“Kamu nggak lupa sama janji, kan?” tanya Genderuwo dengan suara berat dan besar.
Bagas hanya mengangguk dengan wajah pucat pasi, dia meminta waktu untuk mencari celah waktu dari istrinya.
“Kalo kamu lupa, kamu akan tau akibatnya,” ujar Genderuwo itu lagi.
“Sa-saya nggak lupa, ta-tapi harus tunggu Ratih tidur dulu,” jawab Bagas terbata.
Bagas akhirnya masuk menemui Ratih. “Buatin kopi panas ya! Nanti taruh aja di kamar!” pinta Bagas.
Ratih segera ke dapur membuatkan kopi untuk suaminya. Sekembalinya Ratih ke dalam kamar, Bagas sudah tidak ada. Dia mencari Bagas keluar rumah.
“Mas, di mana? Sudah malem ini. Ayo tidur!” panggil Ratih di kegelapan malam.
Sampai sosok Bagas terlihat datang, semula Ratih sedikit takut. Dari kegelapan malam, mata Bagas menyala. Keringat dingin bercucuran. Bagas pun mendekatinya.
“Mas, aku pikir tadi apa! Aku ketakutan, Mas. Rasanya hawa malem ini dingin banget,” ujar Ratih yang sempat terkejut.
Bagas tidak menjawab sama sekali ucapan Ratih, dia hanya terus masuk. Ratih yang malas bertanya lagi dan langsung mengekori dari belakang. Dia menutup pintu rumah, lalu membuntuti Bagas ke dalam kamar.
“Mas, itu kopinya. Aku capek banget, mau tidur sekarang,” ujar Ratih. Tapi, Bagas hanya menatapnya tajam dan menyeramkan.
‘Mas Bagas kok aneh ya? Apa mungkin dia masih banyak masalah?’ tanya Ratih dalam hati.
Bagas terlihat melepaskan pakaiannya. Ratih pikir hanya ingin segera tidur. Ternyata Bagas meminta haknya malam ini sebagai suami, perlakuan Bagas tidak seperti biasa.
Ratih ingin menolak, tapi suaminya malam itu seperti tidak mau menerima penolakan. Ratih akhirnya pasrah melaksanakan tugasnya, dengan kondisi Bagas yang agresif menyeruak di kesunyian malam.
Keesokan paginya.
Ratih terkejut dengan posisi tubuhnya yang masih tanpa busana, dia seperti habis bekerja keras. Bahkan Ratih enggan turun dan bangun dari tempat tidur.
Dirabanya sebelah tempat tidur, masih nampak Bagas tertidur pulas. “Alhamdulillah, aku pikir semalam aku bersama setan. Ternyata kamu masih tidur di sampingku, mas,” gumam Ratih lirih takut membangunkan suaminya.
Tidak lama, terdengar suara berisik dari luar rumah mereka.
“Bagas!” teriak Juragan Suwandi, mengedor-gedor pintu dengan beberapa anak buahnya.
Ratih yang ketakutan membangunkan suaminya perlahan.
“Mas Bagas, ada Juragan Suwandi. Aku takut, mas. Terakhir kali dia membawa semua yang kita miliki,” bisik Ratih di telinga Bagas lembut.
Brak!
Suara tendangan pintu terdengar. Pintu itu juga terbuka paksa dan menghantam dinding rumah.
“Bagas! Bayar sisa utangmu!” Suara Suwandi yang penuh amarah, membuat Bagas terbangun dari tidurnya.Bagas mencondongkan tubuhnya, keluar dari dalam kamar.
“Berisik! Aku akan bayar semuanya, kalo perlu kamu dan anak buahmu, aku beli!” ucap Bagas, sombong.
Suwandi mengerutkan dahi, tampak naik pitam. “Sekarang sudah berani, ya?!”
“Pergi dari sini! Jangan ganggu keluargaku lagi!”
Tanpa banyak bicara, Bagas melemparkan beberapa koin emas ke arah Suwandi. Ratih yang melihat semua ini merasa aneh. Ratih belum pernah melihat suaminya seperti itu. Apalagi semalam dia melihat Bagas lebih banyak diam daripada berbicara.
“Dasar rentenir! Merusak tidur dan pintu rumahku aja! Aku sumpahi, kamu metong sepulang dari sini.” Ratih menelan saliva lagi, saat mendengar Bagas mengumpat.
