Malam semakin larut, tapi kantuk tak lagi mendekat. Kami bertiga duduk di teras, diterangi cahaya lampu yang temaram. Ayah sesekali menghela napas berat, sementara ibu hanya menatapku dengan sorot mata cemas, seolah mencari penjelasan di wajahku yang masih pucat. Namun, aku sendiri pun tak tahu apa yang sebenarnya terjadi.
"Ada apa, Nur?" tanya ayah lembut, namun tetap penuh tekanan. Dia mengerti, pasti ada yang menggangguku sejak aku kembali ke rumah. Aku tak pernah segelisah ini sebelumnya. Aku menggigit bibir, ragu untuk menceritakan semuanya. Selama ini, aku mencoba menekan semua ketakutan dan kejadian aneh yang kualami di tempat kerja. Namun, semakin lama, rasanya mustahil untuk menyembunyikannya. Tindakan ini sudah mulai memengaruhi kesehatanku, pikiranku, bahkan kini merambah ke rumah yang dulu selalu menjadi tempat teraman bagiku. "Aku...," suaraku tercekat, tapi kutekan rasa takut itu dalam-dalam. "Aku merasa ada sesuatu yang mengikuti sejak di tempat kerja, Ayah, Ibu. Bukan cuma di kantor... di rumah ini juga sekarang." Ibu mengernyit, jelas kebingungan dengan ucapanku. Tapi sebelum mereka bisa bertanya lebih lanjut, aku melanjutkan dengan terbata-bata, "Di kantor, aku sering mendengar suara-suara aneh, melihat hal-hal yang nggak masuk akal. Dulu aku kira itu cuma sugesti, tapi... sekarang di sini juga, aku merasa nggak tenang." Ayah menatapku tajam, seolah berusaha mencerna semua yang kubilang. Lalu dia menghela napas panjang, menunduk sambil menggenggam tanganku. "Nur, apapun itu, kita nggak bisa biarkan rasa takut menguasai pikiranmu." "Tapi, Ayah... tadi aku seperti diangkat dari tempat tidur. Rasanya nyata, bukan mimpi," potongku, suaraku bergetar. Ibu mengusap punggungku dengan lembut, mencoba menenangkanku. "Kita akan cari tahu, Nur. Mungkin ini hanya karena kamu terlalu lelah, atau ada sesuatu yang belum selesai di tempat kerja." Aku menggeleng cepat. "Ini bukan hanya soal pekerjaan, Bu. Aku nggak bisa terus seperti ini. Ada yang salah... dan aku takut." Keheningan menelan kami, hanya suara jangkrik di kejauhan yang terdengar. Ayah akhirnya berdiri, menarik napas dalam-dalam. "Baiklah, kalau begitu, kita akan panggil orang yang lebih mengerti soal ini. Kalau memang ada sesuatu, kita hadapi bersama." "Ayah dan ibu tidak percaya padaku," gumamku dalam hati, meski aku tahu mereka hanya berusaha membuatku tenang. Setelah percakapan itu, mereka memintaku untuk kembali tidur di kamar. Ayah bahkan mencoba meyakinkanku bahwa semua ini hanya permainan pikiran karena stres dan kelelahan. “Sudahlah, Nur. Coba tidur lagi, mungkin kamu cuma capek," kata ayah dengan nada tegas namun lembut. "Tidak, Ayah. Aku nggak bisa," balasku sambil menggeleng. Aku tak bisa memaksa diriku untuk kembali ke kamar itu. Rasanya seperti ada yang mengawasi, mengintai dari sudut-sudut