Waktu semakin cepat berlalu. Langit mulai gelap, menandakan malam telah tiba. Tak ada suara jangkrik atau nyanyian malam.
Bagas terbaring di tempat tidurnya, tetapi matanya tak kunjung terpejam. Kegelisahan menggelayuti pikirannya, berputar-putar seperti bayangan kecurigaan yang datang dari penduduk desa.Namun, kelelahan akhirnya mengalahkan kecemasannya. Perlahan, matanya terpejam, dan tubuhnya terlelap dalam tiduran yang tak pernah benar-benar memberikan kedamaian.***Di dalam mimpinya, Bagas merasa dirinya berada di tengah hutan yang gelap gulita. Udara terasa sesak, seperti ada yang menekan dadanya. Pohon-pohon besar berdiri di sekelilingnya, diam, seperti saksi bisu yang mengawasinya dari kejauhan."Di mana ini?" gumam Bagas, suaranya serak dan gemetar, berusaha mencari jawaban di dalam kegelapan.Tidak ada yang menjawab. Namun, langkah-langkahnya terasa seperti diarahkan oleh kekuatan lain, memaksanya untuk masuk lebihKlik!Gagang pintu berderak dan pintu itu terbuka perlahan.“Ada apa lagi kamu ke sini, Nak, Bagas?” tanya Ki Praja dengan suara beratnya, tatapan matanya tajam meski tampak tenang.“Aku butuh bantuanmu lagi, Ki!” jawab Bagas dengan nada cemas, napasnya terengah-engah seolah baru saja berlari.Ki Praja menggosok-gosok jenggot putihnya, lalu berkata dengan suara datar, “Masuk ke dalam.”Bagas melangkah masuk, dan begitu melintasi ambang pintu, bau busuk yang menyengat menusuk hidungnya. “Bau apa ini, Ki?” tanyanya, wajahnya mengernyit, mencium aroma yang sangat asing dan tak enak itu.“Darah hewan,” jawab Ki Praja sambil tersenyum sinis. “Kenapa? Kamu mau?” tanyanya, sambil memperhatikan Bagas dengan tatapan tajam, seakan sudah bisa menebak apa yang ada dalam pikiran anak muda itu."Nggak!" jawab singkatnya.Bagas terdiam sejenak, matanya tetap menatap Ki Praja dengan waspada. “Aku … aku butuh bantuanmu, Ki. Ada sesuatu yang mengancam ku,” ujar Bagas akhirnya, suaranya parau, penuh ket
Bagas merasa hawa ruangan semakin berat, napasnya semakin sesak. Namun, dia tak berani mengalihkan pandangannya dari ritual yang sedang berlangsung. Bagas merasa seolah dunia di sekitarnya bergetar, seakan ada sesuatu yang tengah bergerak di luar kendalinya.Ketika Ki Praja selesai menggambar simbol itu, dia melemparkan serbuk emas ke dalam api yang menyala di atas dupa. Api itu tiba-tiba membesar, menyala dengan warna biru kehijauan yang aneh, menyorotkan cahaya yang begitu terang hingga memancar ke seluruh ruangan."Sekarang, kita panggil dia," kata Ki Praja dengan suara yang lebih berat, seakan berbicara dalam bahasa yang tak dimengerti Bagas.Tiba-tiba, ruangan itu terasa semakin mencekam. Bayangan gelap mulai muncul di dinding, bergerak perlahan, seolah mengelilingi mereka. Bagas merasa tubuhnya kaku, seolah tak bisa bergerak, meskipun pikirannya berteriak untuk melarikan diri."Genderuwo?" tanya Bagas, suaranya hampir tak terdengar."Ya. Dia bisa membantumu, Bagas," jawab Ki Pra
"Sepertinya sibuk sekali, Nak Bagas," ujar Kyai Ahmad membuka percakapan dengan suara lembut, namun penuh wibawa."Ya. Begitulah!" jawab Bagas singkat, sambil mengerutkan dahi. Matanya terus memandangi Kyai Ahmad dengan tatapan tak ramah."Bagus dong. Kerja keras demi keluarga, demi istri," sambung Kyai Ahmad, tersenyum kecil.Namun, alih-alih merasa tersanjung, Bagas justru semakin merasa terancam. "Ratih, kamu ngapain bawa orang tua ini ke rumah kita?" tanyanya kasar, nada bicaranya meninggi.Ratih tampak salah tingkah, tapi berusaha tetap tenang. "Kyai hanya ingin ngobrol, Mas. Beliau ingin silaturahmi dan bertemu sama Mas," ujar Ratih, menyembunyikan alasan sebenarnya. Nyatanya, Kyai Ahmad datang karena curiga dengan gerak-gerik Bagas belakangan ini.Bagas mendengus kesal. "Tadi kan udah ketemu di balai desa. Apa lagi yang mau dibahas?" katanya ketus, sambil melirik tajam ke arah Kyai Ahmad. Hatinya penuh waspada. 'Orang tua ini pasti ada maksud lain,' pikirnya.Kyai Ahmad tetap
