Share

BAB 4

Selang beberapa hari setelah kejadian di kantor itu, tubuhku mulai merasakan sesuatu yang tak biasa. Awalnya aku berpikir hanya kecapekan, tapi gejalanya semakin aneh. Tenggorokkanku sering terasa penuh, berdahak, dan ketika aku meludah, ada bercak-bercak merah, seolah bercampur darah. Hal itu membuatku khawatir, tapi aku mencoba menyangkal, berpikir mungkin hanya masalah kecil.

Namun, tubuhku semakin lemah dari hari ke hari. Terkadang, tanpa alasan yang jelas, aku merasa pusing dan hampir jatuh saat sedang bekerja. Eci mulai khawatir melihat kondisiku. Setiap kali aku mengeluh soal rasa lelah yang tak wajar ini, dia hanya menggeleng, tampak bingung.

"Kamu beneran nggak mau periksa ke dokter, Nur?" tanyanya suatu sore ketika kami sedang beristirahat di dapur. Matanya menatapku penuh kekhawatiran.

Aku menghela napas panjang. "Nggak usah, paling cuma masuk angin."

Tapi dalam hatiku, aku tahu ada sesuatu yang tidak beres. Aku hanya tak ingin memikirkan hal itu lebih jauh, takut pada kemungkinan yang belum bisa kupahami. Terutama setelah semua gangguan yang terjadi di kantor dan rumah ini, aku mulai merasa tubuhku terpengaruh oleh sesuatu yang lebih dari sekadar penyakit fisik.

Suatu malam, aku terbangun oleh suara gemericik air yang terdengar samar dari arah balkon. Dalam keadaan setengah sadar, aku mencoba mengabaikannya, meyakinkan diriku bahwa itu hanya angin atau mungkin Eci yang sedang berwudhu untuk sholat subuh. Tapi anehnya, suara itu terus berlanjut, seolah keran air dibiarkan mengalir tanpa henti.

Dengan rasa kantuk yang berat, aku membuka mata perlahan dan melirik ke arah pintu balkon yang terbuka sedikit. Samar-samar, aku bisa melihat air mengalir dari keran, tapi tak ada siapa-siapa di sana. Balkon itu kosong, tak ada tanda-tanda kehadiran Eci.

"Ah, mungkin dia baru saja selesai dan kembali ke kamar," gumamku dalam hati, mencoba meredakan perasaan aneh yang mulai muncul. Tapi ada sesuatu yang tidak benar. Suara air itu terdengar terlalu deras, seolah-olah seseorang sengaja membiarkannya terbuka lebar.

Aku terdiam sejenak, mendengarkan lebih seksama. Aku bangkit dari tempat tidur dengan langkah pelan, berusaha menepis perasaan tak nyaman yang mulai merayap di punggungku.

"Eci?" panggilku dengan suara pelan, berharap dia masih terjaga di sekitar sana. Tapi tak ada jawaban.

Saat aku membuka pintu balkon sepenuhnya, udara dingin menyentuh wajahku, dan bulu kudukku berdiri. Keran itu memang terbuka, airnya mengalir deras, tapi tak ada siapa pun di sekitar.

Jantungku mulai berdegup lebih cepat. Aku memutar keran itu hingga berhenti mengalir, lalu kembali masuk ke dalam kamar dengan langkah tergesa.

"Eci, kamu tadi di balkon?" tanyaku setengah berbisik ketika aku melihatnya masih tertidur pulas di kasurnya.

Dia mengerang pelan, setengah sadar, sebelum menjawab dengan suara berat, "Enggak, kenapa sih?"

Aku terdiam, mencoba memahami apa yang barusan terjadi. Jika bukan Eci, lalu siapa yang membuka keran air di balkon?

Aku kembali ke kamarku, mencoba meredakan detak jantungku yang masih berdebar keras. Mataku melirik ke arah jam dinding, jarumnya menunjukkan pukul 3 pagi. Masih jauh dari waktu subuh.

Kamar terasa dingin, lebih dari biasanya. Aku merapatkan selimut, berusaha mengusir perasaan tidak nyaman yang terus menghantui. Meski aku sudah menutup keran dan meyakinkan diri bahwa semua baik-baik saja, ada sesuatu yang tak beres.

Aku mencoba memejamkan mata, tetapi rasa was-was itu terus membayangi.

"Kenapa keran bisa terbuka? Dan kenapa perasaan ini tak kunjung pergi?"

Aku berusaha mencari jawaban, tapi tak ada yang masuk akal. Pikiranku berputar-putar, dan meskipun tubuhku lelah, tidur seolah menjauh. Di luar, angin malam berdesir pelan, tetapi sunyi itu terasa terlalu mencekam.

Aku berbalik ke sisi lain, mencoba tidur, namun seakan ada sesuatu yang menahan. Pandanganku mengarah ke jendela, tapi tak berani menatap terlalu lama, takut apa yang mungkin bisa kulihat di luar sana.

Saat aku hendak memejamkan mata, pintu kamarku terbuka perlahan. Aku terkejut melihat Eci berdiri di ambang pintu. Wajahnya terlihat pucat, dan matanya sedikit bengkak seperti orang yang baru bangun tidur.

“Nggak bisa tidur?” tanyaku pelan, masih dengan sedikit rasa kaget.

Eci menggeleng lemah. "Temenin aku ke kamar mandi, ya," suaranya terdengar agak bergetar, seolah ada rasa takut yang disembunyikan.

