Home / Horor / Pesugihan Genderuwo / 30. Bisikan dari Dunia Lain

Share

30. Bisikan dari Dunia Lain

Author: Wenchetri
last update Last Updated: 2024-11-22 05:36:33

“Mas, kenapa badan aku nggak bisa gerak?!” Ratih panik, suaranya bergetar. Ia mencoba memaksakan tubuhnya bergerak, tapi tak ada gunanya.

Genderuwo mendekati Ratih, menunduk hingga wajahnya yang mengerikan hanya beberapa inci dari wajah Ratih. “Kamu akan menjadi milikku,” bisiknya pelan, tapi penuh ancaman.

Bagas yang terbaring di lantai menggertakkan giginya. Dengan sisa tenaga, dia berteriak, “Jangan sentuh dia! Aku udah bilang jangan meminta lebih dari apa yang di janjikan. Kamu hanya ingin—!" ucapannya terhenti mengingat bahwa Ratih sedang bersamanya.

Genderuwo menoleh, senyumnya semakin lebar. “Aku mau Ratih melahirkan keturunanku,” ucapnya lagi dengan nada penuh kemenangan.

Bagas mengangguk lemah, dia menatap Genderuwo dengan tajam. "Mustahil! Itu nggak akan terjadi."

Setelah Bagas mengucapkan itu, makhluk itu lenyap begitu saja, meninggalkan Ratih yang akhirnya bisa bergerak kembali.

Tapi trauma dari kejadian itu tertanam dalam-dalam di benaknya, sementara Bagas menyadari bahw
Locked Chapter
Continue Reading on GoodNovel
Scan code to download App

Related chapters

  • Pesugihan Genderuwo   31. Keresahan Ratih

    Di sela bisikan kagum sambil menatap Bagas, Ratih mendengar suara lirih yang familiar. Sebuah suara berat, serupa dengan suara dalam mimpinya, berbisik di telinganya, "Kamu milikku, Ratih...."Ratih menutup telinganya dengan tangan, tubuhnya gemetar hebat. Suara itu terdengar seperti suara suaminya, tapi ada sesuatu yang janggal. Di dalam lubuk hatinya, alih-alih merasa terlindungi, ia justru merasa terintimidasi. Rasa takut itu semakin membara, melingkupi Ratih seperti kabut tebal yang mencekik."Ini hanya halusinasi," gumamnya pelan, mencoba meyakinkan dirinya sendiri. Ia memejamkan mata, berharap suara-suara itu akan lenyap begitu saja.Namun, rasa takut itu tetap membekas, bahkan saat Ratih akhirnya berhasil terlelap.Dalam tidur itu, Ratih merasa tubuhnya kaku, seperti tertahan oleh sesuatu. Di antara gelap yang samar, dia melihat seorang yang menyerupai Bagas mendekat. Wajah itu begitu familier, tapi tatapan matanya penuh nafsu dan dominasi,

    Last Updated : 2024-11-22
  • Pesugihan Genderuwo   32. Dilema Bagas

    "Se—semalam, Mas Bagas nyentuh aku?" Ratih bertanya, matanya menatap Bagas dengan cemas, langsung menyinggung keresahan yang membekas di hatinya.Bagas melotot, tampak ragu untuk menjawab. Seperti ada yang terpendam dalam dirinya yang tak ingin ia ungkapkan. "I—iya... ada apa? Nggak boleh?" jawabnya terbata, mencoba mengalihkan perhatian.Ratih menggelengkan kepala, suaranya bergetar. "Bukan begitu! Aku cuma ingin memastikan, Mas!" Dia menatap suaminya, seolah mencari penjelasan, mencari jawaban dari semua kebingungannya. "Barusan—!"Namun, belum sempat Ratih melanjutkan perkataannya, Bagas dengan cepat memotongnya. "Udah ah! Aku mau ke ladang! Kamu nanti nyusul!" ucapnya dengan nada tegas, seakan menghindari pembicaraan lebih lanjut. Tanpa menunggu jawaban, Bagas buru-buru beranjak menuju kamar untuk mengganti pakaian.Ratih hanya bisa terdiam, merasa ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Sementara itu, Bagas yang sedang mengganti pakaian tampak gelisah, seolah ingin melarikan dir

