Suatu hari, saat giliran Eci yang berjaga di kantor dan aku sendirian di rumah, aku mendengar suara langkah kaki di lantai atas. Jantungku berdetak lebih cepat.
"Siapa di atas?" tanyaku pada diri sendiri, setengah berharap tidak ada jawaban. Aku memberanikan diri naik ke lantai dua. Lampu lorong redup, memberikan suasana yang semakin mencekam. Ketika aku sampai di depan kamar yang dulunya ditempati Mbak Mia, pintunya sedikit terbuka. Ada derit halus ketika aku mendorongnya. "Astaga," aku tersentak ketika pintu itu tiba-tiba tertutup sendiri dengan suara keras. Aku buru-buru turun kembali ke ruang tamu, jantungku berdegup kencang. Ketika Eci pulang, aku langsung menceritakan kejadian itu padanya. “Gila, beneran?” tanya Eci dengan wajah pucat. “Aku juga sering denger suara dari arah kamar Mbak Mia, tapi nggak pernah sampe pintunya ketutup sendiri.” Aku mengangguk pelan. “Aku rasa, ada sesuatu di rumah ini yang nggak suka kita di sini.” Eci terdiam, tidak tahu harus berkata apa. Dan sejak malam itu, kami semakin sadar bahwa gangguan di rumah ini bukan hanya sekedar suara-suara aneh. Suatu pagi ketika majikan kami sedang libur, dia meminta aku dan Eci untuk membelikan gorengan di seberang jalan. Gerobak gorengan itu terletak tak jauh dari sebuah warung makan kecil yang kelihatan sederhana tapi ramai. Setelah membeli gorengan, kami memutuskan untuk duduk sejenak di warung makan tersebut. Udara pagi cukup sejuk, dan aroma kopi hangat menyeruak dari dalam warung. Kami memesan teh manis sambil berbincang tentang pekerjaan. Tak lama, seorang nenek penjaga warung yang sudah agak sepuh datang menghampiri kami dengan senyum ramah di wajahnya. "Adek-adek dari mana?" tanyanya lembut sambil menata beberapa piring di meja. Eci menjawab cepat, "Kami kerja di rumah besar di seberang jalan sana, Nek. Majikan kami lagi libur, jadi disuruh beli gorengan." Nenek itu mengangguk pelan, matanya mengerling ke arah rumah yang kami sebutkan. Wajahnya seketika berubah sedikit, seolah ada sesuatu yang ingin dia katakan, tapi menahannya. Aku bisa merasakan ada perubahan dalam atmosfer pembicaraan. "Nek, ada apa?" tanyaku penasaran, menangkap isyarat dari tatapannya yang kini serius. Nenek itu menarik napas dalam-dalam, seolah sedang memutuskan sesuatu. "Rumah itu… dulu ada cerita. Kalian pasti baru, ya, kerja di sana?" Aku dan Eci saling pandang. "Iya, Nek. Baru beberapa minggu," jawabku perlahan. Nenek mengangguk lagi, kali ini lebih lama. "Dulu… sebelum kalian, ada beberapa yang pernah kerja di situ juga. Tapi nggak lama biasanya. Banyak yang berhenti karena..." Suaranya terhenti, seakan tak ingin melanjutkan. Aku mencondongkan tubuh, semakin tertarik. "Karena apa, Nek?" Nenek itu tersenyum tipis, namun matanya tidak. "Katanya gak betah, mereka merasa nggak sendirian di rumah itu." Kata-katanya membuatku merinding. Aku mencoba bersikap tenang, tapi Eci yang duduk di sebelahku sudah terlihat jelas merasa tidak nyaman. "Maksudnya... ada yang mengganggu?" tanyaku pelan. Nenek hanya mengangguk, tanpa menambahkan apapun lagi. Nenek itu menatap kami dengan serius