Dalam waktu beberapa jam, sesuatu terjadi pada Suwandi. Warga menemukan rentenir itu tewas di kebun milik Bagas. Kepala Suwandi terputar ke belakang dan mata melotot. Semua penduduk ketakutan. Senyum tipis terlihat di wajah Bagas, seolah menikmati kejadian itu.
“Hem, siapa suruh kamu menyakitiku,” gumam Bagas yang terdengar oleh Ratih.
“Mas, nanti kalau ada yang dengar. Takutnya mereka curiga, ini masih pekarangan kita,” jelas Ratih mengingatkan.
Bukannya menerima masukan dari Ratih, Bagas malah menarik tangan istrinya itu pergi menjauh dari kerumunan warga. Bahkan sepanjang jalan Ratih dan Bagas mendengar warga saling berbisik satu sama lain.
“Kalau kalian nggak tau, jangan asal bicara!” tegur Bagas.
Warga itu ketakutan, lalu menunduk. Mereka tidak berani menatap wajah Bagas sedikit pun. Bahkan sebagian lainnya seperti bergidik melihat Bagas.
Sejak kejadian itu, Bagas semakin berubah. Di tengah malam, Ratih sering melihat suaminya bangun untuk membakar dupa dan menyiapkan bunga.
“Mas, dupa dan kembang itu buat apa?” tanya Ratih.
Bagas terkejut dan menoleh ke arah Ratih dengan wajah tidak suka.
‘Ratih tidak boleh tahu tentang ini, aku harus mencari alasan. Apalagi warga tadi membicarakan kami, perkara kematian juragan sialan itu,’ batinnya.
“Tidur sana! Kenapa kamu jam segini terbangun? Ini udah tengah malam?” Suara tinggi Bagas membuat Ratih terdiam seketika, biasanya suaminya sangat lembut, ini menjadi sangat kasar.
Sampai mata Ratih mulai terpejam lagi, dia merasakan sesuatu aneh di kamar mereka. Suasana yang terasa sangat dingin sekali. Sembari terus menutup mata karena rasa kantuk yang melanda, Ratih berusaha menarik selimut.
Baru juga dia mendapatkan selimut, sesuatu seolah membuatnya semakin kedinginan sampai dia merasakan sakit di antara kedua kakinya. Seolah merobek masuk ke dalam isi perutnya.
“Argh!” jerit Ratih sampai dia tersadar dan membuka mata. Tubuh Bagas sudah berada di sana lagi, dengan mata yang terlihat menyala.
Bahkan suaminya semakin terlihat menyeramkan, dengan reaksi gerak yang membuat tempat tidur bergetar, dengan wajah menyeringai, terlihat gigi Bagas seperti mengeluarkan taring-taring tajam.Ratih hanya bisa menangis menahan sakit yang seperti mematahkan tulang-belulang tubuhnya. Tidak seperti di saat pertama kali mereka melakukannya, Bagas sangat agresif bagaikan monster.
Malam itu terasa panjang dan menyakitkan untuk Ratih. Sampai Bagas beranjak meninggalkannya di kamar Ratih masih terkulai lemas.
“Mas, kamu kenapa kasar sekali,” rintih Ratih dalam perihnya.
Pagi harinya, Bagas memerintahkan Ratih untuk membuang perabotan rumah dan menggantinya dengan yang baru. “Coba lihat! Ini akan terlihat bagus. Senang, kan?” tanyanya, tersenyum bangga. "Iya, Mas. Ratih senang," jawabnya ragu. Ratih fokus melihat ke arah lengannya yang membiru akibat genggaman tangan Bagas yang menekannya di tempat tidur. Hampir tiap pagi tanda biru muncul di tubuhnya. "Hasil panen kita hari ini juga banyak. Nanti aku pekerjakan orang untuk mengolah ladang kita!" ujarnya sambil bertolak pinggang. Sebelum Ratih menjawab, Bagas melanjutkan ucapannya kembali, "Oh iya, aku minta kamu jangan bersikap seperti orang susah lagi," ujarnya tajam. Ratih pun mengangguk dengan wajah menahan rasa sakit di sekujur tubuh. Herannya, Bagas tidak menyadari hal itu. Pria itu tetap fokus dengan kekayaan yang lagi dimilikinya saat ini, dia terus berbicara bagai burung beo. "Kalau ada yang menghina kamu, kasih tau aku! Aku akan urus mereka!" seru Bagas, merasa bangga.Ratih hany
