Dulu, hidup Bagas jauh dari kata makmur. Dia hanya seorang buruh tani kecil yang mengais rezeki dengan susah payah. Hutang menumpuk seperti batu besar yang menghimpit dadanya.
"Bagas, ini udah jatuh tempo! Cepet bayar, atau rumahmu aku sita!" Suara keras Juragan Suwandi rentenir desa, menggema di benaknya. Bagas tak bisa melupakan wajah sinis lelaki itu saat berdiri di depan rumahnya, mengancam sambil menunjuk-nunjuk dengan telunjuknya yang kotor.Saat itu, Ratih, istrinya, hanya bisa duduk di sudut kamar, wajahnya pucat karena sakit. Demam tinggi membuat tubuhnya menggigil hebat, tapi mereka bahkan tak mampu membeli obat, apalagi membawa Ratih ke dokter."Aku nggak kuat, Mas...," lirih Ratih dengan suara lemah, menggenggam tangan Bagas yang kasar dan gemetar. "Kalau aku mati, jaga diri baik-baik, ya...""Jangan ngomong gitu, Tih!" Bagas memeluk istrinya erat, mencoba menahan air mata. "Aku bakal cari uang! Aku nggak akan biarin kamu sakit!"<Malam telah larut ketika Bagas berjalan kaki menuju rumah Ki Praja. "Aku harus segera ketemu Ki Praja malam ini!" ucapnya memberi semangat dalam diri sendiri. Angin malam menusuk kulitnya, membawa aroma lembap dedaunan dan kegelapan yang terasa semakin berat. Pikirannya dipenuhi kebingungan dan ketakutan. Perjanjian yang dulu dia buat demi keluarganya kini menjadi jerat yang perlahan menghancurkan mereka.Sesampainya di rumah Ki Praja.Bagas mengetuk pintu kayu dengan ragu. “Ki Praja ... Ini saya, Bagas. Boleh saya masuk?”Dari dalam, suara tua yang berat menjawab, “Masuklah, Bagas. Aku tau kamu akan datang.”Bagas mendorong pintu dengan hati-hati. Seperti biasa ruangan itu penuh dengan aroma kemenyan yang menyengat. Ki Praja duduk bersila di lantai. Matanya yang tajam menatap langsung ke arah Bagas, seolah bisa menembus ke dalam pikirannya.“Duduklah,” ujar Ki Praja, menunjuk ke tikar di depannya.Bagas menuruti tanpa
Sesampainya di rumah, Ratih sudah tertidur di kamar. Bagas berdiri di ruang tamu, menatap sudut-sudut rumah mereka yang kini terasa lebih gelap. Dia membuka botol kecil itu, mencium aroma yang tajam dan menyengat dari cairan tersebut.“Baiklah,” gumamnya pada dirinya sendiri.Bagas menuangkan sedikit di berbagai sudut ruang. Setelahnya dia minum cairan aneh yang membuatnya mual. "Astaga! rasa apa ini?" Dia terkejut dengan aroma dan rasa di lidahnya. Tubuhnya seperti kaku. Kulitnya terlihat menghitam. Bahkan, di jari-jari nya terlihat seperti ada bulu-bulu halus yang agak samar. "Aku kenapa ini?!" Bagas terkejut menatap tangannya yang tampak berbulu tipis. Dia berlari ke depan cermin. Dia buka bajunya dan di lihatnya punggung yang menghitam. "Nggak ... Nggak mungkin! Apa ini karena aku minum cairan itu?! Bodoh nya aku, kenapa aku minum?" kata Bagas sambil memukul kepalanya.Di saat Bagas sedang memperhatikan tubuhnya. Ratih terbangun dengan sedikit menyipitkan matanya. Ratih mel
Bagas merasa darahnya mendidih. "Aku nggak mau kamu memperlakukan aku bukan seperti tuanmu!" teriaknya. Namun, Genderuwo itu hanya tertawa, seolah kemarahan Bagas adalah hiburan baginya.“Mas!” Ratih mencoba mengguncang tubuh suaminya yang kini berkeringat deras. “Kamu ngomong sama siapa, sih?! Aku nggak tahan lagi, tolong jelaskan!” katanya, matanya berkaca-kaca."Tadi kamu sebut perjanjian? Perjanjian apa?" Lanjutnya bertanya. Bagas menoleh ke arah Ratih, wajahnya penuh dengan rasa bersalah. "A—aku nggak bisa jelaskan sekarang. Tapi yang jelas. Suatu hari nanti aku akan kasih apa aja sama kang!" "Tiba-tiba, Genderuwo itu mengangkat tangannya, dan bayangan gelap mulai melingkupi ruangan. Suara-suara aneh terdengar, seperti ribuan bisikan bercampur tawa menyeramkan. Ratih terdiam, matanya terbuka lebar saat merasakan hawa dingin yang menjalari tubuhnya. Dia tidak bisa melihat makhluk itu, tapi keberadaannya terasa nyata.“Cukup bicara! Kamu harus membayar sekarang, Bagas!” teriak Ge
