Home / Horor / Pesugihan Genderuwo / 09. Pantauan Genderuwo

Share

09. Pantauan Genderuwo

Author: Wenchetri
last update Last Updated: 2024-11-15 13:05:11

"Mas! Ini sarapannya," panggil Ratih sambil menata makanan di meja, menyiapkan hidangan mewah untuk suaminya.

Bagas menoleh, menatap Ratih yang tampak lebih rapi dan berdandan dari biasanya. "Mau ke mana, Tih? Tumben rapi?" tanyanya, nada curiga tersirat dalam suaranya.

"Ehm! I—Ini Mas, anu ... Ehm!" Ratih tergagap, berusaha menjawab tapi suaranya tersendat-sendat karena gugup.

Bagas menggelengkan kepala, sedikit mendengus. "Haduh, udah-udah! Kamu ini, semakin hari makin aneh saja," sahutnya sambil mulai menyantap makanannya.

Ratih hanya diam, menyaksikan suaminya yang lahap memakan daging setengah matang di piringnya. Aroma daging itu membuat perut Ratih terasa mual.

Makanan itu bukanlah sesuatu yang biasanya mereka makan sehari-hari. Namun, belakangan makanan agak mentah menjadi kesukaan Bagas.

'Bukannya kamu yang hari demi hari makin aneh, Mas!' batin Ratih dengan getir, tapi dia menahan kata-kata itu dalam hati.

Ratih terus memandangi Bagas yang tampak berbeda, seolah sedang meni
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Related chapters

  • Pesugihan Genderuwo   10. Kejanggalan Sikap Bagas

    Saat membuka kantung itu, petani tercengang dengan kilauan emas di genggamannya. "Ju—Juragan! Ju—Juragan ini buat saya?" tanyanya bergetar."Ya. Itu buatmu, hanya 2 koin emas aja aku kasih," kata Bagas sambil bertolak pinggang."I—Ini udah sangat banyak Juragan! Terima kasih ... Terima kasih!" balas petani sambil sujud di hadapan Bagas. "Udah hentikan!" Bagas melirik dengan tajam. "Nanti, anak buahku akan antar beras dan sayur ke rumahmu, jadi kamu tidak kelaparan lagi," lanjutnya berbicara."Alhamdulillah, terima kasih juragan! Terima kasih banyak!" Petani itu semakin bersujud di hadapan Bagas. Saat petani bersujud syukur pada Bagas, Ratih muncul melihat pandangan yang berbeda. "Ada apa, Mas?" tanyanya heran."Nggak ada apa-apa?" balas singkat sambil memalingkan badannya."Juragan Ratih! Saya pamit pulang, terima kasih!" ucapnya lalu pergi. Ratih menyusul Bagas yang masuk ke dalam rumah. Melihat Bagas duduk di ruang tamu sambil menggenggam handphone. Di ujung telepon dia berbica

    Last Updated : 2024-11-15
  • Pesugihan Genderuwo   11. Tumbal di Ladang Sunyi

    "Ratih! Tih! Bangun!" Teriakan Bagas menggema di dapur. Tangannya mengguncang tubuh istrinya yang tergeletak lemah di lantai dingin.Mata Ratih perlahan terbuka, tapi terasa berat. Bayangan wajah suaminya terlihat samar di atasnya."Mas ... Mas Bagas? Itu kamu?" rintihnya dengan suara serak, tubuhnya terasa kaku."Iya, ini aku! Cepat bangun! Ini udah pagi. Ngapain kamu tidur di dapur kayak orang nggak waras!" Bagas mendengus kesal, nada suaranya keras.Ratih menggigil, entah karena dingin atau ketakutan. Dia mencoba berdiri, tapi tubuhnya terasa limbung, hampir jatuh lagi. Dengan susah payah, dia meraih meja untuk menopang dirinya.Tanpa berkata-kata, Ratih berjalan sempoyongan menuju kamar mandi. Saat melihat cermin, pandangannya langsung terpaku.Di wajahnya, di leher, dan di lengannya tampak memar-memar ungu kehitaman. Pergelangan tangannya penuh cap jari besar, seakan-akan telah dicengkeram dengan kekuatan luar biasa. Nafasnya tersengal, jantungnya berdegup kencang."I—ini apa? Ap