Tiba-tiba, Bagas berdiri dengan kasar. Kursinya tergeser keras, mengeluarkan suara mencolok di pagi yang hening. “Aku bilang nggak ada apa-apa, Ratih!” bentaknya.Ratih tertegun. Matanya melebar, tapi ia memilih diam. Hatinya perih, namun dia tahu memaksa suaminya bicara hanya akan memperkeruh suasana. Bagas, tanpa sepatah kata lagi, berjalan keluar rumah dengan langkah cepat, meninggalkan istrinya yang hanya bisa menatap kepergiannya dengan hati penuh kecemasan.Langkah Bagas berat, pikirannya kacau. Bayangan mimpi buruk yang terus menghantui mengoyak ketenangannya. Kata-kata Genderuwo itu kembali menggema di benaknya. "Harga yang harus kamu bayar belum lunas."Bagas mengepalkan tangannya keras. Apa maksudnya? pikirnya panik. Dia sudah menjalani semua ritual yang diminta Ki Raden Praja. Dia sudah mengorbankan banyak hal. Jadi kenapa ini masih menghantuinya? Tubuhnya terasa melemah, seperti ada energi tak kasat mata yang perlahan-lahan menghisap kehidupannya.Tanpa sadar, langkahnya
Penduduk desa telah ramai mengerumuni rumah Pak Marwan. Di tengah kerumunan, suasana dipenuhi bisik-bisik cemas dan suara tangisan. Di sudut ruangan, istri Pak Marwan terduduk lemas, tak mampu menyembunyikan rasa kehilangan yang begitu mendalam."Astaga, Bu! Mayatnya mengerikan sekali?!" Seorang ibu-ibu berteriak dengan wajah pucat, menutup mulutnya seolah-olah menahan rasa mual.Jasad Pak Marwan terbujur kaku di lantai, dengan ekspresi wajah yang penuh ketakutan, sama seperti kondisi jasad Andi yang ditemukan beberapa hari sebelumnya. Tubuhnya membiru dan terobek, tangan mencengkeram keras, seakan mencoba melawan sesuatu yang tak terlihat.Ketika Bagas tiba di lokasi, langkahnya terhenti sejenak. Pandangannya menyapu kerumunan, lalu tertuju pada jasad Marwan. Detik itu juga, tatapan tajam dari penduduk desa menusuknya."Hei, hati-hati, dukun ilmu hitam datang!" seru seorang bapak dengan nada penuh kecurigaan, memecah keheningan yang mencekam.Semua mata langsung tertuju pada Bagas.
Bagas melintasi ladangnya yang kini tampak lebih hidup dibanding sebelumnya. Para petani sibuk menabur pupuk, memanen hasil, dan saling bercengkerama. Mereka berhenti sejenak ketika melihat Bagas lewat, lalu serempak menyapa, "Juragan!"Bagas tertegun. Dahinya mengerut, matanya menyipit, mencoba membaca situasi. Dalam hati, ia membatin, 'Ada apa mereka? Tumben ramah begini. Biasanya, bisik-bisik itu selalu ada. Bahkan tatapan mereka sekarang ... nggak lagi mencurigakan. Haha, terima kasih, Ki Praja.'Senyum kecil terlukis di wajahnya. Bagas tahu, ini adalah efek dari cairan hitam yang ia gunakan semalam. Cairan yang membuatnya merasa lebih berkuasa, lebih dihormati, dan bebas dari cemoohan.Namun, ada rasa ganjil yang tiba-tiba menyelinap di benaknya, meskipun ia memilih untuk mengabaikannya.Ketika Bagas sampai di depan rumah, Ratih, istrinya, segera keluar dari pintu dengan wajah panik. Suaranya lantang memanggil, "Mas Bagas!"Ratih langsung memeluk Bagas erat, tubuhnya bergetar. Ba
