Share

BAB 6

Beberapa hari setelah tahun baru, tepatnya tahun 2018, suasana rumah sedikit lengang. Majikanku, Bu Inggi dan keluarganya, memutuskan untuk mudik ke Bandung selama beberapa hari. Mereka menitipkan rumah padaku dan Eci, seperti biasa, sambil berjanji bahwa sepulang mereka, akan ada pengganti yang datang untukku.

Aku menghela napas panjang, berusaha menenangkan pikiran. Ini bisa jadi kesempatan bagiku untuk benar-benar keluar dari situasi ini. Tanpa Bu Inggi di sini, aku merasa ada ruang untuk berpikir lebih jernih, tanpa terus dihantui rasa bersalah yang dia tanamkan dengan permohonan dan janji-janjinya.

Beberapa hari sebelumnya, keluargaku semakin khawatir melihat kondisiku yang tak kunjung membaik, dan mereka akhirnya memutuskan untuk turun tangan. Hari itu, keluargaku datang menjemputku tanpa memberi kabar.

Mereka datang dengan wajah cemas, terutama ibuku. Ketika melihat tubuhku yang semakin kurus dan lemah, air mata ibuku jatuh tanpa bisa ditahan.

"Nur, ayo pulang. Kamu nggak bisa terus begini," kata ibu dengan suara bergetar. "Kesehatan kamu lebih penting."

Aku melihat ke arah Eci yang berdiri di sampingku, tampak bingung dan tidak tahu harus berkata apa. Aku bisa merasakan beban yang ditanggungnya, apalagi dengan segala keanehan yang terus kami alami di rumah ini.

"Aku nggak tahu, Ci... Maaf," kataku akhirnya, suaraku serak karena batuk yang tak juga sembuh.

Eci tersenyum kecil, meski aku tahu dia kecewa. "Nggak apa-apa, Nur. Aku ngerti. Kamu harus jaga kesehatan kamu dulu."

Tanpa menunggu lebih lama, aku akhirnya mengepak barang-barangku. Dalam hati, aku merasa lega, meski masih ada rasa bersalah karena meninggalkan Eci sendirian. Tapi aku tahu, ini keputusan yang harus kuambil.

"Maafkan aku, Ci... jaga dirimu baik-baik," kataku sambil memeluknya untuk terakhir kali.

Ketika kami akhirnya melangkah keluar rumah, rasanya seperti beban berat yang selama ini menghimpit dada perlahan terangkat. Tapi, entah mengapa, saat aku memandang rumah itu untuk terakhir kalinya, ada perasaan aneh yang membayangi, seolah-olah rumah itu tak ingin aku pergi.

Aku menggeleng, menepis perasaan itu. Sudah saatnya aku keluar dari sini.

Setelah berpamitan dengan Eci dan meninggalkan rumah sekitar pukul dua atau tiga sore, perasaan lega yang sempat muncul perlahan-lahan berubah menjadi rasa khawatir yang tak terucap. Kejanggalan kembali menghantui kami saat mobil yang kami tumpangi seolah terjebak dalam lingkaran yang tak berujung.

Aku duduk di kursi belakang, menatap keluar jendela. Pemandangan di sekitar kami terasa sama, seakan-akan mobil hanya memutari lingkungan yang sama berulang kali. Jalanan yang seharusnya membawa kami pulang ke rumah malah membuat kami merasa seperti terjebak di tempat yang asing dan mengkhawatirkan.

Ayahku yang menyetir mulai terlihat cemas. "Ini kok jalannya lagi-lagi ke sini, ya?" gumamnya pelan, mencoba merasionalisasi situasi aneh ini.

Ibuku, yang duduk di sampingnya, menatap arlojinya dengan gelisah. "Udah mau dua jam kita muter-muter, tapi belum sampai mana-mana," katanya. Aku bisa melihat kerut di dahinya yang semakin dalam.

"Kayaknya tadi kita udah lewat jalan ini, Pak. Ada yang salah nih," kataku, mencoba tetap tenang meski jantungku berdebar keras.

Rasa takut yang tadinya kupikir sudah kutinggalkan di rumah itu kini perlahan kembali menyergap. Sesuatu terasa salah, sangat salah. Mobil kami seperti ditarik oleh kekuatan yang tak terlihat, seakan tak ingin melepaskan kami dari lingkungan itu.

Ayahku beberapa kali membuka kaca mobil dan bertanya pada orang-orang di pinggir jalan, "Maaf, Pak, jalan tol ke arah mana ya?"

Namun, setiap kali kami diberi petunjuk, anehnya, jalan yang kami tempuh selalu kembali ke titik yang sama.

Ibuku mulai gelisah, tangannya meremas jilbabnya erat-erat. "Kok bisa begini, sih? Jangan-jangan bapak lupa apa yang di bilang orang tadi?"

