Share

40. Masa Lalu

Penulis: Wenchetri
last update Terakhir Diperbarui: 2024-11-25 16:48:38

Dulu, hidup Bagas jauh dari kata makmur. Dia hanya seorang buruh tani kecil yang mengais rezeki dengan susah payah. Hutang menumpuk seperti batu besar yang menghimpit dadanya.

"Bagas, ini udah jatuh tempo! Cepet bayar, atau rumahmu aku sita!" Suara keras Juragan Suwandi rentenir desa, menggema di benaknya. Bagas tak bisa melupakan wajah sinis lelaki itu saat berdiri di depan rumahnya, mengancam sambil menunjuk-nunjuk dengan telunjuknya yang kotor.

Saat itu, Ratih, istrinya, hanya bisa duduk di sudut kamar, wajahnya pucat karena sakit. Demam tinggi membuat tubuhnya menggigil hebat, tapi mereka bahkan tak mampu membeli obat, apalagi membawa Ratih ke dokter.

"Aku nggak kuat, Mas...," lirih Ratih dengan suara lemah, menggenggam tangan Bagas yang kasar dan gemetar. "Kalau aku mati, jaga diri baik-baik, ya..."

"Jangan ngomong gitu, Tih!" Bagas memeluk istrinya erat, mencoba menahan air mata. "Aku bakal cari uang! Aku nggak akan biarin kamu sakit!"

<
Bab Terkunci
Lanjutkan Membaca di GoodNovel
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • Pesugihan Genderuwo   41. Penyesalan Tidak Ada Arti

    Malam telah larut ketika Bagas berjalan kaki menuju rumah Ki Praja. "Aku harus segera ketemu Ki Praja malam ini!" ucapnya memberi semangat dalam diri sendiri. Angin malam menusuk kulitnya, membawa aroma lembap dedaunan dan kegelapan yang terasa semakin berat. Pikirannya dipenuhi kebingungan dan ketakutan. Perjanjian yang dulu dia buat demi keluarganya kini menjadi jerat yang perlahan menghancurkan mereka.Sesampainya di rumah Ki Praja.Bagas mengetuk pintu kayu dengan ragu. “Ki Praja ... Ini saya, Bagas. Boleh saya masuk?”Dari dalam, suara tua yang berat menjawab, “Masuklah, Bagas. Aku tau kamu akan datang.”Bagas mendorong pintu dengan hati-hati. Seperti biasa ruangan itu penuh dengan aroma kemenyan yang menyengat. Ki Praja duduk bersila di lantai. Matanya yang tajam menatap langsung ke arah Bagas, seolah bisa menembus ke dalam pikirannya.“Duduklah,” ujar Ki Praja, menunjuk ke tikar di depannya.Bagas menuruti tanpa

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-25
  • Pesugihan Genderuwo   42. Bulu dan Kulit menghitam

    Sesampainya di rumah, Ratih sudah tertidur di kamar. Bagas berdiri di ruang tamu, menatap sudut-sudut rumah mereka yang kini terasa lebih gelap. Dia membuka botol kecil itu, mencium aroma yang tajam dan menyengat dari cairan tersebut.“Baiklah,” gumamnya pada dirinya sendiri.Bagas menuangkan sedikit di berbagai sudut ruang. Setelahnya dia minum cairan aneh yang membuatnya mual. "Astaga! rasa apa ini?" Dia terkejut dengan aroma dan rasa di lidahnya. Tubuhnya seperti kaku. Kulitnya terlihat menghitam. Bahkan, di jari-jari nya terlihat seperti ada bulu-bulu halus yang agak samar. "Aku kenapa ini?!" Bagas terkejut menatap tangannya yang tampak berbulu tipis. Dia berlari ke depan cermin. Dia buka bajunya dan di lihatnya punggung yang menghitam. "Nggak ... Nggak mungkin! Apa ini karena aku minum cairan itu?! Bodoh nya aku, kenapa aku minum?" kata Bagas sambil memukul kepalanya.Di saat Bagas sedang memperhatikan tubuhnya. Ratih terbangun dengan sedikit menyipitkan matanya. Ratih mel

