Beranda / Horor / Pesugihan Genderuwo / 22. Cairan Hitam Balas Dendam

Share

22. Cairan Hitam Balas Dendam

Penulis: Wenchetri
last update Terakhir Diperbarui: 2024-11-19 21:03:13

Klik!

Gagang pintu berderak dan pintu itu terbuka perlahan.

“Ada apa lagi kamu ke sini, Nak, Bagas?” tanya Ki Praja dengan suara beratnya, tatapan matanya tajam meski tampak tenang.

“Aku butuh bantuanmu lagi, Ki!” jawab Bagas dengan nada cemas, napasnya terengah-engah seolah baru saja berlari.

Ki Praja menggosok-gosok jenggot putihnya, lalu berkata dengan suara datar, “Masuk ke dalam.”

Bagas melangkah masuk, dan begitu melintasi ambang pintu, bau busuk yang menyengat menusuk hidungnya. “Bau apa ini, Ki?” tanyanya, wajahnya mengernyit, mencium aroma yang sangat asing dan tak enak itu.

“Darah hewan,” jawab Ki Praja sambil tersenyum sinis. “Kenapa? Kamu mau?” tanyanya, sambil memperhatikan Bagas dengan tatapan tajam, seakan sudah bisa menebak apa yang ada dalam pikiran anak muda itu.

"Nggak!" jawab singkatnya.

Bagas terdiam sejenak, matanya tetap menatap Ki Praja dengan waspada. “Aku … aku butuh bantuanmu, Ki. Ada sesuatu yang mengancam ku,” ujar Bagas akhirnya, suaranya parau, penuh ket
Bab Terkunci
Lanjutkan Membaca di GoodNovel
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • Pesugihan Genderuwo   23. Tatapan dalam Pertemuan

    Bagas merasa hawa ruangan semakin berat, napasnya semakin sesak. Namun, dia tak berani mengalihkan pandangannya dari ritual yang sedang berlangsung. Bagas merasa seolah dunia di sekitarnya bergetar, seakan ada sesuatu yang tengah bergerak di luar kendalinya.Ketika Ki Praja selesai menggambar simbol itu, dia melemparkan serbuk emas ke dalam api yang menyala di atas dupa. Api itu tiba-tiba membesar, menyala dengan warna biru kehijauan yang aneh, menyorotkan cahaya yang begitu terang hingga memancar ke seluruh ruangan."Sekarang, kita panggil dia," kata Ki Praja dengan suara yang lebih berat, seakan berbicara dalam bahasa yang tak dimengerti Bagas.Tiba-tiba, ruangan itu terasa semakin mencekam. Bayangan gelap mulai muncul di dinding, bergerak perlahan, seolah mengelilingi mereka. Bagas merasa tubuhnya kaku, seolah tak bisa bergerak, meskipun pikirannya berteriak untuk melarikan diri."Genderuwo?" tanya Bagas, suaranya hampir tak terdengar."Ya. Dia bisa membantumu, Bagas," jawab Ki Pra

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-19
  • Pesugihan Genderuwo   24. Bagas Merasa Terancam

    "Sepertinya sibuk sekali, Nak Bagas," ujar Kyai Ahmad membuka percakapan dengan suara lembut, namun penuh wibawa."Ya. Begitulah!" jawab Bagas singkat, sambil mengerutkan dahi. Matanya terus memandangi Kyai Ahmad dengan tatapan tak ramah."Bagus dong. Kerja keras demi keluarga, demi istri," sambung Kyai Ahmad, tersenyum kecil.Namun, alih-alih merasa tersanjung, Bagas justru semakin merasa terancam. "Ratih, kamu ngapain bawa orang tua ini ke rumah kita?" tanyanya kasar, nada bicaranya meninggi.Ratih tampak salah tingkah, tapi berusaha tetap tenang. "Kyai hanya ingin ngobrol, Mas. Beliau ingin silaturahmi dan bertemu sama Mas," ujar Ratih, menyembunyikan alasan sebenarnya. Nyatanya, Kyai Ahmad datang karena curiga dengan gerak-gerik Bagas belakangan ini.Bagas mendengus kesal. "Tadi kan udah ketemu di balai desa. Apa lagi yang mau dibahas?" katanya ketus, sambil melirik tajam ke arah Kyai Ahmad. Hatinya penuh waspada. 'Orang tua ini pasti ada maksud lain,' pikirnya.Kyai Ahmad tetap

