Aku mencoba menenangkan diri. Tidak mungkin ada yang aneh, pikirku, sambil berusaha fokus membersihkan lantai. Namun, perasaan bahwa aku sedang diawasi tak kunjung hilang. Suara langkah kaki yang tadi kudengar seakan terus menggema di pikiranku.
Aku memutuskan untuk mempercepat pekerjaan dan kembali ke lantai empat. Saat menaikki tangga dan melewati lantai itu lagi, perasaanku semakin tidak karuan. Rasanya, ada sesuatu yang mengikuti dari belakang. Setiap langkahku diiringi oleh desahan angin yang aneh, seolah ada napas panjang yang tertahan, tepat di belakangku. Sampai di lantai atas, aku melihat Eci sedang membereskan meja di sudut ruangan. Dia menatapku dengan tatapan bingung. “Kenapa kamu buru-buru banget?” tanyanya sambil melirik jam dinding. Aku tak bisa menjawab langsung. Napasku masih memburu, dan aku merasa ada yang harus kuceritakan. Namun, kata-kata seakan tersangkut di tenggorokan. “Ada yang aneh di lantai dua...” ucapku akhirnya, meski suaraku terdengar pelan dan ragu. Eci mengerutkan alisnya. “Lagi-lagi lantai dua, ya? Nur, kamu harus berhenti mikirin hal-hal yang enggak-enggak. Kantor ini emang besar dan sepi, tapi kan bukan berarti ada yang aneh.” Aku ingin percaya pada kata-kata Eci, tapi perasaan di dadaku tak bisa diabaikan. Lantai dua itu... ada sesuatu di sana. Sesuatu yang tidak bisa dijelaskan hanya dengan kata-kata. Aku menyandarkan diri ke kursi dan memijat pelipisku, berusaha mengusir bayangan tentang kejadian tadi. Namun, setiap kali aku memejamkan mata, suara langkah kaki dan pintu yang berderit itu kembali terngiang. Hari berikutnya, aku bertekad untuk tidak membiarkan diriku dikuasai rasa takut. Aku kembali ke kantor, melanjutkan rutinitas dengan Eci. Kami bekerja seperti biasa, berusaha tidak terlalu memikirkan kejadian sebelumnya. Namun, ketika Mbak Mia, asisten rumah tangga yang lebih dulu bekerja di rumah ini, tiba-tiba mengundurkan diri tanpa banyak penjelasan, segalanya mulai berubah. Suasana yang sebelumnya hanya terasa ganjil berubah menjadi mencekam. "Kenapa Mbak Mia tiba-tiba keluar, ya?" tanya Eci saat kami duduk di ruang tamu, menunggu giliran untuk tidur. Aku mengangkat bahu, meski dalam hati aku juga penasaran. "Nggak tahu, sih. Tapi... rumah ini memang agak aneh, ya?" Eci menatapku, matanya tampak gelisah. "Iya, terutama sejak dia pergi, aku sering denger suara-suara di malam hari." Aku menghela napas. "Suara apa?" “Seperti langkah kaki, kadang dari arah dapur, kadang dari kamar yang pernah Mbak Mia pakai,” jawabnya pelan, hampir berbisik. Aku terdiam, mencoba mencerna apa yang Eci katakan. Sejujurnya, aku juga merasa ada yang tidak beres sejak Mbak Mia pergi. Rumah ini semakin terasa asing. Tiap sudutnya seolah menyimpan sesuatu yang mengintai dari kegelapan. Hari-hari berikutnya, kami bergantian menjaga rumah dan pergi ke kantor produksi milik majikan kami. Jika Eci ke kantor, aku yang tinggal di rumah, dan sebaliknya. Perasaan tak nyaman itu makin meresap dalam setiap kali aku berada di kantor produksi. Suara-suara aneh sering terdengar, meja yang seperti ditarik, pintu berderit, hingga suara benda jatuh dari arah gudang. Awalnya, aku masih bisa berpikir logis, meyakinkan diri kalau suara-suara itu cuma berasal dari ruko sebelah. Tapi makin lama, suara-suara itu terasa semakin dekat, seperti ada sesuatu yang tak kasat mata bergerak di sekitar. Kemudian, langkah kaki terdengar dari arah