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-26
  • Pesugihan Genderuwo   43. Perdebatan Antara Bagas dan Genderuwo

    Bagas merasa darahnya mendidih. "Aku nggak mau kamu memperlakukan aku bukan seperti tuanmu!" teriaknya. Namun, Genderuwo itu hanya tertawa, seolah kemarahan Bagas adalah hiburan baginya.“Mas!” Ratih mencoba mengguncang tubuh suaminya yang kini berkeringat deras. “Kamu ngomong sama siapa, sih?! Aku nggak tahan lagi, tolong jelaskan!” katanya, matanya berkaca-kaca."Tadi kamu sebut perjanjian? Perjanjian apa?" Lanjutnya bertanya. Bagas menoleh ke arah Ratih, wajahnya penuh dengan rasa bersalah. "A—aku nggak bisa jelaskan sekarang. Tapi yang jelas. Suatu hari nanti aku akan kasih apa aja sama kang!" "Tiba-tiba, Genderuwo itu mengangkat tangannya, dan bayangan gelap mulai melingkupi ruangan. Suara-suara aneh terdengar, seperti ribuan bisikan bercampur tawa menyeramkan. Ratih terdiam, matanya terbuka lebar saat merasakan hawa dingin yang menjalari tubuhnya. Dia tidak bisa melihat makhluk itu, tapi keberadaannya terasa nyata.“Cukup bicara! Kamu harus membayar sekarang, Bagas!” teriak Ge

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-26
  • Pesugihan Genderuwo   44. Bagas Berkelit

    Pagi itu, Ratih duduk di meja makan dengan wajah murung. "Mas," panggil Ratih, suaranya pelan tapi tegas.Bagas mengangkat wajahnya sekilas. "Apa, Tih?""Aku mau ngomong soal tadi malam," jawab Ratih, menatap suaminya dengan serius.Bagas menghela napas panjang, menurunkan sendoknya dengan perlahan. "Ratih, aku udah bilang, kamu pasti cuma mimpi. Jangan terlalu dipikirin." Bagas seakan tidak ingin Ratih membahas tentang pertemuannya dengan Genderuwo.Ratih mengernyit, perasaan kecewanya terpancar jelas di wajahnya. "Mas, aku tau apa yang aku lihat. Ini bukan mimpi. Ini bukan pertama kalinya hal aneh terjadi di rumah ini!"Bagas menggeleng, menahan emosi. "Ratih, kamu terlalu banyak berpikir. Rumah ini aman, nggak ada apa-apa. Bahkan kamu udah meminta Pak tua, Kyai Ahmad itu untuk melihat rumah inikan? Dan jawabannya apa, kalau kamu halusinasi kan?" Ratih tidak menyerah. Dia mendorong kursinya ke belakang, berdiri, dan menatap Bagas dengan mata berkaca-kaca. "Aman? Kamu yakin? Kalau a

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-26
  • Pesugihan Genderuwo   45. Teror ke Penduduk Desa

    "Ayo-ayo, cepet! Bawa ke sana!" teriak Bagas dengan suara yang menggema, memerintah para petaninya tanpa peduli kondisi mereka. Keringat mengalir di wajah-wajah yang sudah lusuh, langkah mereka lamban seperti orang yang tak makan berhari-hari.Hari itu, sinar matahari membakar ladang dengan kejam, membuat para petani bekerja di bawah tekanan yang mencekik. Hasil panen yang melimpah hari itu tidak membawa kegembiraan, melainkan kelelahan yang teramat sangat.Petani-petani itu tak berani melawan. Mereka hanya mengangguk dan terus bekerja, meskipun tubuh mereka gemetar karena kelelahan. Namun, tak semua bisa bertahan.Seorang wanita tua, salah satu petani yang usianya lebih dari 50 tahun, berjalan tertatih-tatih mendekati Bagas. Wajahnya pucat, tubuhnya terlihat lebih kurus dari biasanya. Dengan suara serak, dia berkata, "Juragan..."Bagas, yang tengah mengawasi pekerjaannya dengan mata tajam, langsung menoleh. "Ada apa, Bu?!" tanyanya dengan nada ketus.Wanita tua itu menundukkan kepala