    Last Updated : 2024-11-16
  • Pesugihan Genderuwo   12. Perubahan yang Menakutkan

    "Mas, nggak ikut ngelayat ke rumah Bu Sunar?" tanya Ratih pelan sambil melepas selendang yang dikenakannya. Dia baru saja pulang dari pemakaman, tetapi pemandangan di ruang tamu membuat langkahnya terhenti. Di depan meja kecil, Bagas sedang meletakkan kemenyan dan menyalakan dupa."Untuk apa? Kalau udah mati, ya mati aja," jawab Bagas datar tanpa sedikit pun menoleh. Suaranya dingin, tanpa empati.Ratih terpaku. Perasaan takut bercampur bingung menyelimutinya. 'Sejak kapan Mas Bagas berubah seperti ini?' pikirnya. Perlahan, dia mencoba memberanikan diri."Mas ... dupa itu untuk apa? Mas sebenarnya melakukan apa, sih?" tanyanya, mencoba terdengar setenang mungkin meskipun suaranya bergetar.Tangan Bagas, yang tengah sibuk menyiapkan dupa, berhenti seketika. Dia mengangkat wajahnya perlahan, menatap Ratih dengan pandangan tajam yang membuat nyalinya ciut."Ratih, jangan ikut campur urusan ini!" suaranya rendah, tetapi penuh ancaman.Namun, Ratih tidak menyerah. Rasa takutnya kalah oleh

    Last Updated : 2024-11-16
  • Pesugihan Genderuwo   13. Mimpi Seperti Nyata

    'Mas Bagas? Apa di hadapanku ini benar Mas Bagas? Kenapa sentuhannya berbeda?'Ratih menggigil dalam batinnya. Tubuhnya terasa berat, tidak bisa digerakkan sama sekali. Semakin dia berusaha melawan, semakin kuat cengkeraman itu mencengkeramnya, membuatnya seperti terjebak dalam sesuatu yang gelap dan dingin.'Kalau dia bukan Mas Bagas, lalu siapa? Mas Bagas, tolong aku!'Ratih mencoba meronta dalam pikirannya, tapi sia-sia. Tubuhnya terasa kaku dan tidak bertenaga. Samar-samar, matanya menangkap bayangan seseorang di atasnya. Sosok itu hanya diam, tidak mengucapkan sepatah kata pun.Ratih memicingkan mata, mencoba menjernihkan pandangan. Sekilas, wajah di hadapannya memang mirip dengan Bagas, suaminya. Tapi ketika dia berkedip beberapa saat, wajah itu berubah—menjadi sesuatu yang menyeramkan.'Mas Bagas! Aku nggak bisa!' rintihnya pelan, napasnya tersengal.Perasaan itu kembali datang, rasa yang familiar tapi juga mengerikan. Tubuhnya terasa sakit, berat, dan dipaksa tunduk pada kehen

    Last Updated : 2024-11-16
  • Pesugihan Genderuwo   14. Harga Perjanjian

    Bagas terdiam, mencoba mencerna kata-kata Ratih. Wajah istrinya yang basah oleh air mata menambah beban di dadanya."Lalu, aku ... aku terbangun dengan darah ini. Tapi aku nggak tau dari mana darah ini datang," suara Ratih makin kecil, terputus-putus karena tangis.Bagas mendekat, mengelus kepala istrinya pelan. "Udah, yang penting sekarang kamu aman. Jangan takut, aku di sini."Namun, seolah tidak ingin memberikan ketenangan, lampu kamar tiba-tiba berkedip-kedip. Ratih menoleh cepat ke arah lampu, napasnya kembali memburu."Mas ... kenapa lampunya kayak gitu?" tanyanya dengan suara bergetar.Bagas menghela napas panjang, mencoba tetap tenang. "Mungkin ada korsleting. Kamu tunggu di sini, aku cek dulu ke depan.""Jangan pergi, Mas! Jangan tinggalin aku sendirian!" Ratih memegang lengan Bagas erat-erat, matanya memohon.Bagas tersenyum kecil, berusaha menenangkannya. "Aku cuma sebentar, Ratih. Nggak akan lama."Dengan berat hati, Ratih melepas pegangannya. Bagas berjalan keluar kamar,

