Selang beberapa hari setelah kejadian di kantor itu, tubuhku mulai merasakan sesuatu yang tak biasa. Awalnya aku berpikir hanya kecapekan, tapi gejalanya semakin aneh. Tenggorokkanku sering terasa penuh, berdahak, dan ketika aku meludah, ada bercak-bercak merah, seolah bercampur darah. Hal itu membuatku khawatir, tapi aku mencoba menyangkal, berpikir mungkin hanya masalah kecil.
Namun, tubuhku semakin lemah dari hari ke hari. Terkadang, tanpa alasan yang jelas, aku merasa pusing dan hampir jatuh saat sedang bekerja. Eci mulai khawatir melihat kondisiku. Setiap kali aku mengeluh soal rasa lelah yang tak wajar ini, dia hanya menggeleng, tampak bingung. "Kamu beneran nggak mau periksa ke dokter, Nur?" tanyanya suatu sore ketika kami sedang beristirahat di dapur. Matanya menatapku penuh kekhawatiran. Aku menghela napas panjang. "Nggak usah, paling cuma masuk angin." Tapi dalam hatiku, aku tahu ada sesuatu yang tidak beres. Aku hanya tak ingin memikirkan hal itu lebih jauh, takut pada kemungkinan yang belum bisa kupahami. Terutama setelah semua gangguan yang terjadi di kantor dan rumah ini, aku mulai merasa tubuhku terpengaruh oleh sesuatu yang lebih dari sekadar penyakit fisik. Suatu malam, aku terbangun oleh suara gemericik air yang terdengar samar dari arah balkon. Dalam keadaan setengah sadar, aku mencoba mengabaikannya, meyakinkan diriku bahwa itu hanya angin atau mungkin Eci yang sedang berwudhu untuk sholat subuh. Tapi anehnya, suara itu terus berlanjut, seolah keran air dibiarkan mengalir tanpa henti. Dengan rasa kantuk yang berat, aku membuka mata perlahan dan melirik ke arah pintu balkon yang terbuka sedikit. Samar-samar, aku bisa melihat air mengalir dari keran, tapi tak ada siapa-siapa di sana. Balkon itu kosong, tak ada tanda-tanda kehadiran Eci. "Ah, mungkin dia baru saja selesai dan kembali ke kamar," gumamku dalam hati, mencoba meredakan perasaan aneh yang mulai muncul. Tapi ada sesuatu yang tidak benar. Suara air itu terdengar terlalu deras, seolah-olah seseorang sengaja membiarkannya terbuka lebar. Aku terdiam sejenak, mendengarkan lebih seksama. Aku bangkit dari tempat tidur dengan langkah pelan, berusaha menepis perasaan tak nyaman yang mulai merayap di punggungku. "Eci?" panggilku dengan suara pelan, berharap dia masih terjaga di sekitar sana. Tapi tak ada jawaban. Saat aku membuka pintu balkon sepenuhnya, udara dingin menyentuh wajahku, dan bulu kudukku berdiri. Keran itu memang terbuka, airnya mengalir deras, tapi tak ada siapa pun di sekitar. Jantungku mulai berdegup lebih cepat. Aku memutar keran itu hingga berhenti mengalir, lalu kembali masuk ke dalam kamar dengan langkah tergesa. "Eci, kamu tadi di balkon?" tanyaku setengah berbisik ketika aku melihatnya masih tertidur pulas di kasurnya. Dia mengerang pelan, setengah sadar, sebelum menjawab dengan suara berat, "Enggak, kenapa sih?" Aku terdiam, mencoba memahami apa yang barusan terjadi. Jika bukan Eci, lalu siapa yang membuka keran air di balkon? Aku kembali ke kamarku, mencoba meredakan detak jantungku yang masih berdebar keras. Mataku melirik ke arah jam dinding, jarumnya menunjukkan pukul 3 pagi. Masih jauh dari waktu subuh. Kamar terasa