“Kamu sadar, nggak? Banyak hal keberuntungan bagi mereka,” ujar seorang Ibu yang masih memotong padi. Tidak lama, pekerja lain datang berbisik di sampingnya, wajahnya tidak begitu Ratih kenal. “Kamu nggak curiga?” tanya pria itu. Ratih menatapnya dengan mengernyitkan dahi. Ratih merasa, pria itu ingin memprovokasi para warga yang bekerja padanya. Bahkan, walau semua yang dia katakan saat ini juga melanda Ratih. Perasaan penuh curiga dan gelisah yang menghantui hari-harinya. Sampai sebuah pernyataan yang menjadi kegelisahannya bertambah, suara sumbang dari warga yang menanggapi pria tersebut. “Jangan-jangan dia melakukan hal yang mistis,” ujarnya. Membuat mata Ratih mendelik, wanita itu sadar saat melihat tatapan Ratih yang menunduk ketakutan, merasa secara tidak langsung menyinggung Ratih. “Waduh, aku nggak sadar kalo ada Nyonya besar. Gimana ini?” Dia memegang tangan temannya karena panik. “Bahaya, inget jasad Juragan Suwandi!” Terasa di mata Ratih mereka saling menelan sal
"Ratih, hentikan halusinasimu!" Bagas membentak, suaranya terdengar marah, seolah-olah menyembunyikan sesuatu.Ratih gemetar, memeluk tubuhnya erat-erat, berusaha menenangkan diri meski ketakutan melingkupinya."Mas ... aku nggak bohong! Aku lihat sesuatu, aku ... aku nggak mungkin salah! Itu tadi ada di belakangmu, Mas!" suaranya bergetar, nyaris tidak terdengar.Bagas menggelengkan kepala, berusaha menenangkan Ratih. "Udahlah! Itu cuma perasaanmu. Kamu terlalu stres, Tih. Tidur aja, jangan dipikirkan!"Namun, Ratih tetap tidak bisa menutup mata. Perasaan bahwa ada sesuatu yang mengintai setiap gerakannya membuatnya tetap terjaga.'Apa ini? Kenapa aku merasa tubuhku disentuh bukan oleh suamiku? Kenapa Mas Bagas selalu terasa berbeda tiap malam?' pikir Ratih dalam kebingungan.Beberapa detik berlalu dalam keheningan yang menyesakkan. Bagas kembali mencoba tidur, tetapi waktu terasa berjalan sangat lambat bagi Ratih. Dia terus mengawasi setiap sudut kamar dengan ketegangan yang semakin
"Mas! Ini sarapannya," panggil Ratih sambil menata makanan di meja, menyiapkan hidangan mewah untuk suaminya.Bagas menoleh, menatap Ratih yang tampak lebih rapi dan berdandan dari biasanya. "Mau ke mana, Tih? Tumben rapi?" tanyanya, nada curiga tersirat dalam suaranya."Ehm! I—Ini Mas, anu ... Ehm!" Ratih tergagap, berusaha menjawab tapi suaranya tersendat-sendat karena gugup.Bagas menggelengkan kepala, sedikit mendengus. "Haduh, udah-udah! Kamu ini, semakin hari makin aneh saja," sahutnya sambil mulai menyantap makanannya.Ratih hanya diam, menyaksikan suaminya yang lahap memakan daging setengah matang di piringnya. Aroma daging itu membuat perut Ratih terasa mual. Makanan itu bukanlah sesuatu yang biasanya mereka makan sehari-hari. Namun, belakangan makanan agak mentah menjadi kesukaan Bagas.'Bukannya kamu yang hari demi hari makin aneh, Mas!' batin Ratih dengan getir, tapi dia menahan kata-kata itu dalam hati.Ratih terus memandangi Bagas yang tampak berbeda, seolah sedang meni
Saat membuka kantung itu, petani tercengang dengan kilauan emas di genggamannya. "Ju—Juragan! Ju—Juragan ini buat saya?" tanyanya bergetar."Ya. Itu buatmu, hanya 2 koin emas aja aku kasih," kata Bagas sambil bertolak pinggang."I—Ini udah sangat banyak Juragan! Terima kasih ... Terima kasih!" balas petani sambil sujud di hadapan Bagas. "Udah hentikan!" Bagas melirik dengan tajam. "Nanti, anak buahku akan antar beras dan sayur ke rumahmu, jadi kamu tidak kelaparan lagi," lanjutnya berbicara."Alhamdulillah, terima kasih juragan! Terima kasih banyak!" Petani itu semakin bersujud di hadapan Bagas. Saat petani bersujud syukur pada Bagas, Ratih muncul melihat pandangan yang berbeda. "Ada apa, Mas?" tanyanya heran."Nggak ada apa-apa?" balas singkat sambil memalingkan badannya."Juragan Ratih! Saya pamit pulang, terima kasih!" ucapnya lalu pergi. Ratih menyusul Bagas yang masuk ke dalam rumah. Melihat Bagas duduk di ruang tamu sambil menggenggam handphone. Di ujung telepon dia berbica