    Last Updated : 2024-11-17
  • Pesugihan Genderuwo   15. Satu Jiwa Lagi

    Bagas mundur selangkah, matanya berkaca-kaca. "Jangan! Jangan sentuh dia! Aku akan lakukan apa aja, tapi jangan dia! Kamu udah cukup menyentuhnya malam ini!"Makhluk itu mendekat, langkahnya berat dan menyeret, seolah sengaja menciptakan suara yang menakutkan."Oh, kamu akan melakukannya? Bagus, Maka bawakan aku darah segar. Satu jiwa lagi, Bagas. Lalu kamu akan merasakan ketenangan—untuk sementara. Tapi ingat ... aku nggak pernah kenyang. Nggak pernah puas."Bagas menggelengkan kepalanya dengan panik. "Berapa lama aku harus melayani ini? Sampai kapan?! Aku nggak sanggup lagi!""Kamu sudah memilih jalan ini, Bagas. Jalan yang nggak ada akhirnya. Penyesalanmu hanya akan memperburuk segalanya. Malam ini, aku menunggumu membawa korbanmu. Jangan membuatku kecewa."Lampu di kamar kembali berkedip-kedip, disertai dengan tawa berat yang bergema. Bayangan makhluk itu perlahan memudar, meninggalkan Bagas yang terjatuh lemas di lantai. Tubuhnya gem

    Last Updated : 2024-11-17
  • Pesugihan Genderuwo   16. Kecurigaan Penduduk Desa

    "Kamu belum selesai, Andi?" tanya Bagas, mencoba berbicara santai agar tidak menimbulkan kecurigaan."Iya, Juragan! Ini sebentar lagi selesai," sahut Andi dengan suara bersemangat, meskipun tubuhnya terlihat lelah."Udah, besok pagi aja dilanjut. Bawa ini pulang," ujar Bagas seraya menyerahkan sebuah kantung merah kepada Andi.Andi menerima kantung itu dengan ragu. Namun, begitu tangannya menyentuh kantung tersebut, ekspresinya berubah drastis. Wajahnya mendadak kosong, matanya menerawang tanpa fokus, seolah pikirannya telah diambil alih oleh sesuatu yang tak kasatmata."Aku serahkan dia untuk menjadi tumbalku malam ini," ucap Bagas dengan suara lirih, menggunakan bahasa Jawa yang terdengar seperti mantra.Andi tidak merespons. Tubuhnya seolah menjadi boneka yang digerakkan oleh kekuatan lain. Dengan langkah pelan, ia berjalan menuju ladang yang gelap, meninggalkan Bagas yang berdiri mematung.Di kejauhan, Bagas melihat sosok Gen

    Last Updated : 2024-11-17
  • Pesugihan Genderuwo   17. Desakan Penduduk

    "Saya nggak ngerti maksud Pak Lurah," jawab Bagas dengan tenang, meskipun keringat dingin mengalir di pelipisnya. "Saya juga baru tahu kalau Andi ditemukan seperti ini. Saya nggak ada sangkut pautnya."Pria tua itu, Pak Marwan, tidak menurunkan telunjuknya. "Jangan bohong, Nak Bagas. Sejak kapan kamu, yang dulu hidup serba pas-pasan, mendadak punya sawah luas, dan rumah besar? Semua orang tau, kekayaan seperti itu nggak mungkin datang tanpa harga!"Para warga mulai bersuara, bisik-bisik yang tadinya samar berubah menjadi gumaman keras."Iya, bener! Dia tiba-tiba kaya. Aneh banget!""Pesugihan, ya? Kalau nggak, kenapa Andi mati begini?""Makanya aku bilang, ada yang nggak beres sama Juragan Bagas ini!"Bagas melangkah mundur perlahan, matanya beralih dari satu wajah ke wajah lainnya. Wajah-wajah yang dulunya penuh penghormatan kini berubah menjadi lautan kebencian dan kecurigaan."Saya ini kerja keras, Pak Marwan," kata B