dingin, lebih dari biasanya. Aku merapatkan selimut, berusaha mengusir perasaan tidak nyaman yang terus menghantui. Meski aku sudah menutup keran dan meyakinkan diri bahwa semua baik-baik saja, ada sesuatu yang tak beres. Aku mencoba memejamkan mata, tetapi rasa was-was itu terus membayangi. "Kenapa keran bisa terbuka? Dan kenapa perasaan ini tak kunjung pergi?" Aku berusaha mencari jawaban, tapi tak ada yang masuk akal. Pikiranku berputar-putar, dan meskipun tubuhku lelah, tidur seolah menjauh. Di luar, angin malam berdesir pelan, tetapi sunyi itu terasa terlalu mencekam. Aku berbalik ke sisi lain, mencoba tidur, namun seakan ada sesuatu yang menahan. Pandanganku mengarah ke jendela, tapi tak berani menatap terlalu lama, takut apa yang mungkin bisa kulihat di luar sana. Saat aku hendak memejamkan mata, pintu kamarku terbuka perlahan. Aku terkejut melihat Eci berdiri di ambang pintu. Wajahnya terlihat pucat, dan matanya sedikit bengkak seperti orang yang baru bangun tidur. “Nggak bisa tidur?” tanyaku pelan, masih dengan sedikit rasa kaget. Eci menggeleng lemah. "Temenin aku ke kamar mandi, ya," suaranya terdengar agak bergetar, seolah ada rasa takut yang disembunyikan. Aku bangun dengan cepat, rasa kantuk hilang begitu saja. "Kenapa nggak dari tadi? Kamu baik-baik aja?" Eci hanya mengangguk tanpa menjawab. Aku meraih senter di meja kecil di samping kasur, lalu berjalan di belakangnya menuju kamar mandi. Perasaan tak nyaman mulai merayap lagi di benakku, mengingat kejadian-kejadian sebelumnya. Di luar kamar, suasana rumah terasa lebih mencekam di malam hari. Hanya terdengar suara langkah kaki kami yang berat, menapaki lantai dingin. Sepanjang perjalanan, aku tak bisa menghilangkan rasa takut yang tiba-tiba menyeruak, perasaan seolah ada sesuatu yang mengintai dari kegelapan. Eci menatapku sejenak sebelum mendorong pintu kamar mandi lebih lebar. "Tunggu di sini, ya," katanya sambil melangkah masuk. Aku berdiri di depan pintu, berusaha tetap tenang. Tapi entah kenapa, bulu kudukku berdiri, dan rasa dingin di punggungku semakin menusuk. “Ci, udah belum?” tanyaku dengan nada cemas, mencoba mengalihkan pikiranku dari ketidaknyamanan yang menyelimuti suasana di sekitar. Suara air yang mengalir dari keran masih terdengar, namun tidak ada jawaban dari Eci. Detak jantungku semakin cepat, dan aku melangkah sedikit lebih dekat ke pintu, berusaha mendengar suara gerakan di dalam kamar mandi. “Eci?” Aku memanggil lagi, kali ini dengan sedikit lebih keras. “Kamu baik-baik aja?” Masih tak ada jawaban. Aku mengernyit, merasa gelisah. “Ci, jangan lama-lama!” seruku, mencemaskan apa yang mungkin terjadi di dalam. Setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya, akhirnya Eci muncul dari dalam kamar mandi, wajahnya tampak lebih pucat dari sebelumnya. “Aku... aku merasa aneh,” ujarnya, suaranya bergetar. “Sepertinya ada yang mengawasi.” Mendengar kata-katanya, rasa takutku semakin membuncah. “Maksudmu?” Eci menatapku dengan mata penuh ketakutan. “Aku merasa ada seseorang di dalam, tapi nggak ada siapa-siapa.” Sebelum aku bisa menjawab, suara berderit dari dalam kamar mandi terdengar lagi, seperti pintu yang terbuka dan