"Maaf, Mas," ucap Ratih pelan, nyaris tak terdengar.Bagas menghela napas panjang, menahan kekesalannya. "Udah, tolong bantu aku hitung hasil panen," pintanya, mencoba mengalihkan perhatian mereka.Namun, sebelum mereka sempat melangkah, suara gemuruh mesin mobil memecah keheningan.Brmm... hsshhh!Sebuah mobil mewah berwarna hitam berhenti di tepi perkebunan. Pintu terbuka, dan seorang pria berjas rapi keluar, diikuti oleh seorang supir dan seorang pesuruh yang membawa beberapa karung besar."Turunkan semuanya!" perintah pria itu dengan nada tegas."Letakkan di mana, Pak?" tanya si supir sambil menunggu arahan.Sementara itu, Bagas dan Ratih saling bertukar pandang, kebingungan dengan kemunculan tamu tak diundang ini. Pria tersebut berjalan mendekati mereka dengan langkah mantap. Cara jalannya yang angkuh dan pandangan meremehkan membuat suasana semakin tegang."Kamu Bagas, kan?" tanyanya sambil melirik Bagas d
Bagas tertegun. Suara itu menggelegar di dalam kepalanya, seperti gaung yang tak bisa diabaikan. 'Genderuwo itu lagi!' pikirnya."Habisi dia!"Kata-kata itu menusuk relung pikirannya, seakan menjadi perintah yang tidak bisa dilawab. Bagas merasakan pikirannya dikuasai oleh, Genderuwo. 'Ini penghinaan besar bagi aku!' batinnya mulai berubah. 'Aku nggak akan membiarkan siapapun menjatuhkanku. Aku mau dia mati!' Tatapan Bagas berubah dingin, penuh kebencian. Dalam benaknya, wajah pria kaya yang menghina dirinya muncul jelas, diiringj dengan tawa sinis. Kebencian itu menguasai hati Bagas dan merasuki jiwanya.Di tengah pikiran yang berkecamuk, tawa terdengar kembali. "Ha-ha-ha! Aku akan membantumu, Bagas!" Suara itu semakin kuat terdengar. Bagas merasakan tubuhnya mulai menggigil. Bukan karena takut, melainkan sensasi aneh yang menjalar dari ujung kepala hingga kakinya. Dadanya berdebar-debar."Mas, Bagas!" Pan
Bagas membuka pintu ruang kerjanya yang lebih mirip gudang kecil dengan rak kayu berisi benda-benda tua. Sebuah meja kayu besar berdiri di tengah ruangan, tertutup kain hitam yang menutupi sesuatu. Setelah memastikan pintu terkunci rapat, dia menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya.“Sudah waktunya,” gumamnya pelan, matanya menatap meja itu tajam.Dia melangkah mendekat dan membuka kain hitam perlahan. Sebilah keris kuno berkilauan dalam cahaya remang, sementara di sebelahnya terdapat mangkuk tanah liat berisi dedaunan, akar, dan cairan hitam berbau menyengat.Bagas mengangkat keris itu dengan hati-hati, mengamatinya seolah benda itu menyimpan semua jawaban yang dia cari. “Kamu akan membantuku,” katanya lirih.Tiba-tiba, udara di ruangan itu berubah dingin. Bagas melantunkan doa dengan suara berat, kata-katanya terdengar aneh dan tidak seperti bahasa biasa.“Dia akan menghancurkan hidupku,” katanya dengan nada bergetar, membayangkan wajah laki-laki yang membawa karung padi
“Aku udah bilang kan! Jangan sekali-kali masuk ke ruangan ini! Ratih, kamu ini harus aku kasih tahu pakai apa, sih?” Bagas membentak dengan suara tinggi, matanya penuh amarah. Ratih hanya menundukkan kepala, tak berani menatap suaminya yang seperti berubah menjadi orang lain. Namun, di dalam hati, bayangan sosok gelap dengan mata merah yang selalu muncul dalam mimpinya kembali menghantui. Sosok itu persis seperti yang dilihatnya dalam amarah Bagas saat ini. “Udah! Aku mau keluar. Nggak nafsu makan! Lebih baik aku beli kopi di warung depan,” kata Bagas dingin sambil melangkah keluar, menutup pintu ruangannya rapat dan menguncinya dengan keras. Ratih terdiam, hatinya penuh pertanyaan dan ketakutan. Dia melangkah perlahan ke meja makan, duduk di hadapan hidangan daging setengah matang yang seharusnya menjadi kesukaan Bagas. Namun, kali ini, ada sesuatu yang aneh. Matanya terpaku pada daging itu. Cairan merah seg
