Ratih menghela napas, mencoba bersikap tenang. "Nggak juga, Mas. Hanya beberapa kali berpapasan," jawabnya dengan suara pelan, menghindari kontak mata dengan Bagas."Kamu bohong," kata Bagas dengan nada tegas, membuat Ratih tersentak. "Kamu mau menyelidiki aku, kan?"Ratih terdiam sejenak, pikirannya kacau. Dalam hati ia berkata, 'Bagaimana Mas Bagas bisa tau? Aku harus tetap tenang. Jangan sampai terlihat panik.'"Nggak, Mas," akhirnya dia menjawab, mencoba terdengar meyakinkan. "Aku cuma minta tolong sama Kyai untuk melihat rumah kita. Selama ini kan rumah kita belum pernah diadakan syukuran. Terus aku sering merasa ada yang aneh di rumah, jadi aku minta Kyai untuk memeriksanya."Bagas menyipitkan mata, menaruh curiga pada penjelasan istrinya. "Terus apa yang dia bilang?" tanyanya tajam."Ya ... ya, nggak ada yang aneh, Mas. Cuma halusinasi. Mungkin aku terlalu capek," jawab Ratih tergagap, suaranya terdengar semakin gugup.Bagas menatap dalam ke mata istrinya, mencari kebohongan di
Tiba-tiba salah satu petani memanggilnya, membuatnya tersentak kembali ke dunia nyata. "Juragan, lubangnya sudah tertutup. Apa ada yang perlu kami lakukan lagi?"Bagas mengangguk singkat. "Udah cukup. Pergilah dan jangan bilang siapa-siapa soal ini. Anggap aja kalian nggak pernah melihat apa pun."Para petani mengangguk patuh, meski raut wajah mereka menyiratkan kebingungan dan ketakutan. Setelah mereka pergi, Bagas berdiri sendiri di tengah ladang, menatap tanah yang kini tampak tenang.Namun, dia tahu, di bawah sana, ada sesuatu yang tak pernah benar-benar tenang. Genderuwo itu mengintai, menuntut lebih banyak. Bagas merasa seperti tawanan dalam perjanjian yang dia buat sendiri.Malam itu turun dengan dingin yang menusuk, mencengkeram desa dalam keheningan.Ratih duduk di ruang tengah, gelisah, menatap suaminya yang sejak tadi hanya diam sambil menunduk. Wajah Bagas terlihat murung, beban berat terlihat jelas dari sorot matanya. Ratih tahu, ada sesuatu yang disembunyikan suaminya.“
“Mas, kenapa badan aku nggak bisa gerak?!” Ratih panik, suaranya bergetar. Ia mencoba memaksakan tubuhnya bergerak, tapi tak ada gunanya.Genderuwo mendekati Ratih, menunduk hingga wajahnya yang mengerikan hanya beberapa inci dari wajah Ratih. “Kamu akan menjadi milikku,” bisiknya pelan, tapi penuh ancaman.Bagas yang terbaring di lantai menggertakkan giginya. Dengan sisa tenaga, dia berteriak, “Jangan sentuh dia! Aku udah bilang jangan meminta lebih dari apa yang di janjikan. Kamu hanya ingin—!" ucapannya terhenti mengingat bahwa Ratih sedang bersamanya.Genderuwo menoleh, senyumnya semakin lebar. “Aku mau Ratih melahirkan keturunanku,” ucapnya lagi dengan nada penuh kemenangan.Bagas mengangguk lemah, dia menatap Genderuwo dengan tajam. "Mustahil! Itu nggak akan terjadi."Setelah Bagas mengucapkan itu, makhluk itu lenyap begitu saja, meninggalkan Ratih yang akhirnya bisa bergerak kembali. Tapi trauma dari kejadian itu tertanam dalam-dalam di benaknya, sementara Bagas menyadari bahw