bawah. Langkah-langkah berat yang terdengar semakin dekat, satu demi satu, menaiki tangga dengan ritme yang lambat tapi teratur. Aku berdiri di ujung tangga, napasku tertahan, mataku tak lepas menatap ke arah bawah. Jantungku berdegup kencang, perasaan gelisah semakin mencekam. "Siapa itu?" gumamku, suara sendiri terdengar kecil dan nyaris tenggelam dalam kesunyian. Tak ada jawaban, hanya sunyi yang semakin menekan. Langkah-langkah itu tiba-tiba berhenti, tepat di bawah kakiku. Dadaku berdegup kencang, seakan menunggu sesuatu yang buruk akan terjadi. Lalu, aku merasakan ada yang berat di pundakku. Seperti tangan... tapi tak terlihat. Aku membeku. Rasanya seperti ditahan oleh sesuatu yang tak nyata. Jantungku berdegup begitu keras hingga aku bisa mendengarnya di telingaku sendiri. Aku menoleh perlahan ke belakang, tapi tidak ada apa-apa. Tak ada siapa-siapa. Tanpa berpikir panjang lagi, aku berlari menuruni tangga secepat mungkin, napasku tersengal, dan seluruh tubuhku gemetar ketakutan. "Ya Allah, apa itu tadi? Aku jelas dengar suara langkah kaki..." kataku, berusaha menenangkan diri. Ketika aku menceritakan kejadian itu pada Eci, dia malah tertawa kecil, seolah tidak percaya. "Nur, kamar mandi di lantai 2 itu kan udah rusak dari lama. Lagian, katanya itu selalu dikunci sama staf kantor." Aku terdiam, mencoba mencerna apa yang barusan dia katakan. "Tapi aku denger jelas suara dari dalam kamar mandi itu, Eci. Gimana mungkin bisa terkunci?" Eci menghela napas, seakan-akan merasa aku terlalu banyak berpikir. "Aku nggak tahu, tapi memang kamar mandi itu nggak pernah dipakai lagi, kok. Bahkan katanya, ada yang pernah lihat sesuatu." Aku menatap Eci dengan pandangan heran. "Maksudmu?" Dia mendekat sedikit, menurunkan suaranya seolah sedang membicarakan rahasia. "Beberapa staf pernah cerita, ada yang lihat perempuan misterius masuk ke kamar mandi itu, tengah malam. Tapi waktu dicek, nggak ada siapa-siapa." Seketika bulu kudukku kembali berdiri. "Kamu nggak becanda, kan?" tanyaku, meskipun aku tahu dari nada suaranya dia serius. "Enggak," jawab Eci pelan. "Itulah kenapa aku nggak pernah mau turun ke lantai 2 kalau lagi sendirian. Kamu juga harus hati-hati, Nur." Aku pun sadar, sosok itu bukan hanya bagian dari imajinasiku. Entah siapa atau apa, dia ada di sini. Dan semakin hari, dia semakin dekat. Dan yang lebih mengerikan lagi, sosok itu mulai mengikutiku pulang ke rumah majikan.Suatu hari, saat giliran Eci yang berjaga di kantor dan aku sendirian di rumah, aku mendengar suara langkah kaki di lantai atas. Jantungku berdetak lebih cepat."Siapa di atas?" tanyaku pada diri sendiri, setengah berharap tidak ada jawaban.Aku memberanikan diri naik ke lantai dua. Lampu lorong redup, memberikan suasana yang semakin mencekam. Ketika aku sampai di depan kamar yang dulunya ditempati Mbak Mia, pintunya sedikit terbuka. Ada derit halus ketika aku mendorongnya."Astaga," aku tersentak ketika pintu itu tiba-tiba tertutup sendiri dengan suara keras.Aku buru-buru turun kembali ke ruang tamu, jantungku berdegup kencang. Ketika Eci pulang, aku langsung menceritakan kejadian itu padanya.“Gila, beneran?” tanya Eci dengan wajah pucat. “Aku juga sering denger suara dari arah kamar Mbak Mia, tapi nggak pernah sampe pintunya ketutup sendiri.”Aku mengangguk pelan. “Aku rasa, ada sesuatu di rumah ini yang nggak suka kita di sini.”Eci terdiam, tidak tahu harus berkata apa. Dan seja
