Siang itu, suasana di meja makan terasa begitu tegang. Bu Inggi, majikan kami, memanggil kami untuk menghadapnya. Aku belum sempat membicarakan langsung soal keinginanku untuk berhenti, tapi dari cara Bu Inggi memandangku, aku tahu keluargaku pasti sudah menghubunginya lebih dulu.
"Nur," ucapnya dengan nada lembut tapi tegas, "kamu kenapa? Kamu gak betah di sini?" Ia menatapku tajam, lalu melanjutkan, "Saya galak ya?" Pertanyaannya membuatku terdiam sejenak. Aku bisa merasakan Eci yang duduk di sebelahku gelisah, tetapi aku harus menjawab. Suasana ini semakin membuatku tidak nyaman. "Enggak, Bu... bukan begitu," jawabku pelan, suaraku terdengar bergetar. "Bukan karena Ibu atau suasananya, tapi saya merasa... ada yang aneh di rumah ini." Wajah Bu Inggi berubah sejenak. Ia menyilangkan tangannya di depan dada, lalu menatapku dengan lebih serius. "Aneh gimana, Nur?" Aku menarik napas panjang, mencoba menyusun keberanian. "Di kantor, Bu... saya sering dengar suara-suara aneh. Suara meja ditarik, pintu berderit, sampai ada benda jatuh di gudang." Bu Inggi tersenyum kecil, seolah-olah cerita yang kubawa hanyalah angin lalu. "Biasalah, Nur, itu mah paling suara ruko sebelah," jawabnya santai, seolah tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Aku tak melanjutkan. Meski detak jantungku masih berdegup kencang, jelas Bu Inggi tak akan mempercayai hal-hal di luar logika. Tapi, aku juga tak menceritakan pengalaman lainku. Perasaan dingin di tangga, suara keran air yang menyala sendiri di balkon, atau tanganku yang gemetar setiap kali melewati kamar mandi di lantai dua. Setelah sejenak diam, Bu Inggi mengalihkan tatapannya pada Eci yang sejak tadi hanya tertunduk. "Kamu gimana, Ci? Masih mau kerja di sini?" tanyanya dengan nada yang sedikit menantang. Eci mengangguk cepat. "Masih, Bu," jawabnya gugup. Aku bisa merasakan kecemasannya, tahu betul bahwa Eci sangat membutuhkan pekerjaan ini. Namun, matanya sedikit berkaca-kaca, seperti menahan rasa takut yang sama denganku. Kami sama-sama tahu, tinggal di sini lebih dari sekadar pekerjaan, ini adalah perjuangan melawan perasaan tak nyaman yang terus menghantui kami. Bu Inggi tersenyum tipis, lalu berdiri. "Baiklah. Saya harap kalian tetap bekerja dengan baik, ya. Jangan pikirkan hal-hal yang aneh." Ia beranjak pergi meninggalkan kami dalam keheningan. Aku dan Eci hanya saling menatap tanpa sepatah kata pun. "Saya akan naikkan gaji kalian," ucap Bu Inggi, suaranya terdengar tegas dan datar. Tawaran itu terdengar menggoda, tapi entah kenapa, perasaan tak nyaman di dadaku justru semakin mencekam. Seiring berjalannya waktu, bukan lagi soal gaji yang menjadi fokusku. Kondisiku semakin memburuk. Berat badanku turun drastis, wajahku semakin pucat, dan batukku tak kunjung sembuh meski sudah beberapa kali berobat. Ada rasa sesak yang terus menggerogoti tubuhku, seakan ada yang salah, tapi aku tak tahu apa. "Nur, kamu kenapa? Kok makin kurus?" tanya Eci suatu hari, saat kami duduk di ruang tamu. Aku hanya bisa mengangkat bahu, tak tahu harus menjawab apa. Batukku pecah lagi, kali ini lebih parah. Aku merasakan sakit yang menusuk di tenggorokanku, sesuatu yang mulai terasa akrab namun tetap menakutkan. Keluargaku semakin khawatir. Mereka mendesakku untuk berhenti bekerja, menyuruhku pulang dan mencari tempat yang lebih sehat. Tapi