Pagi itu, Ratih duduk di meja makan dengan wajah murung. "Mas," panggil Ratih, suaranya pelan tapi tegas.Bagas mengangkat wajahnya sekilas. "Apa, Tih?""Aku mau ngomong soal tadi malam," jawab Ratih, menatap suaminya dengan serius.Bagas menghela napas panjang, menurunkan sendoknya dengan perlahan. "Ratih, aku udah bilang, kamu pasti cuma mimpi. Jangan terlalu dipikirin." Bagas seakan tidak ingin Ratih membahas tentang pertemuannya dengan Genderuwo.Ratih mengernyit, perasaan kecewanya terpancar jelas di wajahnya. "Mas, aku tau apa yang aku lihat. Ini bukan mimpi. Ini bukan pertama kalinya hal aneh terjadi di rumah ini!"Bagas menggeleng, menahan emosi. "Ratih, kamu terlalu banyak berpikir. Rumah ini aman, nggak ada apa-apa. Bahkan kamu udah meminta Pak tua, Kyai Ahmad itu untuk melihat rumah inikan? Dan jawabannya apa, kalau kamu halusinasi kan?" Ratih tidak menyerah. Dia mendorong kursinya ke belakang, berdiri, dan menatap Bagas dengan mata berkaca-kaca. "Aman? Kamu yakin? Kalau a
"Ayo-ayo, cepet! Bawa ke sana!" teriak Bagas dengan suara yang menggema, memerintah para petaninya tanpa peduli kondisi mereka. Keringat mengalir di wajah-wajah yang sudah lusuh, langkah mereka lamban seperti orang yang tak makan berhari-hari.Hari itu, sinar matahari membakar ladang dengan kejam, membuat para petani bekerja di bawah tekanan yang mencekik. Hasil panen yang melimpah hari itu tidak membawa kegembiraan, melainkan kelelahan yang teramat sangat.Petani-petani itu tak berani melawan. Mereka hanya mengangguk dan terus bekerja, meskipun tubuh mereka gemetar karena kelelahan. Namun, tak semua bisa bertahan.Seorang wanita tua, salah satu petani yang usianya lebih dari 50 tahun, berjalan tertatih-tatih mendekati Bagas. Wajahnya pucat, tubuhnya terlihat lebih kurus dari biasanya. Dengan suara serak, dia berkata, "Juragan..."Bagas, yang tengah mengawasi pekerjaannya dengan mata tajam, langsung menoleh. "Ada apa, Bu?!" tanyanya dengan nada ketus.Wanita tua itu menundukkan kepala
"Assalamualaikum," salam wanita tua itu dengan suara pelan, berdiri di depan rumah Kyai Ahmad."Wa'alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh, Bu! Silakan masuk," sahut Kyai Ahmad dengan lembut, sambil membukakan pintu.Wanita tua itu masuk perlahan, langkahnya berat, namun senyumnya tetap ramah. "Kyai, saya sebenarnya mau izin untuk nggak ikut acara istri Kyai besok. Soalnya badan saya lagi kurang enak," katanya sambil menunduk sopan.Kyai Ahmad mengerutkan dahi sejenak, lalu tersenyum hangat. "Astagfirullah, saya kira ada apa. Tapi acara ini kan cuma bulanan aja, Bu! Nggak apa-apa kalau lagi sakit," ujar Kyai mencoba membesarkan hati.Wanita itu mengangguk kecil, lalu mengeluarkan selembar amplop berisi uang dari tasnya. "Ini, Kyai. Saya tetap ingin memberikan santunan untuk anak-anak yatim. Nggak banyak, tapi semoga bisa bermanfaat," katanya lirih sambil menyerahkan uang tersebut.Kyai Ahmad menerimanya dengan penuh syukur. "Masya Allah, terima kasih, Bu. Allah pasti melipatgandakan k