tertutup dengan sendirinya. Kami berdua saling memandang, dan tanpa berkata-kata, insting kami langsung menggerakkan kami untuk mundur perlahan. "Cukup, kita masuk kamar saja!” aku berbisik, menarik Eci menjauh dari pintu. Tapi saat aku berbalik, pintu kamar mandi itu tiba-tiba tertutup dengan keras, menggemparkan kami. Rasa takut yang sudah mengendap di dalam dada kini menggelora, membuatku tidak bisa bergerak. Aku dan Eci berlari menuju kamar, terengah-engah dalam ketakutan. Begitu kami sampai di dalam, aroma menyengat tiba-tiba menyerang indra penciumanku. Bau busuk itu memenuhi udara, seolah ada sesuatu yang tidak beres di sekitar kami. "Ci, apa ini?” tanyaku dengan suara bergetar, menutupi hidungku dengan lengan. “Kamu mencium bau itu?” Eci mengangguk, matanya membulat ketakutan. “Iya! Seperti… bau bangkai." Bau itu semakin kuat, seolah menyelimuti kami, membuatku merasa mual. Keterasingan di dalam kamar ini seakan menciptakan dinding tak terlihat yang membuat kami semakin terjebak. Eci meraih tanganku, matanya penuh ketakutan. “Kita harus pergi dari sini! Ini tidak aman!” Aku menatap ke arah pintu, merasa seolah ada sesuatu yang mengintai dari baliknya. “Tapi ke mana? Kita nggak bisa keluar sekarang!” Tanpa berpikir panjang, aku melangkah ke jendela, berharap bisa melihat dunia luar yang terasa lebih aman. Namun, saat menatap ke luar, keheningan malam Jakarta hanya menambah rasa tidak nyaman di dalam dada. “Tunggu sebentar,” bisikku, “kita perlu tenang.” Mendengar suaraku, Eci menarik napas dalam-dalam, meskipun wajahnya masih tampak ketakutan. “Tapi bagaimana jika… jika ada sesuatu di dalam rumah ini?” Satu pertanyaan itu meluncur seperti anak panah, menembus jantungku. Aku tahu, di luar semua ketakutan ini, sesuatu yang aneh dan tidak bisa dijelaskan sedang terjadi. Saat itu, suara deru mesin mobil majikan terdengar dari luar, menembus keheningan malam. Mereka baru pulang, seperti biasa, jarang terlihat di rumah dan selalu keluar entah kemana setiap malam. Aku dan Eci langsung saling berpandangan. “Apa mereka gak pernah tidur?” bisik Eci, sedikit was-was. Aku hanya menggeleng pelan. "Entahlah. Mereka selalu pergi larut dan pulang saat semua orang sudah tertidur." Aku menatap jendela, melihat lampu depan mobil yang menerangi jalan masuk. Ada sesuatu yang aneh tentang mereka, tapi kami tak pernah bertanya. Mungkin karena ketakutan atau hanya merasa itu bukan urusan kami. "Aku tidak tahan lagi..." kataku dengan suara bergetar. "Aku ingin berhenti kerja di sini."Siang itu, suasana di meja makan terasa begitu tegang. Bu Inggi, majikan kami, memanggil kami untuk menghadapnya. Aku belum sempat membicarakan langsung soal keinginanku untuk berhenti, tapi dari cara Bu Inggi memandangku, aku tahu keluargaku pasti sudah menghubunginya lebih dulu."Nur," ucapnya dengan nada lembut tapi tegas, "kamu kenapa? Kamu gak betah di sini?" Ia menatapku tajam, lalu melanjutkan, "Saya galak ya?"Pertanyaannya membuatku terdiam sejenak. Aku bisa merasakan Eci yang duduk di sebelahku gelisah, tetapi aku harus menjawab. Suasana ini semakin membuatku tidak nyaman."Enggak, Bu... bukan begitu," jawabku pelan, suaraku terdengar bergetar. "Bukan karena Ibu atau suasananya, tapi saya merasa... ada yang aneh di rumah ini."Wajah Bu Inggi berubah sejenak. Ia menyilangkan tangannya di depan dada, lalu menatapku dengan lebih serius."Aneh gimana, Nur?"Aku menarik napas panjang, mencoba menyusun keberanian. "Di kantor, Bu... saya sering dengar suara-suara aneh. Suara meja d