aku tak bisa. Di balik semua kejadian aneh ini, ada sesuatu yang menahanku di sini. Mungkin rasa tanggung jawab, atau mungkin rasa takut kalau aku meninggalkan tempat ini, semuanya akan semakin buruk. Aku tak tahu berapa lama lagi aku bisa bertahan di sini. Tapi yang jelas, ketakutan dan rasa sakit ini semakin menelan diriku, sedikit demi sedikit. Bu Inggi menatapku dengan wajah memelas. Suaranya bergetar ketika ia berkata, "Nur, tolong Nur, kalau kamu berhenti, gimana nasib keluarga saya?" Aku terdiam, tenggorokanku tercekat oleh rasa bersalah yang menyesakkan. Rasanya tak enak melihat majikanku, yang selama ini baik padaku, memohon seperti itu. Tapi tubuhku yang semakin lemah dan batuk kering yang tak kunjung sembuh membuatku sadar, aku tak bisa lagi melanjutkan semua ini. “Bu, saya paham. Tapi... kondisi saya makin parah. Saya nggak tahu bisa bertahan berapa lama lagi di sini,” kataku pelan, berusaha menahan air mata yang hampir pecah. Bu Inggi menghela napas panjang, matanya berkaca-kaca. "Nur, saya akan bantu kamu. Kamu bisa beristirahat lebih banyak, saya akan cari bantuan tambahan. Tapi tolong, jangan tinggalkan kami. Kami butuh kamu di sini." Aku merasakan tekad Bu Inggi, tapi bagaimana aku bisa menjelaskan bahwa ini bukan hanya soal kelelahan fisik? Ketakutan yang terus menghantui, rasa berat yang tak tampak, dan tubuhku yang semakin melemah seolah terkuras oleh sesuatu yang tak terlihat. "Bu... keluarga saya khawatir, dan saya sendiri... saya takut," ucapku akhirnya. Kata-kataku tersendat, dan aku tak bisa menyembunyikan kepedihan di balik suaraku. Bu Inggi menunduk, tangannya gemetar saat menggenggam cangkir kopi di depannya. "Saya mengerti, Nur. Tapi setidaknya, beri saya waktu. Sampai saya bisa menemukan orang yang bisa menggantikan kamu. Hanya itu yang saya minta." Permohonan itu menusuk ke dalam hatiku. Aku tahu, aku tak bisa terus bertahan di sini. Tapi menolak permintaan Bu Inggi rasanya tak mungkin. Meski begitu, aku tak yakin bisa bertahan lebih lama lagi di tempat ini. Hari demi hari berlalu, dan pengganti yang dijanjikan Bu Inggi tak kunjung datang. Aku mulai curiga, apakah mereka benar-benar berniat mencari seseorang untuk menggantikanku? Di Jakarta yang luas ini, dengan segala kemudahan yang ada, aku yakin pasti ada banyak yayasan yang bisa menyediakan tenaga kerja. Tapi, kenapa sampai sekarang belum ada juga? Perasaan gelisah terus menghantui. Setiap kali aku menanyakan soal pengganti, Bu Inggi selalu punya alasan. Kadang katanya yayasan sedang penuh, kadang lagi, orang yang diharapkan tak cocok dengan kebutuhan rumah tangga mereka. Semuanya terdengar seperti alasan yang dibuat-buat. "Nur, kamu yakin nggak mau pulang aja dulu?" Eci bertanya suatu malam saat kami duduk di teras, menikmati angin yang menerpa wajah kami. Aku menatapnya, lalu menggeleng pelan. "Aku juga mau pulang, Ci, tapi... kamu tahu sendiri kan? Bu Inggi belum juga dapat pengganti. Aku nggak bisa ninggalin kamu sendirian." Eci menghela napas, terlihat lelah. "Lihat diri kamu sekarang. Kurus, lemas... batuk kamu nggak sembuh-sembuh. Apa nggak sebaiknya kita ngomong sama keluargamu lagi?" Aku tahu Eci benar, kondisiku semakin hari semakin memburuk. Tapi, melihat Bu Inggi yang terus memohon, membuatku ragu untuk benar-benar pergi. Perasaan bersalah terus membayangi, seolah-olah