gelap. Bahkan, langit-langit kamarku yang tampak menjulang tinggi sekarang membuatku merasa semakin kecil dan terjebak. Aku tahu, kalau aku kembali ke sana, aku tidak akan bisa tertidur, dan ketakutanku hanya akan semakin parah. Akhirnya, dengan napas tertahan, aku meminta izin untuk tidur di tengah rumah, tepat di ruang keluarga yang menghadap ke pintu dapur. Di situ ada kasur lantai yang biasa kami gunakan untuk menonton TV. Setidaknya di sana, aku merasa lebih aman karena bisa melihat segala sesuatu di sekitarku tanpa perasaan terkunci. “Kalau begitu, tidurlah di sini,” ujar ibu, menyerah. Dia membantuku menyiapkan bantal dan selimut. Saat aku berbaring, rasanya ada sedikit kelegaan, meski bayangan kejadian tadi terus terlintas di benakku. Aku mendengar ayah dan ibu masuk ke kamar mereka, pintu tertutup pelan. Ruang keluarga menjadi sunyi. Lampu temaram di pojok ruangan seolah tak cukup untuk mengusir kegelapan yang melingkupi rumah ini. Aku menarik selimut hingga ke dagu, mataku mengawasi setiap sudut ruangan, berharap tak ada sesuatu yang muncul dari bayangan. Tapi malam itu, tidur tetaplah sesuatu yang mustahil. Akhirnya, entah bagaimana, rasa kantuk berhasil mengalahkan rasa takutku. Aku pun tertidur dengan tenang di sofa ruang keluarga. Tidak ada mimpi buruk, tidak ada perasaan dihempaskan ke atas dan bawah seperti sebelumnya. Hanya kegelapan yang tenang. Ketika aku terbangun keesokan paginya, udara pagi yang sejuk menyelimuti tubuhku. Matahari mulai menyusup melalui celah-celah jendela, memancarkan cahaya lembut di ruangan. Aneh, pikirku. Rasanya tubuhku lebih ringan, jauh lebih sehat dari sebelumnya. Batuk yang beberapa hari terakhir sering menyerangku tiba-tiba mereda, dan tubuhku yang biasanya lemas seperti mendapat energi baru. Aku menggerakkan tubuhku perlahan, memastikan bahwa semua ini bukan sekadar perasaan. Tidak, memang benar. Aku merasa lebih baik. Jauh lebih baik. Rasa sakit yang selama ini membuatku susah tidur lenyap begitu saja. "Alhamdulillah," bisikku, bersyukur dalam hati. Aku melirik jam di dinding, masih pagi, tapi Ayah dan Ibu pasti sudah bangun. Dengan langkah ringan, aku menuju dapur, dan melihat mereka sudah duduk di meja makan, terlihat terkejut saat melihatku. "Nur? Kamu terlihat lebih segar pagi ini," kata Ibu dengan nada heran, tapi matanya terlihat lega. Aku mengangguk, masih tak percaya dengan perubahan yang kurasakan. "Iya, Bu. Rasanya jauh lebih baik." Ayah hanya tersenyum kecil dari balik koran yang sedang dibacanya. "Mungkin semalam kamu memang cuma butuh istirahat. Lihat? Sekarang kamu kembali sehat." Aku duduk di meja, mencoba mencerna semuanya. Apakah itu benar? Apakah ketakutan yang kurasakan hanya karena kelelahan dan pikiran negatif yang menguasai? Atau ada hal lain yang aku belum pahami?Pagi itu, setelah sarapan, gerimis mulai turun, menciptakan suasana tenang yang menyelimuti rumah. Udara segar dari hujan masuk melalui jendela, membawa kesejukan yang tak biasanya. Aku sedang membereskan meja makan ketika tiba-tiba terdengar suara bel pintu.Ayah yang kebetulan berada di ruang tamu berjalan ke arah pintu dan membukanya. Aku masih sibuk dengan piring-piring di tangan, tapi suara Ayah memanggil namaku membuatku berhenti sejenak."Nur, ada tamu untukmu."Aku mengernyit, tidak ingat sedang menunggu siapa pun. Tapi saat aku melihat ke arah pintu, jantungku berdegup kencang.Dia.Seseorang yang sudah lama tak kulihat, dan sejujurnya tak pernah kuharapkan datang lagi. Mantan pacarku, yang terakhir kutemui sebelum berangkat ke Jakarta. Pria yang meninggalkan jejak luka di hatiku yang tak mudah sembuh."Naufal?" tanyaku setengah tidak percaya, suaraku hampir tak keluar.Dia berdiri di sana, dengan tatapan serius
Persiapan pernikahanku dan Naufal selesai dengan cepat, tak lebih dari satu bulan menuju akad. Semua terasa begitu terburu-buru, seolah aku tidak diberi waktu untuk merenungkan apa yang sebenarnya sedang terjadi. Aku juga tak bisa melawan kedua orang tuaku yang tampak begitu antusias.Aku sempat bertengkar hebat dengan Naufal, jelas karena aku tidak menginginkan pernikahan ini. Tapi entah mengapa, semakin hari aku merasa semakin bersalah padanya."Apakah aku terlalu keras," pikirku.Aku sempat ingin kabur dan membatalkan pernikahan ini, tapi semua persiapan sudah begitu sempurna. Aku tidak mungkin tega membiarkan kedua orang tuaku mengalami kerugian dana. Kabur pun, aku harus ke mana?Setelah malam yang penuh emosi itu, aku terbangun di tengah keheningan, tanpa melihat jam. Udara terasa dingin, dan suasana rumah sunyi, hanya suara angin yang berhembus di luar. Aku merasa perlu ke kamar mandi, jadi aku bangkit perlahan dari tempat tidur dan menuju ke sana.Saat me
Setelah serangkaian acara pernikahan, ayah dan ibu memintaku dan Naufal untuk tinggal terpisah, meski hanya bersebelahan. Kami di minta pindah ke rumah kecil nenek di sebelah, karena dia sekarang akan menetap di rumah bibi. Namun, setelah kami pindah, hal-hal aneh mulai terjadi. Tubuhku mulai terasa lemas, dan malam-malamku dipenuhi keringat dingin yang membasahi sekujur tubuh. Meski sudah diselimuti berlapis-lapis, tubuhku menggigil tak terbendung. "Naufal, aku... aku nggak kuat lagi," ucapku lirih suatu malam, tubuhku bergetar hebat. Naufal duduk di sampingku, memegangi tanganku yang dingin. "Kamu kenapa, Sayang? Badanmu panas, tapi kamu kedinginan," jawabnya sambil menatapku cemas. "Aku nggak tahu... Aku merasa ada yang salah di sini. Setiap malam, aku selalu kedinginan begini. Badanku juga lemas, nggak ada tenaga." Naufal menghela napas panjang, memegang dahiku. "Besok kita ke dokter lagi, ya? Kita nggak bisa begini terus."
Selain keluargaku yang mengalami sakit-sakitan, hal itu juga terjadi pada keluarga Naufal. Kedua adiknya mendadak mengalami demam tanpa sebab yang jelas, dan kondisi kami semua menurun secara bersamaan. Keadaan semakin parah ketika ayah Naufal, yang tampaknya cukup paham dengan hal-hal spiritual, mulai mencurigai bahwa ada kekuatan gaib yang mempengaruhi kami. Dia memandang serius gejala-gejala yang terjadi, bukan hanya sekadar sakit biasa. Wajahnya semakin serius saat berbicara dengan ayahku suatu malam."Ada sesuatu di sini yang nggak bisa kita lihat," ucapnya lirih, menatap ayahku dengan mata penuh keyakinan. "Kita harus mencari cara untuk menetralisirnya."Ayahku, yang pada awalnya skeptis, mulai mengangguk pelan. Kesehatan keluarganya yang terus menurun membuatnya mempertimbangkan segala kemungkinan."Apa yang bisa kita lakukan?" tanya ayahku, wajahnya terlihat khawatir namun masih tenang.Ayah Naufal menunduk sebentar, berpikir dalam diam, sebelum akhirnya
Ayah mertuaku masuk ke dalam rumah, napasnya terdengar sedikit tersengal, seolah baru saja menyelesaikan sesuatu yang melelahkan. Wajahnya serius, tetapi ia berusaha menyembunyikan kegelisahannya.Dia menatapku dengan mata penuh keyakinan, lalu berkata pelan, "Tidurlah, semuanya akan baik-baik saja. Jangan khawatir."Aku hanya bisa mengangguk meskipun di dalam hatiku masih terasa cemas. Perlahan aku berbaring kembali di kasur, meskipun pikiranku terus terjaga. Suara-suara di atap sudah mereda, dan keheningan yang melingkupi rumah itu terasa aneh, seperti ketenangan yang datang setelah badai. Aku mencoba memejamkan mata, berharap rasa kantuk datang.Esok paginya, ketika matahari mulai menyinari rumah kami, aku terbangun dengan perasaan yang berbeda. Tubuhku yang semalam lemas dan dingin, kini terasa jauh lebih segar. Aku duduk, mengamati sekeliling. Naufal yang semalam demam tinggi, kini tampak tertidur dengan tenang, wajahnya lebih rileks, dan ketika aku m
Beberapa bulan setelah kejadian itu, perlahan aku mulai merasakan ketenangan. Keanehan-keanehan di rumah sudah tidak lagi terasa, dan kami sekeluarga kembali menjalani hari-hari seperti biasa. Namun, di saat ketenangan itu muncul, ada hal lain yang mulai mengganggu pikiranku. Hubungan antara aku dan Naufal.Entah sejak kapan, aku mulai merasa hubungan kami menjadi semakin tegang. Kami sering bertengkar, bahkan untuk hal-hal sepele. Perbedaan pendapat yang dulu bisa kami bicarakan dengan tenang, kini selalu berakhir dengan adu argumen.Kadang aku merasa cemburu tanpa alasan yang jelas, terutama ketika Naufal pulang telat atau ada urusan yang tak sempat ia ceritakan padaku sebelumnya. Perasaan itu sering kali meluap menjadi kemarahan, padahal aku tahu, mungkin saja tak ada hal yang perlu dicurigai.Yang lebih menggangguku adalah perasaan yang muncul di dalam diriku, seolah aku, yang dulu terpaksa menikah dengan Naufal, kini menjadi terobsesi untuk selalu ada di sisinya. Ak
Kedua orang tuaku tak bisa lagi menyembunyikan kemarahan mereka. Ayah, yang biasanya tenang, kali ini terlihat sangat murka. Di ruang tamu yang sunyi, suaranya menggelegar, memecah kesunyian.“Apa-apaan si Naufal ini?! Tidak pulang, tidak memberi kabar, apalagi nafkah!” Ayah berbicara dengan nada tinggi, menghentakkan tangan ke meja. “Sudah kita ajak bicara baik-baik, malah tetap menolak untuk kembali ke rumah.”Ibu, yang duduk di sebelahku, menggelengkan kepalanya sambil menarik napas panjang. "Nur, kamu gak bisa terus seperti ini. Kamu istri dia, seharusnya dia bertanggung jawab."Aku menunduk, menggigit bibirku, mencoba menahan air mata yang hampir jatuh. “Aku sudah coba bicara, Bu. Tapi Naufal… dia selalu bilang akan kembali, tapi gak pernah muncul. Setiap kali aku tanya kenapa dia gak mau pulang, dia cuma bilang ‘lagi banyak pikiran’.”Ibu menggeleng pelan, jelas sekali kekecewaannya. "Banyak pikiran? Kamu yang banyak pikiran, Nur. Kamu di si
Ibu menatapku dengan cemas, sementara aku duduk diam di ruang tamu, memandangi lantai. Sudah berkali-kali ibu meminta agar aku mempertimbangkan untuk berpisah dengan Naufal, tapi entah mengapa hatiku masih berat. Ada sesuatu yang menahanku, seakan-akan aku tak mampu melepaskannya."Nur," suara Ibu terdengar lembut namun penuh keprihatinan, "kamu harus pikirkan baik-baik. Naufal nggak pernah pulang, nggak kasih nafkah, dan dia terus-terusan menghindar. Ini sudah nggak benar. Kamu harus siap buat berpisah."Aku menggeleng pelan, air mata mulai menggenang di pelupuk mataku. "Tapi, Bu... aku masih sayang sama dia. Aku nggak bisa begitu saja melepas Naufal. Aku ingin mempertahankan pernikahan ini. Aku nggak mau menyerah."Ibu terdiam, tampak bingung harus berkata apa. Aku tahu dia ingin aku berhenti terluka, tapi aku masih tak sanggup melepas ikatan yang ada. Di saat hening itu, Ayah yang sedari tadi diam, tiba-tiba membuka suara dengan nada tegas dan serius.
Hari itu datang lebih cepat dari yang aku bayangkan. Pagi masih berselimut kabut tipis, hawa dingin khas kampungku menyelinap ke sela-sela jendela kayu. Rumah sederhana peninggalan orang tuaku yang lama tak kuhuni kini terlihat ramai, penuh kerabat dan tetangga yang datang membantu persiapan pernikahanku.Di halaman depan, tenda putih dipasang sederhana. Kursi-kursi plastik tertata rapi berhadapan dengan meja panjang tempat hidangan akan diletakkan. Beberapa bunga krisan putih dipadukan dengan daun pisang sebagai hiasan—cukup untuk membuat suasana terasa hangat dan bersahaja.Aroma masakan dari dapur menyebar ke seluruh penjuru rumah; nasi kuning, opor ayam, dan sambal goreng kentang menjadi menu utama hari ini. Ibu-ibu tetangga tampak sibuk membantu, tertawa kecil sambil sesekali menegur anak-anak yang berlarian riang di halaman.Aku duduk di kamar kecilku yang dulu sering menjadi saksi hari-hari penuh mimpi dan air mata. Di depan cermin yang sedikit retak, aku merapikan diri dengan
Setiap kali aku tiba di kantor, hal yang paling membuat langkahku terasa berat adalah masuk ke ruangan Pak Frank. Meski tugasnya sederhana, hanya sekadar membuka jendela dan memastikan ruangan itu rapi, aku selalu merasa enggan. Ada sesuatu yang membuat ruangan itu berbeda, hawa dingin yang menyeruak meski jendela-jendela kecilnya langsung menghadap jalan raya. Ruangan itu cukup besar, dilengkapi sofa yang cukup nyaman, ada televisi dan beberapa peralatan lainnya. Di dekat pintu terdapat meja Pak Frank dengan kursi putar hitam, dan beberapa dokumen yang tertumpuk rapi di sudutnya. Di sisi lain, ada dua jendela kecil dengan pemandangan jalan raya yang biasanya penuh lalu lintas. Di sampingnya, ada lemari tempat menyimpan barang-barang, mesin kopi dan juga kulkas. Namun, yang paling mencolok adalah jendela kaca sebelah kanan, yang terhubung langsung dengan rooftop. Jendela itu tampak gelap dari luar, aku selalu merasa seperti ada sesuatu yang menatapku dari dalam setiap kali aku
Aku mencoba mengabaikan pesan Isabelle, tapi rasa cemas itu tetap menggantung di pikiranku sepanjang hari. Saat bekerja, aku merasa lebih sensitif terhadap sekelilingku. Setiap suara kecil, bayangan yang melintas di sudut mata, atau bahkan hembusan angin yang terasa tidak wajar membuatku terlonjak. Malam harinya, ketika aku pulang ke kontrakan, aku masih memikirkan kata-kata Isabelle. 'Bau wangi… tertarik dengan Mbak…' Kata-kata itu terus terngiang di kepalaku. Aku teringat bagaimana ibuku dulu pernah berkata kalau aku sering dipuji memiliki aroma tubuh yang khas, seperti harum bunga melati. Saat kecil, aku menganggapnya pujian biasa, tapi sekarang aku merasa takut. Apa ini artinya aku memang punya "ciri" yang bisa menarik perhatian makhluk-makhluk tak kasat mata? Di dalam kontrakan, aku mencoba menenangkan diri. Aku mengunci semua pintu dan jendela, memastikan tidak ada celah sedikit pun. Aku berbaring di kasur tipis yang tergeletak di lantai, memaksakan diri untuk tidur. Na