Beberapa hari setelah tahun baru, tepatnya tahun 2018, suasana rumah sedikit lengang. Majikanku, Bu Inggi dan keluarganya, memutuskan untuk mudik ke Bandung selama beberapa hari. Mereka menitipkan rumah padaku dan Eci, seperti biasa, sambil berjanji bahwa sepulang mereka, akan ada pengganti yang datang untukku.Aku menghela napas panjang, berusaha menenangkan pikiran. Ini bisa jadi kesempatan bagiku untuk benar-benar keluar dari situasi ini. Tanpa Bu Inggi di sini, aku merasa ada ruang untuk berpikir lebih jernih, tanpa terus dihantui rasa bersalah yang dia tanamkan dengan permohonan dan janji-janjinya.Beberapa hari sebelumnya, keluargaku semakin khawatir melihat kondisiku yang tak kunjung membaik, dan mereka akhirnya memutuskan untuk turun tangan. Hari itu, keluargaku datang menjemputku tanpa memberi kabar.Mereka datang dengan wajah cemas, terutama ibuku. Ketika melihat tubuhku yang semakin kurus dan lemah, air mata ibuku jatuh tanpa bisa ditahan."Nur, ayo pulang. Kamu nggak bisa
Malam semakin larut, tapi kantuk tak lagi mendekat. Kami bertiga duduk di teras, diterangi cahaya lampu yang temaram. Ayah sesekali menghela napas berat, sementara ibu hanya menatapku dengan sorot mata cemas, seolah mencari penjelasan di wajahku yang masih pucat. Namun, aku sendiri pun tak tahu apa yang sebenarnya terjadi."Ada apa, Nur?" tanya ayah lembut, namun tetap penuh tekanan.Dia mengerti, pasti ada yang menggangguku sejak aku kembali ke rumah. Aku tak pernah segelisah ini sebelumnya.Aku menggigit bibir, ragu untuk menceritakan semuanya. Selama ini, aku mencoba menekan semua ketakutan dan kejadian aneh yang kualami di tempat kerja.Namun, semakin lama, rasanya mustahil untuk menyembunyikannya. Tindakan ini sudah mulai memengaruhi kesehatanku, pikiranku, bahkan kini merambah ke rumah yang dulu selalu menjadi tempat teraman bagiku."Aku...," suaraku tercekat, tapi kutekan rasa takut itu dalam-dalam. "Aku merasa ada sesuatu yang mengikuti sejak di tempat kerja, Ayah, Ibu. Bukan
Pagi itu, setelah sarapan, gerimis mulai turun, menciptakan suasana tenang yang menyelimuti rumah. Udara segar dari hujan masuk melalui jendela, membawa kesejukan yang tak biasanya. Aku sedang membereskan meja makan ketika tiba-tiba terdengar suara bel pintu.Ayah yang kebetulan berada di ruang tamu berjalan ke arah pintu dan membukanya. Aku masih sibuk dengan piring-piring di tangan, tapi suara Ayah memanggil namaku membuatku berhenti sejenak."Nur, ada tamu untukmu."Aku mengernyit, tidak ingat sedang menunggu siapa pun. Tapi saat aku melihat ke arah pintu, jantungku berdegup kencang.Dia.Seseorang yang sudah lama tak kulihat, dan sejujurnya tak pernah kuharapkan datang lagi. Mantan pacarku, yang terakhir kutemui sebelum berangkat ke Jakarta. Pria yang meninggalkan jejak luka di hatiku yang tak mudah sembuh."Naufal?" tanyaku setengah tidak percaya, suaraku hampir tak keluar.Dia berdiri di sana, dengan tatapan serius