Di sela bisikan kagum sambil menatap Bagas, Ratih mendengar suara lirih yang familiar. Sebuah suara berat, serupa dengan suara dalam mimpinya, berbisik di telinganya, "Kamu milikku, Ratih...."Ratih menutup telinganya dengan tangan, tubuhnya gemetar hebat. Suara itu terdengar seperti suara suaminya, tapi ada sesuatu yang janggal. Di dalam lubuk hatinya, alih-alih merasa terlindungi, ia justru merasa terintimidasi. Rasa takut itu semakin membara, melingkupi Ratih seperti kabut tebal yang mencekik."Ini hanya halusinasi," gumamnya pelan, mencoba meyakinkan dirinya sendiri. Ia memejamkan mata, berharap suara-suara itu akan lenyap begitu saja.Namun, rasa takut itu tetap membekas, bahkan saat Ratih akhirnya berhasil terlelap.Dalam tidur itu, Ratih merasa tubuhnya kaku, seperti tertahan oleh sesuatu. Di antara gelap yang samar, dia melihat seorang yang menyerupai Bagas mendekat. Wajah itu begitu familier, tapi tatapan matanya penuh nafsu dan dominasi,
"Se—semalam, Mas Bagas nyentuh aku?" Ratih bertanya, matanya menatap Bagas dengan cemas, langsung menyinggung keresahan yang membekas di hatinya.Bagas melotot, tampak ragu untuk menjawab. Seperti ada yang terpendam dalam dirinya yang tak ingin ia ungkapkan. "I—iya... ada apa? Nggak boleh?" jawabnya terbata, mencoba mengalihkan perhatian.Ratih menggelengkan kepala, suaranya bergetar. "Bukan begitu! Aku cuma ingin memastikan, Mas!" Dia menatap suaminya, seolah mencari penjelasan, mencari jawaban dari semua kebingungannya. "Barusan—!"Namun, belum sempat Ratih melanjutkan perkataannya, Bagas dengan cepat memotongnya. "Udah ah! Aku mau ke ladang! Kamu nanti nyusul!" ucapnya dengan nada tegas, seakan menghindari pembicaraan lebih lanjut. Tanpa menunggu jawaban, Bagas buru-buru beranjak menuju kamar untuk mengganti pakaian.Ratih hanya bisa terdiam, merasa ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Sementara itu, Bagas yang sedang mengganti pakaian tampak gelisah, seolah ingin melarikan dir
"Maaf, Mas," ucap Ratih pelan, nyaris tak terdengar.Bagas menghela napas panjang, menahan kekesalannya. "Udah, tolong bantu aku hitung hasil panen," pintanya, mencoba mengalihkan perhatian mereka.Namun, sebelum mereka sempat melangkah, suara gemuruh mesin mobil memecah keheningan.Brmm... hsshhh!Sebuah mobil mewah berwarna hitam berhenti di tepi perkebunan. Pintu terbuka, dan seorang pria berjas rapi keluar, diikuti oleh seorang supir dan seorang pesuruh yang membawa beberapa karung besar."Turunkan semuanya!" perintah pria itu dengan nada tegas."Letakkan di mana, Pak?" tanya si supir sambil menunggu arahan.Sementara itu, Bagas dan Ratih saling bertukar pandang, kebingungan dengan kemunculan tamu tak diundang ini. Pria tersebut berjalan mendekati mereka dengan langkah mantap. Cara jalannya yang angkuh dan pandangan meremehkan membuat suasana semakin tegang."Kamu Bagas, kan?" tanyanya sambil melirik Bagas d
Bagas tertegun. Suara itu menggelegar di dalam kepalanya, seperti gaung yang tak bisa diabaikan. 'Genderuwo itu lagi!' pikirnya."Habisi dia!"Kata-kata itu menusuk relung pikirannya, seakan menjadi perintah yang tidak bisa dilawab. Bagas merasakan pikirannya dikuasai oleh, Genderuwo. 'Ini penghinaan besar bagi aku!' batinnya mulai berubah. 'Aku nggak akan membiarkan siapapun menjatuhkanku. Aku mau dia mati!' Tatapan Bagas berubah dingin, penuh kebencian. Dalam benaknya, wajah pria kaya yang menghina dirinya muncul jelas, diiringj dengan tawa sinis. Kebencian itu menguasai hati Bagas dan merasuki jiwanya.Di tengah pikiran yang berkecamuk, tawa terdengar kembali. "Ha-ha-ha! Aku akan membantumu, Bagas!" Suara itu semakin kuat terdengar. Bagas merasakan tubuhnya mulai menggigil. Bukan karena takut, melainkan sensasi aneh yang menjalar dari ujung kepala hingga kakinya. Dadanya berdebar-debar."Mas, Bagas!" Pan