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-27
  • Pesugihan Genderuwo   46. Gelang Negatif

    "Assalamualaikum," salam wanita tua itu dengan suara pelan, berdiri di depan rumah Kyai Ahmad."Wa'alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh, Bu! Silakan masuk," sahut Kyai Ahmad dengan lembut, sambil membukakan pintu.Wanita tua itu masuk perlahan, langkahnya berat, namun senyumnya tetap ramah. "Kyai, saya sebenarnya mau izin untuk nggak ikut acara istri Kyai besok. Soalnya badan saya lagi kurang enak," katanya sambil menunduk sopan.Kyai Ahmad mengerutkan dahi sejenak, lalu tersenyum hangat. "Astagfirullah, saya kira ada apa. Tapi acara ini kan cuma bulanan aja, Bu! Nggak apa-apa kalau lagi sakit," ujar Kyai mencoba membesarkan hati.Wanita itu mengangguk kecil, lalu mengeluarkan selembar amplop berisi uang dari tasnya. "Ini, Kyai. Saya tetap ingin memberikan santunan untuk anak-anak yatim. Nggak banyak, tapi semoga bisa bermanfaat," katanya lirih sambil menyerahkan uang tersebut.Kyai Ahmad menerimanya dengan penuh syukur. "Masya Allah, terima kasih, Bu. Allah pasti melipatgandakan k

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-27
  • Pesugihan Genderuwo   47. Kegagalan

    "Aku memuja mu bukan untuk menjadi budak mu! Aku memuja mu untuk kepentingan ku. Tapi, kali ini aku ingin kamu melenyapkan wanita itu." Mantra itu di lantunkan dalam bahasa Jawa. Angin langsung berhembus kencang. Terlihat asap hitam bergumpal dan terbang keluar rumah, bersamaan dengan bisikan, "Baiklah! Siapkan aku makan malam ini!". Kepribadian Bagas benar-benar berbanding terbalik. Terkadang dia takut akan kehadiran Genderuwo bahkan ingin mengakhirinya. Tetapi, di sisi kepribadian lainnya, dia seolah selalu memuja Genderuwo demi kejahatan dan kepuasannya.Begitu tidak bisa di bedakan lagi dalam dirinya. Menyatu darah dan daging antara ilmu hitam dan perjanjian pesugihan.Beberapa saat kemudian, Genderuwo itu datang kembali di hadapan Bagas. Dia terlihat marah hingga membuat Bagas terpental. "Ada apa?!" Bagas mulai tidak terima dengan Genderuwo."Kamu! Meminta ku membunuh wanita yang nggak bisa aku bunuh!" kata Genderuwo. Suara nya menggema di ruangan.Saat ucapan itu terdengar di

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-28
  • Pesugihan Genderuwo   48. Kotak Jimat

    Esok harinya, Ratih mendatangi Kyai Ahmad. Langit terlihat redup meski matahari bersinar terang.“Saya udah bilang, Ratih,” ujar Kyai Ahmad sambil menuangkan teh. “Rumah itu sudah menjadi perantara antara dunia kita dan dunia mereka. Semua ini akibat tindakan suamimu yang belum diselesaikan.”Ratih menarik napas dalam-dalam. “Tapi, kenapa saya yang lebih sering melihat sosok itu? Kenapa bukan Mas Bagas?” tanyanya, mencoba memahami semua ini.Kyai Ahmad memandangnya dengan tenang tapi serius. “Karena kamu adalah pintu, Ratih. Suamimu, Bagas, telah membuat sebuah perjanjian. Tapi kunci untuk memenuhi perjanjian itu adalah kamu. Saya nggak tau perjanjian seperti apa yang Bagas lakukan yang jelas ini udah terikat."Ratih merasakan dadanya sesak, seolah udara tiba-tiba hilang dari sekitarnya. “Kunci?” bisiknya, hampir tak terdengar.“Ya,” jawab Kyai Ahmad. “Mereka membutuhkanmu. Jiwa atau keberadaanmu adalah bagian penting dari perjanjian itu. Jika mereka berhasil menguasaimu, semuanya sel

