Share

BAB 3

Suatu hari, saat giliran Eci yang berjaga di kantor dan aku sendirian di rumah, aku mendengar suara langkah kaki di lantai atas. Jantungku berdetak lebih cepat.

"Siapa di atas?" tanyaku pada diri sendiri, setengah berharap tidak ada jawaban.

Aku memberanikan diri naik ke lantai dua. Lampu lorong redup, memberikan suasana yang semakin mencekam. Ketika aku sampai di depan kamar yang dulunya ditempati Mbak Mia, pintunya sedikit terbuka. Ada derit halus ketika aku mendorongnya.

"Astaga," aku tersentak ketika pintu itu tiba-tiba tertutup sendiri dengan suara keras.

Aku buru-buru turun kembali ke ruang tamu, jantungku berdegup kencang. Ketika Eci pulang, aku langsung menceritakan kejadian itu padanya.

“Gila, beneran?” tanya Eci dengan wajah pucat. “Aku juga sering denger suara dari arah kamar Mbak Mia, tapi nggak pernah sampe pintunya ketutup sendiri.”

Aku mengangguk pelan. “Aku rasa, ada sesuatu di rumah ini yang nggak suka kita di sini.”

Eci terdiam, tidak tahu harus berkata apa. Dan sejak malam itu, kami semakin sadar bahwa gangguan di rumah ini bukan hanya sekedar suara-suara aneh.

Suatu pagi ketika majikan kami sedang libur, dia meminta aku dan Eci untuk membelikan gorengan di seberang jalan. Gerobak gorengan itu terletak tak jauh dari sebuah warung makan kecil yang kelihatan sederhana tapi ramai.

Setelah membeli gorengan, kami memutuskan untuk duduk sejenak di warung makan tersebut. Udara pagi cukup sejuk, dan aroma kopi hangat menyeruak dari dalam warung. Kami memesan teh manis sambil berbincang tentang pekerjaan.

Tak lama, seorang nenek penjaga warung yang sudah agak sepuh datang menghampiri kami dengan senyum ramah di wajahnya. "Adek-adek dari mana?" tanyanya lembut sambil menata beberapa piring di meja.

Eci menjawab cepat, "Kami kerja di rumah besar di seberang jalan sana, Nek. Majikan kami lagi libur, jadi disuruh beli gorengan."

Nenek itu mengangguk pelan, matanya mengerling ke arah rumah yang kami sebutkan. Wajahnya seketika berubah sedikit, seolah ada sesuatu yang ingin dia katakan, tapi menahannya. Aku bisa merasakan ada perubahan dalam atmosfer pembicaraan.

"Nek, ada apa?" tanyaku penasaran, menangkap isyarat dari tatapannya yang kini serius.

Nenek itu menarik napas dalam-dalam, seolah sedang memutuskan sesuatu. "Rumah itu… dulu ada cerita. Kalian pasti baru, ya, kerja di sana?"

Aku dan Eci saling pandang. "Iya, Nek. Baru beberapa minggu," jawabku perlahan.

Nenek mengangguk lagi, kali ini lebih lama. "Dulu… sebelum kalian, ada beberapa yang pernah kerja di situ juga. Tapi nggak lama biasanya. Banyak yang berhenti karena..." Suaranya terhenti, seakan tak ingin melanjutkan.

Aku mencondongkan tubuh, semakin tertarik. "Karena apa, Nek?"

Nenek itu tersenyum tipis, namun matanya tidak. "Katanya gak betah, mereka merasa nggak sendirian di rumah itu."

Kata-katanya membuatku merinding. Aku mencoba bersikap tenang, tapi Eci yang duduk di sebelahku sudah terlihat jelas merasa tidak nyaman.

"Maksudnya... ada yang mengganggu?" tanyaku pelan.

Nenek hanya mengangguk, tanpa menambahkan apapun lagi. Nenek itu menatap kami dengan serius sebelum kami kembali ke rumah, suaranya pelan namun tegas.

"Kalian hati-hati, ya, nak. Rumah itu… nggak seperti rumah biasa. Beberapa bahkan pulang dalam keadaan sakit atau ketakutan."

Kami mengangguk dengan berat hati, tak tahu apakah harus percaya sepenuhnya atau menganggap ini hanya cerita orang tua. Tapi satu hal yang pasti, peringatan nenek itu menambah beban pikiran kami tentang rumah yang sudah sejak awal terasa aneh.

"Udah lah, Nur, gak usah di pikirin," kata Eci.

Kami berjalan kaki kembali ke rumah setelah membeli gorengan, Eci berjalan di sampingku, kantong plastik gorengan di tangannya berayun pelan. Aku merasa canggung setelah peringatan nenek penjaga warung tadi, meskipun mencoba mengabaikannya.

“Kamu ngerasa nggak sih, setiap kali kita pulang malem, rumah ini jadi makin aneh?” bisik Eci, suaranya bergetar sedikit, menandakan kecemasannya.

Aku menelan ludah, tak ingin membuatnya semakin takut. “Iya, tapi mungkin kita cuma capek aja. Yuk, cepetan,” jawabku, mempercepat langkah.

Kami sudah hampir tiba di depan pintu, ketika tiba-tiba terdengar suara gebrakan keras dari atas atap garasi. Langkah kami terhenti seketika. Suara itu mendadak dan mengejutkan, seperti ada sesuatu yang berat jatuh di atas genteng. Aku bisa merasakan darahku berhenti mengalir sejenak.

“Apa itu?” Eci berbisik pelan, matanya membulat ketakutan.

Aku berusaha menenangkan diri, meskipun jantungku berdetak kencang. “Mungkin... ada yang jatuh dari pohon,” gumamku pelan, lebih kepada diriku sendiri daripada menjawab pertanyaannya.

Tapi sebelum kami sempat melangkah lagi, suara itu terdengar lagi, lebih keras kali ini, seperti sesuatu, atau seseorang yang sedang berjalan di atas atap.

Eci memegang lenganku erat, suaranya gemetar saat ia berbisik, “Nur, kita masuk sekarang aja ya. Ayo, cepet.”

Kami berlari kecil, jantungku berdegup kencang, tak berani menoleh ke belakang. Ketika kami akhirnya mencapai pintu depan dan masuk ke dalam rumah, aku menutup pintunya dengan cepat. Napasku tersengal, meski sudah berada di dalam, suara itu masih tergiang di telingaku.

Malamnya, saat aku sedang menyiapkan makan malam di dapur, aku mendengar langkah-langkah berat mendekati ruang makan. Aku mengira itu Eci, tapi ketika aku memanggilnya, tak ada jawaban. Aku menengok keluar, dan mendapati ruang makan kosong.

Saat itu, aku mulai menyadari bahwa apa pun yang pernah mengganggu Mbak Mia, mungkin sekarang sudah mulai memperhatikan kami.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status