo kini menempel di lengannya—tidak, bukan hanya menempel, tapi tumbuh di sana."Lengan ini... kenapa berbulu seperti ini?" Bagas bergumam, napasnya memburu. Dia mencoba mencabut salah satu bulu itu."Aah!" serunya, terkejut karena rasa sakit yang tajam menjalar dari lengannya. Itu nyata. Bukan hanya halusinasi."Ini nggak mungkin nyata!" Bagas mengguncang kepalanya, berharap semua ini hanyalah ilusi. Tapi rasa sakit tadi terlalu meyakinkan untuk diabaikan.Bagas memandang bulu-bulu itu dengan ngeri. "Ini harus aku cukur saat di rumah," katanya kepada dirinya sendiri, mencoba menenangkan pikirannya yang mulai kalut.Dengan perasaan tak karuan, Bagas melangkahkan kaki
"Kenapa badanku terpaku di sini?" Bagas berusaha menggerakkan tubuhnya, tetapi sia-sia. Seolah ada tali tak kasat mata yang mengikat erat setiap sendi tubuhnya. Tubuhnya kaku, seperti kayu yang tak bernyawa. Angin tiba-tiba berhembus semakin kencang, membuat ranting-ranting pohon berderit menyeramkan. Di tengah hembusan angin itu, Bagas merasakan sesuatu menyentuh lengannya, seperti helaian rambut yang tipis namun tajam. Dia memalingkan pandangan ke samping kirinya. Dan di sanalah dia muncul. Sosok itu berdiri, tinggi dan besar, dengan tubuh gelap yang seakan menyatu dengan bayangan pepohonan. Matanya menyala merah, penuh kebencian dan kejahatan. Itu adalah Genderuwo. 'D—dia... itu Gen—!' Bagas tak mampu menyelesaikan pikirannya. Tubuhnya gemetar hebat, keringat dingin membasahi pelipisnya. Dia mencoba berbicara, ingin berteriak, tapi suara itu seolah terkunci di tenggorokannya. Bahkan napasnya terasa tersangkut di dada. Air mata mulai mengalir dari mata kirinya, tanpa bisa dia
"Siapa di sana?" seru Bagas, suaranya tegang. Sekelebat bayangan hitam melintas di antara pepohonan lebat. Bagas segera mendekati pohon tempat bayangan itu menghilang. Namun, saat dia mengintip di balik batangnya yang besar, tak ada siapa pun di sana. Hanya keheningan yang menemaninya. "Siapa tadi? Apa itu Ki Praja? Atau ... Genderuwo?" gumamnya sambil mencoba menenangkan diri. "Nggak mungkin itu Genderuwo ... dia sudah musnah, kan? Terbakar bersama jimat yang aku gunakan waktu itu." Bagas menggeleng, mencoba menepis pikirannya yang semakin liar. Tapi hutan itu terasa semakin menekan dirinya. Suasana di sekitarnya seakan berubah menjadi lebih gelap, lebih suram, seperti ada sesuatu yang mengintai dari balik bayang-bayang. Dia menghirup napas dalam-dalam, tapi udara yang masuk terasa berat. Dadanya mulai sesak. "Haa!" Bagas terengah-engah, tangannya mencengkeram batang pohon untuk menopang tubuhnya yang mulai melemah. "Aku ... susah bernapas! Kenapa ini?" Keringat dingin membasahi