Home / Horor / Pesugihan Genderuwo / 16. Kecurigaan Penduduk Desa

Share

16. Kecurigaan Penduduk Desa

Author: Wenchetri
last update Last Updated: 2024-11-17 09:58:12

"Kamu belum selesai, Andi?" tanya Bagas, mencoba berbicara santai agar tidak menimbulkan kecurigaan.

"Iya, Juragan! Ini sebentar lagi selesai," sahut Andi dengan suara bersemangat, meskipun tubuhnya terlihat lelah.

"Udah, besok pagi aja dilanjut. Bawa ini pulang," ujar Bagas seraya menyerahkan sebuah kantung merah kepada Andi.

Andi menerima kantung itu dengan ragu. Namun, begitu tangannya menyentuh kantung tersebut, ekspresinya berubah drastis. Wajahnya mendadak kosong, matanya menerawang tanpa fokus, seolah pikirannya telah diambil alih oleh sesuatu yang tak kasatmata.

"Aku serahkan dia untuk menjadi tumbalku malam ini," ucap Bagas dengan suara lirih, menggunakan bahasa Jawa yang terdengar seperti mantra.

Andi tidak merespons. Tubuhnya seolah menjadi boneka yang digerakkan oleh kekuatan lain. Dengan langkah pelan, ia berjalan menuju ladang yang gelap, meninggalkan Bagas yang berdiri mematung.

Di kejauhan, Bagas melihat sosok Gen
Locked Chapter
Continue Reading on GoodNovel
Scan code to download App

Related chapters

  • Pesugihan Genderuwo   17. Desakan Penduduk

    "Saya nggak ngerti maksud Pak Lurah," jawab Bagas dengan tenang, meskipun keringat dingin mengalir di pelipisnya. "Saya juga baru tahu kalau Andi ditemukan seperti ini. Saya nggak ada sangkut pautnya."Pria tua itu, Pak Marwan, tidak menurunkan telunjuknya. "Jangan bohong, Nak Bagas. Sejak kapan kamu, yang dulu hidup serba pas-pasan, mendadak punya sawah luas, dan rumah besar? Semua orang tau, kekayaan seperti itu nggak mungkin datang tanpa harga!"Para warga mulai bersuara, bisik-bisik yang tadinya samar berubah menjadi gumaman keras."Iya, bener! Dia tiba-tiba kaya. Aneh banget!""Pesugihan, ya? Kalau nggak, kenapa Andi mati begini?""Makanya aku bilang, ada yang nggak beres sama Juragan Bagas ini!"Bagas melangkah mundur perlahan, matanya beralih dari satu wajah ke wajah lainnya. Wajah-wajah yang dulunya penuh penghormatan kini berubah menjadi lautan kebencian dan kecurigaan."Saya ini kerja keras, Pak Marwan," kata B

    Last Updated : 2024-11-17
  • Pesugihan Genderuwo   18. Tipu Daya Bagas

    “Kalian udah puas menuduhku?” suara Bagas menggelegar, memecah keheningan. Raut wajahnya menunjukkan kemarahan, tapi di dalam hatinya, ada rasa puas karena ia merasa berhasil menipu semua orang.Di sudut ruangan, Pak Marwan maju selangkah, menatap Bagas dengan penuh kecurigaan. “Kyai, dia pakai ilmu hitam, kan?” desaknya, menoleh pada Kyai Ahmad yang berdiri dengan tenang di sampingnya.Kyai Ahmad, pria tua dengan sorot mata bijaksana, tidak segera menjawab. Dia memandangi Bagas, mencoba membaca apa yang ada di balik tatapan tajam pria itu. Di sudut lain, Ratih mengamati Kyai Ahmad dengan hati yang berdebar. Dia mengenal Kyai itu tanpa sepengetahuan suaminya. Justru Kyai Ahmad yang meminta Ratih untuk lebih memperhatikan perubahan perilaku Bagas.‘Auranya begitu gelap,’ gumam Kyai Ahmad dalam hati. ‘Matanya berbicara lebih banyak daripada mulutnya. Dia sudah terlalu jauh masuk ke dalam kegelapan ini.’“Kyai! Kenapa diam saja? Dia pasti pakai ilmu hitam, kan?” Pak Marwan kembali mende