Ratih menghela napas, mencoba bersikap tenang. "Nggak juga, Mas. Hanya beberapa kali berpapasan," jawabnya dengan suara pelan, menghindari kontak mata dengan Bagas."Kamu bohong," kata Bagas dengan nada tegas, membuat Ratih tersentak. "Kamu mau menyelidiki aku, kan?"Ratih terdiam sejenak, pikirannya kacau. Dalam hati ia berkata, 'Bagaimana Mas Bagas bisa tau? Aku harus tetap tenang. Jangan sampai terlihat panik.'"Nggak, Mas," akhirnya dia menjawab, mencoba terdengar meyakinkan. "Aku cuma minta tolong sama Kyai untuk melihat rumah kita. Selama ini kan rumah kita belum pernah diadakan syukuran. Terus aku sering merasa ada yang aneh di rumah, jadi aku minta Kyai untuk memeriksanya."Bagas menyipitkan mata, menaruh curiga pada penjelasan istrinya. "Terus apa yang dia bilang?" tanyanya tajam."Ya ... ya, nggak ada yang aneh, Mas. Cuma halusinasi. Mungkin aku terlalu capek," jawab Ratih tergagap, suaranya terdengar semakin gugup.Bagas menatap dalam ke mata istrinya, mencari kebohongan di
Tiba-tiba salah satu petani memanggilnya, membuatnya tersentak kembali ke dunia nyata. "Juragan, lubangnya sudah tertutup. Apa ada yang perlu kami lakukan lagi?"Bagas mengangguk singkat. "Udah cukup. Pergilah dan jangan bilang siapa-siapa soal ini. Anggap aja kalian nggak pernah melihat apa pun."Para petani mengangguk patuh, meski raut wajah mereka menyiratkan kebingungan dan ketakutan. Setelah mereka pergi, Bagas berdiri sendiri di tengah ladang, menatap tanah yang kini tampak tenang.Namun, dia tahu, di bawah sana, ada sesuatu yang tak pernah benar-benar tenang. Genderuwo itu mengintai, menuntut lebih banyak. Bagas merasa seperti tawanan dalam perjanjian yang dia buat sendiri.Malam itu turun dengan dingin yang menusuk, mencengkeram desa dalam keheningan.Ratih duduk di ruang tengah, gelisah, menatap suaminya yang sejak tadi hanya diam sambil menunduk. Wajah Bagas terlihat murung, beban berat terlihat jelas dari sorot matanya. Ratih tahu, ada sesuatu yang disembunyikan suaminya.“
"Ngapain kamu ke sini, Mas?"Langkah Bagas terhenti ketika Ratih melihatnya berada di rumah kontrakannya. Tanpa berkata apa pun, Bagas hanya menatap dua anak kembarnya."Apa kamu sudah menemukan nama untuk anak kembar kita?" tanya Bagas.Ratih mengerutkan dahi. "Anak kita? Jelas-jelas mereka bukan seperti manusia, Mas!""Ratih, sudahlah, cukup! Mau ini anakku atau bukan, aku tetap akan menganggap mereka anakku! Karena aku tahu ini adalah kesalahanku!" jawab Bagas dengan tegas.Ratih terdiam. Hatinya belum bisa menerima keberadaan anak kembar mereka, terlebih lagi anak laki-laki itu."Terserah. Mau kasih nama apa, aku nggak peduli!" sahut Ratih sambil mengalihkan pandangannya.Bagas hanya bisa diam. Dia tahu benar perasaan istrinya yang masih belum bisa menerima anak-anak mereka."Jagat Mayar, untuk anak laki-laki. Sedangkan anak perempuan, aku beri nama Kala Sundari," ucap Bagas sambil tersenyum memandang kedua anaknya.Ratih masih memalingkan wajahnya. Namun, dalam hatinya perlahan m
"Bagas, kamu ngapain?" Terdengar suara lantang dari salah seorang warga desa. Sekelompok orang datang berbondong-bondong, penasaran dengan apa yang sedang dikerjakan Bagas. "I—ini ... emm, cuma mau buat pondokan aja!" Bagas menjawab gugup, tangannya masih sibuk dengan kayu dan paku. Para warga saling pandang, merasa heran dengan kegugupan yang diperlihatkan Bagas. "Udah, yok, pergi! Biarkan aja dia. Mungkin dia mau buat gubuk derita untuk dirinya sendiri!" seru seorang warga dengan nada mengejek. "Kalian tahu kan kalau Bagas sudah nggak tinggal sama Ratih lagi?" Warga lain menimpali, "Tentu saja aku tahu! Mana ada wanita yang tahan hidup dalam kemiskinan." Belum mereka jauh melangkah, seorang lagi menambahkan dengan tawa meremehkan, "Iya! Istriku aja sering minta ini-itu. 'Mas, belikan ini! Mas, belikan itu!' Coba kalau Ratih jadi istriku, pasti aku bahagia! Soalnya Ratih itu cewek cantik, kembang desa yang sederhana dan, ya ... sempurna lah!" Dia tertawa keras, disusul