sebelum kami kembali ke rumah, suaranya pelan namun tegas. "Kalian hati-hati, ya, nak. Rumah itu… nggak seperti rumah biasa. Beberapa bahkan pulang dalam keadaan sakit atau ketakutan." Kami mengangguk dengan berat hati, tak tahu apakah harus percaya sepenuhnya atau menganggap ini hanya cerita orang tua. Tapi satu hal yang pasti, peringatan nenek itu menambah beban pikiran kami tentang rumah yang sudah sejak awal terasa aneh. "Udah lah, Nur, gak usah di pikirin," kata Eci. Kami berjalan kaki kembali ke rumah setelah membeli gorengan, Eci berjalan di sampingku, kantong plastik gorengan di tangannya berayun pelan. Aku merasa canggung setelah peringatan nenek penjaga warung tadi, meskipun mencoba mengabaikannya. “Kamu ngerasa nggak sih, setiap kali kita pulang malem, rumah ini jadi makin aneh?” bisik Eci, suaranya bergetar sedikit, menandakan kecemasannya. Aku menelan ludah, tak ingin membuatnya semakin takut. “Iya, tapi mungkin kita cuma capek aja. Yuk, cepetan,” jawabku, mempercepat langkah. Kami sudah hampir tiba di depan pintu, ketika tiba-tiba terdengar suara gebrakan keras dari atas atap garasi. Langkah kami terhenti seketika. Suara itu mendadak dan mengejutkan, seperti ada sesuatu yang berat jatuh di atas genteng. Aku bisa merasakan darahku berhenti mengalir sejenak. “Apa itu?” Eci berbisik pelan, matanya membulat ketakutan. Aku berusaha menenangkan diri, meskipun jantungku berdetak kencang. “Mungkin... ada yang jatuh dari pohon,” gumamku pelan, lebih kepada diriku sendiri daripada menjawab pertanyaannya. Tapi sebelum kami sempat melangkah lagi, suara itu terdengar lagi, lebih keras kali ini, seperti sesuatu, atau seseorang yang sedang berjalan di atas atap. Eci memegang lenganku erat, suaranya gemetar saat ia berbisik, “Nur, kita masuk sekarang aja ya. Ayo, cepet.” Kami berlari kecil, jantungku berdegup kencang, tak berani menoleh ke belakang. Ketika kami akhirnya mencapai pintu depan dan masuk ke dalam rumah, aku menutup pintunya dengan cepat. Napasku tersengal, meski sudah berada di dalam, suara itu masih tergiang di telingaku. Malamnya, saat aku sedang menyiapkan makan malam di dapur, aku mendengar langkah-langkah berat mendekati ruang makan. Aku mengira itu Eci, tapi ketika aku memanggilnya, tak ada jawaban. Aku menengok keluar, dan mendapati ruang makan kosong. Saat itu, aku mulai menyadari bahwa apa pun yang pernah mengganggu Mbak Mia, mungkin sekarang sudah mulai memperhatikan kami.Selang beberapa hari setelah kejadian di kantor itu, tubuhku mulai merasakan sesuatu yang tak biasa. Awalnya aku berpikir hanya kecapekan, tapi gejalanya semakin aneh. Tenggorokkanku sering terasa penuh, berdahak, dan ketika aku meludah, ada bercak-bercak merah, seolah bercampur darah. Hal itu membuatku khawatir, tapi aku mencoba menyangkal, berpikir mungkin hanya masalah kecil.Namun, tubuhku semakin lemah dari hari ke hari. Terkadang, tanpa alasan yang jelas, aku merasa pusing dan hampir jatuh saat sedang bekerja. Eci mulai khawatir melihat kondisiku. Setiap kali aku mengeluh soal rasa lelah yang tak wajar ini, dia hanya menggeleng, tampak bingung."Kamu beneran nggak mau periksa ke dokter, Nur?" tanyanya suatu sore ketika kami sedang beristirahat di dapur. Matanya menatapku penuh kekhawatiran.Aku menghela napas panjang. "Nggak usah, paling cuma masuk angin."Tapi dalam hatiku, aku tahu ada sesuatu yang tidak beres. Aku hanya tak ingin memikirkan hal itu lebih jauh, takut pada kemu