    Last Updated : 2024-11-22
  • Pesugihan Genderuwo   33. Belatung di Hasil Panen

    "Maaf, Mas," ucap Ratih pelan, nyaris tak terdengar.Bagas menghela napas panjang, menahan kekesalannya. "Udah, tolong bantu aku hitung hasil panen," pintanya, mencoba mengalihkan perhatian mereka.Namun, sebelum mereka sempat melangkah, suara gemuruh mesin mobil memecah keheningan.Brmm... hsshhh!Sebuah mobil mewah berwarna hitam berhenti di tepi perkebunan. Pintu terbuka, dan seorang pria berjas rapi keluar, diikuti oleh seorang supir dan seorang pesuruh yang membawa beberapa karung besar."Turunkan semuanya!" perintah pria itu dengan nada tegas."Letakkan di mana, Pak?" tanya si supir sambil menunggu arahan.Sementara itu, Bagas dan Ratih saling bertukar pandang, kebingungan dengan kemunculan tamu tak diundang ini. Pria tersebut berjalan mendekati mereka dengan langkah mantap. Cara jalannya yang angkuh dan pandangan meremehkan membuat suasana semakin tegang."Kamu Bagas, kan?" tanyanya sambil melirik Bagas d

    Last Updated : 2024-11-23
  • Pesugihan Genderuwo   34. Ruang Rahasia

    Bagas tertegun. Suara itu menggelegar di dalam kepalanya, seperti gaung yang tak bisa diabaikan. 'Genderuwo itu lagi!' pikirnya."Habisi dia!"Kata-kata itu menusuk relung pikirannya, seakan menjadi perintah yang tidak bisa dilawab. Bagas merasakan pikirannya dikuasai oleh, Genderuwo. 'Ini penghinaan besar bagi aku!' batinnya mulai berubah. 'Aku nggak akan membiarkan siapapun menjatuhkanku. Aku mau dia mati!' Tatapan Bagas berubah dingin, penuh kebencian. Dalam benaknya, wajah pria kaya yang menghina dirinya muncul jelas, diiringj dengan tawa sinis. Kebencian itu menguasai hati Bagas dan merasuki jiwanya.Di tengah pikiran yang berkecamuk, tawa terdengar kembali. "Ha-ha-ha! Aku akan membantumu, Bagas!" Suara itu semakin kuat terdengar. Bagas merasakan tubuhnya mulai menggigil. Bukan karena takut, melainkan sensasi aneh yang menjalar dari ujung kepala hingga kakinya. Dadanya berdebar-debar."Mas, Bagas!" Pan

    Last Updated : 2024-11-23
  • Pesugihan Genderuwo   35. Ritual Tanpa Bantuan

    Bagas membuka pintu ruang kerjanya yang lebih mirip gudang kecil dengan rak kayu berisi benda-benda tua. Sebuah meja kayu besar berdiri di tengah ruangan, tertutup kain hitam yang menutupi sesuatu. Setelah memastikan pintu terkunci rapat, dia menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya.“Sudah waktunya,” gumamnya pelan, matanya menatap meja itu tajam.Dia melangkah mendekat dan membuka kain hitam perlahan. Sebilah keris kuno berkilauan dalam cahaya remang, sementara di sebelahnya terdapat mangkuk tanah liat berisi dedaunan, akar, dan cairan hitam berbau menyengat.Bagas mengangkat keris itu dengan hati-hati, mengamatinya seolah benda itu menyimpan semua jawaban yang dia cari. “Kamu akan membantuku,” katanya lirih.Tiba-tiba, udara di ruangan itu berubah dingin. Bagas melantunkan doa dengan suara berat, kata-katanya terdengar aneh dan tidak seperti bahasa biasa.“Dia akan menghancurkan hidupku,” katanya dengan nada bergetar, membayangkan wajah laki-laki yang membawa karung padi