Persiapan pernikahanku dan Naufal selesai dengan cepat, tak lebih dari satu bulan menuju akad. Semua terasa begitu terburu-buru, seolah aku tidak diberi waktu untuk merenungkan apa yang sebenarnya sedang terjadi. Aku juga tak bisa melawan kedua orang tuaku yang tampak begitu antusias.Aku sempat bertengkar hebat dengan Naufal, jelas karena aku tidak menginginkan pernikahan ini. Tapi entah mengapa, semakin hari aku merasa semakin bersalah padanya."Apakah aku terlalu keras," pikirku.Aku sempat ingin kabur dan membatalkan pernikahan ini, tapi semua persiapan sudah begitu sempurna. Aku tidak mungkin tega membiarkan kedua orang tuaku mengalami kerugian dana. Kabur pun, aku harus ke mana?Setelah malam yang penuh emosi itu, aku terbangun di tengah keheningan, tanpa melihat jam. Udara terasa dingin, dan suasana rumah sunyi, hanya suara angin yang berhembus di luar. Aku merasa perlu ke kamar mandi, jadi aku bangkit perlahan dari tempat tidur dan menuju ke sana.Saat me
Setelah serangkaian acara pernikahan, ayah dan ibu memintaku dan Naufal untuk tinggal terpisah, meski hanya bersebelahan. Kami di minta pindah ke rumah kecil nenek di sebelah, karena dia sekarang akan menetap di rumah bibi. Namun, setelah kami pindah, hal-hal aneh mulai terjadi. Tubuhku mulai terasa lemas, dan malam-malamku dipenuhi keringat dingin yang membasahi sekujur tubuh. Meski sudah diselimuti berlapis-lapis, tubuhku menggigil tak terbendung. "Naufal, aku... aku nggak kuat lagi," ucapku lirih suatu malam, tubuhku bergetar hebat. Naufal duduk di sampingku, memegangi tanganku yang dingin. "Kamu kenapa, Sayang? Badanmu panas, tapi kamu kedinginan," jawabnya sambil menatapku cemas. "Aku nggak tahu... Aku merasa ada yang salah di sini. Setiap malam, aku selalu kedinginan begini. Badanku juga lemas, nggak ada tenaga." Naufal menghela napas panjang, memegang dahiku. "Besok kita ke dokter lagi, ya? Kita nggak bisa begini terus."
Selain keluargaku yang mengalami sakit-sakitan, hal itu juga terjadi pada keluarga Naufal. Kedua adiknya mendadak mengalami demam tanpa sebab yang jelas, dan kondisi kami semua menurun secara bersamaan. Keadaan semakin parah ketika ayah Naufal, yang tampaknya cukup paham dengan hal-hal spiritual, mulai mencurigai bahwa ada kekuatan gaib yang mempengaruhi kami. Dia memandang serius gejala-gejala yang terjadi, bukan hanya sekadar sakit biasa. Wajahnya semakin serius saat berbicara dengan ayahku suatu malam."Ada sesuatu di sini yang nggak bisa kita lihat," ucapnya lirih, menatap ayahku dengan mata penuh keyakinan. "Kita harus mencari cara untuk menetralisirnya."Ayahku, yang pada awalnya skeptis, mulai mengangguk pelan. Kesehatan keluarganya yang terus menurun membuatnya mempertimbangkan segala kemungkinan."Apa yang bisa kita lakukan?" tanya ayahku, wajahnya terlihat khawatir namun masih tenang.Ayah Naufal menunduk sebentar, berpikir dalam diam, sebelum akhirnya