Siang itu, suasana di meja makan terasa begitu tegang. Bu Inggi, majikan kami, memanggil kami untuk menghadapnya. Aku belum sempat membicarakan langsung soal keinginanku untuk berhenti, tapi dari cara Bu Inggi memandangku, aku tahu keluargaku pasti sudah menghubunginya lebih dulu."Nur," ucapnya dengan nada lembut tapi tegas, "kamu kenapa? Kamu gak betah di sini?" Ia menatapku tajam, lalu melanjutkan, "Saya galak ya?"Pertanyaannya membuatku terdiam sejenak. Aku bisa merasakan Eci yang duduk di sebelahku gelisah, tetapi aku harus menjawab. Suasana ini semakin membuatku tidak nyaman."Enggak, Bu... bukan begitu," jawabku pelan, suaraku terdengar bergetar. "Bukan karena Ibu atau suasananya, tapi saya merasa... ada yang aneh di rumah ini."Wajah Bu Inggi berubah sejenak. Ia menyilangkan tangannya di depan dada, lalu menatapku dengan lebih serius."Aneh gimana, Nur?"Aku menarik napas panjang, mencoba menyusun keberanian. "Di kantor, Bu... saya sering dengar suara-suara aneh. Suara meja d
Beberapa hari setelah tahun baru, tepatnya tahun 2018, suasana rumah sedikit lengang. Majikanku, Bu Inggi dan keluarganya, memutuskan untuk mudik ke Bandung selama beberapa hari. Mereka menitipkan rumah padaku dan Eci, seperti biasa, sambil berjanji bahwa sepulang mereka, akan ada pengganti yang datang untukku.Aku menghela napas panjang, berusaha menenangkan pikiran. Ini bisa jadi kesempatan bagiku untuk benar-benar keluar dari situasi ini. Tanpa Bu Inggi di sini, aku merasa ada ruang untuk berpikir lebih jernih, tanpa terus dihantui rasa bersalah yang dia tanamkan dengan permohonan dan janji-janjinya.Beberapa hari sebelumnya, keluargaku semakin khawatir melihat kondisiku yang tak kunjung membaik, dan mereka akhirnya memutuskan untuk turun tangan. Hari itu, keluargaku datang menjemputku tanpa memberi kabar.Mereka datang dengan wajah cemas, terutama ibuku. Ketika melihat tubuhku yang semakin kurus dan lemah, air mata ibuku jatuh tanpa bisa ditahan."Nur, ayo pulang. Kamu nggak bisa
Malam semakin larut, tapi kantuk tak lagi mendekat. Kami bertiga duduk di teras, diterangi cahaya lampu yang temaram. Ayah sesekali menghela napas berat, sementara ibu hanya menatapku dengan sorot mata cemas, seolah mencari penjelasan di wajahku yang masih pucat. Namun, aku sendiri pun tak tahu apa yang sebenarnya terjadi."Ada apa, Nur?" tanya ayah lembut, namun tetap penuh tekanan.Dia mengerti, pasti ada yang menggangguku sejak aku kembali ke rumah. Aku tak pernah segelisah ini sebelumnya.Aku menggigit bibir, ragu untuk menceritakan semuanya. Selama ini, aku mencoba menekan semua ketakutan dan kejadian aneh yang kualami di tempat kerja.Namun, semakin lama, rasanya mustahil untuk menyembunyikannya. Tindakan ini sudah mulai memengaruhi kesehatanku, pikiranku, bahkan kini merambah ke rumah yang dulu selalu menjadi tempat teraman bagiku."Aku...," suaraku tercekat, tapi kutekan rasa takut itu dalam-dalam. "Aku merasa ada sesuatu yang mengikuti sejak di tempat kerja, Ayah, Ibu. Bukan