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-20
  • Pesugihan Genderuwo   25. Pertemuan dengan Mbah Damar

    Tiba-tiba, Bagas berdiri dengan kasar. Kursinya tergeser keras, mengeluarkan suara mencolok di pagi yang hening. “Aku bilang nggak ada apa-apa, Ratih!” bentaknya.Ratih tertegun. Matanya melebar, tapi ia memilih diam. Hatinya perih, namun dia tahu memaksa suaminya bicara hanya akan memperkeruh suasana. Bagas, tanpa sepatah kata lagi, berjalan keluar rumah dengan langkah cepat, meninggalkan istrinya yang hanya bisa menatap kepergiannya dengan hati penuh kecemasan.Langkah Bagas berat, pikirannya kacau. Bayangan mimpi buruk yang terus menghantui mengoyak ketenangannya. Kata-kata Genderuwo itu kembali menggema di benaknya. "Harga yang harus kamu bayar belum lunas."Bagas mengepalkan tangannya keras. Apa maksudnya? pikirnya panik. Dia sudah menjalani semua ritual yang diminta Ki Raden Praja. Dia sudah mengorbankan banyak hal. Jadi kenapa ini masih menghantuinya? Tubuhnya terasa melemah, seperti ada energi tak kasat mata yang perlahan-lahan menghisap kehidupannya.Tanpa sadar, langkahnya

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-20
  • Pesugihan Genderuwo   26. Jasad Marwan

    Penduduk desa telah ramai mengerumuni rumah Pak Marwan. Di tengah kerumunan, suasana dipenuhi bisik-bisik cemas dan suara tangisan. Di sudut ruangan, istri Pak Marwan terduduk lemas, tak mampu menyembunyikan rasa kehilangan yang begitu mendalam."Astaga, Bu! Mayatnya mengerikan sekali?!" Seorang ibu-ibu berteriak dengan wajah pucat, menutup mulutnya seolah-olah menahan rasa mual.Jasad Pak Marwan terbujur kaku di lantai, dengan ekspresi wajah yang penuh ketakutan, sama seperti kondisi jasad Andi yang ditemukan beberapa hari sebelumnya. Tubuhnya membiru dan terobek, tangan mencengkeram keras, seakan mencoba melawan sesuatu yang tak terlihat.Ketika Bagas tiba di lokasi, langkahnya terhenti sejenak. Pandangannya menyapu kerumunan, lalu tertuju pada jasad Marwan. Detik itu juga, tatapan tajam dari penduduk desa menusuknya."Hei, hati-hati, dukun ilmu hitam datang!" seru seorang bapak dengan nada penuh kecurigaan, memecah keheningan yang mencekam.Semua mata langsung tertuju pada Bagas.

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-20
  • Pesugihan Genderuwo   27. Ladang Berdarah

    Bagas melintasi ladangnya yang kini tampak lebih hidup dibanding sebelumnya. Para petani sibuk menabur pupuk, memanen hasil, dan saling bercengkerama. Mereka berhenti sejenak ketika melihat Bagas lewat, lalu serempak menyapa, "Juragan!"Bagas tertegun. Dahinya mengerut, matanya menyipit, mencoba membaca situasi. Dalam hati, ia membatin, 'Ada apa mereka? Tumben ramah begini. Biasanya, bisik-bisik itu selalu ada. Bahkan tatapan mereka sekarang ... nggak lagi mencurigakan. Haha, terima kasih, Ki Praja.'Senyum kecil terlukis di wajahnya. Bagas tahu, ini adalah efek dari cairan hitam yang ia gunakan semalam. Cairan yang membuatnya merasa lebih berkuasa, lebih dihormati, dan bebas dari cemoohan.Namun, ada rasa ganjil yang tiba-tiba menyelinap di benaknya, meskipun ia memilih untuk mengabaikannya.Ketika Bagas sampai di depan rumah, Ratih, istrinya, segera keluar dari pintu dengan wajah panik. Suaranya lantang memanggil, "Mas Bagas!"Ratih langsung memeluk Bagas erat, tubuhnya bergetar. Ba