Ayah mertuaku masuk ke dalam rumah, napasnya terdengar sedikit tersengal, seolah baru saja menyelesaikan sesuatu yang melelahkan. Wajahnya serius, tetapi ia berusaha menyembunyikan kegelisahannya.Dia menatapku dengan mata penuh keyakinan, lalu berkata pelan, "Tidurlah, semuanya akan baik-baik saja. Jangan khawatir."Aku hanya bisa mengangguk meskipun di dalam hatiku masih terasa cemas. Perlahan aku berbaring kembali di kasur, meskipun pikiranku terus terjaga. Suara-suara di atap sudah mereda, dan keheningan yang melingkupi rumah itu terasa aneh, seperti ketenangan yang datang setelah badai. Aku mencoba memejamkan mata, berharap rasa kantuk datang.Esok paginya, ketika matahari mulai menyinari rumah kami, aku terbangun dengan perasaan yang berbeda. Tubuhku yang semalam lemas dan dingin, kini terasa jauh lebih segar. Aku duduk, mengamati sekeliling. Naufal yang semalam demam tinggi, kini tampak tertidur dengan tenang, wajahnya lebih rileks, dan ketika aku m
Hari itu datang lebih cepat dari yang aku bayangkan. Pagi masih berselimut kabut tipis, hawa dingin khas kampungku menyelinap ke sela-sela jendela kayu. Rumah sederhana peninggalan orang tuaku yang lama tak kuhuni kini terlihat ramai, penuh kerabat dan tetangga yang datang membantu persiapan pernikahanku.Di halaman depan, tenda putih dipasang sederhana. Kursi-kursi plastik tertata rapi berhadapan dengan meja panjang tempat hidangan akan diletakkan. Beberapa bunga krisan putih dipadukan dengan daun pisang sebagai hiasan—cukup untuk membuat suasana terasa hangat dan bersahaja.Aroma masakan dari dapur menyebar ke seluruh penjuru rumah; nasi kuning, opor ayam, dan sambal goreng kentang menjadi menu utama hari ini. Ibu-ibu tetangga tampak sibuk membantu, tertawa kecil sambil sesekali menegur anak-anak yang berlarian riang di halaman.Aku duduk di kamar kecilku yang dulu sering menjadi saksi hari-hari penuh mimpi dan air mata. Di depan cermin yang sedikit retak, aku merapikan diri dengan
Setiap kali aku tiba di kantor, hal yang paling membuat langkahku terasa berat adalah masuk ke ruangan Pak Frank. Meski tugasnya sederhana, hanya sekadar membuka jendela dan memastikan ruangan itu rapi, aku selalu merasa enggan. Ada sesuatu yang membuat ruangan itu berbeda, hawa dingin yang menyeruak meski jendela-jendela kecilnya langsung menghadap jalan raya. Ruangan itu cukup besar, dilengkapi sofa yang cukup nyaman, ada televisi dan beberapa peralatan lainnya. Di dekat pintu terdapat meja Pak Frank dengan kursi putar hitam, dan beberapa dokumen yang tertumpuk rapi di sudutnya. Di sisi lain, ada dua jendela kecil dengan pemandangan jalan raya yang biasanya penuh lalu lintas. Di sampingnya, ada lemari tempat menyimpan barang-barang, mesin kopi dan juga kulkas. Namun, yang paling mencolok adalah jendela kaca sebelah kanan, yang terhubung langsung dengan rooftop. Jendela itu tampak gelap dari luar, aku selalu merasa seperti ada sesuatu yang menatapku dari dalam setiap kali aku