"Aku harus melakukan apa setelah ini?" Bagas duduk di tepi ranjang, menatap Ratih yang masih terbaring lemah. Wajah istrinya pucat, tubuhnya begitu lemas setelah melahirkan. Kedua anak mereka tidur di sampingnya—anak laki-laki dengan tubuh hitam berbulu tipis dan mata yang sesekali berubah merah, serta anak perempuan yang terlihat seperti bayi normal, hanya memiliki tanda lahir yang cukup besar di tangannya. Bagas menelan ludah. Dadanya terasa sesak. "Aku harus bagaimana?" batinnya. Kyai Ahmad berdiri di sudut ruangan, memperhatikan Bagas yang terlihat begitu gelisah. Akhirnya, Kyai itu membuka suara. "Bagas, kamu tahu bahwa anak-anak ini nggak bisa tumbuh seperti anak pada umumnya, bukan?" Bagas mendongak, menatap Kyai dengan sorot penuh kebingungan. "Tapi mereka tetap anakku, Kyai! Aku tidak bisa membuang mereka begitu saja! Meski pun dalam hati ini menyangkal dia anak ku!" Kyai menghela napas panjang. "Aku nggak menyuruhmu membuang mereka, Bagas. Aku hanya ingin Kamu sadar
"Ini anak apa?" Bagas tercengang, matanya tak berkedip menatap bayi yang baru saja lahir. Tubuh kecil itu hitam legam, ditutupi bulu halus, seperti makhluk yang bukan manusia. "Kyai, anak itu kenapa seperti ini?" suara Bagas bergetar, tangannya gemetar saat menunjuk bayi yang meringkuk di genangan darah bercampur lendir pekat. Bayi itu menggeliat perlahan, mata merah menyala berkedip, sebelum tiba-tiba berubah seperti mata manusia normal. Bagas mundur dengan napas tersengal. "Astaga ... ini anak siapa?" Sementara itu, Kyai Ahmad membaca doa berulang kali, wajahnya penuh keterkejutan. Dia tidak pernah melihat kelahiran seperti ini seumur hidupnya. Di tengah kebingungan mereka, Ratih tiba-tiba menjerit histeris. "Aaa ... sakit!" Dia menarik baju Bagas, cengkeramannya kuat seperti ingin menyalurkan seluruh rasa sakitnya. Matanya terpejam erat, tubuhnya melengkung karena rasa sakit yang luar biasa. "Kyai! Apa Ratih akan melahirkan lagi?" Bagas bertanya panik. Kyai Ahmad tidak l
"Ratih, bangun!"Bagas berlutut di samping tubuh istrinya yang tergeletak di lantai. Napasnya memburu, matanya terbelalak melihat lengan Ratih yang penuh goresan. Darah sudah mulai mengering di sana."Apa dia mencoba mengakhiri hidupnya, Kyai?" tanya Bagas, suaranya bergetar.Kyai Ahmad berdiri di belakangnya, tatapannya tajam namun penuh ketenangan."Kita harus segera menyadarkannya."Mereka berdua datang ke rumah Ratih setelah mendapat kabar dari ibu pemilik kontrakan yang ditempati Bagas. Wanita tua itu bercerita bahwa Ratih semakin sering bertingkah aneh, bahkan beberapa kali terdengar berbicara sendiri di tengah malam.Bagas tidak bisa tinggal diam. Dia harus memastikan bahwa kehamilan Ratih benar-benar bukan kehamilan biasa."Ratih, bangun!" Bagas menepuk pipi istrinya dengan lembut, namun Ratih tidak bereaksi.Jantungnya berdebar makin kencang."Apa Ratih sudah meninggal, Kyai?"Kyai Ahmad segera berlutut, menempelkan dua jari di leher Ratih untuk mengecek denyut nadinya. Beber