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-21
  • Pesugihan Genderuwo   28. Janji yang Memakan

    Ratih menghela napas, mencoba bersikap tenang. "Nggak juga, Mas. Hanya beberapa kali berpapasan," jawabnya dengan suara pelan, menghindari kontak mata dengan Bagas."Kamu bohong," kata Bagas dengan nada tegas, membuat Ratih tersentak. "Kamu mau menyelidiki aku, kan?"Ratih terdiam sejenak, pikirannya kacau. Dalam hati ia berkata, 'Bagaimana Mas Bagas bisa tau? Aku harus tetap tenang. Jangan sampai terlihat panik.'"Nggak, Mas," akhirnya dia menjawab, mencoba terdengar meyakinkan. "Aku cuma minta tolong sama Kyai untuk melihat rumah kita. Selama ini kan rumah kita belum pernah diadakan syukuran. Terus aku sering merasa ada yang aneh di rumah, jadi aku minta Kyai untuk memeriksanya."Bagas menyipitkan mata, menaruh curiga pada penjelasan istrinya. "Terus apa yang dia bilang?" tanyanya tajam."Ya ... ya, nggak ada yang aneh, Mas. Cuma halusinasi. Mungkin aku terlalu capek," jawab Ratih tergagap, suaranya terdengar semakin gugup.Bagas menatap dalam ke mata istrinya, mencari kebohongan di

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-21
  • Pesugihan Genderuwo   29. Menginginkan Keturunan

    Tiba-tiba salah satu petani memanggilnya, membuatnya tersentak kembali ke dunia nyata. "Juragan, lubangnya sudah tertutup. Apa ada yang perlu kami lakukan lagi?"Bagas mengangguk singkat. "Udah cukup. Pergilah dan jangan bilang siapa-siapa soal ini. Anggap aja kalian nggak pernah melihat apa pun."Para petani mengangguk patuh, meski raut wajah mereka menyiratkan kebingungan dan ketakutan. Setelah mereka pergi, Bagas berdiri sendiri di tengah ladang, menatap tanah yang kini tampak tenang.Namun, dia tahu, di bawah sana, ada sesuatu yang tak pernah benar-benar tenang. Genderuwo itu mengintai, menuntut lebih banyak. Bagas merasa seperti tawanan dalam perjanjian yang dia buat sendiri.Malam itu turun dengan dingin yang menusuk, mencengkeram desa dalam keheningan.Ratih duduk di ruang tengah, gelisah, menatap suaminya yang sejak tadi hanya diam sambil menunduk. Wajah Bagas terlihat murung, beban berat terlihat jelas dari sorot matanya. Ratih tahu, ada sesuatu yang disembunyikan suaminya.“

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-21
  • Pesugihan Genderuwo   30. Bisikan dari Dunia Lain

    “Mas, kenapa badan aku nggak bisa gerak?!” Ratih panik, suaranya bergetar. Ia mencoba memaksakan tubuhnya bergerak, tapi tak ada gunanya.Genderuwo mendekati Ratih, menunduk hingga wajahnya yang mengerikan hanya beberapa inci dari wajah Ratih. “Kamu akan menjadi milikku,” bisiknya pelan, tapi penuh ancaman.Bagas yang terbaring di lantai menggertakkan giginya. Dengan sisa tenaga, dia berteriak, “Jangan sentuh dia! Aku udah bilang jangan meminta lebih dari apa yang di janjikan. Kamu hanya ingin—!" ucapannya terhenti mengingat bahwa Ratih sedang bersamanya.Genderuwo menoleh, senyumnya semakin lebar. “Aku mau Ratih melahirkan keturunanku,” ucapnya lagi dengan nada penuh kemenangan.Bagas mengangguk lemah, dia menatap Genderuwo dengan tajam. "Mustahil! Itu nggak akan terjadi."Setelah Bagas mengucapkan itu, makhluk itu lenyap begitu saja, meninggalkan Ratih yang akhirnya bisa bergerak kembali. Tapi trauma dari kejadian itu tertanam dalam-dalam di benaknya, sementara Bagas menyadari bahw