Selang beberapa hari setelah kejadian di kantor itu, tubuhku mulai merasakan sesuatu yang tak biasa. Awalnya aku berpikir hanya kecapekan, tapi gejalanya semakin aneh. Tenggorokkanku sering terasa penuh, berdahak, dan ketika aku meludah, ada bercak-bercak merah, seolah bercampur darah. Hal itu membuatku khawatir, tapi aku mencoba menyangkal, berpikir mungkin hanya masalah kecil.Namun, tubuhku semakin lemah dari hari ke hari. Terkadang, tanpa alasan yang jelas, aku merasa pusing dan hampir jatuh saat sedang bekerja. Eci mulai khawatir melihat kondisiku. Setiap kali aku mengeluh soal rasa lelah yang tak wajar ini, dia hanya menggeleng, tampak bingung."Kamu beneran nggak mau periksa ke dokter, Nur?" tanyanya suatu sore ketika kami sedang beristirahat di dapur. Matanya menatapku penuh kekhawatiran.Aku menghela napas panjang. "Nggak usah, paling cuma masuk angin."Tapi dalam hatiku, aku tahu ada sesuatu yang tidak beres. Aku hanya tak ingin memikirkan hal itu lebih jauh, takut pada kemu
Siang itu, suasana di meja makan terasa begitu tegang. Bu Inggi, majikan kami, memanggil kami untuk menghadapnya. Aku belum sempat membicarakan langsung soal keinginanku untuk berhenti, tapi dari cara Bu Inggi memandangku, aku tahu keluargaku pasti sudah menghubunginya lebih dulu."Nur," ucapnya dengan nada lembut tapi tegas, "kamu kenapa? Kamu gak betah di sini?" Ia menatapku tajam, lalu melanjutkan, "Saya galak ya?"Pertanyaannya membuatku terdiam sejenak. Aku bisa merasakan Eci yang duduk di sebelahku gelisah, tetapi aku harus menjawab. Suasana ini semakin membuatku tidak nyaman."Enggak, Bu... bukan begitu," jawabku pelan, suaraku terdengar bergetar. "Bukan karena Ibu atau suasananya, tapi saya merasa... ada yang aneh di rumah ini."Wajah Bu Inggi berubah sejenak. Ia menyilangkan tangannya di depan dada, lalu menatapku dengan lebih serius."Aneh gimana, Nur?"Aku menarik napas panjang, mencoba menyusun keberanian. "Di kantor, Bu... saya sering dengar suara-suara aneh. Suara meja d
Beberapa hari setelah tahun baru, tepatnya tahun 2018, suasana rumah sedikit lengang. Majikanku, Bu Inggi dan keluarganya, memutuskan untuk mudik ke Bandung selama beberapa hari. Mereka menitipkan rumah padaku dan Eci, seperti biasa, sambil berjanji bahwa sepulang mereka, akan ada pengganti yang datang untukku.Aku menghela napas panjang, berusaha menenangkan pikiran. Ini bisa jadi kesempatan bagiku untuk benar-benar keluar dari situasi ini. Tanpa Bu Inggi di sini, aku merasa ada ruang untuk berpikir lebih jernih, tanpa terus dihantui rasa bersalah yang dia tanamkan dengan permohonan dan janji-janjinya.Beberapa hari sebelumnya, keluargaku semakin khawatir melihat kondisiku yang tak kunjung membaik, dan mereka akhirnya memutuskan untuk turun tangan. Hari itu, keluargaku datang menjemputku tanpa memberi kabar.Mereka datang dengan wajah cemas, terutama ibuku. Ketika melihat tubuhku yang semakin kurus dan lemah, air mata ibuku jatuh tanpa bisa ditahan."Nur, ayo pulang. Kamu nggak bisa
