Share

BAB 5

Siang itu, suasana di meja makan terasa begitu tegang. Bu Inggi, majikan kami, memanggil kami untuk menghadapnya. Aku belum sempat membicarakan langsung soal keinginanku untuk berhenti, tapi dari cara Bu Inggi memandangku, aku tahu keluargaku pasti sudah menghubunginya lebih dulu.

"Nur," ucapnya dengan nada lembut tapi tegas, "kamu kenapa? Kamu gak betah di sini?" Ia menatapku tajam, lalu melanjutkan, "Saya galak ya?"

Pertanyaannya membuatku terdiam sejenak. Aku bisa merasakan Eci yang duduk di sebelahku gelisah, tetapi aku harus menjawab. Suasana ini semakin membuatku tidak nyaman.

"Enggak, Bu... bukan begitu," jawabku pelan, suaraku terdengar bergetar. "Bukan karena Ibu atau suasananya, tapi saya merasa... ada yang aneh di rumah ini."

Wajah Bu Inggi berubah sejenak. Ia menyilangkan tangannya di depan dada, lalu menatapku dengan lebih serius.

"Aneh gimana, Nur?"

Aku menarik napas panjang, mencoba menyusun keberanian. "Di kantor, Bu... saya sering dengar suara-suara aneh. Suara meja ditarik, pintu berderit, sampai ada benda jatuh di gudang."

Bu Inggi tersenyum kecil, seolah-olah cerita yang kubawa hanyalah angin lalu. "Biasalah, Nur, itu mah paling suara ruko sebelah," jawabnya santai, seolah tidak ada yang perlu dikhawatirkan.

Aku tak melanjutkan. Meski detak jantungku masih berdegup kencang, jelas Bu Inggi tak akan mempercayai hal-hal di luar logika. Tapi, aku juga tak menceritakan pengalaman lainku. Perasaan dingin di tangga, suara keran air yang menyala sendiri di balkon, atau tanganku yang gemetar setiap kali melewati kamar mandi di lantai dua.

Setelah sejenak diam, Bu Inggi mengalihkan tatapannya pada Eci yang sejak tadi hanya tertunduk. "Kamu gimana, Ci? Masih mau kerja di sini?" tanyanya dengan nada yang sedikit menantang.

Eci mengangguk cepat. "Masih, Bu," jawabnya gugup.

Aku bisa merasakan kecemasannya, tahu betul bahwa Eci sangat membutuhkan pekerjaan ini. Namun, matanya sedikit berkaca-kaca, seperti menahan rasa takut yang sama denganku. Kami sama-sama tahu, tinggal di sini lebih dari sekadar pekerjaan, ini adalah perjuangan melawan perasaan tak nyaman yang terus menghantui kami.

Bu Inggi tersenyum tipis, lalu berdiri. "Baiklah. Saya harap kalian tetap bekerja dengan baik, ya. Jangan pikirkan hal-hal yang aneh."

Ia beranjak pergi meninggalkan kami dalam keheningan. Aku dan Eci hanya saling menatap tanpa sepatah kata pun.

"Saya akan naikkan gaji kalian," ucap Bu Inggi, suaranya terdengar tegas dan datar.

Tawaran itu terdengar menggoda, tapi entah kenapa, perasaan tak nyaman di dadaku justru semakin mencekam.

Seiring berjalannya waktu, bukan lagi soal gaji yang menjadi fokusku. Kondisiku semakin memburuk. Berat badanku turun drastis, wajahku semakin pucat, dan batukku tak kunjung sembuh meski sudah beberapa kali berobat. Ada rasa sesak yang terus menggerogoti tubuhku, seakan ada yang salah, tapi aku tak tahu apa.

"Nur, kamu kenapa? Kok makin kurus?" tanya Eci suatu hari, saat kami duduk di ruang tamu. 

Aku hanya bisa mengangkat bahu, tak tahu harus menjawab apa. Batukku pecah lagi, kali ini lebih parah. Aku merasakan sakit yang menusuk di tenggorokanku, sesuatu yang mulai terasa akrab namun tetap menakutkan.

Keluargaku semakin khawatir. Mereka mendesakku untuk berhenti bekerja, menyuruhku pulang dan mencari tempat yang lebih sehat. Tapi aku tak bisa. Di balik semua kejadian aneh ini, ada sesuatu yang menahanku di sini. Mungkin rasa tanggung jawab, atau mungkin rasa takut kalau aku meninggalkan tempat ini, semuanya akan semakin buruk.