Bagas membuka pintu ruang kerjanya yang lebih mirip gudang kecil dengan rak kayu berisi benda-benda tua. Sebuah meja kayu besar berdiri di tengah ruangan, tertutup kain hitam yang menutupi sesuatu. Setelah memastikan pintu terkunci rapat, dia menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya.“Sudah waktunya,” gumamnya pelan, matanya menatap meja itu tajam.Dia melangkah mendekat dan membuka kain hitam perlahan. Sebilah keris kuno berkilauan dalam cahaya remang, sementara di sebelahnya terdapat mangkuk tanah liat berisi dedaunan, akar, dan cairan hitam berbau menyengat.Bagas mengangkat keris itu dengan hati-hati, mengamatinya seolah benda itu menyimpan semua jawaban yang dia cari. “Kamu akan membantuku,” katanya lirih.Tiba-tiba, udara di ruangan itu berubah dingin. Bagas melantunkan doa dengan suara berat, kata-katanya terdengar aneh dan tidak seperti bahasa biasa.“Dia akan menghancurkan hidupku,” katanya dengan nada bergetar, membayangkan wajah laki-laki yang membawa karung padi
Bagas memandang jimat di tangannya. “Hancurkan?” pikirnya dalam hati. Sebuah ide gila muncul dalam benaknya. Jika jimat ini dihancurkan, mungkin semua perjanjian akan berakhir. Namun, dia tahu risikonya—bisa saja hidupnya berakhir seketika.Genderuwo tertawa keras, suaranya menggema di seluruh ruangan. “Kamu tak punya keberanian untuk itu, Bagas! Kamu terlalu lemah!”“Diam!” Bagas berteriak, menggenggam jimat itu erat-erat. Pikirannya berkecamuk. Jika ini satu-satunya cara untuk menyelamatkan Ratih, maka dia harus melakukannya.“Lebih baik aku hancur, daripada kehilangan dia!” teriak Bagas. Dengan sisa tenaga dan keberanian, dia melempar jimat itu ke lantai, lalu menginjaknya dengan sekuat tenaga.“Tidakkkk!” suara Genderuwo melengking, bersamaan dengan jimat yang pecah berkeping-keping. Hawa panas menyembur dari retakan lantai, dan sosok Genderuwo itu mulai bergetar, tubuhnya terdistorsi seperti asap yang terbakar.Bagas jatuh terduduk,
"Bagas, jangan biarkan jimat itu rusak atau ditemukan. Kalau terjadi, aku akan mengambil semuanya, termasuk dia."Suara itu menggema, berat dan mengerikan, memenuhi setiap sudut mimpi Bagas. Dalam kegelapan pekat, sosok Genderuwo berdiri menjulang.Genderowo mendekat dengan langkah berat yang mengguncang tanah, menciptakan retakan di bawah kaki Bagas.Bagas mundur perlahan, tubuhnya gemetar. “Nggak ... tolong jangan ambil dia! Jangan ambil Ratih!” teriaknya, suaranya pecah penuh ketakutan.“Aku sudah peringatkan berapa kali jangan rusak perjanjianmu, Bagas. Atau semuanya akan lenyap.” Genderuwo menyeringai, menunjukkan gigi-gigi tajamnya yang mengerikan. Suaranya terdengar seperti geraman seekor binatang buas.Sebelum Bagas sempat menjawab, sosok itu tiba-tiba melompat ke arahnya, menerkam dengan cakar besar. Bagas terbangun dengan teriakan keras, tubuhnya basah oleh keringat.Tak lama dia terbangun dari mimpi itu. "Hah! Mimpi be