Pagi itu, setelah sarapan, gerimis mulai turun, menciptakan suasana tenang yang menyelimuti rumah. Udara segar dari hujan masuk melalui jendela, membawa kesejukan yang tak biasanya. Aku sedang membereskan meja makan ketika tiba-tiba terdengar suara bel pintu.Ayah yang kebetulan berada di ruang tamu berjalan ke arah pintu dan membukanya. Aku masih sibuk dengan piring-piring di tangan, tapi suara Ayah memanggil namaku membuatku berhenti sejenak."Nur, ada tamu untukmu."Aku mengernyit, tidak ingat sedang menunggu siapa pun. Tapi saat aku melihat ke arah pintu, jantungku berdegup kencang.Dia.Seseorang yang sudah lama tak kulihat, dan sejujurnya tak pernah kuharapkan datang lagi. Mantan pacarku, yang terakhir kutemui sebelum berangkat ke Jakarta. Pria yang meninggalkan jejak luka di hatiku yang tak mudah sembuh."Naufal?" tanyaku setengah tidak percaya, suaraku hampir tak keluar.Dia berdiri di sana, dengan tatapan serius
Persiapan pernikahanku dan Naufal selesai dengan cepat, tak lebih dari satu bulan menuju akad. Semua terasa begitu terburu-buru, seolah aku tidak diberi waktu untuk merenungkan apa yang sebenarnya sedang terjadi. Aku juga tak bisa melawan kedua orang tuaku yang tampak begitu antusias.Aku sempat bertengkar hebat dengan Naufal, jelas karena aku tidak menginginkan pernikahan ini. Tapi entah mengapa, semakin hari aku merasa semakin bersalah padanya."Apakah aku terlalu keras," pikirku.Aku sempat ingin kabur dan membatalkan pernikahan ini, tapi semua persiapan sudah begitu sempurna. Aku tidak mungkin tega membiarkan kedua orang tuaku mengalami kerugian dana. Kabur pun, aku harus ke mana?Setelah malam yang penuh emosi itu, aku terbangun di tengah keheningan, tanpa melihat jam. Udara terasa dingin, dan suasana rumah sunyi, hanya suara angin yang berhembus di luar. Aku merasa perlu ke kamar mandi, jadi aku bangkit perlahan dari tempat tidur dan menuju ke sana.Saat me
Setelah serangkaian acara pernikahan, ayah dan ibu memintaku dan Naufal untuk tinggal terpisah, meski hanya bersebelahan. Kami di minta pindah ke rumah kecil nenek di sebelah, karena dia sekarang akan menetap di rumah bibi. Namun, setelah kami pindah, hal-hal aneh mulai terjadi. Tubuhku mulai terasa lemas, dan malam-malamku dipenuhi keringat dingin yang membasahi sekujur tubuh. Meski sudah diselimuti berlapis-lapis, tubuhku menggigil tak terbendung. "Naufal, aku... aku nggak kuat lagi," ucapku lirih suatu malam, tubuhku bergetar hebat. Naufal duduk di sampingku, memegangi tanganku yang dingin. "Kamu kenapa, Sayang? Badanmu panas, tapi kamu kedinginan," jawabnya sambil menatapku cemas. "Aku nggak tahu... Aku merasa ada yang salah di sini. Setiap malam, aku selalu kedinginan begini. Badanku juga lemas, nggak ada tenaga." Naufal menghela napas panjang, memegang dahiku. "Besok kita ke dokter lagi, ya? Kita nggak bisa begini terus."