jika aku pergi, aku akan meninggalkan mereka dalam kesulitan. Namun, sampai kapan aku bisa bertahan seperti ini?Beberapa hari setelah tahun baru, tepatnya tahun 2018, suasana rumah sedikit lengang. Majikanku, Bu Inggi dan keluarganya, memutuskan untuk mudik ke Bandung selama beberapa hari. Mereka menitipkan rumah padaku dan Eci, seperti biasa, sambil berjanji bahwa sepulang mereka, akan ada pengganti yang datang untukku.Aku menghela napas panjang, berusaha menenangkan pikiran. Ini bisa jadi kesempatan bagiku untuk benar-benar keluar dari situasi ini. Tanpa Bu Inggi di sini, aku merasa ada ruang untuk berpikir lebih jernih, tanpa terus dihantui rasa bersalah yang dia tanamkan dengan permohonan dan janji-janjinya.Beberapa hari sebelumnya, keluargaku semakin khawatir melihat kondisiku yang tak kunjung membaik, dan mereka akhirnya memutuskan untuk turun tangan. Hari itu, keluargaku datang menjemputku tanpa memberi kabar.Mereka datang dengan wajah cemas, terutama ibuku. Ketika melihat tubuhku yang semakin kurus dan lemah, air mata ibuku jatuh tanpa bisa ditahan."Nur, ayo pulang. Kamu nggak bisa
Malam semakin larut, tapi kantuk tak lagi mendekat. Kami bertiga duduk di teras, diterangi cahaya lampu yang temaram. Ayah sesekali menghela napas berat, sementara ibu hanya menatapku dengan sorot mata cemas, seolah mencari penjelasan di wajahku yang masih pucat. Namun, aku sendiri pun tak tahu apa yang sebenarnya terjadi."Ada apa, Nur?" tanya ayah lembut, namun tetap penuh tekanan.Dia mengerti, pasti ada yang menggangguku sejak aku kembali ke rumah. Aku tak pernah segelisah ini sebelumnya.Aku menggigit bibir, ragu untuk menceritakan semuanya. Selama ini, aku mencoba menekan semua ketakutan dan kejadian aneh yang kualami di tempat kerja.Namun, semakin lama, rasanya mustahil untuk menyembunyikannya. Tindakan ini sudah mulai memengaruhi kesehatanku, pikiranku, bahkan kini merambah ke rumah yang dulu selalu menjadi tempat teraman bagiku."Aku...," suaraku tercekat, tapi kutekan rasa takut itu dalam-dalam. "Aku merasa ada sesuatu yang mengikuti sejak di tempat kerja, Ayah, Ibu. Bukan
Pagi itu, setelah sarapan, gerimis mulai turun, menciptakan suasana tenang yang menyelimuti rumah. Udara segar dari hujan masuk melalui jendela, membawa kesejukan yang tak biasanya. Aku sedang membereskan meja makan ketika tiba-tiba terdengar suara bel pintu.Ayah yang kebetulan berada di ruang tamu berjalan ke arah pintu dan membukanya. Aku masih sibuk dengan piring-piring di tangan, tapi suara Ayah memanggil namaku membuatku berhenti sejenak."Nur, ada tamu untukmu."Aku mengernyit, tidak ingat sedang menunggu siapa pun. Tapi saat aku melihat ke arah pintu, jantungku berdegup kencang.Dia.Seseorang yang sudah lama tak kulihat, dan sejujurnya tak pernah kuharapkan datang lagi. Mantan pacarku, yang terakhir kutemui sebelum berangkat ke Jakarta. Pria yang meninggalkan jejak luka di hatiku yang tak mudah sembuh."Naufal?" tanyaku setengah tidak percaya, suaraku hampir tak keluar.Dia berdiri di sana, dengan tatapan serius
