Pagi itu, setelah sarapan, gerimis mulai turun, menciptakan suasana tenang yang menyelimuti rumah. Udara segar dari hujan masuk melalui jendela, membawa kesejukan yang tak biasanya. Aku sedang membereskan meja makan ketika tiba-tiba terdengar suara bel pintu.
Ayah yang kebetulan berada di ruang tamu berjalan ke arah pintu dan membukanya. Aku masih sibuk dengan piring-piring di tangan, tapi suara Ayah memanggil namaku membuatku berhenti sejenak."Nur, ada tamu untukmu."Aku mengernyit, tidak ingat sedang menunggu siapa pun. Tapi saat aku melihat ke arah pintu, jantungku berdegup kencang.Dia.Seseorang yang sudah lama tak kulihat, dan sejujurnya tak pernah kuharapkan datang lagi. Mantan pacarku, yang terakhir kutemui sebelum berangkat ke Jakarta. Pria yang meninggalkan jejak luka di hatiku yang tak mudah sembuh."Naufal?" tanyaku setengah tidak percaya, suaraku hampir tak keluar.Dia berdiri di sana, dengan tatapan seriusPersiapan pernikahanku dan Naufal selesai dengan cepat, tak lebih dari satu bulan menuju akad. Semua terasa begitu terburu-buru, seolah aku tidak diberi waktu untuk merenungkan apa yang sebenarnya sedang terjadi. Aku juga tak bisa melawan kedua orang tuaku yang tampak begitu antusias.Aku sempat bertengkar hebat dengan Naufal, jelas karena aku tidak menginginkan pernikahan ini. Tapi entah mengapa, semakin hari aku merasa semakin bersalah padanya."Apakah aku terlalu keras," pikirku.Aku sempat ingin kabur dan membatalkan pernikahan ini, tapi semua persiapan sudah begitu sempurna. Aku tidak mungkin tega membiarkan kedua orang tuaku mengalami kerugian dana. Kabur pun, aku harus ke mana?Setelah malam yang penuh emosi itu, aku terbangun di tengah keheningan, tanpa melihat jam. Udara terasa dingin, dan suasana rumah sunyi, hanya suara angin yang berhembus di luar. Aku merasa perlu ke kamar mandi, jadi aku bangkit perlahan dari tempat tidur dan menuju ke sana.Saat me
Setelah serangkaian acara pernikahan, ayah dan ibu memintaku dan Naufal untuk tinggal terpisah, meski hanya bersebelahan. Kami di minta pindah ke rumah kecil nenek di sebelah, karena dia sekarang akan menetap di rumah bibi. Namun, setelah kami pindah, hal-hal aneh mulai terjadi. Tubuhku mulai terasa lemas, dan malam-malamku dipenuhi keringat dingin yang membasahi sekujur tubuh. Meski sudah diselimuti berlapis-lapis, tubuhku menggigil tak terbendung. "Naufal, aku... aku nggak kuat lagi," ucapku lirih suatu malam, tubuhku bergetar hebat. Naufal duduk di sampingku, memegangi tanganku yang dingin. "Kamu kenapa, Sayang? Badanmu panas, tapi kamu kedinginan," jawabnya sambil menatapku cemas. "Aku nggak tahu... Aku merasa ada yang salah di sini. Setiap malam, aku selalu kedinginan begini. Badanku juga lemas, nggak ada tenaga." Naufal menghela napas panjang, memegang dahiku. "Besok kita ke dokter lagi, ya? Kita nggak bisa begini terus."
Selain keluargaku yang mengalami sakit-sakitan, hal itu juga terjadi pada keluarga Naufal. Kedua adiknya mendadak mengalami demam tanpa sebab yang jelas, dan kondisi kami semua menurun secara bersamaan. Keadaan semakin parah ketika ayah Naufal, yang tampaknya cukup paham dengan hal-hal spiritual, mulai mencurigai bahwa ada kekuatan gaib yang mempengaruhi kami. Dia memandang serius gejala-gejala yang terjadi, bukan hanya sekadar sakit biasa. Wajahnya semakin serius saat berbicara dengan ayahku suatu malam."Ada sesuatu di sini yang nggak bisa kita lihat," ucapnya lirih, menatap ayahku dengan mata penuh keyakinan. "Kita harus mencari cara untuk menetralisirnya."Ayahku, yang pada awalnya skeptis, mulai mengangguk pelan. Kesehatan keluarganya yang terus menurun membuatnya mempertimbangkan segala kemungkinan."Apa yang bisa kita lakukan?" tanya ayahku, wajahnya terlihat khawatir namun masih tenang.Ayah Naufal menunduk sebentar, berpikir dalam diam, sebelum akhirnya
Ayah mertuaku masuk ke dalam rumah, napasnya terdengar sedikit tersengal, seolah baru saja menyelesaikan sesuatu yang melelahkan. Wajahnya serius, tetapi ia berusaha menyembunyikan kegelisahannya.Dia menatapku dengan mata penuh keyakinan, lalu berkata pelan, "Tidurlah, semuanya akan baik-baik saja. Jangan khawatir."Aku hanya bisa mengangguk meskipun di dalam hatiku masih terasa cemas. Perlahan aku berbaring kembali di kasur, meskipun pikiranku terus terjaga. Suara-suara di atap sudah mereda, dan keheningan yang melingkupi rumah itu terasa aneh, seperti ketenangan yang datang setelah badai. Aku mencoba memejamkan mata, berharap rasa kantuk datang.Esok paginya, ketika matahari mulai menyinari rumah kami, aku terbangun dengan perasaan yang berbeda. Tubuhku yang semalam lemas dan dingin, kini terasa jauh lebih segar. Aku duduk, mengamati sekeliling. Naufal yang semalam demam tinggi, kini tampak tertidur dengan tenang, wajahnya lebih rileks, dan ketika aku m