    Last Updated : 2024-11-23
  • Pesugihan Genderuwo   36. Daging Mentah

    “Aku udah bilang kan! Jangan sekali-kali masuk ke ruangan ini! Ratih, kamu ini harus aku kasih tahu pakai apa, sih?” Bagas membentak dengan suara tinggi, matanya penuh amarah. Ratih hanya menundukkan kepala, tak berani menatap suaminya yang seperti berubah menjadi orang lain. Namun, di dalam hati, bayangan sosok gelap dengan mata merah yang selalu muncul dalam mimpinya kembali menghantui. Sosok itu persis seperti yang dilihatnya dalam amarah Bagas saat ini. “Udah! Aku mau keluar. Nggak nafsu makan! Lebih baik aku beli kopi di warung depan,” kata Bagas dingin sambil melangkah keluar, menutup pintu ruangannya rapat dan menguncinya dengan keras. Ratih terdiam, hatinya penuh pertanyaan dan ketakutan. Dia melangkah perlahan ke meja makan, duduk di hadapan hidangan daging setengah matang yang seharusnya menjadi kesukaan Bagas. Namun, kali ini, ada sesuatu yang aneh. Matanya terpaku pada daging itu. Cairan merah seg

    Last Updated : 2024-11-24
  • Pesugihan Genderuwo   37. Pemainan Maut

    Bagas menahan napas, mengenali suara itu. Dalam hatinya, dia tahu persis siapa yang hadir, Genderuwo. Bagas mulai berbisik di batin dan kepalanya. 'Kamu sudah janji. Mana hasilnya? Kenapa kamu kembali tanpa melaksanakan tugasmu?'Bagas mengepalkan tangan, matanya menyipit menahan amarah. Tapi, Genderuwo Muali menjawab, 'Aku udah lenyapkan dia! Beri aku imbalan untuk itu! Aku mau malam ini seperti biasa!" Ratih memeluk lututnya, ketakutan dengan suasana mencekam yang tiba-tiba menyelimuti rumah.Bagas berusaha menenangkan situasi. Dia mengangkat Ratih dengan lembut. "Istirahatlah, Tih! tenangkan pikiranmu. Aku akan memeriksa lampu di depan. Aku juga akan memastikan semuanya baik-baik saja," katanya dengan suara rendah, meskipun ada rasa kerisauan. Tak beberapa lama Bagas datang dengan sedikit perbedaan. Di gelapnya kamar, dia mendatangi Ratih yang ketakutan di atas ranjang. "Mas Bagas!" Panggil Ratih yang sudah melihat bayangan suaminy

    Last Updated : 2024-11-24
  • Pesugihan Genderuwo   38. Lari atau Mati

    Angin malam berhembus dingin, menusuk tulang, menggoyangkan daun-daun pohon beringin tua yang menjulang tinggi di ladang belakang. Kegelapan menyelimuti area itu, menciptakan suasana mencekam. Bagas berdiri di bawah pohon beringin, rokok menyala di tangannya. Matanya menyapu sekeliling, penuh kewaspadaan."Feri, kamu yakin melihat sesuatu?" tanyanya dengan nada datar, namun sorot matanya tajam.Feri, pemuda desa yang terlihat gelisah, mengangguk cepat. "Saya yakin, Mas. Saya lihat bayangan besar di balik pohon itu. Ngeri sekali!" katanya sambil menunjuk ke arah gelap di bawah pohon.Bagas mengernyitkan dahi. "Jangan-jangan kamu cuma kecapekan, Feri. Ladang ini sudah lama nggak saya rawat, karena banyak yang mengira saya pelaku dari korban yang sebelumnya. Apa mungkin cuma imajinasimu?" Namun, firasat buruk mulai merayap di pikirannya. Kenapa Feri tahu tentang mayat ini? Dan apa tujuannya datang ke sini malam-malam begini?"Mas, saya ngga