Persiapan pernikahanku dan Naufal selesai dengan cepat, tak lebih dari satu bulan menuju akad. Semua terasa begitu terburu-buru, seolah aku tidak diberi waktu untuk merenungkan apa yang sebenarnya sedang terjadi. Aku juga tak bisa melawan kedua orang tuaku yang tampak begitu antusias.Aku sempat bertengkar hebat dengan Naufal, jelas karena aku tidak menginginkan pernikahan ini. Tapi entah mengapa, semakin hari aku merasa semakin bersalah padanya."Apakah aku terlalu keras," pikirku.Aku sempat ingin kabur dan membatalkan pernikahan ini, tapi semua persiapan sudah begitu sempurna. Aku tidak mungkin tega membiarkan kedua orang tuaku mengalami kerugian dana. Kabur pun, aku harus ke mana?Setelah malam yang penuh emosi itu, aku terbangun di tengah keheningan, tanpa melihat jam. Udara terasa dingin, dan suasana rumah sunyi, hanya suara angin yang berhembus di luar. Aku merasa perlu ke kamar mandi, jadi aku bangkit perlahan dari tempat tidur dan menuju ke sana.Saat me
Setelah serangkaian acara pernikahan, ayah dan ibu memintaku dan Naufal untuk tinggal terpisah, meski hanya bersebelahan. Kami di minta pindah ke rumah kecil nenek di sebelah, karena dia sekarang akan menetap di rumah bibi. Namun, setelah kami pindah, hal-hal aneh mulai terjadi. Tubuhku mulai terasa lemas, dan malam-malamku dipenuhi keringat dingin yang membasahi sekujur tubuh. Meski sudah diselimuti berlapis-lapis, tubuhku menggigil tak terbendung. "Naufal, aku... aku nggak kuat lagi," ucapku lirih suatu malam, tubuhku bergetar hebat. Naufal duduk di sampingku, memegangi tanganku yang dingin. "Kamu kenapa, Sayang? Badanmu panas, tapi kamu kedinginan," jawabnya sambil menatapku cemas. "Aku nggak tahu... Aku merasa ada yang salah di sini. Setiap malam, aku selalu kedinginan begini. Badanku juga lemas, nggak ada tenaga." Naufal menghela napas panjang, memegang dahiku. "Besok kita ke dokter lagi, ya? Kita nggak bisa begini terus."
Selain keluargaku yang mengalami sakit-sakitan, hal itu juga terjadi pada keluarga Naufal. Kedua adiknya mendadak mengalami demam tanpa sebab yang jelas, dan kondisi kami semua menurun secara bersamaan. Keadaan semakin parah ketika ayah Naufal, yang tampaknya cukup paham dengan hal-hal spiritual, mulai mencurigai bahwa ada kekuatan gaib yang mempengaruhi kami. Dia memandang serius gejala-gejala yang terjadi, bukan hanya sekadar sakit biasa. Wajahnya semakin serius saat berbicara dengan ayahku suatu malam."Ada sesuatu di sini yang nggak bisa kita lihat," ucapnya lirih, menatap ayahku dengan mata penuh keyakinan. "Kita harus mencari cara untuk menetralisirnya."Ayahku, yang pada awalnya skeptis, mulai mengangguk pelan. Kesehatan keluarganya yang terus menurun membuatnya mempertimbangkan segala kemungkinan."Apa yang bisa kita lakukan?" tanya ayahku, wajahnya terlihat khawatir namun masih tenang.Ayah Naufal menunduk sebentar, berpikir dalam diam, sebelum akhirnya
Ayah mertuaku masuk ke dalam rumah, napasnya terdengar sedikit tersengal, seolah baru saja menyelesaikan sesuatu yang melelahkan. Wajahnya serius, tetapi ia berusaha menyembunyikan kegelisahannya.Dia menatapku dengan mata penuh keyakinan, lalu berkata pelan, "Tidurlah, semuanya akan baik-baik saja. Jangan khawatir."Aku hanya bisa mengangguk meskipun di dalam hatiku masih terasa cemas. Perlahan aku berbaring kembali di kasur, meskipun pikiranku terus terjaga. Suara-suara di atap sudah mereda, dan keheningan yang melingkupi rumah itu terasa aneh, seperti ketenangan yang datang setelah badai. Aku mencoba memejamkan mata, berharap rasa kantuk datang.Esok paginya, ketika matahari mulai menyinari rumah kami, aku terbangun dengan perasaan yang berbeda. Tubuhku yang semalam lemas dan dingin, kini terasa jauh lebih segar. Aku duduk, mengamati sekeliling. Naufal yang semalam demam tinggi, kini tampak tertidur dengan tenang, wajahnya lebih rileks, dan ketika aku m
