Aku pikir, setelah keluar dari pekerjaanku, semua gangguan itu akan berhenti. Tapi aku salah besar. Sosok yang selama ini hanya mengintai dari sudut-sudut gelap kantor dan rumah majikanku, ternyata mengikutiku ke mana pun aku pergi. Setiap langkah, setiap hembusan napas, selalu ada sesuatu yang mengawasi. Suara langkah kaki di belakangku, bayangan di cermin yang bukan milikku, semua semakin nyata. Kini, aku terjebak dalam mimpi buruk tanpa akhir, dan aku tidak tahu apakah aku akan bisa lari dari teror ini.
View MoreAyah mertuaku masuk ke dalam rumah, napasnya terdengar sedikit tersengal, seolah baru saja menyelesaikan sesuatu yang melelahkan. Wajahnya serius, tetapi ia berusaha menyembunyikan kegelisahannya.Dia menatapku dengan mata penuh keyakinan, lalu berkata pelan, "Tidurlah, semuanya akan baik-baik saja. Jangan khawatir."Aku hanya bisa mengangguk meskipun di dalam hatiku masih terasa cemas. Perlahan aku berbaring kembali di kasur, meskipun pikiranku terus terjaga. Suara-suara di atap sudah mereda, dan keheningan yang melingkupi rumah itu terasa aneh, seperti ketenangan yang datang setelah badai. Aku mencoba memejamkan mata, berharap rasa kantuk datang.Esok paginya, ketika matahari mulai menyinari rumah kami, aku terbangun dengan perasaan yang berbeda. Tubuhku yang semalam lemas dan dingin, kini terasa jauh lebih segar. Aku duduk, mengamati sekeliling. Naufal yang semalam demam tinggi, kini tampak tertidur dengan tenang, wajahnya lebih rileks, dan ketika aku m
Selain keluargaku yang mengalami sakit-sakitan, hal itu juga terjadi pada keluarga Naufal. Kedua adiknya mendadak mengalami demam tanpa sebab yang jelas, dan kondisi kami semua menurun secara bersamaan. Keadaan semakin parah ketika ayah Naufal, yang tampaknya cukup paham dengan hal-hal spiritual, mulai mencurigai bahwa ada kekuatan gaib yang mempengaruhi kami. Dia memandang serius gejala-gejala yang terjadi, bukan hanya sekadar sakit biasa. Wajahnya semakin serius saat berbicara dengan ayahku suatu malam."Ada sesuatu di sini yang nggak bisa kita lihat," ucapnya lirih, menatap ayahku dengan mata penuh keyakinan. "Kita harus mencari cara untuk menetralisirnya."Ayahku, yang pada awalnya skeptis, mulai mengangguk pelan. Kesehatan keluarganya yang terus menurun membuatnya mempertimbangkan segala kemungkinan."Apa yang bisa kita lakukan?" tanya ayahku, wajahnya terlihat khawatir namun masih tenang.Ayah Naufal menunduk sebentar, berpikir dalam diam, sebelum akhirnya
Setelah serangkaian acara pernikahan, ayah dan ibu memintaku dan Naufal untuk tinggal terpisah, meski hanya bersebelahan. Kami di minta pindah ke rumah kecil nenek di sebelah, karena dia sekarang akan menetap di rumah bibi. Namun, setelah kami pindah, hal-hal aneh mulai terjadi. Tubuhku mulai terasa lemas, dan malam-malamku dipenuhi keringat dingin yang membasahi sekujur tubuh. Meski sudah diselimuti berlapis-lapis, tubuhku menggigil tak terbendung. "Naufal, aku... aku nggak kuat lagi," ucapku lirih suatu malam, tubuhku bergetar hebat. Naufal duduk di sampingku, memegangi tanganku yang dingin. "Kamu kenapa, Sayang? Badanmu panas, tapi kamu kedinginan," jawabnya sambil menatapku cemas. "Aku nggak tahu... Aku merasa ada yang salah di sini. Setiap malam, aku selalu kedinginan begini. Badanku juga lemas, nggak ada tenaga." Naufal menghela napas panjang, memegang dahiku. "Besok kita ke dokter lagi, ya? Kita nggak bisa begini terus."