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-29

Bab terbaru

  • Pesugihan Genderuwo   185. Bertemu Feri yang Ketakutan

    "Kyai!" panggil Bagas dengan suara keras di depan rumah Kyai Ahmad. Hembusan napasnya berat, mencerminkan keputusasaan yang menyelimuti hatinya. Terdengar suara langkah mendekat dari dalam. Gagang pintu perlahan bergerak, menandakan seseorang akan keluar. Namun, alih-alih Kyai Ahmad, sosok pria lain muncul—Feri. Bagas terkejut melihatnya. Wajah Feri pucat seketika saat mengenali Bagas. Matanya membelalak, tubuhnya gemetar, mengingat kejadian masa lalu yang membuatnya hampir kehilangan nyawa karena ulah Bagas. "Ma—Mas Bagas?" Feri tergagap, suaranya bergetar. Dia berdiri di ambang pintu, seolah ingin memastikan bahwa pria di hadapannya itu nyata. Bagas, yang masih diliputi kebingungan dan kegelisahan, hanya menatap Feri tanpa banyak bicara. Namun, sorot matanya yang penuh tekanan membuat Feri semakin cemas. Rasa trauma yang mendalam kembali menyeruak di hati Feri. Dalam sekejap, dia menarik napas panjang dan s

  • Pesugihan Genderuwo   184. Kenyataan atau Mimpi

    "Jangan!" Bagas berteriak keras, suaranya menggema di ruangan sempit itu. Keringat dingin membasahi tubuhnya, dan napasnya tersengal-sengal saat ia terbangun dari tidur yang mencekam. Tangannya gemetar hebat, tubuhnya terasa kaku, sementara matanya melotot penuh ketakutan. "Apa itu tadi? Apa—apa yang terjadi padaku?" Bagas bergumam dengan suara parau, mencoba mengumpulkan keberanian untuk memahami apa yang baru saja ia alami. Mimpi itu terlalu nyata. Dalam mimpi tersebut, tubuhnya perlahan berubah. Kulitnya menghitam, bulu-bulu kasar tumbuh di seluruh tubuhnya. Matanya memerah, kuku-kuku tangannya memanjang menyerupai cakar. Bayangannya di genangan air menunjukkan sosok mengerikan—dirinya sendiri berubah menjadi Genderuwo. Dengan tangan gemetar, Bagas menurunkan kakinya dari ranjang. Namun, tubuhnya terasa lemah, hampir tidak sanggup menopang beratnya. Dia menunduk, menatap telapak tangannya yang masih bergetar. "Bulu halus ini … kenapa tidak pernah benar-benar hilang? Tapi tadi,

  • Pesugihan Genderuwo   183. Niat Balas dendam?

    "Kenapa tadi kamu terlihat murung, Nak Bagas?" tanya Kyai Ahmad, menyadari kegelisahan yang terpancar dari raut wajah Bagas. Bagas terdiam sejenak, menimbang-nimbang apakah harus menceritakan semuanya. Akhirnya, dia menghela napas panjang dan mulai bicara. "Nggak ada, Kyai ... Tapi, akhir-akhir ini saya sering mimpi tentang Mbah saya. Mimpi itu ... aneh dan terasa nyata! Di situ, Mbah saya terlihat begitu kejam, bahkan ada yang terang-terangan menunjukkan bahwa Mbah saya pernah menghabisi nyawa seseorang," jelas Bagas dengan suara bergetar. Kyai Ahmad memejamkan matanya, seperti sedang merenung dalam. "Apakah ini ada hubungannya dengan dukun yang dulu membantumu melakukan pesugihan?" tanyanya perlahan. Bagas mengangguk ragu. "Iya, Kyai! Saya merasa ada kaitannya. Tapi saya nggak ngerti maksud dari semua ini," jawabnya lirih. Kyai Ahmad menatap Bagas dengan tatapan penuh arti. "Aku memang melihat ada sesuatu antara Mbahmu dengan dukun itu," katanya sambil menghela napas panjang.