“Aku tau,” kata Ratih pelan tapi tegas. “Aku tau ada harga yang harus dibayar. Tapi aku juga tau kalau kita tetap di jalan ini, harga yang kita bayar akan jauh lebih besar. Bahkan mungkin nyawa mu sendiri akan jadi bayarannya.”Suasana hening menyelimuti mereka. Ratih tahu perjuangannya tidak akan mudah. Bagas sudah terjerat dalam janji kekuatan gelap.Namun, Ratih tidak ingin menyerah. Dia teringat pesan Kyai Ahmad. "Kekuatan itu akan terus menuntut, hingga segalanya hancur."Bagas merasa terpojok. Dia menyadari bahwa Ratih benar, tapi ketakutannya lebih besar. Dia takut kehilangan segalanya. Kekayaan, status, bahkan nyawanya.“Aku cuma butuh waktu, Ratih,” kata Bagas akhirnya, suaranya melembut. “Berikan aku waktu untuk memikirkan semua ini.”Ratih menggeleng, ekspresinya tegas. “Aku rasa waktu yang kamu punya udah lebih dari cukup, Mas. Bahkan kamu udah menipu aku dengan amarahmu itu!”Bagas terdiam. Sorot matanya berubah, men
"Argh! Aku harus bicara dengan Mas Bagas!" Ratih bangkit dari duduknya, bersiap pulang ke rumah Bagas. Dia ingin suaminya sadar atas semua kesalahannya. Ratih tinggal di kontrakan, jauh dari rumah itu. Namun, setiap hari dia dihantui oleh bayangan Genderuwo. Desas-desus tentang Bagas terdengar di mana-mana. Warga sering membicarakan suaminya dengan nada sinis. Ratih hanya diam, tidak pernah menjawab. Ratih merasa iba dan kasihan pada Bagas. Jika terbongkar, Bagas bisa diusir dari desa. Bahkan, mungkin hal buruk lainnya akan terjadi. Tok! Tok! Ratih mengetuk pintu rumah sedikit keras. Pintu itu tidak terkunci, sehingga terbuka perlahan dengan sendirinya. "Mas Bagas!" panggil Ratih lembut. Tidak ada jawaban. Suasana di dalam rumah terasa sunyi dan dingin. Ratih melangkah ke kamar, tempat dia mendapati Bagas duduk di samping ranjang. Tubuhnya membungkuk, kedua tangan memegang lutut, seola
"Juragan! Ada orang dari kota mencari Juragan!" seru salah satu pekerja dengan wajah panik.Bagas segera bergegas ke ladang. Di sana, seorang pria paruh baya berpakaian rapi berdiri dengan tangan bertumpu di pinggang, ekspresinya tegas."Anda mencari saya?" tanya Bagas dari belakang, suaranya berat namun penasaran.Pria itu berbalik. "Oh, kamu Bagas?""Ya, benar. Ada apa?" Bagas merasakan firasat buruk menjalar di dadanya.Pria itu menarik napas panjang sebelum berkata, "Saya hanya ingin memberitahu, mulai hari ini ... kami menghentikan pembelian sayur dan beras dari ladangmu."Bagas terdiam sejenak, seolah waktu berhenti. Kata-kata itu menghantamnya seperti batu besar. Dengan nada tinggi, dia membalas, "Kenapa, Pak? Apakah hasil panen saya kurang baik?"Pria itu menatapnya dengan dingin. "Ya, benar. Kualitasnya buruk sekali."Bagas tidak percaya dengan apa yang didengarnya. "Tapi selama ini semuanya baik-baik saja, kan? Apa ada masalah baru?" tanyanya tak terima.Tanpa berkata banyak
"Aku harus kasih tahu warga!"Seorang petani yang baru saja menyelesaikan pekerjaannya di ladang Bagas melangkah cepat menjauh dari rumah Bagas. Keringat bercucuran di wajahnya, bukan karena lelah, tetapi karena rasa takut yang menghantuinya. Petani itu berasal dari desa seberang, cukup jauh dari Desa Karang Jati, namun malam ini dia menyaksikan sesuatu yang membuat bulu kuduknya berdiri.Bruk!Tak sengaja, beberapa gentong air yang berada di dekatnya terjatuh. Suara keras itu memecah kesunyian malam. Seketika, jantung petani itu berdetak kencang, lebih cepat dari sebelumnya. Dia mendengar suara Bagas dari dalam rumah."Siapa itu?!" teriak Bagas dengan nada curiga.Petani itu panik. Dengan cepat, dia bersembunyi di bawah tumpukan karung goni di samping gudang kecil yang ada di dekat rumah Bagas. Nafasnya berat, dan tangannya gemetar. Dia memejamkan mata, berharap kehadirannya tidak terendus.“Huff, aku nggak boleh ketahuan!” gumamnya pelan, berusaha menenangkan dirinya sendiri.Namu