Selain keluargaku yang mengalami sakit-sakitan, hal itu juga terjadi pada keluarga Naufal. Kedua adiknya mendadak mengalami demam tanpa sebab yang jelas, dan kondisi kami semua menurun secara bersamaan. Keadaan semakin parah ketika ayah Naufal, yang tampaknya cukup paham dengan hal-hal spiritual, mulai mencurigai bahwa ada kekuatan gaib yang mempengaruhi kami. Dia memandang serius gejala-gejala yang terjadi, bukan hanya sekadar sakit biasa. Wajahnya semakin serius saat berbicara dengan ayahku suatu malam."Ada sesuatu di sini yang nggak bisa kita lihat," ucapnya lirih, menatap ayahku dengan mata penuh keyakinan. "Kita harus mencari cara untuk menetralisirnya."Ayahku, yang pada awalnya skeptis, mulai mengangguk pelan. Kesehatan keluarganya yang terus menurun membuatnya mempertimbangkan segala kemungkinan."Apa yang bisa kita lakukan?" tanya ayahku, wajahnya terlihat khawatir namun masih tenang.Ayah Naufal menunduk sebentar, berpikir dalam diam, sebelum akhirnya
Hari itu datang lebih cepat dari yang aku bayangkan. Pagi masih berselimut kabut tipis, hawa dingin khas kampungku menyelinap ke sela-sela jendela kayu. Rumah sederhana peninggalan orang tuaku yang lama tak kuhuni kini terlihat ramai, penuh kerabat dan tetangga yang datang membantu persiapan pernikahanku.Di halaman depan, tenda putih dipasang sederhana. Kursi-kursi plastik tertata rapi berhadapan dengan meja panjang tempat hidangan akan diletakkan. Beberapa bunga krisan putih dipadukan dengan daun pisang sebagai hiasan—cukup untuk membuat suasana terasa hangat dan bersahaja.Aroma masakan dari dapur menyebar ke seluruh penjuru rumah; nasi kuning, opor ayam, dan sambal goreng kentang menjadi menu utama hari ini. Ibu-ibu tetangga tampak sibuk membantu, tertawa kecil sambil sesekali menegur anak-anak yang berlarian riang di halaman.Aku duduk di kamar kecilku yang dulu sering menjadi saksi hari-hari penuh mimpi dan air mata. Di depan cermin yang sedikit retak, aku merapikan diri dengan
Setiap kali aku tiba di kantor, hal yang paling membuat langkahku terasa berat adalah masuk ke ruangan Pak Frank. Meski tugasnya sederhana, hanya sekadar membuka jendela dan memastikan ruangan itu rapi, aku selalu merasa enggan. Ada sesuatu yang membuat ruangan itu berbeda, hawa dingin yang menyeruak meski jendela-jendela kecilnya langsung menghadap jalan raya. Ruangan itu cukup besar, dilengkapi sofa yang cukup nyaman, ada televisi dan beberapa peralatan lainnya. Di dekat pintu terdapat meja Pak Frank dengan kursi putar hitam, dan beberapa dokumen yang tertumpuk rapi di sudutnya. Di sisi lain, ada dua jendela kecil dengan pemandangan jalan raya yang biasanya penuh lalu lintas. Di sampingnya, ada lemari tempat menyimpan barang-barang, mesin kopi dan juga kulkas. Namun, yang paling mencolok adalah jendela kaca sebelah kanan, yang terhubung langsung dengan rooftop. Jendela itu tampak gelap dari luar, aku selalu merasa seperti ada sesuatu yang menatapku dari dalam setiap kali aku