Beberapa bulan setelah kejadian itu, perlahan aku mulai merasakan ketenangan. Keanehan-keanehan di rumah sudah tidak lagi terasa, dan kami sekeluarga kembali menjalani hari-hari seperti biasa. Namun, di saat ketenangan itu muncul, ada hal lain yang mulai mengganggu pikiranku. Hubungan antara aku dan Naufal.Entah sejak kapan, aku mulai merasa hubungan kami menjadi semakin tegang. Kami sering bertengkar, bahkan untuk hal-hal sepele. Perbedaan pendapat yang dulu bisa kami bicarakan dengan tenang, kini selalu berakhir dengan adu argumen.Kadang aku merasa cemburu tanpa alasan yang jelas, terutama ketika Naufal pulang telat atau ada urusan yang tak sempat ia ceritakan padaku sebelumnya. Perasaan itu sering kali meluap menjadi kemarahan, padahal aku tahu, mungkin saja tak ada hal yang perlu dicurigai.Yang lebih menggangguku adalah perasaan yang muncul di dalam diriku, seolah aku, yang dulu terpaksa menikah dengan Naufal, kini menjadi terobsesi untuk selalu ada di sisinya. Ak
Langit malam menyelimuti Jakarta dengan warna kelabu, seolah-olah ikut menahan napas atas kedatangan kami. Angin berdesir lembut, tetapi dingin yang merayap di tulang belakangku tak berasal dari udara. Rasanya, sesuatu di sini menyambut kami dengan cara yang salah.Aku dan Eci, temanku, turun dari mobil sambil membawa tas besar. Ini adalah malam pertama kami tiba di rumah majikan di kawasan elite Jakarta. Jam menunjukkan pukul 12.15 tengah malam. Rumah yang akan menjadi tempat kami bekerja berdiri megah di hadapan, meskipun sedikit tampak terbengkalai dengan penerangan remang-remang di beberapa sudut.“Rumahnya besar banget, ya?” Eci berusaha terdengar ceria, tetapi aku menangkap getaran kecil dalam suaranya.Matanya menatap ke arah kolam kecil di tengah ruangan. Kolam itu terlihat kumuh, airnya hijau pekat dengan lumut seperti tak pernah dibersihkan.“Renovasi belum selesai, katanya,” jawabku singkat.Aku tidak ingin menghabiskan banyak waktu berbasa-basi. Ada sesuatu di rumah ini ya
Aku mencoba menenangkan diri. Tidak mungkin ada yang aneh, pikirku, sambil berusaha fokus membersihkan lantai. Namun, perasaan bahwa aku sedang diawasi tak kunjung hilang. Suara langkah kaki yang tadi kudengar seakan terus menggema di pikiranku.Aku memutuskan untuk mempercepat pekerjaan dan kembali ke lantai empat. Saat menaikki tangga dan melewati lantai itu lagi, perasaanku semakin tidak karuan. Rasanya, ada sesuatu yang mengikuti dari belakang. Setiap langkahku diiringi oleh desahan angin yang aneh, seolah ada napas panjang yang tertahan, tepat di belakangku. Sampai di lantai atas, aku melihat Eci sedang membereskan meja di sudut ruangan. Dia menatapku dengan tatapan bingung.“Kenapa kamu buru-buru banget?” tanyanya sambil melirik jam dinding.Aku tak bisa menjawab langsung. Napasku masih memburu, dan aku merasa ada yang harus kuceritakan. Namun, kata-kata seakan tersangkut di tenggorokan.“Ada yang aneh di lantai dua...” ucapku akhirnya, meski suaraku terdengar pelan dan ragu.E
Suatu hari, saat giliran Eci yang berjaga di kantor dan aku sendirian di rumah, aku mendengar suara langkah kaki di lantai atas. Jantungku berdetak lebih cepat."Siapa di atas?" tanyaku pada diri sendiri, setengah berharap tidak ada jawaban.Aku memberanikan diri naik ke lantai dua. Lampu lorong redup, memberikan suasana yang semakin mencekam. Ketika aku sampai di depan kamar yang dulunya ditempati Mbak Mia, pintunya sedikit terbuka. Ada derit halus ketika aku mendorongnya."Astaga," aku tersentak ketika pintu itu tiba-tiba tertutup sendiri dengan suara keras.Aku buru-buru turun kembali ke ruang tamu, jantungku berdegup kencang. Ketika Eci pulang, aku langsung menceritakan kejadian itu padanya.“Gila, beneran?” tanya Eci dengan wajah pucat. “Aku juga sering denger suara dari arah kamar Mbak Mia, tapi nggak pernah sampe pintunya ketutup sendiri.”Aku mengangguk pelan. “Aku rasa, ada sesuatu di rumah ini yang nggak suka kita di sini.”Eci terdiam, tidak tahu harus berkata apa. Dan seja