Beranda / Horor / Pesugihan Genderuwo / 05. Perjanjian yang Mengikat

Share

05. Perjanjian yang Mengikat

“Kamu nggak lupa sama janji, kan?” tanya Genderuwo dengan suara berat dan besar. 

Bagas hanya mengangguk dengan wajah pucat pasi, dia meminta waktu untuk mencari celah waktu dari istrinya.

“Kalo kamu lupa, kamu akan tau akibatnya,” ujar Genderuwo itu lagi. 

“Sa-saya nggak lupa, ta-tapi harus tunggu Ratih tidur dulu,” jawab Bagas terbata.

Bagas akhirnya masuk menemui Ratih. “Buatin kopi panas ya! Nanti taruh aja di kamar!” pinta Bagas.

Ratih segera ke dapur membuatkan kopi untuk suaminya. Sekembalinya Ratih ke dalam kamar, Bagas sudah tidak ada. Dia mencari Bagas keluar rumah. 

“Mas, di mana? Sudah malem ini. Ayo tidur!” panggil Ratih di kegelapan malam.

Sampai sosok Bagas terlihat datang, semula Ratih sedikit takut. Dari kegelapan malam, mata Bagas menyala. Keringat dingin bercucuran. Bagas pun mendekatinya. 

“Mas, aku pikir tadi apa! Aku ketakutan, Mas. Rasanya hawa malem ini dingin banget,” ujar Ratih yang sempat terkejut.

Bagas tidak menjawab sama sekali ucapan Ratih, dia hanya terus masuk. Ratih yang malas bertanya lagi dan langsung mengekori dari belakang. Dia menutup pintu rumah, lalu membuntuti Bagas ke dalam kamar. 

“Mas, itu kopinya. Aku capek banget, mau tidur sekarang,” ujar Ratih. Tapi, Bagas hanya menatapnya tajam dan menyeramkan.

‘Mas Bagas kok aneh ya? Apa mungkin dia masih banyak masalah?’ tanya Ratih dalam hati. 

Bagas terlihat melepaskan pakaiannya. Ratih pikir hanya ingin segera tidur. Ternyata Bagas meminta haknya malam ini sebagai suami, perlakuan Bagas tidak seperti biasa.

Ratih ingin menolak, tapi suaminya malam itu seperti tidak mau menerima penolakan. Ratih akhirnya pasrah melaksanakan tugasnya, dengan kondisi Bagas yang agresif menyeruak di kesunyian malam.

Keesokan paginya. 

Ratih terkejut dengan posisi tubuhnya yang masih tanpa busana, dia seperti habis bekerja keras. Bahkan Ratih enggan turun dan bangun dari tempat tidur.

Dirabanya sebelah tempat tidur, masih nampak Bagas tertidur pulas. “Alhamdulillah, aku pikir semalam aku bersama setan. Ternyata kamu masih tidur di sampingku, mas,” gumam Ratih lirih takut membangunkan suaminya. 

Tidak lama, terdengar suara berisik dari luar rumah mereka.

“Bagas!” teriak Juragan Suwandi, mengedor-gedor pintu dengan beberapa anak buahnya. 

Ratih yang ketakutan membangunkan suaminya perlahan. 

“Mas Bagas, ada Juragan Suwandi. Aku takut, mas. Terakhir kali dia membawa semua yang kita miliki,” bisik Ratih di telinga Bagas lembut.

Brak! 

Suara tendangan pintu terdengar. Pintu itu juga terbuka paksa dan menghantam dinding rumah. 

“Bagas! Bayar sisa utangmu!” Suara Suwandi yang penuh amarah, membuat Bagas terbangun dari tidurnya.Bagas mencondongkan tubuhnya, keluar dari dalam kamar. 

“Berisik! Aku akan bayar semuanya, kalo perlu kamu dan anak buahmu, aku beli!” ucap Bagas, sombong.  