Beberapa bulan setelah kejadian itu, perlahan aku mulai merasakan ketenangan. Keanehan-keanehan di rumah sudah tidak lagi terasa, dan kami sekeluarga kembali menjalani hari-hari seperti biasa. Namun, di saat ketenangan itu muncul, ada hal lain yang mulai mengganggu pikiranku. Hubungan antara aku dan Naufal.Entah sejak kapan, aku mulai merasa hubungan kami menjadi semakin tegang. Kami sering bertengkar, bahkan untuk hal-hal sepele. Perbedaan pendapat yang dulu bisa kami bicarakan dengan tenang, kini selalu berakhir dengan adu argumen.Kadang aku merasa cemburu tanpa alasan yang jelas, terutama ketika Naufal pulang telat atau ada urusan yang tak sempat ia ceritakan padaku sebelumnya. Perasaan itu sering kali meluap menjadi kemarahan, padahal aku tahu, mungkin saja tak ada hal yang perlu dicurigai.Yang lebih menggangguku adalah perasaan yang muncul di dalam diriku, seolah aku, yang dulu terpaksa menikah dengan Naufal, kini menjadi terobsesi untuk selalu ada di sisinya. Ak
Hari itu datang lebih cepat dari yang aku bayangkan. Pagi masih berselimut kabut tipis, hawa dingin khas kampungku menyelinap ke sela-sela jendela kayu. Rumah sederhana peninggalan orang tuaku yang lama tak kuhuni kini terlihat ramai, penuh kerabat dan tetangga yang datang membantu persiapan pernikahanku.Di halaman depan, tenda putih dipasang sederhana. Kursi-kursi plastik tertata rapi berhadapan dengan meja panjang tempat hidangan akan diletakkan. Beberapa bunga krisan putih dipadukan dengan daun pisang sebagai hiasan—cukup untuk membuat suasana terasa hangat dan bersahaja.Aroma masakan dari dapur menyebar ke seluruh penjuru rumah; nasi kuning, opor ayam, dan sambal goreng kentang menjadi menu utama hari ini. Ibu-ibu tetangga tampak sibuk membantu, tertawa kecil sambil sesekali menegur anak-anak yang berlarian riang di halaman.Aku duduk di kamar kecilku yang dulu sering menjadi saksi hari-hari penuh mimpi dan air mata. Di depan cermin yang sedikit retak, aku merapikan diri dengan
Setiap kali aku tiba di kantor, hal yang paling membuat langkahku terasa berat adalah masuk ke ruangan Pak Frank. Meski tugasnya sederhana, hanya sekadar membuka jendela dan memastikan ruangan itu rapi, aku selalu merasa enggan. Ada sesuatu yang membuat ruangan itu berbeda, hawa dingin yang menyeruak meski jendela-jendela kecilnya langsung menghadap jalan raya. Ruangan itu cukup besar, dilengkapi sofa yang cukup nyaman, ada televisi dan beberapa peralatan lainnya. Di dekat pintu terdapat meja Pak Frank dengan kursi putar hitam, dan beberapa dokumen yang tertumpuk rapi di sudutnya. Di sisi lain, ada dua jendela kecil dengan pemandangan jalan raya yang biasanya penuh lalu lintas. Di sampingnya, ada lemari tempat menyimpan barang-barang, mesin kopi dan juga kulkas. Namun, yang paling mencolok adalah jendela kaca sebelah kanan, yang terhubung langsung dengan rooftop. Jendela itu tampak gelap dari luar, aku selalu merasa seperti ada sesuatu yang menatapku dari dalam setiap kali aku