  • Pesugihan Genderuwo   182. Penyesalan Tidak berarti

    "Tapi di mana aku bisa mencarinya?" gumam Bagas, berusaha mengendalikan rasa takut yang mulai merayap. "Aku harus tahu kebenaran ini. Kalau benar dia yang menghancurkan hidupku, aku harus menemukannya." Namun, Bagas sadar bahwa langkah ini sangat berbahaya. Ki Praja bukan hanya sekadar dukun. Dia adalah seseorang yang bisa membalaskan dendamnya tanpa terlihat. Meski ragu, Bagas akhirnya memutuskan untuk mencari informasi lebih lanjut tentang Ki Praja. Namun, tak ada satu pun warga desa yang mau membantunya. Setiap kali dia mencoba bertanya, mereka hanya menghindar atau memberikan jawaban singkat yang tidak memuaskan. "Dimana lagi aku harus mencari tahu?" gumam Bagas dengan langkah berat menyusuri jalan berbatu. Kepalanya tertunduk lesu, pikirannya dipenuhi kebingungan dan rasa putus asa. Tanpa sadar, dia menabrak seseorang. Ketika Bagas mendongak, dia melihat Kyai Ahmad berdiri di depannya, menatapnya dengan tatapan penuh makna. "Kyai!" Bagas terkejut, tetapi juga merasa lega mel

  • Pesugihan Genderuwo   181. Mencurigai Ki Praja

    "Kenapa kehidupanku semakin susah begini?" keluh Bagas sambil menyandarkan tubuhnya di kursi tua yang hampir patah. Dia memandang kosong ke arah langit-langit rumah kecil yang kini menjadi tempat tinggalnya. Dari seorang yang pernah disegani karena kekayaannya, kini dia kembali hidup dalam kemiskinan. Semua itu terasa seperti hukuman yang tak pernah berakhir. Bagas merenung. Dia memang datang dari keluarga miskin. Kehidupannya yang keras memaksanya mencari jalan pintas—jalan gelap. Demi mengejar kekayaan, dia membuat perjanjian dengan makhluk halus, Genderuwo. Pesugihan itu memberinya harta melimpah untuk sementara waktu, tetapi dengan harga yang mahal. Sekarang, semuanya telah hancur. "Entah, hidupku semakin hari semakin memprihatinkan," gumamnya lirih, suara lelahnya memenuhi ruang tamu yang sunyi. Matahari sore menyelinap masuk melalui celah tirai usang, menciptakan garis-garis terang di lantai. Namun, sinar itu tak mampu menghangatkan hatinya yang dingin dan penuh penyesalan.

  • Pesugihan Genderuwo   180. Wartono dan Ki Praja

    "Tolong ada orang di sini?" Bagas berteriak dengan kencang, suaranya bergema tanpa jawaban. Bagas terbangun di sebuah tempat yang aneh. Di sekelilingnya hanyalah kabut putih tebal yang bergerak pelan seiring hembusan angin. Kakinya menginjak tanah dingin, tapi dia tidak tahu di mana dia berada. Saat dia berjalan perlahan, sosok-sosok mulai bermunculan dari balik kabut. Wajah mereka terlihat jelas—semuanya mirip dengan kakeknya, Wartono. Bagas terpaku, tubuhnya kaku seperti membeku. "Kalian siapa?" suaranya bergetar, hampir tidak keluar dari tenggorokan. Mereka hanya berdiri mematung, tatapan dingin mereka menusuk ke arah Bagas. Salah satu dari mereka melangkah maju. Wajahnya sangat identik dengan kakeknya, hingga Bagas tak bisa membedakan. "Mbah... Mbah Warto? Kenapa banyak sekali?" Bagas bertanya, suaranya nyaris tidak terdengar. Sosok yang mirip Wartono itu tidak menjawab. Sebaliknya, angin tiba-tiba berhembus di telinga Bagas, membawa bisikan lembut namun menyeramkan