Bagas menahan napas, mengenali suara itu. Dalam hatinya, dia tahu persis siapa yang hadir, Genderuwo. Bagas mulai berbisik di batin dan kepalanya. 'Kamu sudah janji. Mana hasilnya? Kenapa kamu kembali tanpa melaksanakan tugasmu?'Bagas mengepalkan tangan, matanya menyipit menahan amarah. Tapi, Genderuwo Muali menjawab, 'Aku udah lenyapkan dia! Beri aku imbalan untuk itu! Aku mau malam ini seperti biasa!" Ratih memeluk lututnya, ketakutan dengan suasana mencekam yang tiba-tiba menyelimuti rumah.Bagas berusaha menenangkan situasi. Dia mengangkat Ratih dengan lembut. "Istirahatlah, Tih! tenangkan pikiranmu. Aku akan memeriksa lampu di depan. Aku juga akan memastikan semuanya baik-baik saja," katanya dengan suara rendah, meskipun ada rasa kerisauan. Tak beberapa lama Bagas datang dengan sedikit perbedaan. Di gelapnya kamar, dia mendatangi Ratih yang ketakutan di atas ranjang. "Mas Bagas!" Panggil Ratih yang sudah melihat bayangan suaminy
Angin malam berhembus dingin, menusuk tulang, menggoyangkan daun-daun pohon beringin tua yang menjulang tinggi di ladang belakang. Kegelapan menyelimuti area itu, menciptakan suasana mencekam. Bagas berdiri di bawah pohon beringin, rokok menyala di tangannya. Matanya menyapu sekeliling, penuh kewaspadaan."Feri, kamu yakin melihat sesuatu?" tanyanya dengan nada datar, namun sorot matanya tajam.Feri, pemuda desa yang terlihat gelisah, mengangguk cepat. "Saya yakin, Mas. Saya lihat bayangan besar di balik pohon itu. Ngeri sekali!" katanya sambil menunjuk ke arah gelap di bawah pohon.Bagas mengernyitkan dahi. "Jangan-jangan kamu cuma kecapekan, Feri. Ladang ini sudah lama nggak saya rawat, karena banyak yang mengira saya pelaku dari korban yang sebelumnya. Apa mungkin cuma imajinasimu?" Namun, firasat buruk mulai merayap di pikirannya. Kenapa Feri tahu tentang mayat ini? Dan apa tujuannya datang ke sini malam-malam begini?"Mas, saya ngga
Pagi itu, suara ketukan keras di pintu rumah membangunkan Ratih dari tidurnya.Duk! Duk! Duk!"Mas, ada yang gedor rumah kita!" seru Ratih, menoleh ke arah Bagas yang masih terlelap.Bagas bergumam malas sambil menarik selimut menutupi kepalanya. "Ah, siapa sih? Masih pagi banget. Aku masih ngantuk," keluhnya.Ratih mendesah panjang. "Ya udah, biar aku aja yang buka," katanya sambil turun dari ranjang.Ratih berjalan menuju pintu, membuka kunci dengan pelan. Ketika pintu terbuka, terlihat seorang lelaki tua berbadan kurus, dengan janggut putih dan mata yang tampak lelah."Selamat pagi, Pak. Ada apa ya?" tanya Ratih sopan, mencoba menahan rasa penasaran."Lagi tidur, ya? Mana Bagas? Saya perlu bicara dengannya," ujar lelaki itu dengan suara berat."Masih tidur, Pak. Apa ada keperluan mendesak?" jawab Ratih sambil mempersilakan lelaki itu masuk dan duduk di ruang tamu.Setelah lelaki tua itu duduk, ia men
Dulu, hidup Bagas jauh dari kata makmur. Dia hanya seorang buruh tani kecil yang mengais rezeki dengan susah payah. Hutang menumpuk seperti batu besar yang menghimpit dadanya."Bagas, ini udah jatuh tempo! Cepet bayar, atau rumahmu aku sita!" Suara keras Juragan Suwandi rentenir desa, menggema di benaknya. Bagas tak bisa melupakan wajah sinis lelaki itu saat berdiri di depan rumahnya, mengancam sambil menunjuk-nunjuk dengan telunjuknya yang kotor.Saat itu, Ratih, istrinya, hanya bisa duduk di sudut kamar, wajahnya pucat karena sakit. Demam tinggi membuat tubuhnya menggigil hebat, tapi mereka bahkan tak mampu membeli obat, apalagi membawa Ratih ke dokter."Aku nggak kuat, Mas...," lirih Ratih dengan suara lemah, menggenggam tangan Bagas yang kasar dan gemetar. "Kalau aku mati, jaga diri baik-baik, ya...""Jangan ngomong gitu, Tih!" Bagas memeluk istrinya erat, mencoba menahan air mata. "Aku bakal cari uang! Aku nggak akan biarin kamu sakit!"