Aku mencoba mengabaikan pesan Isabelle, tapi rasa cemas itu tetap menggantung di pikiranku sepanjang hari. Saat bekerja, aku merasa lebih sensitif terhadap sekelilingku. Setiap suara kecil, bayangan yang melintas di sudut mata, atau bahkan hembusan angin yang terasa tidak wajar membuatku terlonjak. Malam harinya, ketika aku pulang ke kontrakan, aku masih memikirkan kata-kata Isabelle. 'Bau wangi… tertarik dengan Mbak…' Kata-kata itu terus terngiang di kepalaku. Aku teringat bagaimana ibuku dulu pernah berkata kalau aku sering dipuji memiliki aroma tubuh yang khas, seperti harum bunga melati. Saat kecil, aku menganggapnya pujian biasa, tapi sekarang aku merasa takut. Apa ini artinya aku memang punya "ciri" yang bisa menarik perhatian makhluk-makhluk tak kasat mata? Di dalam kontrakan, aku mencoba menenangkan diri. Aku mengunci semua pintu dan jendela, memastikan tidak ada celah sedikit pun. Aku berbaring di kasur tipis yang tergeletak di lantai, memaksakan diri untuk tidur. Na
Pagi itu, aku berangkat ke kantor lebih pagi dari biasanya, seperti ada sesuatu yang mendorongku untuk pergi lebih awal. Mungkin karena sudah merasa tak nyaman di kontrakan baru, atau mungkin hanya sekadar ingin mengalihkan pikiran.Aku memegang kunci gerbang utama dan pintu depan, berjalan memasuki kantor yang masih sepi. Hanya aku yang sudah datang, terlalu pagi untuk siapa pun. Aku duduk di sofa, membelakangi cermin besar yang menempel di dinding.Cermin itu hampir mencakup seluruh ruangan, dan aku merasa ada sesuatu yang tidak biasa dengan keberadaannya, namun aku memilih untuk mengabaikannya.Rasa kantuk datang begitu saja. Aku merasa begitu lelah, entah karena pekerjaan atau masalah yang terus menghantui pikiranku. Dalam sekejap, aku tertidur di sana, tanpa bisa mengontrolnya. Namun, tidurku bukan tidur yang tenang.Seperti yang sudah sering terjadi, aku kembali mengalami ketindihan, bahkan kali ini di kantor. Rasanya seperti ada yang mengge
Ketika akhirnya aku menemukan kontrakan yang sederhana tapi nyaman, aku merasa seperti mendapatkan harapan baru. Tempat itu tidak besar, hanya sebuah kamar dengan kamar mandi kecil tanpa dapur. Meski begitu, aku yakin tempat ini adalah langkah awal menuju kehidupan yang lebih mandiri.Aku belum langsung menempatinya, tapi mulai mencicil barang-barang yang akan kubawa ke sana. Saat Bu Dina kembali mengeluhkan bahwa ia belum menemukan kontrakan murah untukku, aku akhirnya berkata dengan tenang.“Bu, saya sudah menemukan kontrakan sendiri. Saya akan pindah secepatnya.”Raut wajahnya berubah. Ia tampak terkejut tapi tidak berkata banyak. Sejak percakapan itu, aku merasa hubungan kami benar-benar berubah. Kami seperti orang asing yang hanya berbicara seperlunya, tidak lagi seperti keluarga yang dulu aku bayangkan. Malam itu sesuatu yang ganjil terjadi lagi. Aku kembali memimpikan Bin, padahal hubunganku dengan Aji mulai membaik. Mimpi itu selalu dimul
Sejak saat itu, suasana rumah Bu Dina berubah drastis. Entah apa yang merubah sikapnya, tapi perlakuannya padaku mulai terasa menusuk. Dulu, rumah ini adalah tempat yang membuatku nyaman. Namun, sekarang, dia seperti orang yang berbeda. Dingin, penuh sindiran, dan seolah tak sabar menunggu aku pergi.“Kamu masih tinggal di sini, Nur. Makan di sini, pakai air di sini, wifi di sini. Jadi bantu-bantu ya,” katanya suatu sore, dengan nada seperti memerintah.Kalimat itu terngiang di kepalaku, mengikis rasa hormatku sedikit demi sedikit. Aku tahu aku tinggal di rumahnya, tapi apa aku seburuk itu?Bukankah aku sudah membantu pekerjaan rumah setiap hari sebelum berangkat ke kantor? Bukankah aku selalu memastikan semuanya rapi sebelum aku meninggalkan rumah? Tapi sepertinya, apapun yang kulakukan tak pernah cukup di matanya.Setiap kali aku terlihat duduk santai, meskipun hanya lima menit setelah seharian bekerja, Bu Dina selalu menemukan alasan untuk meny