  • Pesugihan Genderuwo   179. Desa Sumberarum

    "Aku harus segera pergi!" Ratih mulai mengemas pakaiannya dengan tergesa-gesa. Tangannya gemetar saat melipat setiap helai baju, tetapi dia berusaha tetap fokus. Setelah selesai, dia mengintip dari balik gorden, memastikan situasi di luar aman sebelum meninggalkan kontrakannya. Ketika dia merasa tidak ada yang mencurigakan, Ratih berjalan cepat menuju persimpangan jalan. Di sana, dia melihat seorang pengayuh becak yang sedang duduk termenung di bawah lampu jalan yang remang-remang. "Bang, antarkan saya ke Desa Sumberarum, ya!" pinta Ratih dengan nada yakin. Mamang becak menatapnya dengan ragu. "Yakin, Neng? Ini udah malam banget loh. Disana gelap banget kalau udah malam begini!" katanya, terlihat khawatir. Ratih tersenyum kecil, mencoba menenangkan kegelisahan si tukang becak. "Udah tenang aja, Bang. Saya udah pernah ke sana. Nggak seseram itu kok." Meskipun masih ragu, Mamang becak akhirnya mengangguk dan mulai mengayuh becaknya perlahan. Roda becak berderit pelan, mengiringi p

  • Pesugihan Genderuwo   178. Kediaman Ratih

    "Ratih, tunggu!"Bagas berteriak, suaranya menggema di antara pepohonan. Namun, Ratih tak sedikit pun menoleh. Langkahnya semakin cepat, hampir seperti berlari. Dia menggenggam erat keranjang di tangannya, matanya lurus ke depan, mengabaikan panggilan suaminya yang semakin lirih di kejauhan."Maafkan aku, Mas! Aku nggak bisa dekat sama kamu!" bisiknya pelan, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada Bagas.Hatinya gelisah, tapi dia tahu ini adalah keputusan yang harus diambil. Sesekali dia menoleh ke belakang, memastikan Bagas tidak mengikutinya. Napasnya memburu, bukan hanya karena langkahnya yang cepat, tetapi juga karena perasaan bersalah yang menyesakkan dadanya."Nggak bisa! Aku nggak bisa!" Begitu yang dia ucapkan pada dirinya sendiri.Setibanya di rumah, Ratih segera menutup pintu dengan tergesa-gesa, mengunci semua jendela dengan tangan gemetar. Dia menyandarkan tubuhnya pada pintu kayu itu, mencoba menenangkan detak jantung yang berpacu tak beraturan. Keringat dingin memb

  • Pesugihan Genderuwo   177. Perut Membesar

    "Ampun, Mbah Warto!"Seorang wanita bersimpuh, menangis dengan suara parau. Tubuhnya gemetar, memohon di hadapan sosok tua dengan wajah tanpa ekspresi. Bagas berdiri di dekatnya, menatap pemandangan itu dengan rasa campur aduk—iba dan ngeri bercampur jadi satu."Mbah!" seru Bagas, mencoba menghentikan tindakan kakeknya. Namun, teriakannya hanya menggema tanpa hasil. Wartono tetap diam, wajahnya seperti topeng tanpa emosi, sementara wanita itu terus menangis.“Mbah, hentikan!” Bagas mencoba mendekat, tapi tubuhnya terasa kaku, seperti ada kekuatan tak terlihat yang menahannya. Tiba-tiba, dia merasakan sesuatu yang hangat menetes di pipinya."Weh, Bagas! Kamu mati?"Suara nyaring itu menggema, memaksa Bagas membuka matanya perlahan. Pandangannya samar, tapi dia bisa mengenali suara itu. Dia berada di pondok ladangnya, terduduk di lantai bambu yang dingin."Ah... ada apa ini?" gumamnya sambil mengusap wajah."Kaya orang mati kamu tadi! Dipanggil nggak bangun-bangun!" sahut salah satu war

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status