    Last Updated : 2024-11-18
  • Pesugihan Genderuwo   19. Fitnah atau Fakta

    Para pekerja pulang di waktu siang hari. Mereka semua mengambil beberapa pakan yang di perintahkan Bagas."Terima kasih Juragan!" ucap para petani dan mereka pulang. Tak beberapa lama Bagas pun pulang kerumahnya. Saat sampai Ratih telah berada di dalam rumah. Menunggu kepulangan Bagas. "Mas ada yang mau aku tanyakan?" kata Ratih memulai percakapan.Bagas menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah Ratih. "Ada apa?" Ratih menggenggam kedua tangannya erat di pangkuannya. "Akhir-akhir ini, aku merasa ada yang aneh. Tentang kamu. Tentang semuanya."Bagas terdiam, mencoba menetralkan ekspresi wajahnya. "Aneh gimana? Aku nggak ngerti maksudmu."Ratih menatapnya tajam. "Mas, sejak kita tiba-tiba punya uang banyak, kamu berubah. Kamu sering keluar malam tanpa bilang. Kamu selalu menghindar kalau aku tanya darimana uang itu berasal. Dan sekarang, aku malah sering dengar berita dari warga desa. Bahkan tadi di balai desa pun orang ba

    Last Updated : 2024-11-18
  • Pesugihan Genderuwo   20. Bau Busuk dan Anyir

    "Udah!" sahutnya tegas, matanya menatap Kyai Ahmad penuh keyakinan. "Bahkan aku udah lama merasa ada yang aneh dengan sikap Mas Bagas, terutama kalau malam tiba," lanjutnya dengan suara lirih, namun sarat emosi.Kyai Ahmad mengangguk pelan, seakan mencerna setiap kata. "Hem, terus apa yang kamu lihat?" tanyanya, mencoba menggali lebih dalam.Dia menarik napas panjang sebelum menjawab. "Aku sering lihat Mas Bagas bangun di tengah malam. Dia menyalakan dupa dan kemenyan, lalu duduk bersila sambil komat-kamit, seperti sedang membaca sesuatu yang nggak aku mengerti."Kyai Ahmad mengerutkan kening, namun tetap membiarkan dia melanjutkan."Yang bikin aku makin takut, waktu Mas Bagas izin keluar rumah, dia selalu pulang dalam kondisi berbeda. Dia jadi lebih pendiam, auranya terasa aneh, dan yang paling nggak bisa aku tahan adalah bau badannya. Bau busuk bercampur anyir, kayak ada sesuatu yang mati." Suaranya bergetar, tanda ketakutan yang selama ini dia

    Last Updated : 2024-11-18
  • Pesugihan Genderuwo   21. Mimpi Buruk Bagas

    Waktu semakin cepat berlalu. Langit mulai gelap, menandakan malam telah tiba. Tak ada suara jangkrik atau nyanyian malam. Bagas terbaring di tempat tidurnya, tetapi matanya tak kunjung terpejam. Kegelisahan menggelayuti pikirannya, berputar-putar seperti bayangan kecurigaan yang datang dari penduduk desa. Namun, kelelahan akhirnya mengalahkan kecemasannya. Perlahan, matanya terpejam, dan tubuhnya terlelap dalam tiduran yang tak pernah benar-benar memberikan kedamaian.***Di dalam mimpinya, Bagas merasa dirinya berada di tengah hutan yang gelap gulita. Udara terasa sesak, seperti ada yang menekan dadanya. Pohon-pohon besar berdiri di sekelilingnya, diam, seperti saksi bisu yang mengawasinya dari kejauhan."Di mana ini?" gumam Bagas, suaranya serak dan gemetar, berusaha mencari jawaban di dalam kegelapan.Tidak ada yang menjawab. Namun, langkah-langkahnya terasa seperti diarahkan oleh kekuatan lain, memaksanya untuk masuk lebih