Hubunganku dengan Aji mulai memasuki fase yang tidak menyenangkan. Kami sering bertengkar akhir-akhir ini, dan penyebabnya terdengar sepele: K-pop. Issabelle, anak Bu Dina yang awalnya memperkenalkanku pada dunia boy group Korea, kini justru menjadi alasan perselisihan antara aku dan Aji. Awalnya, Issabelle hanya menunjukkan beberapa video dari boy group kesukaannya untuk menghiburku, tetapi siapa sangka aku malah jatuh hati pada grup lain. Namun, yang membuat Aji semakin kesal adalah ketertarikanku yang mendalam terhadap salah satu member grup itu, seseorang bernama Bin. Awalnya, aku bahkan tidak terlalu memperhatikannya. Dia tidak begitu mencolok di antara para member lainnya, dan aku pun tidak terlalu peduli. Tetapi, semuanya berubah setelah malam itu. Malam itu, aku bermimpi sesuatu yang membuatku terkejut sekaligus bahagia. Dalam mimpi itu, aku terbangun di tempat tidurku, namun ada yang berbeda. Di sebelahku, Bin, idola yang akhir-a
Pagi itu, hari pertama aku bekerja di kantor Pak Frank, Ainun, asisten baru di rumah Bu Dina, mengantarku menggunakan sepeda motor.Setibanya di kantor, aku mulai merasakan sesuatu yang berbeda, sebuah hawa yang sulit dijelaskan. Apakah aku akan betah bekerja di sini? Pertanyaan itu terus berputar di pikiranku sepanjang perjalanan menuju pintu masuk.Saat aku membuka pintu utama, pandanganku langsung tertuju pada ruang tamu kecil yang sederhana namun mencolok. Sebuah sofa hitam dengan meja kecil di depannya menjadi tempat biasa Pak Frank menerima tamu atau klien. Di samping sofa itu, sebuah rak besar berisi kosmetik dari berbagai jenis dan merek, semuanya adalah produk unggulan dari perusahaannya.Namun yang paling menarik perhatian adalah cermin besar yang hampir memenuhi satu sisi dinding. Letaknya strategis, sehingga memantulkan hampir seluruh isi ruangan. Aku tidak bisa mengalihkan pandangan dari cermin itu. Ada sesuatu yang membuatnya terasa... aneh.
Setelah asisten penggantiku datang, aku merasa sedikit lega. Setidaknya, kini aku punya teman untuk berbagi tugas. Namun, ada satu hal yang membuatku bertanya-tanya: mengapa Bu Dina mencarinya begitu cepat? Padahal, pernikahanku masih beberapa bulan lagi. Rasanya seperti dia tidak sabar untuk segera melepas tanggung jawabku di rumah ini.Tak lama setelah penggantiku mulai bekerja, Bu Dina memberikan tawaran yang tak terduga. Dia menyarankan agar aku bekerja di kantor Pak Frank, suaminya. Katanya, posisinya lebih baik, gajinya jauh lebih besar, dan jam kerjanya pun tidak sepadat pekerjaan rumah. Bu Dina bahkan meyakinkanku bahwa bekerja di kantor akan memberi pengalamanku nilai tambah di masa depan.Awalnya, aku ragu. Aku tidak pernah membayangkan bekerja di lingkungan kantor yang penuh aturan. Namun, setelah dipikirkan matang-matang, aku menerima tawaran itu. Pekerjaan di kantor memang terasa seperti peluang yang baik, dan gajinya yang lebih besar tentu akan sangat