Persiapan pernikahanku dan Naufal selesai dengan cepat, tak lebih dari satu bulan menuju akad. Semua terasa begitu terburu-buru, seolah aku tidak diberi waktu untuk merenungkan apa yang sebenarnya sedang terjadi. Aku juga tak bisa melawan kedua orang tuaku yang tampak begitu antusias.Aku sempat bertengkar hebat dengan Naufal, jelas karena aku tidak menginginkan pernikahan ini. Tapi entah mengapa, semakin hari aku merasa semakin bersalah padanya."Apakah aku terlalu keras," pikirku.Aku sempat ingin kabur dan membatalkan pernikahan ini, tapi semua persiapan sudah begitu sempurna. Aku tidak mungkin tega membiarkan kedua orang tuaku mengalami kerugian dana. Kabur pun, aku harus ke mana?Setelah malam yang penuh emosi itu, aku terbangun di tengah keheningan, tanpa melihat jam. Udara terasa dingin, dan suasana rumah sunyi, hanya suara angin yang berhembus di luar. Aku merasa perlu ke kamar mandi, jadi aku bangkit perlahan dari tempat tidur dan menuju ke sana.Saat me
Pagi itu, setelah sarapan, gerimis mulai turun, menciptakan suasana tenang yang menyelimuti rumah. Udara segar dari hujan masuk melalui jendela, membawa kesejukan yang tak biasanya. Aku sedang membereskan meja makan ketika tiba-tiba terdengar suara bel pintu.Ayah yang kebetulan berada di ruang tamu berjalan ke arah pintu dan membukanya. Aku masih sibuk dengan piring-piring di tangan, tapi suara Ayah memanggil namaku membuatku berhenti sejenak."Nur, ada tamu untukmu."Aku mengernyit, tidak ingat sedang menunggu siapa pun. Tapi saat aku melihat ke arah pintu, jantungku berdegup kencang.Dia.Seseorang yang sudah lama tak kulihat, dan sejujurnya tak pernah kuharapkan datang lagi. Mantan pacarku, yang terakhir kutemui sebelum berangkat ke Jakarta. Pria yang meninggalkan jejak luka di hatiku yang tak mudah sembuh."Naufal?" tanyaku setengah tidak percaya, suaraku hampir tak keluar.Dia berdiri di sana, dengan tatapan serius
Malam semakin larut, tapi kantuk tak lagi mendekat. Kami bertiga duduk di teras, diterangi cahaya lampu yang temaram. Ayah sesekali menghela napas berat, sementara ibu hanya menatapku dengan sorot mata cemas, seolah mencari penjelasan di wajahku yang masih pucat. Namun, aku sendiri pun tak tahu apa yang sebenarnya terjadi."Ada apa, Nur?" tanya ayah lembut, namun tetap penuh tekanan.Dia mengerti, pasti ada yang menggangguku sejak aku kembali ke rumah. Aku tak pernah segelisah ini sebelumnya.Aku menggigit bibir, ragu untuk menceritakan semuanya. Selama ini, aku mencoba menekan semua ketakutan dan kejadian aneh yang kualami di tempat kerja.Namun, semakin lama, rasanya mustahil untuk menyembunyikannya. Tindakan ini sudah mulai memengaruhi kesehatanku, pikiranku, bahkan kini merambah ke rumah yang dulu selalu menjadi tempat teraman bagiku."Aku...," suaraku tercekat, tapi kutekan rasa takut itu dalam-dalam. "Aku merasa ada sesuatu yang mengikuti sejak di tempat kerja, Ayah, Ibu. Bukan
Beberapa hari setelah tahun baru, tepatnya tahun 2018, suasana rumah sedikit lengang. Majikanku, Bu Inggi dan keluarganya, memutuskan untuk mudik ke Bandung selama beberapa hari. Mereka menitipkan rumah padaku dan Eci, seperti biasa, sambil berjanji bahwa sepulang mereka, akan ada pengganti yang datang untukku.Aku menghela napas panjang, berusaha menenangkan pikiran. Ini bisa jadi kesempatan bagiku untuk benar-benar keluar dari situasi ini. Tanpa Bu Inggi di sini, aku merasa ada ruang untuk berpikir lebih jernih, tanpa terus dihantui rasa bersalah yang dia tanamkan dengan permohonan dan janji-janjinya.Beberapa hari sebelumnya, keluargaku semakin khawatir melihat kondisiku yang tak kunjung membaik, dan mereka akhirnya memutuskan untuk turun tangan. Hari itu, keluargaku datang menjemputku tanpa memberi kabar.Mereka datang dengan wajah cemas, terutama ibuku. Ketika melihat tubuhku yang semakin kurus dan lemah, air mata ibuku jatuh tanpa bisa ditahan."Nur, ayo pulang. Kamu nggak bisa
Siang itu, suasana di meja makan terasa begitu tegang. Bu Inggi, majikan kami, memanggil kami untuk menghadapnya. Aku belum sempat membicarakan langsung soal keinginanku untuk berhenti, tapi dari cara Bu Inggi memandangku, aku tahu keluargaku pasti sudah menghubunginya lebih dulu."Nur," ucapnya dengan nada lembut tapi tegas, "kamu kenapa? Kamu gak betah di sini?" Ia menatapku tajam, lalu melanjutkan, "Saya galak ya?"Pertanyaannya membuatku terdiam sejenak. Aku bisa merasakan Eci yang duduk di sebelahku gelisah, tetapi aku harus menjawab. Suasana ini semakin membuatku tidak nyaman."Enggak, Bu... bukan begitu," jawabku pelan, suaraku terdengar bergetar. "Bukan karena Ibu atau suasananya, tapi saya merasa... ada yang aneh di rumah ini."Wajah Bu Inggi berubah sejenak. Ia menyilangkan tangannya di depan dada, lalu menatapku dengan lebih serius."Aneh gimana, Nur?"Aku menarik napas panjang, mencoba menyusun keberanian. "Di kantor, Bu... saya sering dengar suara-suara aneh. Suara meja d
Selang beberapa hari setelah kejadian di kantor itu, tubuhku mulai merasakan sesuatu yang tak biasa. Awalnya aku berpikir hanya kecapekan, tapi gejalanya semakin aneh. Tenggorokkanku sering terasa penuh, berdahak, dan ketika aku meludah, ada bercak-bercak merah, seolah bercampur darah. Hal itu membuatku khawatir, tapi aku mencoba menyangkal, berpikir mungkin hanya masalah kecil.Namun, tubuhku semakin lemah dari hari ke hari. Terkadang, tanpa alasan yang jelas, aku merasa pusing dan hampir jatuh saat sedang bekerja. Eci mulai khawatir melihat kondisiku. Setiap kali aku mengeluh soal rasa lelah yang tak wajar ini, dia hanya menggeleng, tampak bingung."Kamu beneran nggak mau periksa ke dokter, Nur?" tanyanya suatu sore ketika kami sedang beristirahat di dapur. Matanya menatapku penuh kekhawatiran.Aku menghela napas panjang. "Nggak usah, paling cuma masuk angin."Tapi dalam hatiku, aku tahu ada sesuatu yang tidak beres. Aku hanya tak ingin memikirkan hal itu lebih jauh, takut pada kemu
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments