Malam semakin larut, tapi kantuk tak lagi mendekat. Kami bertiga duduk di teras, diterangi cahaya lampu yang temaram. Ayah sesekali menghela napas berat, sementara ibu hanya menatapku dengan sorot mata cemas, seolah mencari penjelasan di wajahku yang masih pucat. Namun, aku sendiri pun tak tahu apa yang sebenarnya terjadi.
"Ada apa, Nur?" tanya ayah lembut, namun tetap penuh tekanan. Dia mengerti, pasti ada yang menggangguku sejak aku kembali ke rumah. Aku tak pernah segelisah ini sebelumnya. Aku menggigit bibir, ragu untuk menceritakan semuanya. Selama ini, aku mencoba menekan semua ketakutan dan kejadian aneh yang kualami di tempat kerja. Namun, semakin lama, rasanya mustahil untuk menyembunyikannya. Tindakan ini sudah mulai memengaruhi kesehatanku, pikiranku, bahkan kini merambah ke rumah yang dulu selalu menjadi tempat teraman bagiku. "Aku...," suaraku tercekat, tapi kutekan rasa takut itu dalam-dalam. "Aku merasa ada sesuatu yang mengikuti sejak di tempat kerja, Ayah, Ibu. Bukan cuma di kantor... di rumah ini juga sekarang." Ibu mengernyit, jelas kebingungan dengan ucapanku. Tapi sebelum mereka bisa bertanya lebih lanjut, aku melanjutkan dengan terbata-bata, "Di kantor, aku sering mendengar suara-suara aneh, melihat hal-hal yang nggak masuk akal. Dulu aku kira itu cuma sugesti, tapi... sekarang di sini juga, aku merasa nggak tenang." Ayah menatapku tajam, seolah berusaha mencerna semua yang kubilang. Lalu dia menghela napas panjang, menunduk sambil menggenggam tanganku. "Nur, apapun itu, kita nggak bisa biarkan rasa takut menguasai pikiranmu." "Tapi, Ayah... tadi aku seperti diangkat dari tempat tidur. Rasanya nyata, bukan mimpi," potongku, suaraku bergetar. Ibu mengusap punggungku dengan lembut, mencoba menenangkanku. "Kita akan cari tahu, Nur. Mungkin ini hanya karena kamu terlalu lelah, atau ada sesuatu yang belum selesai di tempat kerja." Aku menggeleng cepat. "Ini bukan hanya soal pekerjaan, Bu. Aku nggak bisa terus seperti ini. Ada yang salah... dan aku takut." Keheningan menelan kami, hanya suara jangkrik di kejauhan yang terdengar. Ayah akhirnya berdiri, menarik napas dalam-dalam. "Baiklah, kalau begitu, kita akan panggil orang yang lebih mengerti soal ini. Kalau memang ada sesuatu, kita hadapi bersama." "Ayah dan ibu tidak percaya padaku," gumamku dalam hati, meski aku tahu mereka hanya berusaha membuatku tenang. Setelah percakapan itu, mereka memintaku untuk kembali tidur di kamar. Ayah bahkan mencoba meyakinkanku bahwa semua ini hanya permainan pikiran karena stres dan kelelahan. “Sudahlah, Nur. Coba tidur lagi, mungkin kamu cuma capek," kata ayah dengan nada tegas namun lembut. "Tidak, Ayah. Aku nggak bisa," balasku sambil menggeleng. Aku tak bisa memaksa diriku untuk kembali ke kamar itu. Rasanya seperti ada yang mengawasi, mengintai dari sudut-sudut gelap. Bahkan, langit-langit kamarku yang tampak menjulang tinggi sekarang membuatku merasa semakin kecil dan terjebak. Aku tahu, kalau aku kembali ke sana, aku tidak akan bisa tertidur, dan ketakutanku hanya akan semakin parah. Akhirnya, dengan napas tertahan, aku meminta izin untuk tidur di tengah rumah, tepat di ruang keluarga yang menghadap ke pintu dapur. Di situ ada kasur lantai yang biasa kami gunakan untuk menonton TV. Setidaknya di sana, aku merasa lebih aman karena bisa melihat segala sesuatu di sekitarku tanpa perasaan terkunci. “Kalau begitu, tidurlah di sini,” ujar ibu, menyerah. Dia membantuku menyiapkan bantal dan selimut. Saat aku berbaring, rasanya ada sedikit kelegaan, meski bayangan kejadian tadi terus terlintas di benakku. Aku mendengar ayah dan ibu masuk ke kamar mereka, pintu tertutup pelan. Ruang keluarga menjadi sunyi. Lampu temaram di pojok ruangan seolah tak cukup untuk mengusir kegelapan yang melingkupi rumah ini. Aku menarik selimut hingga ke dagu, mataku mengawasi setiap sudut ruangan, berharap tak ada sesuatu yang muncul dari bayangan. Tapi malam itu, tidur tetaplah sesuatu yang mustahil. Akhirnya, entah bagaimana, rasa kantuk berhasil mengalahkan rasa takutku. Aku pun tertidur dengan tenang di sofa ruang keluarga. Tidak ada mimpi buruk, tidak ada perasaan dihempaskan ke atas dan bawah seperti sebelumnya. Hanya kegelapan yang tenang. Ketika aku terbangun keesokan paginya, udara pagi yang sejuk menyelimuti tubuhku. Matahari mulai menyusup melalui celah-celah jendela, memancarkan cahaya lembut di ruangan. Aneh, pikirku. Rasanya tubuhku lebih ringan, jauh lebih sehat dari sebelumnya. Batuk yang beberapa hari terakhir sering menyerangku tiba-tiba mereda, dan tubuhku yang biasanya lemas seperti mendapat energi baru. Aku menggerakkan tubuhku perlahan, memastikan bahwa semua ini bukan sekadar perasaan. Tidak, memang benar. Aku merasa lebih baik. Jauh lebih baik. Rasa sakit yang selama ini membuatku susah tidur lenyap begitu saja. "Alhamdulillah," bisikku, bersyukur dalam hati. Aku melirik jam di dinding, masih pagi, tapi Ayah dan Ibu pasti sudah bangun. Dengan langkah ringan, aku menuju dapur, dan melihat mereka sudah duduk di meja makan, terlihat terkejut saat melihatku. "Nur? Kamu terlihat lebih segar pagi ini," kata Ibu dengan nada heran, tapi matanya terlihat lega. Aku mengangguk, masih tak percaya dengan perubahan yang kurasakan. "Iya, Bu. Rasanya jauh lebih baik." Ayah hanya tersenyum kecil dari balik koran yang sedang dibacanya. "Mungkin semalam kamu memang cuma butuh istirahat. Lihat? Sekarang kamu kembali sehat." Aku duduk di meja, mencoba mencerna semuanya. Apakah itu benar? Apakah ketakutan yang kurasakan hanya karena kelelahan dan pikiran negatif yang menguasai? Atau ada hal lain yang aku belum pahami?Pagi itu, setelah sarapan, gerimis mulai turun, menciptakan suasana tenang yang menyelimuti rumah. Udara segar dari hujan masuk melalui jendela, membawa kesejukan yang tak biasanya. Aku sedang membereskan meja makan ketika tiba-tiba terdengar suara bel pintu.Ayah yang kebetulan berada di ruang tamu berjalan ke arah pintu dan membukanya. Aku masih sibuk dengan piring-piring di tangan, tapi suara Ayah memanggil namaku membuatku berhenti sejenak."Nur, ada tamu untukmu."Aku mengernyit, tidak ingat sedang menunggu siapa pun. Tapi saat aku melihat ke arah pintu, jantungku berdegup kencang.Dia.Seseorang yang sudah lama tak kulihat, dan sejujurnya tak pernah kuharapkan datang lagi. Mantan pacarku, yang terakhir kutemui sebelum berangkat ke Jakarta. Pria yang meninggalkan jejak luka di hatiku yang tak mudah sembuh."Naufal?" tanyaku setengah tidak percaya, suaraku hampir tak keluar.Dia berdiri di sana, dengan tatapan serius
Persiapan pernikahanku dan Naufal selesai dengan cepat, tak lebih dari satu bulan menuju akad. Semua terasa begitu terburu-buru, seolah aku tidak diberi waktu untuk merenungkan apa yang sebenarnya sedang terjadi. Aku juga tak bisa melawan kedua orang tuaku yang tampak begitu antusias.Aku sempat bertengkar hebat dengan Naufal, jelas karena aku tidak menginginkan pernikahan ini. Tapi entah mengapa, semakin hari aku merasa semakin bersalah padanya."Apakah aku terlalu keras," pikirku.Aku sempat ingin kabur dan membatalkan pernikahan ini, tapi semua persiapan sudah begitu sempurna. Aku tidak mungkin tega membiarkan kedua orang tuaku mengalami kerugian dana. Kabur pun, aku harus ke mana?Setelah malam yang penuh emosi itu, aku terbangun di tengah keheningan, tanpa melihat jam. Udara terasa dingin, dan suasana rumah sunyi, hanya suara angin yang berhembus di luar. Aku merasa perlu ke kamar mandi, jadi aku bangkit perlahan dari tempat tidur dan menuju ke sana.Saat me
Setelah serangkaian acara pernikahan, ayah dan ibu memintaku dan Naufal untuk tinggal terpisah, meski hanya bersebelahan. Kami di minta pindah ke rumah kecil nenek di sebelah, karena dia sekarang akan menetap di rumah bibi. Namun, setelah kami pindah, hal-hal aneh mulai terjadi. Tubuhku mulai terasa lemas, dan malam-malamku dipenuhi keringat dingin yang membasahi sekujur tubuh. Meski sudah diselimuti berlapis-lapis, tubuhku menggigil tak terbendung. "Naufal, aku... aku nggak kuat lagi," ucapku lirih suatu malam, tubuhku bergetar hebat. Naufal duduk di sampingku, memegangi tanganku yang dingin. "Kamu kenapa, Sayang? Badanmu panas, tapi kamu kedinginan," jawabnya sambil menatapku cemas. "Aku nggak tahu... Aku merasa ada yang salah di sini. Setiap malam, aku selalu kedinginan begini. Badanku juga lemas, nggak ada tenaga." Naufal menghela napas panjang, memegang dahiku. "Besok kita ke dokter lagi, ya? Kita nggak bisa begini terus."
Selain keluargaku yang mengalami sakit-sakitan, hal itu juga terjadi pada keluarga Naufal. Kedua adiknya mendadak mengalami demam tanpa sebab yang jelas, dan kondisi kami semua menurun secara bersamaan. Keadaan semakin parah ketika ayah Naufal, yang tampaknya cukup paham dengan hal-hal spiritual, mulai mencurigai bahwa ada kekuatan gaib yang mempengaruhi kami. Dia memandang serius gejala-gejala yang terjadi, bukan hanya sekadar sakit biasa. Wajahnya semakin serius saat berbicara dengan ayahku suatu malam."Ada sesuatu di sini yang nggak bisa kita lihat," ucapnya lirih, menatap ayahku dengan mata penuh keyakinan. "Kita harus mencari cara untuk menetralisirnya."Ayahku, yang pada awalnya skeptis, mulai mengangguk pelan. Kesehatan keluarganya yang terus menurun membuatnya mempertimbangkan segala kemungkinan."Apa yang bisa kita lakukan?" tanya ayahku, wajahnya terlihat khawatir namun masih tenang.Ayah Naufal menunduk sebentar, berpikir dalam diam, sebelum akhirnya
Ayah mertuaku masuk ke dalam rumah, napasnya terdengar sedikit tersengal, seolah baru saja menyelesaikan sesuatu yang melelahkan. Wajahnya serius, tetapi ia berusaha menyembunyikan kegelisahannya.Dia menatapku dengan mata penuh keyakinan, lalu berkata pelan, "Tidurlah, semuanya akan baik-baik saja. Jangan khawatir."Aku hanya bisa mengangguk meskipun di dalam hatiku masih terasa cemas. Perlahan aku berbaring kembali di kasur, meskipun pikiranku terus terjaga. Suara-suara di atap sudah mereda, dan keheningan yang melingkupi rumah itu terasa aneh, seperti ketenangan yang datang setelah badai. Aku mencoba memejamkan mata, berharap rasa kantuk datang.Esok paginya, ketika matahari mulai menyinari rumah kami, aku terbangun dengan perasaan yang berbeda. Tubuhku yang semalam lemas dan dingin, kini terasa jauh lebih segar. Aku duduk, mengamati sekeliling. Naufal yang semalam demam tinggi, kini tampak tertidur dengan tenang, wajahnya lebih rileks, dan ketika aku m
Beberapa bulan setelah kejadian itu, perlahan aku mulai merasakan ketenangan. Keanehan-keanehan di rumah sudah tidak lagi terasa, dan kami sekeluarga kembali menjalani hari-hari seperti biasa. Namun, di saat ketenangan itu muncul, ada hal lain yang mulai mengganggu pikiranku. Hubungan antara aku dan Naufal.Entah sejak kapan, aku mulai merasa hubungan kami menjadi semakin tegang. Kami sering bertengkar, bahkan untuk hal-hal sepele. Perbedaan pendapat yang dulu bisa kami bicarakan dengan tenang, kini selalu berakhir dengan adu argumen.Kadang aku merasa cemburu tanpa alasan yang jelas, terutama ketika Naufal pulang telat atau ada urusan yang tak sempat ia ceritakan padaku sebelumnya. Perasaan itu sering kali meluap menjadi kemarahan, padahal aku tahu, mungkin saja tak ada hal yang perlu dicurigai.Yang lebih menggangguku adalah perasaan yang muncul di dalam diriku, seolah aku, yang dulu terpaksa menikah dengan Naufal, kini menjadi terobsesi untuk selalu ada di sisinya. Ak
Langit malam menyelimuti Jakarta dengan warna kelabu, seolah-olah ikut menahan napas atas kedatangan kami. Angin berdesir lembut, tetapi dingin yang merayap di tulang belakangku tak berasal dari udara. Rasanya, sesuatu di sini menyambut kami dengan cara yang salah.Aku dan Eci, temanku, turun dari mobil sambil membawa tas besar. Ini adalah malam pertama kami tiba di rumah majikan di kawasan elite Jakarta. Jam menunjukkan pukul 12.15 tengah malam. Rumah yang akan menjadi tempat kami bekerja berdiri megah di hadapan, meskipun sedikit tampak terbengkalai dengan penerangan remang-remang di beberapa sudut.“Rumahnya besar banget, ya?” Eci berusaha terdengar ceria, tetapi aku menangkap getaran kecil dalam suaranya.Matanya menatap ke arah kolam kecil di tengah ruangan. Kolam itu terlihat kumuh, airnya hijau pekat dengan lumut seperti tak pernah dibersihkan.“Renovasi belum selesai, katanya,” jawabku singkat.Aku tidak ingin menghabiskan banyak waktu berbasa-basi. Ada sesuatu di rumah ini ya
Aku mencoba menenangkan diri. Tidak mungkin ada yang aneh, pikirku, sambil berusaha fokus membersihkan lantai. Namun, perasaan bahwa aku sedang diawasi tak kunjung hilang. Suara langkah kaki yang tadi kudengar seakan terus menggema di pikiranku.Aku memutuskan untuk mempercepat pekerjaan dan kembali ke lantai empat. Saat menaikki tangga dan melewati lantai itu lagi, perasaanku semakin tidak karuan. Rasanya, ada sesuatu yang mengikuti dari belakang. Setiap langkahku diiringi oleh desahan angin yang aneh, seolah ada napas panjang yang tertahan, tepat di belakangku. Sampai di lantai atas, aku melihat Eci sedang membereskan meja di sudut ruangan. Dia menatapku dengan tatapan bingung.“Kenapa kamu buru-buru banget?” tanyanya sambil melirik jam dinding.Aku tak bisa menjawab langsung. Napasku masih memburu, dan aku merasa ada yang harus kuceritakan. Namun, kata-kata seakan tersangkut di tenggorokan.“Ada yang aneh di lantai dua...” ucapku akhirnya, meski suaraku terdengar pelan dan ragu.E