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-22

Bab terbaru

  • Pesugihan Genderuwo   185. Bertemu Feri yang Ketakutan

    "Kyai!" panggil Bagas dengan suara keras di depan rumah Kyai Ahmad. Hembusan napasnya berat, mencerminkan keputusasaan yang menyelimuti hatinya. Terdengar suara langkah mendekat dari dalam. Gagang pintu perlahan bergerak, menandakan seseorang akan keluar. Namun, alih-alih Kyai Ahmad, sosok pria lain muncul—Feri. Bagas terkejut melihatnya. Wajah Feri pucat seketika saat mengenali Bagas. Matanya membelalak, tubuhnya gemetar, mengingat kejadian masa lalu yang membuatnya hampir kehilangan nyawa karena ulah Bagas. "Ma—Mas Bagas?" Feri tergagap, suaranya bergetar. Dia berdiri di ambang pintu, seolah ingin memastikan bahwa pria di hadapannya itu nyata. Bagas, yang masih diliputi kebingungan dan kegelisahan, hanya menatap Feri tanpa banyak bicara. Namun, sorot matanya yang penuh tekanan membuat Feri semakin cemas. Rasa trauma yang mendalam kembali menyeruak di hati Feri. Dalam sekejap, dia menarik napas panjang dan s

  • Pesugihan Genderuwo   184. Kenyataan atau Mimpi

    "Jangan!" Bagas berteriak keras, suaranya menggema di ruangan sempit itu. Keringat dingin membasahi tubuhnya, dan napasnya tersengal-sengal saat ia terbangun dari tidur yang mencekam. Tangannya gemetar hebat, tubuhnya terasa kaku, sementara matanya melotot penuh ketakutan. "Apa itu tadi? Apa—apa yang terjadi padaku?" Bagas bergumam dengan suara parau, mencoba mengumpulkan keberanian untuk memahami apa yang baru saja ia alami. Mimpi itu terlalu nyata. Dalam mimpi tersebut, tubuhnya perlahan berubah. Kulitnya menghitam, bulu-bulu kasar tumbuh di seluruh tubuhnya. Matanya memerah, kuku-kuku tangannya memanjang menyerupai cakar. Bayangannya di genangan air menunjukkan sosok mengerikan—dirinya sendiri berubah menjadi Genderuwo. Dengan tangan gemetar, Bagas menurunkan kakinya dari ranjang. Namun, tubuhnya terasa lemah, hampir tidak sanggup menopang beratnya. Dia menunduk, menatap telapak tangannya yang masih bergetar. "Bulu halus ini … kenapa tidak pernah benar-benar hilang? Tapi tadi,

  • Pesugihan Genderuwo   183. Niat Balas dendam?

    "Kenapa tadi kamu terlihat murung, Nak Bagas?" tanya Kyai Ahmad, menyadari kegelisahan yang terpancar dari raut wajah Bagas. Bagas terdiam sejenak, menimbang-nimbang apakah harus menceritakan semuanya. Akhirnya, dia menghela napas panjang dan mulai bicara. "Nggak ada, Kyai ... Tapi, akhir-akhir ini saya sering mimpi tentang Mbah saya. Mimpi itu ... aneh dan terasa nyata! Di situ, Mbah saya terlihat begitu kejam, bahkan ada yang terang-terangan menunjukkan bahwa Mbah saya pernah menghabisi nyawa seseorang," jelas Bagas dengan suara bergetar. Kyai Ahmad memejamkan matanya, seperti sedang merenung dalam. "Apakah ini ada hubungannya dengan dukun yang dulu membantumu melakukan pesugihan?" tanyanya perlahan. Bagas mengangguk ragu. "Iya, Kyai! Saya merasa ada kaitannya. Tapi saya nggak ngerti maksud dari semua ini," jawabnya lirih. Kyai Ahmad menatap Bagas dengan tatapan penuh arti. "Aku memang melihat ada sesuatu antara Mbahmu dengan dukun itu," katanya sambil menghela napas panjang.