"Aku memuja mu bukan untuk menjadi budak mu! Aku memuja mu untuk kepentingan ku. Tapi, kali ini aku ingin kamu melenyapkan wanita itu." Mantra itu di lantunkan dalam bahasa Jawa. Angin langsung berhembus kencang. Terlihat asap hitam bergumpal dan terbang keluar rumah, bersamaan dengan bisikan, "Baiklah! Siapkan aku makan malam ini!". Kepribadian Bagas benar-benar berbanding terbalik. Terkadang dia takut akan kehadiran Genderuwo bahkan ingin mengakhirinya. Tetapi, di sisi kepribadian lainnya, dia seolah selalu memuja Genderuwo demi kejahatan dan kepuasannya.Begitu tidak bisa di bedakan lagi dalam dirinya. Menyatu darah dan daging antara ilmu hitam dan perjanjian pesugihan.Beberapa saat kemudian, Genderuwo itu datang kembali di hadapan Bagas. Dia terlihat marah hingga membuat Bagas terpental. "Ada apa?!" Bagas mulai tidak terima dengan Genderuwo."Kamu! Meminta ku membunuh wanita yang nggak bisa aku bunuh!" kata Genderuwo. Suara nya menggema di ruangan.Saat ucapan itu terdengar di
Esok harinya, Ratih mendatangi Kyai Ahmad. Langit terlihat redup meski matahari bersinar terang.“Saya udah bilang, Ratih,” ujar Kyai Ahmad sambil menuangkan teh. “Rumah itu sudah menjadi perantara antara dunia kita dan dunia mereka. Semua ini akibat tindakan suamimu yang belum diselesaikan.”Ratih menarik napas dalam-dalam. “Tapi, kenapa saya yang lebih sering melihat sosok itu? Kenapa bukan Mas Bagas?” tanyanya, mencoba memahami semua ini.Kyai Ahmad memandangnya dengan tenang tapi serius. “Karena kamu adalah pintu, Ratih. Suamimu, Bagas, telah membuat sebuah perjanjian. Tapi kunci untuk memenuhi perjanjian itu adalah kamu. Saya nggak tau perjanjian seperti apa yang Bagas lakukan yang jelas ini udah terikat."Ratih merasakan dadanya sesak, seolah udara tiba-tiba hilang dari sekitarnya. “Kunci?” bisiknya, hampir tak terdengar.“Ya,” jawab Kyai Ahmad. “Mereka membutuhkanmu. Jiwa atau keberadaanmu adalah bagian penting dari perjanjian itu. Jika mereka berhasil menguasaimu, semuanya sel
"Jagat... Kala, hentikan!"Suasana begitu mencekam.Ratih berdiri dengan tubuh gemetar, matanya tak bisa lepas dari pemandangan mengerikan di hadapannya. Jagat dan Kala sedang melahap beberapa kambing hidup. Daging dan darah segar berceceran, memenuhi tanah kandang ternak.Mereka seperti binatang buas yang kelaparan. Tidak—mereka lebih dari itu. Mereka bukan lagi manusia sepenuhnya.Walaupun Kala tampak lebih normal, tetap saja sifat iblis mengalir dalam darahnya, sama seperti Jagat, kakaknya.Kala menoleh dengan mulut berlumuran darah."Ini enak, Bu. Mau coba?"Suara itu tidak keluar dari mulutnya—suara itu menggema di dalam kepala Ratih.Ratih melangkah mundur, tangannya mencengkeram dadanya yang terasa sesak. Mata kedua anaknya semakin tajam, semakin menyeramkan.Dan yang lebih menakutkan—mereka bahkan tidak ragu untuk menyerangnya."Jagat... Kala! Hentikan perbuatan kalian!"Ratih berteriak, suaranya menggema di kandang ternak milik seorang warga yang baru saja pindah ke desa Sumb