Aku mencoba mengabaikan pesan Isabelle, tapi rasa cemas itu tetap menggantung di pikiranku sepanjang hari. Saat bekerja, aku merasa lebih sensitif terhadap sekelilingku. Setiap suara kecil, bayangan yang melintas di sudut mata, atau bahkan hembusan angin yang terasa tidak wajar membuatku terlonjak. Malam harinya, ketika aku pulang ke kontrakan, aku masih memikirkan kata-kata Isabelle. 'Bau wangi… tertarik dengan Mbak…' Kata-kata itu terus terngiang di kepalaku. Aku teringat bagaimana ibuku dulu pernah berkata kalau aku sering dipuji memiliki aroma tubuh yang khas, seperti harum bunga melati. Saat kecil, aku menganggapnya pujian biasa, tapi sekarang aku merasa takut. Apa ini artinya aku memang punya "ciri" yang bisa menarik perhatian makhluk-makhluk tak kasat mata? Di dalam kontrakan, aku mencoba menenangkan diri. Aku mengunci semua pintu dan jendela, memastikan tidak ada celah sedikit pun. Aku berbaring di kasur tipis yang tergeletak di lantai, memaksakan diri untuk tidur. Na
Pagi itu, aku berangkat ke kantor lebih pagi dari biasanya, seperti ada sesuatu yang mendorongku untuk pergi lebih awal. Mungkin karena sudah merasa tak nyaman di kontrakan baru, atau mungkin hanya sekadar ingin mengalihkan pikiran.Aku memegang kunci gerbang utama dan pintu depan, berjalan memasuki kantor yang masih sepi. Hanya aku yang sudah datang, terlalu pagi untuk siapa pun. Aku duduk di sofa, membelakangi cermin besar yang menempel di dinding.Cermin itu hampir mencakup seluruh ruangan, dan aku merasa ada sesuatu yang tidak biasa dengan keberadaannya, namun aku memilih untuk mengabaikannya.Rasa kantuk datang begitu saja. Aku merasa begitu lelah, entah karena pekerjaan atau masalah yang terus menghantui pikiranku. Dalam sekejap, aku tertidur di sana, tanpa bisa mengontrolnya. Namun, tidurku bukan tidur yang tenang.Seperti yang sudah sering terjadi, aku kembali mengalami ketindihan, bahkan kali ini di kantor. Rasanya seperti ada yang mengge
Ketika akhirnya aku menemukan kontrakan yang sederhana tapi nyaman, aku merasa seperti mendapatkan harapan baru. Tempat itu tidak besar, hanya sebuah kamar dengan kamar mandi kecil tanpa dapur. Meski begitu, aku yakin tempat ini adalah langkah awal menuju kehidupan yang lebih mandiri.Aku belum langsung menempatinya, tapi mulai mencicil barang-barang yang akan kubawa ke sana. Saat Bu Dina kembali mengeluhkan bahwa ia belum menemukan kontrakan murah untukku, aku akhirnya berkata dengan tenang.“Bu, saya sudah menemukan kontrakan sendiri. Saya akan pindah secepatnya.”Raut wajahnya berubah. Ia tampak terkejut tapi tidak berkata banyak. Sejak percakapan itu, aku merasa hubungan kami benar-benar berubah. Kami seperti orang asing yang hanya berbicara seperlunya, tidak lagi seperti keluarga yang dulu aku bayangkan. Malam itu sesuatu yang ganjil terjadi lagi. Aku kembali memimpikan Bin, padahal hubunganku dengan Aji mulai membaik. Mimpi itu selalu dimul
Sejak saat itu, suasana rumah Bu Dina berubah drastis. Entah apa yang merubah sikapnya, tapi perlakuannya padaku mulai terasa menusuk. Dulu, rumah ini adalah tempat yang membuatku nyaman. Namun, sekarang, dia seperti orang yang berbeda. Dingin, penuh sindiran, dan seolah tak sabar menunggu aku pergi.“Kamu masih tinggal di sini, Nur. Makan di sini, pakai air di sini, wifi di sini. Jadi bantu-bantu ya,” katanya suatu sore, dengan nada seperti memerintah.Kalimat itu terngiang di kepalaku, mengikis rasa hormatku sedikit demi sedikit. Aku tahu aku tinggal di rumahnya, tapi apa aku seburuk itu?Bukankah aku sudah membantu pekerjaan rumah setiap hari sebelum berangkat ke kantor? Bukankah aku selalu memastikan semuanya rapi sebelum aku meninggalkan rumah? Tapi sepertinya, apapun yang kulakukan tak pernah cukup di matanya.Setiap kali aku terlihat duduk santai, meskipun hanya lima menit setelah seharian bekerja, Bu Dina selalu menemukan alasan untuk meny