  • Pesugihan Genderuwo   182. Penyesalan Tidak berarti

    "Tapi di mana aku bisa mencarinya?" gumam Bagas, berusaha mengendalikan rasa takut yang mulai merayap. "Aku harus tahu kebenaran ini. Kalau benar dia yang menghancurkan hidupku, aku harus menemukannya." Namun, Bagas sadar bahwa langkah ini sangat berbahaya. Ki Praja bukan hanya sekadar dukun. Dia adalah seseorang yang bisa membalaskan dendamnya tanpa terlihat. Meski ragu, Bagas akhirnya memutuskan untuk mencari informasi lebih lanjut tentang Ki Praja. Namun, tak ada satu pun warga desa yang mau membantunya. Setiap kali dia mencoba bertanya, mereka hanya menghindar atau memberikan jawaban singkat yang tidak memuaskan. "Dimana lagi aku harus mencari tahu?" gumam Bagas dengan langkah berat menyusuri jalan berbatu. Kepalanya tertunduk lesu, pikirannya dipenuhi kebingungan dan rasa putus asa. Tanpa sadar, dia menabrak seseorang. Ketika Bagas mendongak, dia melihat Kyai Ahmad berdiri di depannya, menatapnya dengan tatapan penuh makna. "Kyai!" Bagas terkejut, tetapi juga merasa lega mel

  • Pesugihan Genderuwo   181. Mencurigai Ki Praja

    "Kenapa kehidupanku semakin susah begini?" keluh Bagas sambil menyandarkan tubuhnya di kursi tua yang hampir patah. Dia memandang kosong ke arah langit-langit rumah kecil yang kini menjadi tempat tinggalnya. Dari seorang yang pernah disegani karena kekayaannya, kini dia kembali hidup dalam kemiskinan. Semua itu terasa seperti hukuman yang tak pernah berakhir. Bagas merenung. Dia memang datang dari keluarga miskin. Kehidupannya yang keras memaksanya mencari jalan pintas—jalan gelap. Demi mengejar kekayaan, dia membuat perjanjian dengan makhluk halus, Genderuwo. Pesugihan itu memberinya harta melimpah untuk sementara waktu, tetapi dengan harga yang mahal. Sekarang, semuanya telah hancur. "Entah, hidupku semakin hari semakin memprihatinkan," gumamnya lirih, suara lelahnya memenuhi ruang tamu yang sunyi. Matahari sore menyelinap masuk melalui celah tirai usang, menciptakan garis-garis terang di lantai. Namun, sinar itu tak mampu menghangatkan hatinya yang dingin dan penuh penyesalan.

  • Pesugihan Genderuwo   180. Wartono dan Ki Praja

    "Tolong ada orang di sini?" Bagas berteriak dengan kencang, suaranya bergema tanpa jawaban. Bagas terbangun di sebuah tempat yang aneh. Di sekelilingnya hanyalah kabut putih tebal yang bergerak pelan seiring hembusan angin. Kakinya menginjak tanah dingin, tapi dia tidak tahu di mana dia berada. Saat dia berjalan perlahan, sosok-sosok mulai bermunculan dari balik kabut. Wajah mereka terlihat jelas—semuanya mirip dengan kakeknya, Wartono. Bagas terpaku, tubuhnya kaku seperti membeku. "Kalian siapa?" suaranya bergetar, hampir tidak keluar dari tenggorokan. Mereka hanya berdiri mematung, tatapan dingin mereka menusuk ke arah Bagas. Salah satu dari mereka melangkah maju. Wajahnya sangat identik dengan kakeknya, hingga Bagas tak bisa membedakan. "Mbah... Mbah Warto? Kenapa banyak sekali?" Bagas bertanya, suaranya nyaris tidak terdengar. Sosok yang mirip Wartono itu tidak menjawab. Sebaliknya, angin tiba-tiba berhembus di telinga Bagas, membawa bisikan lembut namun menyeramkan