Suwandi mengerutkan dahi, tampak naik pitam. “Sekarang sudah berani, ya?!”  

“Pergi dari sini! Jangan ganggu keluargaku lagi!” 

Tanpa banyak bicara, Bagas melemparkan beberapa koin emas ke arah Suwandi. Ratih yang melihat semua ini merasa aneh. Ratih belum pernah melihat suaminya seperti itu. Apalagi semalam dia melihat Bagas lebih banyak diam daripada berbicara.  

“Dasar rentenir! Merusak tidur dan pintu rumahku aja! Aku sumpahi, kamu metong sepulang dari sini.” Ratih menelan saliva lagi, saat mendengar Bagas mengumpat.  

Dalam waktu beberapa jam, sesuatu terjadi pada Suwandi. Warga menemukan rentenir itu tewas di kebun milik Bagas. Kepala Suwandi terputar ke belakang dan mata melotot. Semua penduduk ketakutan. Senyum tipis terlihat di wajah Bagas, seolah menikmati kejadian itu.  

“Hem, siapa suruh kamu menyakitiku,” gumam Bagas yang terdengar oleh Ratih.  

“Mas, nanti kalau ada yang dengar. Takutnya mereka curiga, ini masih pekarangan kita,” jelas Ratih mengingatkan.  

Bukannya menerima masukan dari Ratih, Bagas malah menarik tangan istrinya itu pergi menjauh dari kerumunan warga. Bahkan sepanjang jalan Ratih dan Bagas mendengar warga saling berbisik satu sama lain.  

“Kalau kalian nggak tau, jangan asal bicara!” tegur Bagas.  

Warga itu ketakutan, lalu menunduk. Mereka tidak berani menatap wajah Bagas sedikit pun. Bahkan sebagian lainnya seperti bergidik melihat Bagas.  

Sejak kejadian itu, Bagas semakin berubah. Di tengah malam, Ratih sering melihat suaminya bangun untuk membakar dupa dan menyiapkan bunga.  

“Mas, dupa dan kembang itu buat apa?” tanya Ratih. 

Bagas terkejut dan menoleh ke arah Ratih dengan wajah tidak suka.  

‘Ratih tidak boleh tahu tentang ini, aku harus mencari alasan. Apalagi warga tadi membicarakan kami, perkara kematian juragan sialan itu,’ batinnya.  

“Tidur sana! Kenapa kamu jam segini terbangun? Ini udah tengah malam?” Suara tinggi Bagas membuat Ratih terdiam seketika, biasanya suaminya sangat lembut, ini menjadi sangat kasar.  

Sampai mata Ratih mulai terpejam lagi, dia merasakan sesuatu aneh di kamar mereka. Suasana yang terasa sangat dingin sekali. Sembari terus menutup mata karena rasa kantuk yang melanda, Ratih berusaha menarik selimut.  

Baru juga dia mendapatkan selimut, sesuatu seolah membuatnya semakin kedinginan sampai dia merasakan sakit di antara kedua kakinya. Seolah merobek masuk ke dalam isi perutnya.  

“Argh!” jerit Ratih sampai dia tersadar dan membuka mata. Tubuh Bagas sudah berada di sana lagi, dengan mata yang terlihat menyala.  

Bahkan suaminya semakin terlihat menyeramkan, dengan reaksi gerak yang membuat tempat tidur bergetar, dengan wajah menyeringai, terlihat gigi Bagas seperti mengeluarkan taring-taring tajam.  

Ratih hanya bisa menangis menahan sakit yang seperti mematahkan tulang-belulang tubuhnya. Tidak seperti di saat pertama kali mereka melakukannya, Bagas sangat agresif bagaikan monster.  

Malam itu terasa panjang dan menyakitkan untuk Ratih. Sampai Bagas beranjak meninggalkannya di kamar Ratih masih terkulai lemas.

“Mas, kamu kenapa kasar sekali,” rintih Ratih dalam perihnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status