    Last Updated : 2024-11-25

Latest chapter

  • Pesugihan Genderuwo   185. Bertemu Feri yang Ketakutan

    "Kyai!" panggil Bagas dengan suara keras di depan rumah Kyai Ahmad. Hembusan napasnya berat, mencerminkan keputusasaan yang menyelimuti hatinya. Terdengar suara langkah mendekat dari dalam. Gagang pintu perlahan bergerak, menandakan seseorang akan keluar. Namun, alih-alih Kyai Ahmad, sosok pria lain muncul—Feri. Bagas terkejut melihatnya. Wajah Feri pucat seketika saat mengenali Bagas. Matanya membelalak, tubuhnya gemetar, mengingat kejadian masa lalu yang membuatnya hampir kehilangan nyawa karena ulah Bagas. "Ma—Mas Bagas?" Feri tergagap, suaranya bergetar. Dia berdiri di ambang pintu, seolah ingin memastikan bahwa pria di hadapannya itu nyata. Bagas, yang masih diliputi kebingungan dan kegelisahan, hanya menatap Feri tanpa banyak bicara. Namun, sorot matanya yang penuh tekanan membuat Feri semakin cemas. Rasa trauma yang mendalam kembali menyeruak di hati Feri. Dalam sekejap, dia menarik napas panjang dan s

  • Pesugihan Genderuwo   184. Kenyataan atau Mimpi

    "Jangan!" Bagas berteriak keras, suaranya menggema di ruangan sempit itu. Keringat dingin membasahi tubuhnya, dan napasnya tersengal-sengal saat ia terbangun dari tidur yang mencekam. Tangannya gemetar hebat, tubuhnya terasa kaku, sementara matanya melotot penuh ketakutan. "Apa itu tadi? Apa—apa yang terjadi padaku?" Bagas bergumam dengan suara parau, mencoba mengumpulkan keberanian untuk memahami apa yang baru saja ia alami. Mimpi itu terlalu nyata. Dalam mimpi tersebut, tubuhnya perlahan berubah. Kulitnya menghitam, bulu-bulu kasar tumbuh di seluruh tubuhnya. Matanya memerah, kuku-kuku tangannya memanjang menyerupai cakar. Bayangannya di genangan air menunjukkan sosok mengerikan—dirinya sendiri berubah menjadi Genderuwo. Dengan tangan gemetar, Bagas menurunkan kakinya dari ranjang. Namun, tubuhnya terasa lemah, hampir tidak sanggup menopang beratnya. Dia menunduk, menatap telapak tangannya yang masih bergetar. "Bulu halus ini … kenapa tidak pernah benar-benar hilang? Tapi tadi,

  • Pesugihan Genderuwo   183. Niat Balas dendam?

    "Kenapa tadi kamu terlihat murung, Nak Bagas?" tanya Kyai Ahmad, menyadari kegelisahan yang terpancar dari raut wajah Bagas. Bagas terdiam sejenak, menimbang-nimbang apakah harus menceritakan semuanya. Akhirnya, dia menghela napas panjang dan mulai bicara. "Nggak ada, Kyai ... Tapi, akhir-akhir ini saya sering mimpi tentang Mbah saya. Mimpi itu ... aneh dan terasa nyata! Di situ, Mbah saya terlihat begitu kejam, bahkan ada yang terang-terangan menunjukkan bahwa Mbah saya pernah menghabisi nyawa seseorang," jelas Bagas dengan suara bergetar. Kyai Ahmad memejamkan matanya, seperti sedang merenung dalam. "Apakah ini ada hubungannya dengan dukun yang dulu membantumu melakukan pesugihan?" tanyanya perlahan. Bagas mengangguk ragu. "Iya, Kyai! Saya merasa ada kaitannya. Tapi saya nggak ngerti maksud dari semua ini," jawabnya lirih. Kyai Ahmad menatap Bagas dengan tatapan penuh arti. "Aku memang melihat ada sesuatu antara Mbahmu dengan dukun itu," katanya sambil menghela napas panjang.