    Last Updated : 2024-11-19
  • Pesugihan Genderuwo   22. Cairan Hitam Balas Dendam

    Klik!Gagang pintu berderak dan pintu itu terbuka perlahan.“Ada apa lagi kamu ke sini, Nak, Bagas?” tanya Ki Praja dengan suara beratnya, tatapan matanya tajam meski tampak tenang.“Aku butuh bantuanmu lagi, Ki!” jawab Bagas dengan nada cemas, napasnya terengah-engah seolah baru saja berlari.Ki Praja menggosok-gosok jenggot putihnya, lalu berkata dengan suara datar, “Masuk ke dalam.”Bagas melangkah masuk, dan begitu melintasi ambang pintu, bau busuk yang menyengat menusuk hidungnya. “Bau apa ini, Ki?” tanyanya, wajahnya mengernyit, mencium aroma yang sangat asing dan tak enak itu.“Darah hewan,” jawab Ki Praja sambil tersenyum sinis. “Kenapa? Kamu mau?” tanyanya, sambil memperhatikan Bagas dengan tatapan tajam, seakan sudah bisa menebak apa yang ada dalam pikiran anak muda itu."Nggak!" jawab singkatnya.Bagas terdiam sejenak, matanya tetap menatap Ki Praja dengan waspada. “Aku … aku butuh bantuanmu, Ki. Ada sesuatu yang mengancam ku,” ujar Bagas akhirnya, suaranya parau, penuh ket

    Last Updated : 2024-11-19
  • Pesugihan Genderuwo   23. Tatapan dalam Pertemuan

    Bagas merasa hawa ruangan semakin berat, napasnya semakin sesak. Namun, dia tak berani mengalihkan pandangannya dari ritual yang sedang berlangsung. Bagas merasa seolah dunia di sekitarnya bergetar, seakan ada sesuatu yang tengah bergerak di luar kendalinya.Ketika Ki Praja selesai menggambar simbol itu, dia melemparkan serbuk emas ke dalam api yang menyala di atas dupa. Api itu tiba-tiba membesar, menyala dengan warna biru kehijauan yang aneh, menyorotkan cahaya yang begitu terang hingga memancar ke seluruh ruangan."Sekarang, kita panggil dia," kata Ki Praja dengan suara yang lebih berat, seakan berbicara dalam bahasa yang tak dimengerti Bagas.Tiba-tiba, ruangan itu terasa semakin mencekam. Bayangan gelap mulai muncul di dinding, bergerak perlahan, seolah mengelilingi mereka. Bagas merasa tubuhnya kaku, seolah tak bisa bergerak, meskipun pikirannya berteriak untuk melarikan diri."Genderuwo?" tanya Bagas, suaranya hampir tak terdengar."Ya. Dia bisa membantumu, Bagas," jawab Ki Pra

    Last Updated : 2024-11-19
  • Pesugihan Genderuwo   24. Bagas Merasa Terancam

    "Sepertinya sibuk sekali, Nak Bagas," ujar Kyai Ahmad membuka percakapan dengan suara lembut, namun penuh wibawa."Ya. Begitulah!" jawab Bagas singkat, sambil mengerutkan dahi. Matanya terus memandangi Kyai Ahmad dengan tatapan tak ramah."Bagus dong. Kerja keras demi keluarga, demi istri," sambung Kyai Ahmad, tersenyum kecil.Namun, alih-alih merasa tersanjung, Bagas justru semakin merasa terancam. "Ratih, kamu ngapain bawa orang tua ini ke rumah kita?" tanyanya kasar, nada bicaranya meninggi.Ratih tampak salah tingkah, tapi berusaha tetap tenang. "Kyai hanya ingin ngobrol, Mas. Beliau ingin silaturahmi dan bertemu sama Mas," ujar Ratih, menyembunyikan alasan sebenarnya. Nyatanya, Kyai Ahmad datang karena curiga dengan gerak-gerik Bagas belakangan ini.Bagas mendengus kesal. "Tadi kan udah ketemu di balai desa. Apa lagi yang mau dibahas?" katanya ketus, sambil melirik tajam ke arah Kyai Ahmad. Hatinya penuh waspada. 'Orang tua ini pasti ada maksud lain,' pikirnya.Kyai Ahmad tetap