"Ratih! Tih! Bangun!" Teriakan Bagas menggema di dapur. Tangannya mengguncang tubuh istrinya yang tergeletak lemah di lantai dingin.Mata Ratih perlahan terbuka, tapi terasa berat. Bayangan wajah suaminya terlihat samar di atasnya."Mas ... Mas Bagas? Itu kamu?" rintihnya dengan suara serak, tubuhnya terasa kaku."Iya, ini aku! Cepat bangun! Ini udah pagi. Ngapain kamu tidur di dapur kayak orang nggak waras!" Bagas mendengus kesal, nada suaranya keras.Ratih menggigil, entah karena dingin atau ketakutan. Dia mencoba berdiri, tapi tubuhnya terasa limbung, hampir jatuh lagi. Dengan susah payah, dia meraih meja untuk menopang dirinya.Tanpa berkata-kata, Ratih berjalan sempoyongan menuju kamar mandi. Saat melihat cermin, pandangannya langsung terpaku.Di wajahnya, di leher, dan di lengannya tampak memar-memar ungu kehitaman. Pergelangan tangannya penuh cap jari besar, seakan-akan telah dicengkeram dengan kekuatan luar biasa. Nafasnya tersengal, jantungnya berdegup kencang."I—ini apa? Ap
"Mas, nggak ikut ngelayat ke rumah Bu Sunar?" tanya Ratih pelan sambil melepas selendang yang dikenakannya. Dia baru saja pulang dari pemakaman, tetapi pemandangan di ruang tamu membuat langkahnya terhenti. Di depan meja kecil, Bagas sedang meletakkan kemenyan dan menyalakan dupa."Untuk apa? Kalau udah mati, ya mati aja," jawab Bagas datar tanpa sedikit pun menoleh. Suaranya dingin, tanpa empati.Ratih terpaku. Perasaan takut bercampur bingung menyelimutinya. 'Sejak kapan Mas Bagas berubah seperti ini?' pikirnya. Perlahan, dia mencoba memberanikan diri."Mas ... dupa itu untuk apa? Mas sebenarnya melakukan apa, sih?" tanyanya, mencoba terdengar setenang mungkin meskipun suaranya bergetar.Tangan Bagas, yang tengah sibuk menyiapkan dupa, berhenti seketika. Dia mengangkat wajahnya perlahan, menatap Ratih dengan pandangan tajam yang membuat nyalinya ciut."Ratih, jangan ikut campur urusan ini!" suaranya rendah, tetapi penuh ancaman.Namun, Ratih tidak menyerah. Rasa takutnya kalah oleh
'Mas Bagas? Apa di hadapanku ini benar Mas Bagas? Kenapa sentuhannya berbeda?'Ratih menggigil dalam batinnya. Tubuhnya terasa berat, tidak bisa digerakkan sama sekali. Semakin dia berusaha melawan, semakin kuat cengkeraman itu mencengkeramnya, membuatnya seperti terjebak dalam sesuatu yang gelap dan dingin.'Kalau dia bukan Mas Bagas, lalu siapa? Mas Bagas, tolong aku!'Ratih mencoba meronta dalam pikirannya, tapi sia-sia. Tubuhnya terasa kaku dan tidak bertenaga. Samar-samar, matanya menangkap bayangan seseorang di atasnya. Sosok itu hanya diam, tidak mengucapkan sepatah kata pun.Ratih memicingkan mata, mencoba menjernihkan pandangan. Sekilas, wajah di hadapannya memang mirip dengan Bagas, suaminya. Tapi ketika dia berkedip beberapa saat, wajah itu berubah—menjadi sesuatu yang menyeramkan.'Mas Bagas! Aku nggak bisa!' rintihnya pelan, napasnya tersengal.Perasaan itu kembali datang, rasa yang familiar tapi juga mengerikan. Tubuhnya terasa sakit, berat, dan dipaksa tunduk pada kehen