  • Pesugihan Genderuwo   182. Penyesalan Tidak berarti

    "Tapi di mana aku bisa mencarinya?" gumam Bagas, berusaha mengendalikan rasa takut yang mulai merayap. "Aku harus tahu kebenaran ini. Kalau benar dia yang menghancurkan hidupku, aku harus menemukannya." Namun, Bagas sadar bahwa langkah ini sangat berbahaya. Ki Praja bukan hanya sekadar dukun. Dia adalah seseorang yang bisa membalaskan dendamnya tanpa terlihat. Meski ragu, Bagas akhirnya memutuskan untuk mencari informasi lebih lanjut tentang Ki Praja. Namun, tak ada satu pun warga desa yang mau membantunya. Setiap kali dia mencoba bertanya, mereka hanya menghindar atau memberikan jawaban singkat yang tidak memuaskan. "Dimana lagi aku harus mencari tahu?" gumam Bagas dengan langkah berat menyusuri jalan berbatu. Kepalanya tertunduk lesu, pikirannya dipenuhi kebingungan dan rasa putus asa. Tanpa sadar, dia menabrak seseorang. Ketika Bagas mendongak, dia melihat Kyai Ahmad berdiri di depannya, menatapnya dengan tatapan penuh makna. "Kyai!" Bagas terkejut, tetapi juga merasa lega mel

  • Pesugihan Genderuwo   181. Mencurigai Ki Praja

    "Kenapa kehidupanku semakin susah begini?" keluh Bagas sambil menyandarkan tubuhnya di kursi tua yang hampir patah. Dia memandang kosong ke arah langit-langit rumah kecil yang kini menjadi tempat tinggalnya. Dari seorang yang pernah disegani karena kekayaannya, kini dia kembali hidup dalam kemiskinan. Semua itu terasa seperti hukuman yang tak pernah berakhir. Bagas merenung. Dia memang datang dari keluarga miskin. Kehidupannya yang keras memaksanya mencari jalan pintas—jalan gelap. Demi mengejar kekayaan, dia membuat perjanjian dengan makhluk halus, Genderuwo. Pesugihan itu memberinya harta melimpah untuk sementara waktu, tetapi dengan harga yang mahal. Sekarang, semuanya telah hancur. "Entah, hidupku semakin hari semakin memprihatinkan," gumamnya lirih, suara lelahnya memenuhi ruang tamu yang sunyi. Matahari sore menyelinap masuk melalui celah tirai usang, menciptakan garis-garis terang di lantai. Namun, sinar itu tak mampu menghangatkan hatinya yang dingin dan penuh penyesalan.

  • Pesugihan Genderuwo   180. Wartono dan Ki Praja

    "Tolong ada orang di sini?" Bagas berteriak dengan kencang, suaranya bergema tanpa jawaban. Bagas terbangun di sebuah tempat yang aneh. Di sekelilingnya hanyalah kabut putih tebal yang bergerak pelan seiring hembusan angin. Kakinya menginjak tanah dingin, tapi dia tidak tahu di mana dia berada. Saat dia berjalan perlahan, sosok-sosok mulai bermunculan dari balik kabut. Wajah mereka terlihat jelas—semuanya mirip dengan kakeknya, Wartono. Bagas terpaku, tubuhnya kaku seperti membeku. "Kalian siapa?" suaranya bergetar, hampir tidak keluar dari tenggorokan. Mereka hanya berdiri mematung, tatapan dingin mereka menusuk ke arah Bagas. Salah satu dari mereka melangkah maju. Wajahnya sangat identik dengan kakeknya, hingga Bagas tak bisa membedakan. "Mbah... Mbah Warto? Kenapa banyak sekali?" Bagas bertanya, suaranya nyaris tidak terdengar. Sosok yang mirip Wartono itu tidak menjawab. Sebaliknya, angin tiba-tiba berhembus di telinga Bagas, membawa bisikan lembut namun menyeramkan