    Last Updated : 2024-11-20

Latest chapter

  • Pesugihan Genderuwo   185. Bertemu Feri yang Ketakutan

    "Kyai!" panggil Bagas dengan suara keras di depan rumah Kyai Ahmad. Hembusan napasnya berat, mencerminkan keputusasaan yang menyelimuti hatinya. Terdengar suara langkah mendekat dari dalam. Gagang pintu perlahan bergerak, menandakan seseorang akan keluar. Namun, alih-alih Kyai Ahmad, sosok pria lain muncul—Feri. Bagas terkejut melihatnya. Wajah Feri pucat seketika saat mengenali Bagas. Matanya membelalak, tubuhnya gemetar, mengingat kejadian masa lalu yang membuatnya hampir kehilangan nyawa karena ulah Bagas. "Ma—Mas Bagas?" Feri tergagap, suaranya bergetar. Dia berdiri di ambang pintu, seolah ingin memastikan bahwa pria di hadapannya itu nyata. Bagas, yang masih diliputi kebingungan dan kegelisahan, hanya menatap Feri tanpa banyak bicara. Namun, sorot matanya yang penuh tekanan membuat Feri semakin cemas. Rasa trauma yang mendalam kembali menyeruak di hati Feri. Dalam sekejap, dia menarik napas panjang dan s

  • Pesugihan Genderuwo   184. Kenyataan atau Mimpi

    "Jangan!" Bagas berteriak keras, suaranya menggema di ruangan sempit itu. Keringat dingin membasahi tubuhnya, dan napasnya tersengal-sengal saat ia terbangun dari tidur yang mencekam. Tangannya gemetar hebat, tubuhnya terasa kaku, sementara matanya melotot penuh ketakutan. "Apa itu tadi? Apa—apa yang terjadi padaku?" Bagas bergumam dengan suara parau, mencoba mengumpulkan keberanian untuk memahami apa yang baru saja ia alami. Mimpi itu terlalu nyata. Dalam mimpi tersebut, tubuhnya perlahan berubah. Kulitnya menghitam, bulu-bulu kasar tumbuh di seluruh tubuhnya. Matanya memerah, kuku-kuku tangannya memanjang menyerupai cakar. Bayangannya di genangan air menunjukkan sosok mengerikan—dirinya sendiri berubah menjadi Genderuwo. Dengan tangan gemetar, Bagas menurunkan kakinya dari ranjang. Namun, tubuhnya terasa lemah, hampir tidak sanggup menopang beratnya. Dia menunduk, menatap telapak tangannya yang masih bergetar. "Bulu halus ini … kenapa tidak pernah benar-benar hilang? Tapi tadi,

  • Pesugihan Genderuwo   183. Niat Balas dendam?

    "Kenapa tadi kamu terlihat murung, Nak Bagas?" tanya Kyai Ahmad, menyadari kegelisahan yang terpancar dari raut wajah Bagas. Bagas terdiam sejenak, menimbang-nimbang apakah harus menceritakan semuanya. Akhirnya, dia menghela napas panjang dan mulai bicara. "Nggak ada, Kyai ... Tapi, akhir-akhir ini saya sering mimpi tentang Mbah saya. Mimpi itu ... aneh dan terasa nyata! Di situ, Mbah saya terlihat begitu kejam, bahkan ada yang terang-terangan menunjukkan bahwa Mbah saya pernah menghabisi nyawa seseorang," jelas Bagas dengan suara bergetar. Kyai Ahmad memejamkan matanya, seperti sedang merenung dalam. "Apakah ini ada hubungannya dengan dukun yang dulu membantumu melakukan pesugihan?" tanyanya perlahan. Bagas mengangguk ragu. "Iya, Kyai! Saya merasa ada kaitannya. Tapi saya nggak ngerti maksud dari semua ini," jawabnya lirih. Kyai Ahmad menatap Bagas dengan tatapan penuh arti. "Aku memang melihat ada sesuatu antara Mbahmu dengan dukun itu," katanya sambil menghela napas panjang.