Pagi itu, aku berangkat ke kantor lebih pagi dari biasanya, seperti ada sesuatu yang mendorongku untuk pergi lebih awal. Mungkin karena sudah merasa tak nyaman di kontrakan baru, atau mungkin hanya sekadar ingin mengalihkan pikiran.Aku memegang kunci gerbang utama dan pintu depan, berjalan memasuki kantor yang masih sepi. Hanya aku yang sudah datang, terlalu pagi untuk siapa pun. Aku duduk di sofa, membelakangi cermin besar yang menempel di dinding.Cermin itu hampir mencakup seluruh ruangan, dan aku merasa ada sesuatu yang tidak biasa dengan keberadaannya, namun aku memilih untuk mengabaikannya.Rasa kantuk datang begitu saja. Aku merasa begitu lelah, entah karena pekerjaan atau masalah yang terus menghantui pikiranku. Dalam sekejap, aku tertidur di sana, tanpa bisa mengontrolnya. Namun, tidurku bukan tidur yang tenang.Seperti yang sudah sering terjadi, aku kembali mengalami ketindihan, bahkan kali ini di kantor. Rasanya seperti ada yang mengge
Ketika akhirnya aku menemukan kontrakan yang sederhana tapi nyaman, aku merasa seperti mendapatkan harapan baru. Tempat itu tidak besar, hanya sebuah kamar dengan kamar mandi kecil tanpa dapur. Meski begitu, aku yakin tempat ini adalah langkah awal menuju kehidupan yang lebih mandiri.Aku belum langsung menempatinya, tapi mulai mencicil barang-barang yang akan kubawa ke sana. Saat Bu Dina kembali mengeluhkan bahwa ia belum menemukan kontrakan murah untukku, aku akhirnya berkata dengan tenang.“Bu, saya sudah menemukan kontrakan sendiri. Saya akan pindah secepatnya.”Raut wajahnya berubah. Ia tampak terkejut tapi tidak berkata banyak. Sejak percakapan itu, aku merasa hubungan kami benar-benar berubah. Kami seperti orang asing yang hanya berbicara seperlunya, tidak lagi seperti keluarga yang dulu aku bayangkan. Malam itu sesuatu yang ganjil terjadi lagi. Aku kembali memimpikan Bin, padahal hubunganku dengan Aji mulai membaik. Mimpi itu selalu dimul
Sejak saat itu, suasana rumah Bu Dina berubah drastis. Entah apa yang merubah sikapnya, tapi perlakuannya padaku mulai terasa menusuk. Dulu, rumah ini adalah tempat yang membuatku nyaman. Namun, sekarang, dia seperti orang yang berbeda. Dingin, penuh sindiran, dan seolah tak sabar menunggu aku pergi.“Kamu masih tinggal di sini, Nur. Makan di sini, pakai air di sini, wifi di sini. Jadi bantu-bantu ya,” katanya suatu sore, dengan nada seperti memerintah.Kalimat itu terngiang di kepalaku, mengikis rasa hormatku sedikit demi sedikit. Aku tahu aku tinggal di rumahnya, tapi apa aku seburuk itu?Bukankah aku sudah membantu pekerjaan rumah setiap hari sebelum berangkat ke kantor? Bukankah aku selalu memastikan semuanya rapi sebelum aku meninggalkan rumah? Tapi sepertinya, apapun yang kulakukan tak pernah cukup di matanya.Setiap kali aku terlihat duduk santai, meskipun hanya lima menit setelah seharian bekerja, Bu Dina selalu menemukan alasan untuk meny