“Kenapa kau lihat aku begitu, Sarman?”“Kau... kau mau bunuh aku, kan? Aku tahu! AKU TAHU!”“Gila kau, Wati! Aku nggak mau apa-apa—ARGH!!” Suara jeritan dan suara benda tajam menghantam tubuh manusia mulai menggema... di tengah pertemuan yang seharusnya mencari keselamatan."_ Setelah malam penuh teror, warga Desa Karangjati yang tersisa berkumpul di balai desa pagi itu. Wajah-wajah lelah, mata merah, luka-luka yang belum sempat sembuh — semua berkumpul dengan satu tujuan: mencari solusi. Taufik, Bagus, Mila, dan beberapa orang lainnya berdiri di tengah-tengah, mencoba menenangkan semua orang yang mulai kalap. "Kita harus bersatu!" seru Taufik lantang. "Kalau kita pecah, kita habis satu per satu!" Namun, suasana di dalam balai desa itu, aneh. Udara terasa berat. Panas. Seperti ada sesuatu yang tidak terlihat, menekan dada mereka. Bisikan-bisikan kecil mulai terdengar —bukan dari mulut manusia, tapi dari dalam pikiran mereka masing-masing. "Lihat dia... Dia mengincarmu." "Bunuh
“Kenapa tanganku berdarah...? Aku... aku mimpi membunuh seseorang...” “Aku juga... Aku bangun dengan pisau di tanganku! Apa yang terjadi malam ini?!” Angin malam bertiup dingin, menyapu reruntuhan Desa Karangjati yang kini lebih mirip kuburan massal. Suara-suara burung malam pun seakan enggan terdengar, digantikan desau kabut tebal yang menyelimuti segalanya. Taufik dan Bagus, bersama beberapa warga yang masih selamat, berusaha bertahan di sebuah rumah kosong yang masih utuh sebagian. Mereka memberi pintu dengan papan, mengunci semua jendela, dan berkumpul di satu ruangan sambil menyalakan lilin kecil. Tak ada yang berani tidur. Tidak setelah apa yang terjadi hari itu. Namun kelelahan akhirnya menaklukkan mereka. Satu per satu, mata-mata yang penuh ketakutan mulai tertutup. Tak ada yang sadar, bahwa ketika mereka terlelap, teror akan muncul. Sekitar tengah malam, Taufik terbangun mendadak. Tubuhnya berkeringat dingin, napasnya memburu. Ia baru saja bermimpi. Mimpi yang te
"“Dengar suara itu?” “Suara apa? Aku... aku dengar tawa anak-anak...” “Bukan... itu suara bisikan. Mereka... mereka masuk ke dalam kepala kita!” Kabut belum juga terangkat dari atas tanah Desa Karangjati, seolah desa itu dikurung dalam dunia lain. Bau anyir darah masih begitu tajam menusuk hidung. Taufik dan Bagus, meski selamat dari pengaruh Jagat dan Kala malam sebelumnya, belum benar-benar bebas. Ada sesuatu yang tertinggal di dalam kepala mereka — bisikan-bisikan halus, tawa kecil yang kadang muncul tiba-tiba di telinga. Dan kini... mereka melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana bencana yang lebih besar mulai terjadi. Warga yang tersisa, mereka yang semalam selamat karena bersembunyi, satu per satu mulai bertingkah aneh. Mula-mula hanya tatapan kosong. Kemudian suara-suara gumaman. Akhirnya jeritan, teriakan, kekerasan tanpa alasan. Pagi itu, Seorang ibu-ibu tiba-tiba menyerang suaminya dengan pisau dapur, berteriak-teriak seolah melihat setan di hadapannya. Anak-a