    Last Updated : 2024-11-17

Latest chapter

  • Pesugihan Genderuwo   242. Menghilang

    "Mas, apa yang kamu lakukan?" Bagas berdiri di pojok rumah dengan tubuh besarnya. Cahaya redup dari lampu minyak membuat bayangannya tampak semakin menyeramkan. Namun, dia tidak menjawab ucapan Ratih. "Mas, kamu kenapa?" suara Ratih bergetar, mencoba mendekati suaminya. Bagas hanya menggeram. Suaranya terdengar berat dan dalam. Tubuhnya semakin tinggi, lebih besar dari sebelumnya. Ratih mencoba meraih tangan besar itu, tapi Bagas malah menghempaskannya dengan kasar. Hrgh! Erangan itu menggema di ruangan. Ratih mundur selangkah, dadanya berdebar kencang. Lalu, tiba-tiba, Bagas menghilang begitu saja ke balik dinding kayu rumah mereka. Ratih terperangah. Matanya membelalak tidak percaya. "Mas ... Mas!" Dia menggedor dinding itu, berharap Bagas kembali muncul. Tidak ada jawaban. Ratih meremas rambutnya. Napasnya tersengal. Dia benar-benar tidak menyangka Bagas bisa menghilang begitu saja. Tangannya gemetar, menggigit jarinya sendiri sambil mondar-mandir tidak karuan.

  • Pesugihan Genderuwo   241. Firasat

    "Mas Bagas!"Ratih terbangun dengan napas memburu. Tangannya terulur seolah ingin meraih sesuatu yang tidak ada di sana. Matanya membelalak, keringat dingin membasahi dahinya."Kenapa aku mimpi seperti itu?" gumamnya, masih berusaha menenangkan detak jantungnya yang tidak beraturan.Dalam mimpi itu, dia melihat suaminya berdiri di tepi sungai dengan tubuh yang tidak lagi seperti manusia. Matanya merah menyala, kulitnya ditumbuhi bulu lebat, dan tubuhnya membesar seperti raksasa. Dia tidak mengenali Bagas dalam sosok itu.Ratih turun dari tempat tidur. Perasaan gelisah semakin menguasainya. Rumah terasa begitu sunyi, hanya suara jangkrik dan burung hantu yang terdengar. Dia membuka pintu depan dan melangkah keluar. Angin malam yang dingin menerpa kulitnya, tapi itu tidak menghentikan langkahnya untuk memandang ke sekeliling."Mas Bagas mana, ya? Kenapa sudah malam begini belum pulang?" suaranya terdengar gemetar.Dia kembali masuk ke dalam rumah dan melihat jam dinding. Sudah pukul set

  • Pesugihan Genderuwo   240. Rumah singgahan

    "Bagas, rumah itu buat anak setanmu, ya?" Suara itu terdengar begitu familiar. Bagas mengernyit. Sejak dulu, mereka—warga desa yang selalu mencaci makinya—tak pernah berubah. Saat dia miskin, mereka menghinanya. Saat dia kaya, mereka tetap merendahkannya. Bagas berusaha mengabaikan mereka. Tangannya sibuk menggergaji kayu, mencoba fokus pada pekerjaannya. "Hei, urus saja hidup kalian sendiri! Jangan ikut campur urusan orang lain!" teriak Bagas. Namun, bukannya pergi, warga malah semakin berani. "Sombong banget! Miskin tapi belagu!" seseorang berteriak lantang. Bagas mengepalkan tangan, mencoba menahan emosi. Namun, kesabarannya kini hampir habis. Matanya yang tadinya cokelat perlahan berubah merah. Dia berdiri, menatap mereka satu per satu. Napasnya mulai memburu, ada sesuatu yang bergolak dalam dirinya. Buk! Tanpa sadar, kepalan tangannya melayang dan mendarat di wajah salah satu warga. Warga yang lain langsung terperanjat. Mereka tak menyangka Bagas akan melawan. "Kurang