Hubunganku dengan Aji mulai memasuki fase yang tidak menyenangkan. Kami sering bertengkar akhir-akhir ini, dan penyebabnya terdengar sepele: K-pop. Issabelle, anak Bu Dina yang awalnya memperkenalkanku pada dunia boy group Korea, kini justru menjadi alasan perselisihan antara aku dan Aji. Awalnya, Issabelle hanya menunjukkan beberapa video dari boy group kesukaannya untuk menghiburku, tetapi siapa sangka aku malah jatuh hati pada grup lain. Namun, yang membuat Aji semakin kesal adalah ketertarikanku yang mendalam terhadap salah satu member grup itu, seseorang bernama Bin. Awalnya, aku bahkan tidak terlalu memperhatikannya. Dia tidak begitu mencolok di antara para member lainnya, dan aku pun tidak terlalu peduli. Tetapi, semuanya berubah setelah malam itu. Malam itu, aku bermimpi sesuatu yang membuatku terkejut sekaligus bahagia. Dalam mimpi itu, aku terbangun di tempat tidurku, namun ada yang berbeda. Di sebelahku, Bin, idola yang akhir-a
Pagi itu, hari pertama aku bekerja di kantor Pak Frank, Ainun, asisten baru di rumah Bu Dina, mengantarku menggunakan sepeda motor.Setibanya di kantor, aku mulai merasakan sesuatu yang berbeda, sebuah hawa yang sulit dijelaskan. Apakah aku akan betah bekerja di sini? Pertanyaan itu terus berputar di pikiranku sepanjang perjalanan menuju pintu masuk.Saat aku membuka pintu utama, pandanganku langsung tertuju pada ruang tamu kecil yang sederhana namun mencolok. Sebuah sofa hitam dengan meja kecil di depannya menjadi tempat biasa Pak Frank menerima tamu atau klien. Di samping sofa itu, sebuah rak besar berisi kosmetik dari berbagai jenis dan merek, semuanya adalah produk unggulan dari perusahaannya.Namun yang paling menarik perhatian adalah cermin besar yang hampir memenuhi satu sisi dinding. Letaknya strategis, sehingga memantulkan hampir seluruh isi ruangan. Aku tidak bisa mengalihkan pandangan dari cermin itu. Ada sesuatu yang membuatnya terasa... aneh.
Setelah asisten penggantiku datang, aku merasa sedikit lega. Setidaknya, kini aku punya teman untuk berbagi tugas. Namun, ada satu hal yang membuatku bertanya-tanya: mengapa Bu Dina mencarinya begitu cepat? Padahal, pernikahanku masih beberapa bulan lagi. Rasanya seperti dia tidak sabar untuk segera melepas tanggung jawabku di rumah ini.Tak lama setelah penggantiku mulai bekerja, Bu Dina memberikan tawaran yang tak terduga. Dia menyarankan agar aku bekerja di kantor Pak Frank, suaminya. Katanya, posisinya lebih baik, gajinya jauh lebih besar, dan jam kerjanya pun tidak sepadat pekerjaan rumah. Bu Dina bahkan meyakinkanku bahwa bekerja di kantor akan memberi pengalamanku nilai tambah di masa depan.Awalnya, aku ragu. Aku tidak pernah membayangkan bekerja di lingkungan kantor yang penuh aturan. Namun, setelah dipikirkan matang-matang, aku menerima tawaran itu. Pekerjaan di kantor memang terasa seperti peluang yang baik, dan gajinya yang lebih besar tentu akan sangat