"Aku gak ngerti, Bu. Ini udah benar kok," jawab ayahku, nada suaranya terdengar tegang. "Ini udah yang kelima kali kita muter di tempat yang sama."

Setelah beberapa kali memutari jalan yang sama, rasa putus asa mulai merasuki kami. Ayah menghentikan mobil di pinggir jalan, wajahnya tampak lelah, sementara Ibu memandang keluar jendela dengan pandangan kosong. 

"Ayo, kita semua berdoa," ucap Ayah akhirnya, suaranya terdengar mantap, mencoba untuk menenangkan. Kami semua setuju tanpa ragu.

Suara lirih dari bacaan doa saling bersahutan, sementara di luar, malam mulai menyelimuti Jakarta dengan kegelapan yang pekat. Hanya suara seruan adzan magrib yang kemudian terdengar di kejauhan, melengkapi doa-doa kami.

"Ya Allah, tunjukkan kami jalan keluar dari sini," gumamku dalam hati.

Seolah mendengar permintaan kami, tak lama setelah adzan selesai, kami menemukan tanda yang mengarah ke pintu tol. Jalan yang sebelumnya terasa seperti labirin tak berujung kini berubah menjadi lebih jelas.

Ayah menghela napas panjang, "Alhamdulillah," ucapnya dengan lega. Kami semua ikut bersyukur, merasakan kelegaan yang luar biasa.

Mobil perlahan memasuki jalan tol, meninggalkan kejanggalan yang entah bagaimana telah membelit kami selama berjam-jam.

Setelah menempuh perjalanan panjang, akhirnya kami tiba di rumah pukul 10 malam. Rasa lelah menyelimuti tubuh, namun begitu melangkah masuk, ada perasaan aneh yang langsung menyergapku. Rumah yang seharusnya terasa hangat dan familiar, kini terasa asing, seolah-olah ada yang berubah.

"Assalamu'alaikum," ucapku saat memasuki rumah.

Aku berjalan menuju kamarku, berharap menemukan sedikit ketenangan setelah semua kejanggalan yang kualami di tempat kerja. Namun, saat membuka pintu kamar, sesuatu terasa berbeda. Ruangan yang dulu tampak biasa saja kini terasa lebih luas, atapnya menjulang tinggi, seakan menjauh dari pandanganku.

Aku berdiri di ambang pintu, merasakan keanehan yang tidak bisa dijelaskan. Tak ada yang berubah secara fisik di kamar ini—furnitur masih sama, cat dinding pun tak ada yang berubah. Tapi ada sesuatu yang membuat udara terasa lebih dingin, seolah-olah ada jarak antara aku dan kamarku sendiri.

"Mungkin hanya perasaan," gumamku, mencoba menenangkan diri.

Begitu tubuhku menyentuh kasur, kelelahan membuatku segera memejamkan mata. Aku hanya ingin tidur, melupakan keanehan yang kurasakan sejak tiba di rumah. Namun, hanya beberapa menit setelah mataku terpejam, aku merasakan sesuatu yang janggal. Rasanya seperti tubuhku terangkat, tidak lagi berpijak di atas kasur.

Aku terombang-ambing di udara, seakan ada kekuatan yang tak terlihat mengangkatku. Detik berikutnya, tubuhku dihempaskan dengan keras ke bawah.

"Tidak!" teriakku, spontan membuka mata.

Napas memburu, aku langsung terperanjat dari kasur, tidak bisa lagi mengabaikan apa yang baru saja kualami. Jantungku berdebar kencang, dan tanpa pikir panjang, aku berlari keluar dari kamar. Tubuhku gemetar, bayangan kejadian tadi masih jelas terpatri di benakku.

Ayah dan ibu yang mendengar teriakanku segera menyusul ke luar kamar. Wajah mereka terlihat khawatir, tapi mungkin tak sepenuhnya mengerti apa yang terjadi.

"Kamu kenapa, Nur?" tanya ibu, suaranya penuh cemas.

Aku tak bisa langsung menjawab. Tubuhku masih gemetar, dan aku hanya bisa memeluk diriku sendiri. Kami duduk di teras, mencoba menenangkan diri. Udara malam terasa dingin, tapi anehnya, tidak menyejukkan.

Malam itu, aku merasakan ada sesuatu yang lebih gelap dan tak terjelaskan dari sekadar mimpi buruk. Sesuatu yang mengintai, tak hanya di tempat kerja, tapi juga di rumahku sendiri.

"Sepertinya... ada yang salah, Bu," bisikku pelan, suara yang nyaris tenggelam di antara desiran angin malam.

Malam itu, tidur bukan lagi pilihan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status