"Bagas, kamu ngapain?" Terdengar suara lantang dari salah seorang warga desa. Sekelompok orang datang berbondong-bondong, penasaran dengan apa yang sedang dikerjakan Bagas. "I—ini ... emm, cuma mau buat pondokan aja!" Bagas menjawab gugup, tangannya masih sibuk dengan kayu dan paku. Para warga saling pandang, merasa heran dengan kegugupan yang diperlihatkan Bagas. "Udah, yok, pergi! Biarkan aja dia. Mungkin dia mau buat gubuk derita untuk dirinya sendiri!" seru seorang warga dengan nada mengejek. "Kalian tahu kan kalau Bagas sudah nggak tinggal sama Ratih lagi?" Warga lain menimpali, "Tentu saja aku tahu! Mana ada wanita yang tahan hidup dalam kemiskinan." Belum mereka jauh melangkah, seorang lagi menambahkan dengan tawa meremehkan, "Iya! Istriku aja sering minta ini-itu. 'Mas, belikan ini! Mas, belikan itu!' Coba kalau Ratih jadi istriku, pasti aku bahagia! Soalnya Ratih itu cewek cantik, kembang desa yang sederhana dan, ya ... sempurna lah!" Dia tertawa keras, disusul
"Aku harus melakukan apa setelah ini?" Bagas duduk di tepi ranjang, menatap Ratih yang masih terbaring lemah. Wajah istrinya pucat, tubuhnya begitu lemas setelah melahirkan. Kedua anak mereka tidur di sampingnya—anak laki-laki dengan tubuh hitam berbulu tipis dan mata yang sesekali berubah merah, serta anak perempuan yang terlihat seperti bayi normal, hanya memiliki tanda lahir yang cukup besar di tangannya. Bagas menelan ludah. Dadanya terasa sesak. "Aku harus bagaimana?" batinnya. Kyai Ahmad berdiri di sudut ruangan, memperhatikan Bagas yang terlihat begitu gelisah. Akhirnya, Kyai itu membuka suara. "Bagas, kamu tahu bahwa anak-anak ini nggak bisa tumbuh seperti anak pada umumnya, bukan?" Bagas mendongak, menatap Kyai dengan sorot penuh kebingungan. "Tapi mereka tetap anakku, Kyai! Aku tidak bisa membuang mereka begitu saja! Meski pun dalam hati ini menyangkal dia anak ku!" Kyai menghela napas panjang. "Aku nggak menyuruhmu membuang mereka, Bagas. Aku hanya ingin Kamu sadar
"Ini anak apa?" Bagas tercengang, matanya tak berkedip menatap bayi yang baru saja lahir. Tubuh kecil itu hitam legam, ditutupi bulu halus, seperti makhluk yang bukan manusia. "Kyai, anak itu kenapa seperti ini?" suara Bagas bergetar, tangannya gemetar saat menunjuk bayi yang meringkuk di genangan darah bercampur lendir pekat. Bayi itu menggeliat perlahan, mata merah menyala berkedip, sebelum tiba-tiba berubah seperti mata manusia normal. Bagas mundur dengan napas tersengal. "Astaga ... ini anak siapa?" Sementara itu, Kyai Ahmad membaca doa berulang kali, wajahnya penuh keterkejutan. Dia tidak pernah melihat kelahiran seperti ini seumur hidupnya. Di tengah kebingungan mereka, Ratih tiba-tiba menjerit histeris. "Aaa ... sakit!" Dia menarik baju Bagas, cengkeramannya kuat seperti ingin menyalurkan seluruh rasa sakitnya. Matanya terpejam erat, tubuhnya melengkung karena rasa sakit yang luar biasa. "Kyai! Apa Ratih akan melahirkan lagi?" Bagas bertanya panik. Kyai Ahmad tidak l
"Ratih, bangun!"Bagas berlutut di samping tubuh istrinya yang tergeletak di lantai. Napasnya memburu, matanya terbelalak melihat lengan Ratih yang penuh goresan. Darah sudah mulai mengering di sana."Apa dia mencoba mengakhiri hidupnya, Kyai?" tanya Bagas, suaranya bergetar.Kyai Ahmad berdiri di belakangnya, tatapannya tajam namun penuh ketenangan."Kita harus segera menyadarkannya."Mereka berdua datang ke rumah Ratih setelah mendapat kabar dari ibu pemilik kontrakan yang ditempati Bagas. Wanita tua itu bercerita bahwa Ratih semakin sering bertingkah aneh, bahkan beberapa kali terdengar berbicara sendiri di tengah malam.Bagas tidak bisa tinggal diam. Dia harus memastikan bahwa kehamilan Ratih benar-benar bukan kehamilan biasa."Ratih, bangun!" Bagas menepuk pipi istrinya dengan lembut, namun Ratih tidak bereaksi.Jantungnya berdebar makin kencang."Apa Ratih sudah meninggal, Kyai?"Kyai Ahmad segera berlutut, menempelkan dua jari di leher Ratih untuk mengecek denyut nadinya. Beber