Hubunganku dengan Aji mulai memasuki fase yang tidak menyenangkan. Kami sering bertengkar akhir-akhir ini, dan penyebabnya terdengar sepele: K-pop. Issabelle, anak Bu Dina yang awalnya memperkenalkanku pada dunia boy group Korea, kini justru menjadi alasan perselisihan antara aku dan Aji. Awalnya, Issabelle hanya menunjukkan beberapa video dari boy group kesukaannya untuk menghiburku, tetapi siapa sangka aku malah jatuh hati pada grup lain. Namun, yang membuat Aji semakin kesal adalah ketertarikanku yang mendalam terhadap salah satu member grup itu, seseorang bernama Bin. Awalnya, aku bahkan tidak terlalu memperhatikannya. Dia tidak begitu mencolok di antara para member lainnya, dan aku pun tidak terlalu peduli. Tetapi, semuanya berubah setelah malam itu. Malam itu, aku bermimpi sesuatu yang membuatku terkejut sekaligus bahagia. Dalam mimpi itu, aku terbangun di tempat tidurku, namun ada yang berbeda. Di sebelahku, Bin, idola yang akhir-a
Pagi itu, hari pertama aku bekerja di kantor Pak Frank, Ainun, asisten baru di rumah Bu Dina, mengantarku menggunakan sepeda motor.Setibanya di kantor, aku mulai merasakan sesuatu yang berbeda, sebuah hawa yang sulit dijelaskan. Apakah aku akan betah bekerja di sini? Pertanyaan itu terus berputar di pikiranku sepanjang perjalanan menuju pintu masuk.Saat aku membuka pintu utama, pandanganku langsung tertuju pada ruang tamu kecil yang sederhana namun mencolok. Sebuah sofa hitam dengan meja kecil di depannya menjadi tempat biasa Pak Frank menerima tamu atau klien. Di samping sofa itu, sebuah rak besar berisi kosmetik dari berbagai jenis dan merek, semuanya adalah produk unggulan dari perusahaannya.Namun yang paling menarik perhatian adalah cermin besar yang hampir memenuhi satu sisi dinding. Letaknya strategis, sehingga memantulkan hampir seluruh isi ruangan. Aku tidak bisa mengalihkan pandangan dari cermin itu. Ada sesuatu yang membuatnya terasa... aneh.
Setelah asisten penggantiku datang, aku merasa sedikit lega. Setidaknya, kini aku punya teman untuk berbagi tugas. Namun, ada satu hal yang membuatku bertanya-tanya: mengapa Bu Dina mencarinya begitu cepat? Padahal, pernikahanku masih beberapa bulan lagi. Rasanya seperti dia tidak sabar untuk segera melepas tanggung jawabku di rumah ini.Tak lama setelah penggantiku mulai bekerja, Bu Dina memberikan tawaran yang tak terduga. Dia menyarankan agar aku bekerja di kantor Pak Frank, suaminya. Katanya, posisinya lebih baik, gajinya jauh lebih besar, dan jam kerjanya pun tidak sepadat pekerjaan rumah. Bu Dina bahkan meyakinkanku bahwa bekerja di kantor akan memberi pengalamanku nilai tambah di masa depan.Awalnya, aku ragu. Aku tidak pernah membayangkan bekerja di lingkungan kantor yang penuh aturan. Namun, setelah dipikirkan matang-matang, aku menerima tawaran itu. Pekerjaan di kantor memang terasa seperti peluang yang baik, dan gajinya yang lebih besar tentu akan sangat