"“Kamu lihat itu, Bagus?” Taufik berbisik dengan suara gemetar. “Matanya... Bukan mata manusia lagi.” Malam menebarkan kabut pekat di atas Desa Karangjati. Bau tanah basah bercampur amis darah menggantung di udara. Di sela reruntuhan rumah dan jalan-jalan berlumpur, dua sosok bergerak cepat, berusaha menghindari perhatian. Taufik menarik Bagus bersembunyi di balik puing pagar kayu yang setengah roboh. Napas mereka memburu. Jarak beberapa meter di depan, Ratih berdiri. Di sekelilingnya, dua anak kecil — Jagat dan Kala — saling berbisik sambil tertawa kecil. Yang membuat bulu kuduk Taufik berdiri bukanlah suara tawa itu. Melainkan mata mereka. Mata Jagat dan Kala memancarkan sinar gelap, seolah ada sesuatu yang bergerak di balik pupilnya — sesuatu yang bukan berasal dari dunia ini. Taufik menggenggam lengan Bagus erat-erat. "Jangan lihat mereka terlalu lama," bisiknya. "Mereka... bukan anak biasa." Bagus menelan ludah. "Kita... kita harus tetap mengikuti mereka, kan?" Taufik
Angin malam menyapu deras di Desa Karangjati. Di bawah sinar bulan pucat, Balai Desa dipenuhi wajah-wajah gelisah. Para warga berbisik-bisik, matanya penuh kecurigaan yang membara."Ini... semua ini gara-gara Ratih," bisik Pak Darmin, suaranya bergetar, menahan emosi."Benar! Sejak dia kembali, kematian datang bertubi-tubi," sahut Bu Marni, matanya menyala penuh dendam.Dulah, kepala dusun yang biasanya tenang, berdiri di tengah kerumunan. Suaranya berat saat berbicara, "Tenang dulu, semua. Kita belum tahu apa-apa.""Apanya yang belum tahu?!" seru seorang lelaki dari belakang. "Bayi-bayi mati! Hewan ternak hancur! Semua kejadian buruk bermula setelah Ratih datang bersama dua anak setannya itu!"Kerumunan mulai riuh. Suasana berubah jadi lautan emosi liar yang hampir tak terkendali.Bagus, seorang pemuda desa, maju dengan wajah suram. "Aku... aku pernah melihat sendiri," katanya, suaranya bergetar.Semua mata menoleh. Sunyi. Hanya suara jangkrik yang berani menyela."Aku lihat anak kem
“Wuh, enak sekali ya, tubuhnya harum,” gumam Indra sambil menjilat bibirnya sendiri. Langkahnya menelusuri jalan setapak di tengah hutan yang gelap dan sunyi. Hutan itu menjadi saksi bisu atas perlakuan bejatnya terhadap Ratih. Indra tak bisa menghilangkan bayangan wajah Ratih dari kepalanya. Senyuman Ratih, tubuhnya, tatapannya—semua masih melekat kuat dalam pikirannya. “Wajah itu... sangat cantik,” gumamnya pelan. Dia menyeringai puas, tenggelam dalam lamunannya, hingga tanpa sadar... SROK! “Auh!” teriaknya. Tubuhnya terperosok masuk ke dalam lubang cukup dalam, tubuhnya membentur tanah keras. Kaki kanannya terasa nyeri luar biasa, seperti terkilir atau mungkin patah. “Brengsek! Bagaimana bisa aku nggak lihat lubang ini?” makinya sambil mencoba berdiri. Tapi begitu berat. Kakinya benar-benar tidak bisa menopang tubuhnya.Dia mulai berteriak. “Tolong! Siapa saja, tolong aku! Aku jatuh!” Namun siapa yang akan mendengarnya di tengah hutan lebat dan gelap seperti ini? Hanya sua
