Share

BAB 2

Aku mencoba menenangkan diri. Tidak mungkin ada yang aneh, pikirku, sambil berusaha fokus membersihkan lantai. Namun, perasaan bahwa aku sedang diawasi tak kunjung hilang. Suara langkah kaki yang tadi kudengar seakan terus menggema di pikiranku.

Aku memutuskan untuk mempercepat pekerjaan dan kembali ke lantai empat. Saat menaikki tangga dan melewati lantai itu lagi, perasaanku semakin tidak karuan. Rasanya, ada sesuatu yang mengikuti dari belakang. 

Setiap langkahku diiringi oleh desahan angin yang aneh, seolah ada napas panjang yang tertahan, tepat di belakangku. Sampai di lantai atas, aku melihat Eci sedang membereskan meja di sudut ruangan. Dia menatapku dengan tatapan bingung.

“Kenapa kamu buru-buru banget?” tanyanya sambil melirik jam dinding.

Aku tak bisa menjawab langsung. Napasku masih memburu, dan aku merasa ada yang harus kuceritakan. Namun, kata-kata seakan tersangkut di tenggorokan.

“Ada yang aneh di lantai dua...” ucapku akhirnya, meski suaraku terdengar pelan dan ragu.

Eci mengerutkan alisnya. “Lagi-lagi lantai dua, ya? Nur, kamu harus berhenti mikirin hal-hal yang enggak-enggak. Kantor ini emang besar dan sepi, tapi kan bukan berarti ada yang aneh.”

Aku ingin percaya pada kata-kata Eci, tapi perasaan di dadaku tak bisa diabaikan. Lantai dua itu... ada sesuatu di sana. Sesuatu yang tidak bisa dijelaskan hanya dengan kata-kata.

Aku menyandarkan diri ke kursi dan memijat pelipisku, berusaha mengusir bayangan tentang kejadian tadi. Namun, setiap kali aku memejamkan mata, suara langkah kaki dan pintu yang berderit itu kembali terngiang.

Hari berikutnya, aku bertekad untuk tidak membiarkan diriku dikuasai rasa takut. Aku kembali ke kantor, melanjutkan rutinitas dengan Eci. Kami bekerja seperti biasa, berusaha tidak terlalu memikirkan kejadian sebelumnya.

Namun, ketika Mbak Mia, asisten rumah tangga yang lebih dulu bekerja di rumah ini, tiba-tiba mengundurkan diri tanpa banyak penjelasan, segalanya mulai berubah. Suasana yang sebelumnya hanya terasa ganjil berubah menjadi mencekam.

"Kenapa Mbak Mia tiba-tiba keluar, ya?" tanya Eci saat kami duduk di ruang tamu, menunggu giliran untuk tidur.

Aku mengangkat bahu, meski dalam hati aku juga penasaran. "Nggak tahu, sih. Tapi... rumah ini memang agak aneh, ya?"

Eci menatapku, matanya tampak gelisah. "Iya, terutama sejak dia pergi, aku sering denger suara-suara di malam hari."

Aku menghela napas. "Suara apa?"

“Seperti langkah kaki, kadang dari arah dapur, kadang dari kamar yang pernah Mbak Mia pakai,” jawabnya pelan, hampir berbisik.

Aku terdiam, mencoba mencerna apa yang Eci katakan. Sejujurnya, aku juga merasa ada yang tidak beres sejak Mbak Mia pergi. Rumah ini semakin terasa asing. Tiap sudutnya seolah menyimpan sesuatu yang mengintai dari kegelapan.

Hari-hari berikutnya, kami bergantian menjaga rumah dan pergi ke kantor produksi milik majikan kami. Jika Eci ke kantor, aku yang tinggal di rumah, dan sebaliknya.

Perasaan tak nyaman itu makin meresap dalam setiap kali aku berada di kantor produksi. Suara-suara aneh sering terdengar, meja yang seperti ditarik, pintu berderit, hingga suara benda jatuh dari arah gudang.

Awalnya, aku masih bisa berpikir logis, meyakinkan diri kalau suara-suara itu cuma berasal dari ruko sebelah. Tapi makin lama, suara-suara itu terasa semakin dekat, seperti ada sesuatu yang tak kasat mata bergerak di sekitar.

Kemudian, langkah kaki terdengar dari arah bawah. Langkah-langkah berat yang terdengar semakin dekat, satu demi satu, menaiki tangga dengan ritme yang lambat tapi teratur. Aku berdiri di ujung tangga, napasku tertahan, mataku tak lepas menatap ke arah bawah. Jantungku berdegup kencang, perasaan gelisah semakin mencekam.

"Siapa itu?" gumamku, suara sendiri terdengar kecil dan nyaris tenggelam dalam kesunyian.

Tak ada jawaban, hanya sunyi yang semakin menekan. Langkah-langkah itu tiba-tiba berhenti, tepat di bawah kakiku. Dadaku berdegup kencang, seakan menunggu sesuatu yang buruk akan terjadi.

Lalu, aku merasakan ada yang berat di pundakku. Seperti tangan... tapi tak terlihat. Aku membeku. Rasanya seperti ditahan oleh sesuatu yang tak nyata. Jantungku berdegup begitu keras hingga aku bisa mendengarnya di telingaku sendiri.

Aku menoleh perlahan ke belakang, tapi tidak ada apa-apa. Tak ada siapa-siapa. Tanpa berpikir panjang lagi, aku berlari menuruni tangga secepat mungkin, napasku tersengal, dan seluruh tubuhku gemetar ketakutan.

"Ya Allah, apa itu tadi? Aku jelas dengar suara langkah kaki..." kataku, berusaha menenangkan diri.

Ketika aku menceritakan kejadian itu pada Eci, dia malah tertawa kecil, seolah tidak percaya. "Nur, kamar mandi di lantai 2 itu kan udah rusak dari lama. Lagian, katanya itu selalu dikunci sama staf kantor."

Aku terdiam, mencoba mencerna apa yang barusan dia katakan. "Tapi aku denger jelas suara dari dalam kamar mandi itu, Eci. Gimana mungkin bisa terkunci?"

Eci menghela napas, seakan-akan merasa aku terlalu banyak berpikir. "Aku nggak tahu, tapi memang kamar mandi itu nggak pernah dipakai lagi, kok. Bahkan katanya, ada yang pernah lihat sesuatu."

Aku menatap Eci dengan pandangan heran. "Maksudmu?"

Dia mendekat sedikit, menurunkan suaranya seolah sedang membicarakan rahasia. "Beberapa staf pernah cerita, ada yang lihat perempuan misterius masuk ke kamar mandi itu, tengah malam. Tapi waktu dicek, nggak ada siapa-siapa."

Seketika bulu kudukku kembali berdiri. "Kamu nggak becanda, kan?" tanyaku, meskipun aku tahu dari nada suaranya dia serius.

"Enggak," jawab Eci pelan. "Itulah kenapa aku nggak pernah mau turun ke lantai 2 kalau lagi sendirian. Kamu juga harus hati-hati, Nur."

Aku pun sadar, sosok itu bukan hanya bagian dari imajinasiku. Entah siapa atau apa, dia ada di sini. Dan semakin hari, dia semakin dekat.

Dan yang lebih mengerikan lagi, sosok itu mulai mengikutiku pulang ke rumah majikan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status