  • Pesugihan Genderuwo   239. Bayangan Masa lalu

    "Apa yang harus ku lakukan sekarang?" Bagas duduk di kursi kayu di depan rumah Ratih, menatap kosong ke arah kegelapan malam. Tangannya terangkat, menyibak lengan bajunya. Mata Bagas membelalak saat melihat bulu halus di lengannya yang semakin lebat dan tebal. Jantungnya berdebar. "Mau dicukur sampai kapan pun, bulu ini selalu tumbuh lebih banyak. Bagaimana sekarang?" gumamnya pelan. Angin malam berembus pelan, membuat helaian bulu di tangannya bergerak perlahan. Bagas meremas ujung bajunya dengan kuat, seolah berusaha menahan gemetar tubuhnya. Kegelisahan di hatinya semakin besar. Dulu, dia masih bisa menyembunyikannya dengan pakaian panjang—baju lengan panjang, celana panjang, bahkan sarung tangan saat bepergian. Tapi kini, tubuhnya semakin sulit dikendalikan. "Sampai kapan aku bisa menutupi ini?" bisiknya. Bagas mengusap wajahnya. Kulitnya terasa kasar, seperti ada sesuatu yang tumbuh di bawah permukaannya. Dia meraba pipinya dan merasakan bulu-bulu halus yang mulai menjalar

  • Pesugihan Genderuwo   238. Teror

    "Nak Bagas, kamu harus berhati-hati mulai sekarang!"Bagas mendongakkan kepala. Kejadian seseorang yang dapat mengubah dirinya menjadi Kyai Ahmad membuatnya sulit percaya kepada siapa pun yang ada di pendopo."Bagaimana aku bisa membedakan kalian dengan tipuan?" tanya Feri, yang juga merasakan kebingungan.Bagas mengangguk setuju. "Ya, Kyai! Bagaimana cara membedakannya? Karena tidak ada celah untuk mengetahui yang asli dan yang palsu!"Kyai Ahmad mendekat, lalu membisikkan sesuatu kepada mereka. Setelah itu, beliau memberikan sebuah gelang emas yang akan terlihat hanya ketika mereka membacakan doa. Itu akan menjadi tanda bahwa mereka adalah manusia asli."Gelang ini tidak bisa dilihat oleh orang lain, Bah?" tanya Feri, masih ragu. "Lalu bagaimana dengan yang lain? Apa mereka juga akan diberi gelang seperti ini?"Kyai Ahmad menghela napas, tampak tenang. "Tenang saja! Abah akan memberikannya juga kepada mereka."Saat gel

  • Pesugihan Genderuwo   237. Mbah Sarni adalah Ki Praja?

    Bab XII – Rahasia yang Kian Gelap"Mas, kamu ke mana aja?"Ratih menatap tajam ke arah Bagas yang baru saja tiba di rumah. Wajahnya memerah, sorot matanya penuh kemarahan."Kamu tahu nggak sih, Mas? Mereka semua bawa obor dan celurit! Mereka melihat anak kita seperti melihat iblis! Begitu kejamnya!" Ratih naik pitam, suaranya meninggi.Bagas terdiam sejenak. Dia menghela napas berat, jelas ada sesuatu yang mengganjal pikirannya."Maafkan aku, tadi di hutan aku mengalami kejadian aneh," jawab Bagas akhirnya.Ratih tetap cemberut. Dia bahkan tidak tertarik menanyakan kejadian yang dialami Bagas. Tanpa banyak bicara, dia langsung menarik tangan suaminya, menyeretnya ke dalam rumah."Lihat sendiri anak-anak kita!"Saat matanya jatuh pada Jagat, Bagas terkejut. Kulit anaknya tidak seperti biasanya. Ada sesuatu yang berbeda, sesuatu yang tidak seharusnya terjadi."Loh, kenapa dengan Jagat?"Ratih men