Aku bangun dengan cepat, rasa kantuk hilang begitu saja. "Kenapa nggak dari tadi? Kamu baik-baik aja?"

Eci hanya mengangguk tanpa menjawab. Aku meraih senter di meja kecil di samping kasur, lalu berjalan di belakangnya menuju kamar mandi. Perasaan tak nyaman mulai merayap lagi di benakku, mengingat kejadian-kejadian sebelumnya.

Di luar kamar, suasana rumah terasa lebih mencekam di malam hari. Hanya terdengar suara langkah kaki kami yang berat, menapaki lantai dingin. Sepanjang perjalanan, aku tak bisa menghilangkan rasa takut yang tiba-tiba menyeruak, perasaan seolah ada sesuatu yang mengintai dari kegelapan.

Eci menatapku sejenak sebelum mendorong pintu kamar mandi lebih lebar. "Tunggu di sini, ya," katanya sambil melangkah masuk.

Aku berdiri di depan pintu, berusaha tetap tenang. Tapi entah kenapa, bulu kudukku berdiri, dan rasa dingin di punggungku semakin menusuk.

“Ci, udah belum?” tanyaku dengan nada cemas, mencoba mengalihkan pikiranku dari ketidaknyamanan yang menyelimuti suasana di sekitar.

Suara air yang mengalir dari keran masih terdengar, namun tidak ada jawaban dari Eci. Detak jantungku semakin cepat, dan aku melangkah sedikit lebih dekat ke pintu, berusaha mendengar suara gerakan di dalam kamar mandi.

“Eci?” Aku memanggil lagi, kali ini dengan sedikit lebih keras. “Kamu baik-baik aja?”

Masih tak ada jawaban. Aku mengernyit, merasa gelisah. “Ci, jangan lama-lama!” seruku, mencemaskan apa yang mungkin terjadi di dalam.

Setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya, akhirnya Eci muncul dari dalam kamar mandi, wajahnya tampak lebih pucat dari sebelumnya.

“Aku... aku merasa aneh,” ujarnya, suaranya bergetar. “Sepertinya ada yang mengawasi.”

Mendengar kata-katanya, rasa takutku semakin membuncah. “Maksudmu?”

Eci menatapku dengan mata penuh ketakutan. “Aku merasa ada seseorang di dalam, tapi nggak ada siapa-siapa.”

Sebelum aku bisa menjawab, suara berderit dari dalam kamar mandi terdengar lagi, seperti pintu yang terbuka dan tertutup dengan sendirinya. Kami berdua saling memandang, dan tanpa berkata-kata, insting kami langsung menggerakkan kami untuk mundur perlahan.

"Cukup, kita masuk kamar saja!” aku berbisik, menarik Eci menjauh dari pintu.

Tapi saat aku berbalik, pintu kamar mandi itu tiba-tiba tertutup dengan keras, menggemparkan kami. Rasa takut yang sudah mengendap di dalam dada kini menggelora, membuatku tidak bisa bergerak.

Aku dan Eci berlari menuju kamar, terengah-engah dalam ketakutan. Begitu kami sampai di dalam, aroma menyengat tiba-tiba menyerang indra penciumanku. Bau busuk itu memenuhi udara, seolah ada sesuatu yang tidak beres di sekitar kami.

"Ci, apa ini?” tanyaku dengan suara bergetar, menutupi hidungku dengan lengan. “Kamu mencium bau itu?”

Eci mengangguk, matanya membulat ketakutan. “Iya! Seperti… bau bangkai."

Bau itu semakin kuat, seolah menyelimuti kami, membuatku merasa mual. Keterasingan di dalam kamar ini seakan menciptakan dinding tak terlihat yang membuat kami semakin terjebak.

Eci meraih tanganku, matanya penuh ketakutan. “Kita harus pergi dari sini! Ini tidak aman!”

Aku menatap ke arah pintu, merasa seolah ada sesuatu yang mengintai dari baliknya. “Tapi ke mana? Kita nggak bisa keluar sekarang!”

Tanpa berpikir panjang, aku melangkah ke jendela, berharap bisa melihat dunia luar yang terasa lebih aman. Namun, saat menatap ke luar, keheningan malam Jakarta hanya menambah rasa tidak nyaman di dalam dada.

“Tunggu sebentar,” bisikku, “kita perlu tenang.”

Mendengar suaraku, Eci menarik napas dalam-dalam, meskipun wajahnya masih tampak ketakutan. “Tapi bagaimana jika… jika ada sesuatu di dalam rumah ini?”

Satu pertanyaan itu meluncur seperti anak panah, menembus jantungku. Aku tahu, di luar semua ketakutan ini, sesuatu yang aneh dan tidak bisa dijelaskan sedang terjadi.

Saat itu, suara deru mesin mobil majikan terdengar dari luar, menembus keheningan malam. Mereka baru pulang, seperti biasa, jarang terlihat di rumah dan selalu keluar entah kemana setiap malam. Aku dan Eci langsung saling berpandangan.

“Apa mereka gak pernah tidur?” bisik Eci, sedikit was-was.

Aku hanya menggeleng pelan. "Entahlah. Mereka selalu pergi larut dan pulang saat semua orang sudah tertidur."

Aku menatap jendela, melihat lampu depan mobil yang menerangi jalan masuk. Ada sesuatu yang aneh tentang mereka, tapi kami tak pernah bertanya. Mungkin karena ketakutan atau hanya merasa itu bukan urusan kami.

"Aku tidak tahan lagi..." kataku dengan suara bergetar. "Aku ingin berhenti kerja di sini."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status