“Panas… Panas!”Bagas terus mengguyur tubuhnya dengan air dingin dari ember. Namun, rasa terbakar itu tidak kunjung hilang. Kulitnya merah seperti habis dijilat api. Napasnya tersengal-sengal, keringat bercucuran di antara siraman air. Tapi ini bukan hanya panas fisik, melainkan ketakutan yang merayap di benaknya.Dia tahu, apa yang dia lakukan tadi telah membuka pintu bahaya yang lebih besar. Genderuwo itu tidak akan pernah puas—tidak sampai mendapatkan apa yang telah dijanjikan."Aku yakin … pasti ada yang tolong Ratih!" gumamnya penuh amarah. Matanya merah menatap bayangan dirinya di air.Tiba-tiba, suara berat dan serak terdengar di belakangnya.“Bagas … Kamu telah lama tidak memberikan aku persyaratan itu.”Suara itu seperti gemuruh, membuat tubuh Bagas gemetar. Dia menoleh cepat, dan di sana berdiri sosok besar dengan tubuh berbulu hitam legam, mata merah menyala seperti bara api. Genderuwo itu melangkah mendekat, setiap langkahnya mengguncang lantai kayu rumah.“T—tunggu! Beri
"Astaga, kamu siapa?!" Ratih terkejut melihat sosok anak kecil di depannya. Tubuh anak itu dipenuhi bulu tebal, pendek, namun matanya menyala merah seperti bara api. Senyumnya lebar, terlalu lebar untuk wajahnya yang kecil.Ratih mundur dengan napas tersengal, tapi sebelum dia bisa berkata lebih banyak, sosok itu mendekat dengan langkah lambat, tangannya terulur ke arah Ratih.Seketika, Ratih tersentak bangun. Napasnya memburu, keringat dingin membasahi wajahnya. Dia memegang dadanya yang berdegup kencang, mencoba mengatur pernapasannya."Astagfirullah... aku tadi mimpi?" gumamnya, suaranya terdengar gemetar. Dia mengusap wajahnya dengan tangan yang masih bergetar, berharap bisa menghapus sisa ketakutan dari mimpi buruknya.Ratih duduk di tepi tempat tidurnya, mencoba menenangkan diri. Tapi perasaan tidak nyaman itu belum hilang. Seolah bayangan mimpi tadi masih menempel di pikirannya.Dia bangkit perlahan, berjalan menuju jendela kamar. Langit sudah gelap, hanya diterangi oleh bulan
“Anakku… Kenapa begini!”Ratih terhenti. Suara itu terdengar dekat, dipenuhi kesedihan yang mendalam. Dia menoleh ke kanan dan ke kiri, mencoba mencari sumber suara. Di kejauhan, dia melihat bayangan seorang wanita yang duduk di tanah. Wanita itu menangis tersedu, tubuhnya berguncang, sementara di pelukannya ada sosok kecil yang tampak tak bergerak.Hati Ratih berdebar. Dia ragu untuk mendekat, tapi langkah kakinya seolah bergerak sendiri.“Bu, kenapa?” tanyanya dengan suara pelan, nyaris berbisik.Wanita itu tidak menjawab. Tangisannya semakin keras, seperti membelah keheningan malam. Ratih mencoba lebih dekat, tapi setiap kali dia melangkah, jaraknya tetap sama. Seolah-olah hutan itu tidak ingin dia mencapai wanita itu.Ratih mencoba lagi. “Bu, saya bisa bantu. Apa yang terjadi dengan anakmu?”Namun, wanita itu hanya menggeleng, masih menangis tersedu. “Dia… anakku… aku tidak bisa melindunginya…”Ratih tertegun. Ada rasa sakit yang begitu kuat dalam suara itu, seperti sebuah luka y