  • Pesugihan Genderuwo   179. Desa Sumberarum

    "Aku harus segera pergi!" Ratih mulai mengemas pakaiannya dengan tergesa-gesa. Tangannya gemetar saat melipat setiap helai baju, tetapi dia berusaha tetap fokus. Setelah selesai, dia mengintip dari balik gorden, memastikan situasi di luar aman sebelum meninggalkan kontrakannya. Ketika dia merasa tidak ada yang mencurigakan, Ratih berjalan cepat menuju persimpangan jalan. Di sana, dia melihat seorang pengayuh becak yang sedang duduk termenung di bawah lampu jalan yang remang-remang. "Bang, antarkan saya ke Desa Sumberarum, ya!" pinta Ratih dengan nada yakin. Mamang becak menatapnya dengan ragu. "Yakin, Neng? Ini udah malam banget loh. Disana gelap banget kalau udah malam begini!" katanya, terlihat khawatir. Ratih tersenyum kecil, mencoba menenangkan kegelisahan si tukang becak. "Udah tenang aja, Bang. Saya udah pernah ke sana. Nggak seseram itu kok." Meskipun masih ragu, Mamang becak akhirnya mengangguk dan mulai mengayuh becaknya perlahan. Roda becak berderit pelan, mengiringi p

  • Pesugihan Genderuwo   178. Kediaman Ratih

    "Ratih, tunggu!"Bagas berteriak, suaranya menggema di antara pepohonan. Namun, Ratih tak sedikit pun menoleh. Langkahnya semakin cepat, hampir seperti berlari. Dia menggenggam erat keranjang di tangannya, matanya lurus ke depan, mengabaikan panggilan suaminya yang semakin lirih di kejauhan."Maafkan aku, Mas! Aku nggak bisa dekat sama kamu!" bisiknya pelan, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada Bagas.Hatinya gelisah, tapi dia tahu ini adalah keputusan yang harus diambil. Sesekali dia menoleh ke belakang, memastikan Bagas tidak mengikutinya. Napasnya memburu, bukan hanya karena langkahnya yang cepat, tetapi juga karena perasaan bersalah yang menyesakkan dadanya."Nggak bisa! Aku nggak bisa!" Begitu yang dia ucapkan pada dirinya sendiri.Setibanya di rumah, Ratih segera menutup pintu dengan tergesa-gesa, mengunci semua jendela dengan tangan gemetar. Dia menyandarkan tubuhnya pada pintu kayu itu, mencoba menenangkan detak jantung yang berpacu tak beraturan. Keringat dingin memb

  • Pesugihan Genderuwo   177. Perut Membesar

    "Ampun, Mbah Warto!"Seorang wanita bersimpuh, menangis dengan suara parau. Tubuhnya gemetar, memohon di hadapan sosok tua dengan wajah tanpa ekspresi. Bagas berdiri di dekatnya, menatap pemandangan itu dengan rasa campur aduk—iba dan ngeri bercampur jadi satu."Mbah!" seru Bagas, mencoba menghentikan tindakan kakeknya. Namun, teriakannya hanya menggema tanpa hasil. Wartono tetap diam, wajahnya seperti topeng tanpa emosi, sementara wanita itu terus menangis.“Mbah, hentikan!” Bagas mencoba mendekat, tapi tubuhnya terasa kaku, seperti ada kekuatan tak terlihat yang menahannya. Tiba-tiba, dia merasakan sesuatu yang hangat menetes di pipinya."Weh, Bagas! Kamu mati?"Suara nyaring itu menggema, memaksa Bagas membuka matanya perlahan. Pandangannya samar, tapi dia bisa mengenali suara itu. Dia berada di pondok ladangnya, terduduk di lantai bambu yang dingin."Ah... ada apa ini?" gumamnya sambil mengusap wajah."Kaya orang mati kamu tadi! Dipanggil nggak bangun-bangun!" sahut salah satu war

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status