"Jangan...!"Napas Ratih memburu, memenuhi ruangan yang kini terasa semakin sempit. Tubuhnya gemetar hebat, peluh membasahi pelipisnya."Tidak mungkin... Ini tidak akan terjadi!"Ratih berdiri dari duduknya dengan tergesa, tangannya meraih teko air di atas meja dan meneguk beberapa gelas sekaligus. Namun, rasa sesak di dadanya tak kunjung mereda."Mimpi itu datang lagi!"Tangan Ratih semakin gemetar. Keringat dingin mengalir deras di punggungnya. Kenapa dia selalu bermimpi buruk tentang masa depan? Mengapa bayangan Jagat dan Kala yang berubah menjadi sosok mengerikan selalu menghantuinya?Dia menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri. Namun, pikirannya terus berkecamuk."Tidak mungkin ini akan terjadi, kan? Apa yang harus aku lakukan jika semua itu benar-benar terjadi?"Krek!Ratih terperanjat.Suara itu datang dari belakangnya—suara seperti kuku yang mencakar kayu.Krek!Kali ini suara itu semakin jelas. Seolah-olah sesuatu sedang merayap mendekat.Ratih membeku. Tangannya men
“Bakar rumahnya!”Teriakan itu menggema di sepanjang gang sempit menuju rumah kontrakan Ratih. Puluhan warga dari Desa Sumberarum dan Karangjati berkumpul dengan wajah penuh amarah. Beberapa membawa obor, yang lainnya menggenggam golok, kayu, atau batu. Mereka datang bukan untuk berdialog, melainkan untuk menghakimi."Keluar, Ratih! Jangan sembunyikan lagi anak-anak setanmu itu!"Suara-suara itu semakin mendekat. Ratih yang berada di dalam rumah segera meraih kedua anak balitanya, Jagat dan Kala, lalu berlari ke dalam kamar.“Diam ya, Nak… jangan bersuara,” bisiknya dengan napas memburu.Tangannya gemetar saat membuka lemari pakaian kayu yang mulai lapuk. Dia memasukkan kedua anaknya ke dalam, lalu menutup pintunya pelan."Jangan keluar sampai Ibu bilang, ya?" suaranya nyaris berbisik.Jagat dan Kala menatapnya dengan mata bulat mereka yang hitam pekat. Mereka tidak menangis, tidak bersuara.Ratih menarik napas dalam, lalu berbalik. Di luar, suara warga semakin memanas.Braak! Braak!
Ratih melangkah perlahan memasuki kediaman Kiai Ahmad. Hatinya diliputi kegelisahan, tetapi dia berusaha menenangkan diri. Dua hari telah berlalu sejak Kiai Ahmad dilarikan ke rumah sakit setelah kejadian mengerikan di pendopo. Ratih masih belum bisa melupakan peristiwa itu, terutama sosok dua anaknya yang dia lihat di sana.Namun, kali ini dia memilih diam.Di dalam rumah, dia melihat Kiai Ahmad sedang beristirahat di dipan, tubuhnya dipenuhi perban. Luka-luka yang tampak di lengan dan wajahnya membuat dada Ratih semakin sesak."Kiai, bagaimana keadaannya?" tanyanya dengan suara pelan.Seorang perempuan muda yang duduk di dekat Kiai Ahmad menoleh. Dia adalah anak perempuan Kiai Ahmad, seorang wanita yang terlihat kuat namun tetap lembut dalam sikapnya."Ini sudah lebih baik, Mbak Ratih," jawabnya dengan senyum tipis.Ratih mengangguk. "Syukur alhamdulillah," ucapnya lega, meskipun di dalam hati, dia masih menyimpan banyak pertanyaan.Dia duduk di kursi kayu yang berada di samping tem
"Ada apa itu?""Sepertinya dari rumah Pak Windra!"Suara teriakan dari arah ladang membuat Ratih tersentak. Warga desa yang masih berkumpul di pendopo pun langsung menoleh.Beberapa warga segera berlari ke arah sumber suara. Ratih berdiri mematung, tubuhnya seakan tidak bisa digerakkan. Jagat dan Kala masih berdiri di tempat yang sama, menatapnya dengan senyum aneh itu."Ayo-ayo kita kesana!""Iya, ada apa di sana?"Ratih tidak mau tahu. Dia harus pergi ke rumah Pak Windra! Dia harus memastikan.Dengan cepat, Ratih berlari menyusul warga yang sudah lebih dulu sampai. Ketika dia tiba di sana, teriakan histeris memenuhi udara."Ya Allah, Pak Windra!"Ratih menyibak kerumunan dan langsung terkejut.Pak Windra tergeletak di tanah dengan mata membelalak ketakutan. Tubuhnya penuh luka, robek di sana-sini, dan yang paling mengerikan—darah menggenang di sekitar lehernya yang hampir putus.