Aku tak tahu berapa lama lagi aku bisa bertahan di sini. Tapi yang jelas, ketakutan dan rasa sakit ini semakin menelan diriku, sedikit demi sedikit.

Bu Inggi menatapku dengan wajah memelas. Suaranya bergetar ketika ia berkata, "Nur, tolong Nur, kalau kamu berhenti, gimana nasib keluarga saya?"

Aku terdiam, tenggorokanku tercekat oleh rasa bersalah yang menyesakkan. Rasanya tak enak melihat majikanku, yang selama ini baik padaku, memohon seperti itu. Tapi tubuhku yang semakin lemah dan batuk kering yang tak kunjung sembuh membuatku sadar, aku tak bisa lagi melanjutkan semua ini.

“Bu, saya paham. Tapi... kondisi saya makin parah. Saya nggak tahu bisa bertahan berapa lama lagi di sini,” kataku pelan, berusaha menahan air mata yang hampir pecah.

Bu Inggi menghela napas panjang, matanya berkaca-kaca. "Nur, saya akan bantu kamu. Kamu bisa beristirahat lebih banyak, saya akan cari bantuan tambahan. Tapi tolong, jangan tinggalkan kami. Kami butuh kamu di sini."

Aku merasakan tekad Bu Inggi, tapi bagaimana aku bisa menjelaskan bahwa ini bukan hanya soal kelelahan fisik? Ketakutan yang terus menghantui, rasa berat yang tak tampak, dan tubuhku yang semakin melemah seolah terkuras oleh sesuatu yang tak terlihat.

"Bu... keluarga saya khawatir, dan saya sendiri... saya takut," ucapku akhirnya. Kata-kataku tersendat, dan aku tak bisa menyembunyikan kepedihan di balik suaraku.

Bu Inggi menunduk, tangannya gemetar saat menggenggam cangkir kopi di depannya. "Saya mengerti, Nur. Tapi setidaknya, beri saya waktu. Sampai saya bisa menemukan orang yang bisa menggantikan kamu. Hanya itu yang saya minta."

Permohonan itu menusuk ke dalam hatiku. Aku tahu, aku tak bisa terus bertahan di sini. Tapi menolak permintaan Bu Inggi rasanya tak mungkin. Meski begitu, aku tak yakin bisa bertahan lebih lama lagi di tempat ini.

Hari demi hari berlalu, dan pengganti yang dijanjikan Bu Inggi tak kunjung datang. Aku mulai curiga, apakah mereka benar-benar berniat mencari seseorang untuk menggantikanku? Di Jakarta yang luas ini, dengan segala kemudahan yang ada, aku yakin pasti ada banyak yayasan yang bisa menyediakan tenaga kerja. Tapi, kenapa sampai sekarang belum ada juga?

Perasaan gelisah terus menghantui. Setiap kali aku menanyakan soal pengganti, Bu Inggi selalu punya alasan. Kadang katanya yayasan sedang penuh, kadang lagi, orang yang diharapkan tak cocok dengan kebutuhan rumah tangga mereka. Semuanya terdengar seperti alasan yang dibuat-buat.

"Nur, kamu yakin nggak mau pulang aja dulu?" Eci bertanya suatu malam saat kami duduk di teras, menikmati angin yang menerpa wajah kami.

Aku menatapnya, lalu menggeleng pelan. "Aku juga mau pulang, Ci, tapi... kamu tahu sendiri kan? Bu Inggi belum juga dapat pengganti. Aku nggak bisa ninggalin kamu sendirian."

Eci menghela napas, terlihat lelah. "Lihat diri kamu sekarang. Kurus, lemas... batuk kamu nggak sembuh-sembuh. Apa nggak sebaiknya kita ngomong sama keluargamu lagi?"

Aku tahu Eci benar, kondisiku semakin hari semakin memburuk. Tapi, melihat Bu Inggi yang terus memohon, membuatku ragu untuk benar-benar pergi. Perasaan bersalah terus membayangi, seolah-olah jika aku pergi, aku akan meninggalkan mereka dalam kesulitan.

Namun, sampai kapan aku bisa bertahan seperti ini?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status