  • Pesugihan Genderuwo   179. Desa Sumberarum

    "Aku harus segera pergi!" Ratih mulai mengemas pakaiannya dengan tergesa-gesa. Tangannya gemetar saat melipat setiap helai baju, tetapi dia berusaha tetap fokus. Setelah selesai, dia mengintip dari balik gorden, memastikan situasi di luar aman sebelum meninggalkan kontrakannya. Ketika dia merasa tidak ada yang mencurigakan, Ratih berjalan cepat menuju persimpangan jalan. Di sana, dia melihat seorang pengayuh becak yang sedang duduk termenung di bawah lampu jalan yang remang-remang. "Bang, antarkan saya ke Desa Sumberarum, ya!" pinta Ratih dengan nada yakin. Mamang becak menatapnya dengan ragu. "Yakin, Neng? Ini udah malam banget loh. Disana gelap banget kalau udah malam begini!" katanya, terlihat khawatir. Ratih tersenyum kecil, mencoba menenangkan kegelisahan si tukang becak. "Udah tenang aja, Bang. Saya udah pernah ke sana. Nggak seseram itu kok." Meskipun masih ragu, Mamang becak akhirnya mengangguk dan mulai mengayuh becaknya perlahan. Roda becak berderit pelan, mengiringi p

  • Pesugihan Genderuwo   178. Kediaman Ratih

    "Ratih, tunggu!"Bagas berteriak, suaranya menggema di antara pepohonan. Namun, Ratih tak sedikit pun menoleh. Langkahnya semakin cepat, hampir seperti berlari. Dia menggenggam erat keranjang di tangannya, matanya lurus ke depan, mengabaikan panggilan suaminya yang semakin lirih di kejauhan."Maafkan aku, Mas! Aku nggak bisa dekat sama kamu!" bisiknya pelan, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada Bagas.Hatinya gelisah, tapi dia tahu ini adalah keputusan yang harus diambil. Sesekali dia menoleh ke belakang, memastikan Bagas tidak mengikutinya. Napasnya memburu, bukan hanya karena langkahnya yang cepat, tetapi juga karena perasaan bersalah yang menyesakkan dadanya."Nggak bisa! Aku nggak bisa!" Begitu yang dia ucapkan pada dirinya sendiri.Setibanya di rumah, Ratih segera menutup pintu dengan tergesa-gesa, mengunci semua jendela dengan tangan gemetar. Dia menyandarkan tubuhnya pada pintu kayu itu, mencoba menenangkan detak jantung yang berpacu tak beraturan. Keringat dingin memb

  • Pesugihan Genderuwo   177. Perut Membesar

    "Ampun, Mbah Warto!"Seorang wanita bersimpuh, menangis dengan suara parau. Tubuhnya gemetar, memohon di hadapan sosok tua dengan wajah tanpa ekspresi. Bagas berdiri di dekatnya, menatap pemandangan itu dengan rasa campur aduk—iba dan ngeri bercampur jadi satu."Mbah!" seru Bagas, mencoba menghentikan tindakan kakeknya. Namun, teriakannya hanya menggema tanpa hasil. Wartono tetap diam, wajahnya seperti topeng tanpa emosi, sementara wanita itu terus menangis.“Mbah, hentikan!” Bagas mencoba mendekat, tapi tubuhnya terasa kaku, seperti ada kekuatan tak terlihat yang menahannya. Tiba-tiba, dia merasakan sesuatu yang hangat menetes di pipinya."Weh, Bagas! Kamu mati?"Suara nyaring itu menggema, memaksa Bagas membuka matanya perlahan. Pandangannya samar, tapi dia bisa mengenali suara itu. Dia berada di pondok ladangnya, terduduk di lantai bambu yang dingin."Ah... ada apa ini?" gumamnya sambil mengusap wajah."Kaya orang mati kamu tadi! Dipanggil nggak bangun-bangun!" sahut salah satu war

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status