Aku mencoba mengabaikan pesan Isabelle, tapi rasa cemas itu tetap menggantung di pikiranku sepanjang hari. Saat bekerja, aku merasa lebih sensitif terhadap sekelilingku. Setiap suara kecil, bayangan yang melintas di sudut mata, atau bahkan hembusan angin yang terasa tidak wajar membuatku terlonjak. Malam harinya, ketika aku pulang ke kontrakan, aku masih memikirkan kata-kata Isabelle. 'Bau wangi… tertarik dengan Mbak…' Kata-kata itu terus terngiang di kepalaku. Aku teringat bagaimana ibuku dulu pernah berkata kalau aku sering dipuji memiliki aroma tubuh yang khas, seperti harum bunga melati. Saat kecil, aku menganggapnya pujian biasa, tapi sekarang aku merasa takut. Apa ini artinya aku memang punya "ciri" yang bisa menarik perhatian makhluk-makhluk tak kasat mata? Di dalam kontrakan, aku mencoba menenangkan diri. Aku mengunci semua pintu dan jendela, memastikan tidak ada celah sedikit pun. Aku berbaring di kasur tipis yang tergeletak di lantai, memaksakan diri untuk tidur. Na
Pagi itu, aku berangkat ke kantor lebih pagi dari biasanya, seperti ada sesuatu yang mendorongku untuk pergi lebih awal. Mungkin karena sudah merasa tak nyaman di kontrakan baru, atau mungkin hanya sekadar ingin mengalihkan pikiran.Aku memegang kunci gerbang utama dan pintu depan, berjalan memasuki kantor yang masih sepi. Hanya aku yang sudah datang, terlalu pagi untuk siapa pun. Aku duduk di sofa, membelakangi cermin besar yang menempel di dinding.Cermin itu hampir mencakup seluruh ruangan, dan aku merasa ada sesuatu yang tidak biasa dengan keberadaannya, namun aku memilih untuk mengabaikannya.Rasa kantuk datang begitu saja. Aku merasa begitu lelah, entah karena pekerjaan atau masalah yang terus menghantui pikiranku. Dalam sekejap, aku tertidur di sana, tanpa bisa mengontrolnya. Namun, tidurku bukan tidur yang tenang.Seperti yang sudah sering terjadi, aku kembali mengalami ketindihan, bahkan kali ini di kantor. Rasanya seperti ada yang mengge
Ketika akhirnya aku menemukan kontrakan yang sederhana tapi nyaman, aku merasa seperti mendapatkan harapan baru. Tempat itu tidak besar, hanya sebuah kamar dengan kamar mandi kecil tanpa dapur. Meski begitu, aku yakin tempat ini adalah langkah awal menuju kehidupan yang lebih mandiri.Aku belum langsung menempatinya, tapi mulai mencicil barang-barang yang akan kubawa ke sana. Saat Bu Dina kembali mengeluhkan bahwa ia belum menemukan kontrakan murah untukku, aku akhirnya berkata dengan tenang.“Bu, saya sudah menemukan kontrakan sendiri. Saya akan pindah secepatnya.”Raut wajahnya berubah. Ia tampak terkejut tapi tidak berkata banyak. Sejak percakapan itu, aku merasa hubungan kami benar-benar berubah. Kami seperti orang asing yang hanya berbicara seperlunya, tidak lagi seperti keluarga yang dulu aku bayangkan. Malam itu sesuatu yang ganjil terjadi lagi. Aku kembali memimpikan Bin, padahal hubunganku dengan Aji mulai membaik. Mimpi itu selalu dimul
Sejak saat itu, suasana rumah Bu Dina berubah drastis. Entah apa yang merubah sikapnya, tapi perlakuannya padaku mulai terasa menusuk. Dulu, rumah ini adalah tempat yang membuatku nyaman. Namun, sekarang, dia seperti orang yang berbeda. Dingin, penuh sindiran, dan seolah tak sabar menunggu aku pergi.“Kamu masih tinggal di sini, Nur. Makan di sini, pakai air di sini, wifi di sini. Jadi bantu-bantu ya,” katanya suatu sore, dengan nada seperti memerintah.Kalimat itu terngiang di kepalaku, mengikis rasa hormatku sedikit demi sedikit. Aku tahu aku tinggal di rumahnya, tapi apa aku seburuk itu?Bukankah aku sudah membantu pekerjaan rumah setiap hari sebelum berangkat ke kantor? Bukankah aku selalu memastikan semuanya rapi sebelum aku meninggalkan rumah? Tapi sepertinya, apapun yang kulakukan tak pernah cukup di matanya.Setiap kali aku terlihat duduk santai, meskipun hanya lima menit setelah seharian bekerja, Bu Dina selalu menemukan alasan untuk meny