"Aku sudah bilang, suami Ratih itu bukan manusia biasa!""Benar! Aku juga pernah melihat sesuatu yang aneh di rumah mereka dulu.""Apa mungkin dia yang membunuh Feri?"Bisikan demi bisikan memenuhi udara malam yang dingin. Warga Desa Karangjati berkumpul di depan pendopo, membicarakan hal yang selama ini tak pernah mereka ungkapkan dengan lantang. Sosok Bagas, yang dulunya hanyalah seorang lelaki pendiam, kini kembali menjadi pusat ketakutan mereka."Genderuwo!" "Wah, itu makhluk terbesar yang pernah aku lihat di ladang Bagas!" Ratih berdiri tak jauh dari kerumunan, tubuhnya lelah dan wajahnya penuh luka cakaran. Darah yang mengering di pipinya terasa perih, namun lebih perih lagi mendengar namanya dan Bagas disebut-sebut sebagai sumber malapetaka."Aku dengar, Bagas dan Ratih dulu sering bertengkar di rumah mereka.""Dia, katanya Ratih ingin pergi, tapi Bagas tak pernah membiarkannya!""Apa jangan-ja
"Astagfirullah, Kiai!"Ratih mundur beberapa langkah, tubuhnya bergetar hebat.Darah.Darah mengalir di lantai kayu, merembes ke sela-sela papan yang mulai lapuk. Tubuh Kiai Ahmad terkulai di atas tikar dengan napas yang tersengal-sengal.Matanya setengah terbuka, tapi pandangannya kosong."Ya Allah, Kiai! Apa yang telah terjadi!" Seluruh tubuhnya dipenuhi luka. Sayatan panjang di dadanya menganga, dan bekas cakaran mencabik kulit di lengannya.Ada sesuatu yang telah menyerangnya.Ratih menutup mulutnya, rasa mual merayap di tenggorokannya.Ini ulah mereka.Jagat dan Kala."Na—Nak Ratih..."Suara Kiai Ahmad bergetar, nyaris tak terdengar.Ratih buru-buru berlutut di sampingnya, berusaha mencari cara untuk menghentikan pendarahan. Namun, darah terus mengalir, membasahi jubah putihnya."Kiai, bertahanlah!" Ratih menahan air matanya. "Saya akan minta bantuan!""A—anak ... anak mu! ha—harus segera—"Dengan tangan gemetar, Ratih berlari ke luar rumah."Tolong! Ada yang bisa membantu?!"Be
"Siapa yang telah terbunuh?"Jantung Ratih berdegup kencang. Keringat dingin mengalir di pelipisnya.Tidak... ini tidak mungkin terjadi lagi.Ratih menggigit bibir, mencoba menenangkan napasnya yang tersengal. Dadanya naik turun dengan cepat, pikirannya berkecamuk."Mayat siapa itu? Ke—kenapa...?"Tangannya mencengkeram gagang pintu dengan erat. Tubuhnya terasa kaku, namun ketakutan yang mencekam membuatnya tidak bisa berdiam diri.Dia harus melihatnya.Ratih melangkah maju, lalu berhenti. Ragu.Tangannya gemetar saat dia meraih sebilah pisau di atas meja. Genggamannya erat, seakan itu satu-satunya hal yang bisa melindunginya dari kengerian di balik pintu.Duka dan ketakutan menyelimuti hatinya.Lalu, dengan gerakan perlahan, dia mendorong pintu kamar itu.Kreek...Suara engsel berderit, membuka pemandangan yang membuat Ratih membeku.Darah.Darah ada di mana
"Ibu... kita di sini!"Suara itu kembali terdengar, menggetarkan udara malam yang dingin. Ratih menoleh ke kanan dan kiri, matanya liar mencari sumber suara. Namun, yang dia temukan hanyalah pepohonan tinggi yang menjulang, menciptakan bayangan gelap yang bergerak seiring tiupan angin."Di sini, Bu... di sini!"Ratih menelan ludah. Suaranya semakin dekat, tapi bayangan kedua anaknya tak juga terlihat.Bagaimana mereka bisa keluar rumah?Jantungnya berdebar kencang. Rasa takut menyusup ke setiap sudut pikirannya."Jagat... Kala!" teriaknya, suaranya bergetar.Namun, hanya sunyi yang menjawabnya.Argh!Sebuah erangan tajam menggema di kegelapan.Ratih terperanjat, tangannya mencengkeram bajunya sendiri. Dia melangkah mundur, matanya liar mencari sumber suara.Tapi tidak ada siapa-siapa.Srek!Sesuatu bergerak di antara dedaunan kering. Ratih menahan napas. Dia tahu dia tidak sendirian di sini."Ibu... kami di sini!"Suara itu kembali terdengar, kali ini dari arah yang berbeda. Ratih mel