Share

BAB 7

Malam semakin larut, tapi kantuk tak lagi mendekat. Kami bertiga duduk di teras, diterangi cahaya lampu yang temaram. Ayah sesekali menghela napas berat, sementara ibu hanya menatapku dengan sorot mata cemas, seolah mencari penjelasan di wajahku yang masih pucat. Namun, aku sendiri pun tak tahu apa yang sebenarnya terjadi.

"Ada apa, Nur?" tanya ayah lembut, namun tetap penuh tekanan.

Dia mengerti, pasti ada yang menggangguku sejak aku kembali ke rumah. Aku tak pernah segelisah ini sebelumnya.

Aku menggigit bibir, ragu untuk menceritakan semuanya. Selama ini, aku mencoba menekan semua ketakutan dan kejadian aneh yang kualami di tempat kerja.

Namun, semakin lama, rasanya mustahil untuk menyembunyikannya. Tindakan ini sudah mulai memengaruhi kesehatanku, pikiranku, bahkan kini merambah ke rumah yang dulu selalu menjadi tempat teraman bagiku.

"Aku...," suaraku tercekat, tapi kutekan rasa takut itu dalam-dalam. "Aku merasa ada sesuatu yang mengikuti sejak di tempat kerja, Ayah, Ibu. Bukan cuma di kantor... di rumah ini juga sekarang."

Ibu mengernyit, jelas kebingungan dengan ucapanku. Tapi sebelum mereka bisa bertanya lebih lanjut, aku melanjutkan dengan terbata-bata, "Di kantor, aku sering mendengar suara-suara aneh, melihat hal-hal yang nggak masuk akal. Dulu aku kira itu cuma sugesti, tapi... sekarang di sini juga, aku merasa nggak tenang."

Ayah menatapku tajam, seolah berusaha mencerna semua yang kubilang. Lalu dia menghela napas panjang, menunduk sambil menggenggam tanganku.

"Nur, apapun itu, kita nggak bisa biarkan rasa takut menguasai pikiranmu."

"Tapi, Ayah... tadi aku seperti diangkat dari tempat tidur. Rasanya nyata, bukan mimpi," potongku, suaraku bergetar.

Ibu mengusap punggungku dengan lembut, mencoba menenangkanku. "Kita akan cari tahu, Nur. Mungkin ini hanya karena kamu terlalu lelah, atau ada sesuatu yang belum selesai di tempat kerja."

Aku menggeleng cepat. "Ini bukan hanya soal pekerjaan, Bu. Aku nggak bisa terus seperti ini. Ada yang salah... dan aku takut."

Keheningan menelan kami, hanya suara jangkrik di kejauhan yang terdengar. Ayah akhirnya berdiri, menarik napas dalam-dalam. "Baiklah, kalau begitu, kita akan panggil orang yang lebih mengerti soal ini. Kalau memang ada sesuatu, kita hadapi bersama."

"Ayah dan ibu tidak percaya padaku," gumamku dalam hati, meski aku tahu mereka hanya berusaha membuatku tenang.

Setelah percakapan itu, mereka memintaku untuk kembali tidur di kamar. Ayah bahkan mencoba meyakinkanku bahwa semua ini hanya permainan pikiran karena stres dan kelelahan.

“Sudahlah, Nur. Coba tidur lagi, mungkin kamu cuma capek," kata ayah dengan nada tegas namun lembut.

"Tidak, Ayah. Aku nggak bisa," balasku sambil menggeleng.

Aku tak bisa memaksa diriku untuk kembali ke kamar itu. Rasanya seperti ada yang mengawasi, mengintai dari sudut-sudut gelap. Bahkan, langit-langit kamarku yang tampak menjulang tinggi sekarang membuatku merasa semakin kecil dan terjebak. Aku tahu, kalau aku kembali ke sana, aku tidak akan bisa tertidur, dan ketakutanku hanya akan semakin parah.

Akhirnya, dengan napas tertahan, aku meminta izin untuk tidur di tengah rumah, tepat di ruang keluarga yang menghadap ke pintu dapur. Di situ ada kasur lantai yang biasa kami gunakan untuk menonton TV. Setidaknya di sana, aku merasa lebih aman karena bisa melihat segala sesuatu di sekitarku tanpa perasaan terkunci.

“Kalau begitu, tidurlah di sini,” ujar ibu, menyerah. Dia membantuku menyiapkan bantal dan selimut.

Saat aku berbaring, rasanya ada sedikit kelegaan, meski bayangan kejadian tadi terus terlintas di benakku. Aku mendengar ayah dan ibu masuk ke kamar mereka, pintu tertutup pelan. Ruang keluarga menjadi sunyi. Lampu temaram di pojok ruangan seolah tak cukup untuk mengusir kegelapan yang melingkupi rumah ini.

Aku menarik selimut hingga ke dagu, mataku mengawasi setiap sudut ruangan, berharap tak ada sesuatu yang muncul dari bayangan. Tapi malam itu, tidur tetaplah sesuatu yang mustahil.

Akhirnya, entah bagaimana, rasa kantuk berhasil mengalahkan rasa takutku. Aku pun tertidur dengan tenang di sofa ruang keluarga. Tidak ada mimpi buruk, tidak ada perasaan dihempaskan ke atas dan bawah seperti sebelumnya. Hanya kegelapan yang tenang.

Ketika aku terbangun keesokan paginya, udara pagi yang sejuk menyelimuti tubuhku. Matahari mulai menyusup melalui celah-celah jendela, memancarkan cahaya lembut di ruangan. Aneh, pikirku. Rasanya tubuhku lebih ringan, jauh lebih sehat dari sebelumnya. Batuk yang beberapa hari terakhir sering menyerangku tiba-tiba mereda, dan tubuhku yang biasanya lemas seperti mendapat energi baru.

Aku menggerakkan tubuhku perlahan, memastikan bahwa semua ini bukan sekadar perasaan. Tidak, memang benar. Aku merasa lebih baik. Jauh lebih baik. Rasa sakit yang selama ini membuatku susah tidur lenyap begitu saja.

"Alhamdulillah," bisikku, bersyukur dalam hati.

Aku melirik jam di dinding, masih pagi, tapi Ayah dan Ibu pasti sudah bangun. Dengan langkah ringan, aku menuju dapur, dan melihat mereka sudah duduk di meja makan, terlihat terkejut saat melihatku.

"Nur? Kamu terlihat lebih segar pagi ini," kata Ibu dengan nada heran, tapi matanya terlihat lega.

Aku mengangguk, masih tak percaya dengan perubahan yang kurasakan. "Iya, Bu. Rasanya jauh lebih baik."

Ayah hanya tersenyum kecil dari balik koran yang sedang dibacanya. "Mungkin semalam kamu memang cuma butuh istirahat. Lihat? Sekarang kamu kembali sehat."

Aku duduk di meja, mencoba mencerna semuanya. Apakah itu benar? Apakah ketakutan yang kurasakan hanya karena kelelahan dan pikiran negatif yang menguasai? Atau ada hal lain yang aku belum pahami?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status