  • Pesugihan Genderuwo   236. Penghakiman

    "Kalian di sini saja, biar aku dan Kadir yang ke Desa Sumberarum!"Seorang warga berkata lantang, bersiap berangkat ke desa tempat Ratih dan anak kembarnya tinggal. Malam semakin larut, dan obor yang mereka bawa menari-nari ditiup angin."Kenapa juga ya Ratih pergi dari Desa Karangjati?" tanya salah seorang warga, suaranya penuh rasa ingin tahu.Kadir, pria yang lebih tua dan cukup dihormati, mendengus. "Kalian ini bagaimana sih? Bagas dan Ratih sudah pisah rumah sejak lama!" Dia menyalakan obornya, cahayanya menerangi wajah seriusnya.Beberapa warga saling berpandangan. Salah satu dari mereka berbisik, "Kurasa karena Bagas sudah nggak kaya lagi."Bisikan itu memicu percakapan."Iya juga, dulu dia hidup berkecukupan. Tapi sekarang?""Kalian masih ingat kan, dulu ada desas-desus kalau Bagas pakai pesugihan?""Benar! Apalagi kakeknya juga pernah dituduh melakukan hal yang sama!"Obrolan itu semakin memana

  • Pesugihan Genderuwo   235. Mbah Sarni?

    Bab XI: Ancaman yang Menghilang“Anda siapa?”Bagas bergegas mengejar Mbah Sarni yang tiba-tiba meninggalkan kerumunan warga. Napasnya memburu, kakinya melangkah cepat di atas tanah yang berdebu. Tatapan matanya tajam, menatap penuh intimidasi ke arah wanita tua itu.Mbah Sarni tidak berhenti. Dia tetap berjalan dengan tenang seolah tak mendengar panggilan Bagas."Tunggu! Jangan pergi! Saya tidak akan membiarkan Anda pergi begitu saja!" seru Bagas keras.Wanita tua itu akhirnya berhenti. Dia berbalik perlahan, dan untuk pertama kalinya, mereka bertemu pandang dalam jarak dekat. Mata Bagas dipenuhi amarah, sementara mata Mbah Sarni kosong, seolah melihat sesuatu yang tak kasatmata.Bagas mendekat, suaranya bergetar karena emosi yang tertahan."Kenapa Anda berbicara seperti itu kepada warga?" suaranya meninggi. "Jelas-jelas Anda tidak ada di sana saat istri saya melahirkan! Anda bahkan baru muncul di desa ini! Apa tujuan A

  • Pesugihan Genderuwo   234. Desas-desus Anak setan

    "Kalian sudah dengar belum? Ratih melahirkan!" Suara gemuruh memenuhi warung kopi di sudut desa Karangjati. Warga berkumpul, saling berbisik dan bertukar cerita, seolah membicarakan hal yang lebih menarik daripada panen tahun ini. "Serius? Bukannya Ratih sudah lama meninggalkan Bagas?" "Nah, itu dia yang aneh! Tiba-tiba dia pulang, hamil, lalu melahirkan anak kembar! Bagaimana bisa?" Bagas yang kebetulan sedang melewati warung hanya diam. Dia sudah mendengar banyak bisikan serupa selama beberapa minggu terakhir. Langkahnya tetap tenang, meskipun di dalam dadanya ada bara yang siap menyala. Namun, warga tak berhenti berbicara. "Bagas! Hebat juga, ya, si Ratih bisa hamil!" seru seorang lelaki bertopi caping dengan nada mengejek. Bagas pura-pura tak mendengar. Dia sibuk menyusun kayu di hadapannya, memukul paku dengan keras, berusaha mengabaikan suara-suara yang semakin mendekatinya. Tuk! Tuk! "Gas, gimana bisa Ratih hamil? Bukannya dia sudah lama pergi?" Bagas masih m

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status