  • Pesugihan Genderuwo   182. Penyesalan Tidak berarti

    "Tapi di mana aku bisa mencarinya?" gumam Bagas, berusaha mengendalikan rasa takut yang mulai merayap. "Aku harus tahu kebenaran ini. Kalau benar dia yang menghancurkan hidupku, aku harus menemukannya." Namun, Bagas sadar bahwa langkah ini sangat berbahaya. Ki Praja bukan hanya sekadar dukun. Dia adalah seseorang yang bisa membalaskan dendamnya tanpa terlihat. Meski ragu, Bagas akhirnya memutuskan untuk mencari informasi lebih lanjut tentang Ki Praja. Namun, tak ada satu pun warga desa yang mau membantunya. Setiap kali dia mencoba bertanya, mereka hanya menghindar atau memberikan jawaban singkat yang tidak memuaskan. "Dimana lagi aku harus mencari tahu?" gumam Bagas dengan langkah berat menyusuri jalan berbatu. Kepalanya tertunduk lesu, pikirannya dipenuhi kebingungan dan rasa putus asa. Tanpa sadar, dia menabrak seseorang. Ketika Bagas mendongak, dia melihat Kyai Ahmad berdiri di depannya, menatapnya dengan tatapan penuh makna. "Kyai!" Bagas terkejut, tetapi juga merasa lega mel

  • Pesugihan Genderuwo   181. Mencurigai Ki Praja

    "Kenapa kehidupanku semakin susah begini?" keluh Bagas sambil menyandarkan tubuhnya di kursi tua yang hampir patah. Dia memandang kosong ke arah langit-langit rumah kecil yang kini menjadi tempat tinggalnya. Dari seorang yang pernah disegani karena kekayaannya, kini dia kembali hidup dalam kemiskinan. Semua itu terasa seperti hukuman yang tak pernah berakhir. Bagas merenung. Dia memang datang dari keluarga miskin. Kehidupannya yang keras memaksanya mencari jalan pintas—jalan gelap. Demi mengejar kekayaan, dia membuat perjanjian dengan makhluk halus, Genderuwo. Pesugihan itu memberinya harta melimpah untuk sementara waktu, tetapi dengan harga yang mahal. Sekarang, semuanya telah hancur. "Entah, hidupku semakin hari semakin memprihatinkan," gumamnya lirih, suara lelahnya memenuhi ruang tamu yang sunyi. Matahari sore menyelinap masuk melalui celah tirai usang, menciptakan garis-garis terang di lantai. Namun, sinar itu tak mampu menghangatkan hatinya yang dingin dan penuh penyesalan.

  • Pesugihan Genderuwo   180. Wartono dan Ki Praja

    "Tolong ada orang di sini?" Bagas berteriak dengan kencang, suaranya bergema tanpa jawaban. Bagas terbangun di sebuah tempat yang aneh. Di sekelilingnya hanyalah kabut putih tebal yang bergerak pelan seiring hembusan angin. Kakinya menginjak tanah dingin, tapi dia tidak tahu di mana dia berada. Saat dia berjalan perlahan, sosok-sosok mulai bermunculan dari balik kabut. Wajah mereka terlihat jelas—semuanya mirip dengan kakeknya, Wartono. Bagas terpaku, tubuhnya kaku seperti membeku. "Kalian siapa?" suaranya bergetar, hampir tidak keluar dari tenggorokan. Mereka hanya berdiri mematung, tatapan dingin mereka menusuk ke arah Bagas. Salah satu dari mereka melangkah maju. Wajahnya sangat identik dengan kakeknya, hingga Bagas tak bisa membedakan. "Mbah... Mbah Warto? Kenapa banyak sekali?" Bagas bertanya, suaranya nyaris tidak terdengar. Sosok yang mirip Wartono itu tidak menjawab. Sebaliknya, angin tiba-tiba berhembus di telinga Bagas, membawa bisikan lembut namun menyeramkan