Malam semakin larut, tapi kantuk tak lagi mendekat. Kami bertiga duduk di teras, diterangi cahaya lampu yang temaram. Ayah sesekali menghela napas berat, sementara ibu hanya menatapku dengan sorot mata cemas, seolah mencari penjelasan di wajahku yang masih pucat. Namun, aku sendiri pun tak tahu apa yang sebenarnya terjadi."Ada apa, Nur?" tanya ayah lembut, namun tetap penuh tekanan.Dia mengerti, pasti ada yang menggangguku sejak aku kembali ke rumah. Aku tak pernah segelisah ini sebelumnya.Aku menggigit bibir, ragu untuk menceritakan semuanya. Selama ini, aku mencoba menekan semua ketakutan dan kejadian aneh yang kualami di tempat kerja.Namun, semakin lama, rasanya mustahil untuk menyembunyikannya. Tindakan ini sudah mulai memengaruhi kesehatanku, pikiranku, bahkan kini merambah ke rumah yang dulu selalu menjadi tempat teraman bagiku."Aku...," suaraku tercekat, tapi kutekan rasa takut itu dalam-dalam. "Aku merasa ada sesuatu yang mengikuti sejak di tempat kerja, Ayah, Ibu. Bukan
Pagi itu, setelah sarapan, gerimis mulai turun, menciptakan suasana tenang yang menyelimuti rumah. Udara segar dari hujan masuk melalui jendela, membawa kesejukan yang tak biasanya. Aku sedang membereskan meja makan ketika tiba-tiba terdengar suara bel pintu.Ayah yang kebetulan berada di ruang tamu berjalan ke arah pintu dan membukanya. Aku masih sibuk dengan piring-piring di tangan, tapi suara Ayah memanggil namaku membuatku berhenti sejenak."Nur, ada tamu untukmu."Aku mengernyit, tidak ingat sedang menunggu siapa pun. Tapi saat aku melihat ke arah pintu, jantungku berdegup kencang.Dia.Seseorang yang sudah lama tak kulihat, dan sejujurnya tak pernah kuharapkan datang lagi. Mantan pacarku, yang terakhir kutemui sebelum berangkat ke Jakarta. Pria yang meninggalkan jejak luka di hatiku yang tak mudah sembuh."Naufal?" tanyaku setengah tidak percaya, suaraku hampir tak keluar.Dia berdiri di sana, dengan tatapan serius
Persiapan pernikahanku dan Naufal selesai dengan cepat, tak lebih dari satu bulan menuju akad. Semua terasa begitu terburu-buru, seolah aku tidak diberi waktu untuk merenungkan apa yang sebenarnya sedang terjadi. Aku juga tak bisa melawan kedua orang tuaku yang tampak begitu antusias.Aku sempat bertengkar hebat dengan Naufal, jelas karena aku tidak menginginkan pernikahan ini. Tapi entah mengapa, semakin hari aku merasa semakin bersalah padanya."Apakah aku terlalu keras," pikirku.Aku sempat ingin kabur dan membatalkan pernikahan ini, tapi semua persiapan sudah begitu sempurna. Aku tidak mungkin tega membiarkan kedua orang tuaku mengalami kerugian dana. Kabur pun, aku harus ke mana?Setelah malam yang penuh emosi itu, aku terbangun di tengah keheningan, tanpa melihat jam. Udara terasa dingin, dan suasana rumah sunyi, hanya suara angin yang berhembus di luar. Aku merasa perlu ke kamar mandi, jadi aku bangkit perlahan dari tempat tidur dan menuju ke sana.Saat me
Setelah serangkaian acara pernikahan, ayah dan ibu memintaku dan Naufal untuk tinggal terpisah, meski hanya bersebelahan. Kami di minta pindah ke rumah kecil nenek di sebelah, karena dia sekarang akan menetap di rumah bibi. Namun, setelah kami pindah, hal-hal aneh mulai terjadi. Tubuhku mulai terasa lemas, dan malam-malamku dipenuhi keringat dingin yang membasahi sekujur tubuh. Meski sudah diselimuti berlapis-lapis, tubuhku menggigil tak terbendung. "Naufal, aku... aku nggak kuat lagi," ucapku lirih suatu malam, tubuhku bergetar hebat. Naufal duduk di sampingku, memegangi tanganku yang dingin. "Kamu kenapa, Sayang? Badanmu panas, tapi kamu kedinginan," jawabnya sambil menatapku cemas. "Aku nggak tahu... Aku merasa ada yang salah di sini. Setiap malam, aku selalu kedinginan begini. Badanku juga lemas, nggak ada tenaga." Naufal menghela napas panjang, memegang dahiku. "Besok kita ke dokter lagi, ya? Kita nggak bisa begini terus."