"Pak, tolong selesaikan rumah ini!" Ratih menyerahkan sejumlah uang kepada seorang pekerja bangunan. Namun, pria itu menolak dengan halus. "Maaf, Mbak. Saya nggak bisa melanjutkan ini," katanya sambil terus menatap pondasi rumah yang dulu pernah dikerjakan oleh almarhum Bagas. Ratih menyilangkan lengannya. "Kenapa, Pak? Apakah uangnya kurang? Kalau soal uang, saya bisa menambahkannya beberapa bulan lagi. Saya harus kerja dulu." Tapi, pria itu terlihat gugup dan ketakutan. "Bukan itu masalahnya, Bu. Maaf, saya benar-benar nggak bisa," ujarnya sambil terburu-buru pergi, meninggalkan Ratih yang masih berdiri kebingungan. "Ada apa dengannya?" gumam Ratih. Raut wajah pria itu seperti seseorang yang baru saja melihat sesuatu yang sangat mengerikan.*** Beberapa hari kemudian, Ratih tetap berusaha mencari pekerja bangunan lain yang mau menyelesaikan rumahnya. "Bagaimana ini? Semua orang menolak. Nggak ada yang mau mengerjakan rumah ini. Bagaimana kalau apa yang dikhawatirkan Mas Baga
"Jagat... Kala, hentikan!"Suasana begitu mencekam.Ratih berdiri dengan tubuh gemetar, matanya tak bisa lepas dari pemandangan mengerikan di hadapannya. Jagat dan Kala sedang melahap beberapa kambing hidup. Daging dan darah segar berceceran, memenuhi tanah kandang ternak.Mereka seperti binatang buas yang kelaparan. Tidak—mereka lebih dari itu. Mereka bukan lagi manusia sepenuhnya.Walaupun Kala tampak lebih normal, tetap saja sifat iblis mengalir dalam darahnya, sama seperti Jagat, kakaknya.Kala menoleh dengan mulut berlumuran darah."Ini enak, Bu. Mau coba?"Suara itu tidak keluar dari mulutnya—suara itu menggema di dalam kepala Ratih.Ratih melangkah mundur, tangannya mencengkeram dadanya yang terasa sesak. Mata kedua anaknya semakin tajam, semakin menyeramkan.Dan yang lebih menakutkan—mereka bahkan tidak ragu untuk menyerangnya."Jagat... Kala! Hentikan perbuatan kalian!"Ratih berteriak, suaranya menggema di kandang ternak milik seorang warga yang baru saja pindah ke desa Sumb
"Jangan...!"Napas Ratih memburu, memenuhi ruangan yang kini terasa semakin sempit. Tubuhnya gemetar hebat, peluh membasahi pelipisnya."Tidak mungkin... Ini tidak akan terjadi!"Ratih berdiri dari duduknya dengan tergesa, tangannya meraih teko air di atas meja dan meneguk beberapa gelas sekaligus. Namun, rasa sesak di dadanya tak kunjung mereda."Mimpi itu datang lagi!"Tangan Ratih semakin gemetar. Keringat dingin mengalir deras di punggungnya. Kenapa dia selalu bermimpi buruk tentang masa depan? Mengapa bayangan Jagat dan Kala yang berubah menjadi sosok mengerikan selalu menghantuinya?Dia menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri. Namun, pikirannya terus berkecamuk."Tidak mungkin ini akan terjadi, kan? Apa yang harus aku lakukan jika semua itu benar-benar terjadi?"Krek!Ratih terperanjat.Suara itu datang dari belakangnya—suara seperti kuku yang mencakar kayu.Krek!Kali ini suara itu semakin jelas. Seolah-olah sesuatu sedang merayap mendekat.Ratih membeku. Tangannya men