  • Pesugihan Genderuwo   179. Desa Sumberarum

    "Aku harus segera pergi!" Ratih mulai mengemas pakaiannya dengan tergesa-gesa. Tangannya gemetar saat melipat setiap helai baju, tetapi dia berusaha tetap fokus. Setelah selesai, dia mengintip dari balik gorden, memastikan situasi di luar aman sebelum meninggalkan kontrakannya. Ketika dia merasa tidak ada yang mencurigakan, Ratih berjalan cepat menuju persimpangan jalan. Di sana, dia melihat seorang pengayuh becak yang sedang duduk termenung di bawah lampu jalan yang remang-remang. "Bang, antarkan saya ke Desa Sumberarum, ya!" pinta Ratih dengan nada yakin. Mamang becak menatapnya dengan ragu. "Yakin, Neng? Ini udah malam banget loh. Disana gelap banget kalau udah malam begini!" katanya, terlihat khawatir. Ratih tersenyum kecil, mencoba menenangkan kegelisahan si tukang becak. "Udah tenang aja, Bang. Saya udah pernah ke sana. Nggak seseram itu kok." Meskipun masih ragu, Mamang becak akhirnya mengangguk dan mulai mengayuh becaknya perlahan. Roda becak berderit pelan, mengiringi p

  • Pesugihan Genderuwo   178. Kediaman Ratih

    "Ratih, tunggu!"Bagas berteriak, suaranya menggema di antara pepohonan. Namun, Ratih tak sedikit pun menoleh. Langkahnya semakin cepat, hampir seperti berlari. Dia menggenggam erat keranjang di tangannya, matanya lurus ke depan, mengabaikan panggilan suaminya yang semakin lirih di kejauhan."Maafkan aku, Mas! Aku nggak bisa dekat sama kamu!" bisiknya pelan, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada Bagas.Hatinya gelisah, tapi dia tahu ini adalah keputusan yang harus diambil. Sesekali dia menoleh ke belakang, memastikan Bagas tidak mengikutinya. Napasnya memburu, bukan hanya karena langkahnya yang cepat, tetapi juga karena perasaan bersalah yang menyesakkan dadanya."Nggak bisa! Aku nggak bisa!" Begitu yang dia ucapkan pada dirinya sendiri.Setibanya di rumah, Ratih segera menutup pintu dengan tergesa-gesa, mengunci semua jendela dengan tangan gemetar. Dia menyandarkan tubuhnya pada pintu kayu itu, mencoba menenangkan detak jantung yang berpacu tak beraturan. Keringat dingin memb

  • Pesugihan Genderuwo   177. Perut Membesar

    "Ampun, Mbah Warto!"Seorang wanita bersimpuh, menangis dengan suara parau. Tubuhnya gemetar, memohon di hadapan sosok tua dengan wajah tanpa ekspresi. Bagas berdiri di dekatnya, menatap pemandangan itu dengan rasa campur aduk—iba dan ngeri bercampur jadi satu."Mbah!" seru Bagas, mencoba menghentikan tindakan kakeknya. Namun, teriakannya hanya menggema tanpa hasil. Wartono tetap diam, wajahnya seperti topeng tanpa emosi, sementara wanita itu terus menangis.“Mbah, hentikan!” Bagas mencoba mendekat, tapi tubuhnya terasa kaku, seperti ada kekuatan tak terlihat yang menahannya. Tiba-tiba, dia merasakan sesuatu yang hangat menetes di pipinya."Weh, Bagas! Kamu mati?"Suara nyaring itu menggema, memaksa Bagas membuka matanya perlahan. Pandangannya samar, tapi dia bisa mengenali suara itu. Dia berada di pondok ladangnya, terduduk di lantai bambu yang dingin."Ah... ada apa ini?" gumamnya sambil mengusap wajah."Kaya orang mati kamu tadi! Dipanggil nggak bangun-bangun!" sahut salah satu war

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status