Ratih terkulai lemah. Ada cap tangan kecil yang terlihat di perutnya yang tipis, seakan bayi itu akan segera keluar ke dunia. Dia merangkak ke kamar mandi, duduk dengan tubuh gemetar, merasakan sakit yang luar biasa. "Ah, kenapa sakit sekali!" Matanya mulai kabur. Pandangannya buram, tetapi samar-samar dia melihat sosok berbadan besar berdiri di hadapannya. "Si—siapa?" suara Ratih bergetar. Sosok itu hanya diam. Tangan besarnya terlihat menyeramkan, dengan jari-jari yang panjang dan hitam. Ratih yakin itu bukan manusia. Ketika tangan besar itu hendak menyentuhnya, tiba-tiba bayi di dalam perutnya bereaksi dengan ganas. Rasa sakit semakin menusuk, membuatnya ingin berteriak, tetapi suaranya tertahan di tenggorokan. Ratih mencengkeram lantai kamar mandi yang dingin, tubuhnya bergetar hebat. Dia merasakan perutnya berguncang seperti ada sesuatu yang ingin keluar, bukan dengan cara yang normal. Sosok besar itu semakin mendekat, mengulurkan tangannya ke arah perut Ratih yang
Ratih terengah-engah, tubuhnya gemetar hebat. Matanya memandang ke arah bayangan dirinya di cermin. Tatapan merah menyala itu bukan lagi miliknya. Itu adalah mata seorang pemangsa. "Aku seperti ... Mas Bagas!" gumamnya, nyaris tak percaya. Dia mengingat betul bagaimana Bagas dulu. Setelah menerima berkah pesugihan, suaminya menjadi sosok yang haus darah, makan daging mentah dengan lahap, dan sering kali kehilangan kendali atas dirinya sendiri. Tapi Bagas masih bisa bertahan, sedangkan dirinya? Dia lebih buruk. Jauh lebih buruk. Ratih memejamkan mata, berharap ini hanya mimpi buruk. Tapi sensasi menjalar di tubuhnya terlalu nyata. Kengerian itu terlalu jelas. Kepalanya terasa berputar, mulutnya masih dipenuhi sisa darah kepala kambing yang tadi dia makan. "Aaaah!!!" Teriaknya tiba-tiba. Dia menjambak rambutnya, menariknya dengan kasar seakan ingin merobek kepalanya sendiri. Namun, itu tak cukup. Dia butuh lebih dari sekadar kesakitan biasa untuk melepaskan diri dari penderit
"Neng, bangun!" Suara familiar terdengar di telinga Ratih. Tubuhnya sedikit diguncang. Mata Ratih terbuka dan melihat seorang lelaki di depannya. "Siapa?" tanyanya. Mata Ratih masih samar, tetapi suara itu terdengar tidak asing. Itu adalah tukang becak yang sering dia temui. "Neng, kamu kenapa?" "Iss, kepalaku sakit! Ada apa, Kang?" tanya Ratih masih terlihat lemas. Tukang becak itu memberikan bungkusan kepada Ratih. "Ini barangnya tertinggal." "Oh, makasih, letakkan saja di atas meja!" ucap Ratih sambil memegangi kepalanya. Setelah itu, tukang becak itu pamit untuk pulang. Namun, dia tampak terkejut melihat Ratih. Bahkan, dia gemetar saat meletakkan bungkusan itu. "Apa itu benar-benar kepala hewan?" katanya pelan hampir tak terdengar Ratih. Bukannya langsung segera pergi, tukang becak itu tidak bergerak. DIa masih berdiri di tempatnya, menatap Ratih dengan sorot mata penuh ketakutan. "Neng .…" suaranya bergetar. "Isinya itu beneran kepala hewan, ya?" Ratih, ya
"Haha, belum saatnya semua ini berakhir!"Suara itu terdengar mengerikan, lebih dalam dan bergema, seolah bukan berasal dari tenggorokan manusia. Jelas, sosok di hadapan mereka bukanlah Kyai Ahmad yang asli.Bagas menelan ludah, tubuhnya menegang. Sosok itu masih menyerupai Kyai Ahmad, tetapi ada sesuatu yang janggal—cara berdirinya terlalu kaku, dan sorot matanya terlalu tajam, lebih seperti predator yang mengincar mangsanya.Dalam hati, Bagas yakin sosok itu bukan sekadar penyamaran Ki Raden Praja. Bisa saja dia dibantu oleh Genderuwo—makhluk astral yang pernah membantunya dalam pesugihan."Apa yang kamu inginkan?!" tanya Kyai Ahmad tegas, suaranya menggema di dalam pendopo. Tangannya menggenggam tasbih erat-erat, menunjukkan keteguhan hatinya.Makhluk itu menyeringai tipis, sudut bibirnya terangkat dengan cara yang tidak wajar. Perlahan, dia mengangkat tangannya dan menunjuk lurus ke arah Bagas."Kehancuranmu!"Bagas tersentak.Jantungnya seakan berhenti berdetak. Kepalanya terasa