Hubunganku dengan Aji mulai memasuki fase yang tidak menyenangkan. Kami sering bertengkar akhir-akhir ini, dan penyebabnya terdengar sepele: K-pop. Issabelle, anak Bu Dina yang awalnya memperkenalkanku pada dunia boy group Korea, kini justru menjadi alasan perselisihan antara aku dan Aji. Awalnya, Issabelle hanya menunjukkan beberapa video dari boy group kesukaannya untuk menghiburku, tetapi siapa sangka aku malah jatuh hati pada grup lain. Namun, yang membuat Aji semakin kesal adalah ketertarikanku yang mendalam terhadap salah satu member grup itu, seseorang bernama Bin. Awalnya, aku bahkan tidak terlalu memperhatikannya. Dia tidak begitu mencolok di antara para member lainnya, dan aku pun tidak terlalu peduli. Tetapi, semuanya berubah setelah malam itu. Malam itu, aku bermimpi sesuatu yang membuatku terkejut sekaligus bahagia. Dalam mimpi itu, aku terbangun di tempat tidurku, namun ada yang berbeda. Di sebelahku, Bin, idola yang akhir-a
Pagi itu, hari pertama aku bekerja di kantor Pak Frank, Ainun, asisten baru di rumah Bu Dina, mengantarku menggunakan sepeda motor.Setibanya di kantor, aku mulai merasakan sesuatu yang berbeda, sebuah hawa yang sulit dijelaskan. Apakah aku akan betah bekerja di sini? Pertanyaan itu terus berputar di pikiranku sepanjang perjalanan menuju pintu masuk.Saat aku membuka pintu utama, pandanganku langsung tertuju pada ruang tamu kecil yang sederhana namun mencolok. Sebuah sofa hitam dengan meja kecil di depannya menjadi tempat biasa Pak Frank menerima tamu atau klien. Di samping sofa itu, sebuah rak besar berisi kosmetik dari berbagai jenis dan merek, semuanya adalah produk unggulan dari perusahaannya.Namun yang paling menarik perhatian adalah cermin besar yang hampir memenuhi satu sisi dinding. Letaknya strategis, sehingga memantulkan hampir seluruh isi ruangan. Aku tidak bisa mengalihkan pandangan dari cermin itu. Ada sesuatu yang membuatnya terasa... aneh.
Setelah asisten penggantiku datang, aku merasa sedikit lega. Setidaknya, kini aku punya teman untuk berbagi tugas. Namun, ada satu hal yang membuatku bertanya-tanya: mengapa Bu Dina mencarinya begitu cepat? Padahal, pernikahanku masih beberapa bulan lagi. Rasanya seperti dia tidak sabar untuk segera melepas tanggung jawabku di rumah ini.Tak lama setelah penggantiku mulai bekerja, Bu Dina memberikan tawaran yang tak terduga. Dia menyarankan agar aku bekerja di kantor Pak Frank, suaminya. Katanya, posisinya lebih baik, gajinya jauh lebih besar, dan jam kerjanya pun tidak sepadat pekerjaan rumah. Bu Dina bahkan meyakinkanku bahwa bekerja di kantor akan memberi pengalamanku nilai tambah di masa depan.Awalnya, aku ragu. Aku tidak pernah membayangkan bekerja di lingkungan kantor yang penuh aturan. Namun, setelah dipikirkan matang-matang, aku menerima tawaran itu. Pekerjaan di kantor memang terasa seperti peluang yang baik, dan gajinya yang lebih besar tentu akan sangat