Ratih terkulai lemah. Ada cap tangan kecil yang terlihat di perutnya yang tipis, seakan bayi itu akan segera keluar ke dunia. Dia merangkak ke kamar mandi, duduk dengan tubuh gemetar, merasakan sakit yang luar biasa. "Ah, kenapa sakit sekali!" Matanya mulai kabur. Pandangannya buram, tetapi samar-samar dia melihat sosok berbadan besar berdiri di hadapannya. "Si—siapa?" suara Ratih bergetar. Sosok itu hanya diam. Tangan besarnya terlihat menyeramkan, dengan jari-jari yang panjang dan hitam. Ratih yakin itu bukan manusia. Ketika tangan besar itu hendak menyentuhnya, tiba-tiba bayi di dalam perutnya bereaksi dengan ganas. Rasa sakit semakin menusuk, membuatnya ingin berteriak, tetapi suaranya tertahan di tenggorokan. Ratih mencengkeram lantai kamar mandi yang dingin, tubuhnya bergetar hebat. Dia merasakan perutnya berguncang seperti ada sesuatu yang ingin keluar, bukan dengan cara yang normal. Sosok besar itu semakin mendekat, mengulurkan tangannya ke arah perut Ratih yang
Ratih terengah-engah, tubuhnya gemetar hebat. Matanya memandang ke arah bayangan dirinya di cermin. Tatapan merah menyala itu bukan lagi miliknya. Itu adalah mata seorang pemangsa. "Aku seperti ... Mas Bagas!" gumamnya, nyaris tak percaya. Dia mengingat betul bagaimana Bagas dulu. Setelah menerima berkah pesugihan, suaminya menjadi sosok yang haus darah, makan daging mentah dengan lahap, dan sering kali kehilangan kendali atas dirinya sendiri. Tapi Bagas masih bisa bertahan, sedangkan dirinya? Dia lebih buruk. Jauh lebih buruk. Ratih memejamkan mata, berharap ini hanya mimpi buruk. Tapi sensasi menjalar di tubuhnya terlalu nyata. Kengerian itu terlalu jelas. Kepalanya terasa berputar, mulutnya masih dipenuhi sisa darah kepala kambing yang tadi dia makan. "Aaaah!!!" Teriaknya tiba-tiba. Dia menjambak rambutnya, menariknya dengan kasar seakan ingin merobek kepalanya sendiri. Namun, itu tak cukup. Dia butuh lebih dari sekadar kesakitan biasa untuk melepaskan diri dari penderit
"Neng, bangun!" Suara familiar terdengar di telinga Ratih. Tubuhnya sedikit diguncang. Mata Ratih terbuka dan melihat seorang lelaki di depannya. "Siapa?" tanyanya. Mata Ratih masih samar, tetapi suara itu terdengar tidak asing. Itu adalah tukang becak yang sering dia temui. "Neng, kamu kenapa?" "Iss, kepalaku sakit! Ada apa, Kang?" tanya Ratih masih terlihat lemas. Tukang becak itu memberikan bungkusan kepada Ratih. "Ini barangnya tertinggal." "Oh, makasih, letakkan saja di atas meja!" ucap Ratih sambil memegangi kepalanya. Setelah itu, tukang becak itu pamit untuk pulang. Namun, dia tampak terkejut melihat Ratih. Bahkan, dia gemetar saat meletakkan bungkusan itu. "Apa itu benar-benar kepala hewan?" katanya pelan hampir tak terdengar Ratih. Bukannya langsung segera pergi, tukang becak itu tidak bergerak. DIa masih berdiri di tempatnya, menatap Ratih dengan sorot mata penuh ketakutan. "Neng .…" suaranya bergetar. "Isinya itu beneran kepala hewan, ya?" Ratih, ya
"Haha, belum saatnya semua ini berakhir!"Suara itu terdengar mengerikan, lebih dalam dan bergema, seolah bukan berasal dari tenggorokan manusia. Jelas, sosok di hadapan mereka bukanlah Kyai Ahmad yang asli.Bagas menelan ludah, tubuhnya menegang. Sosok itu masih menyerupai Kyai Ahmad, tetapi ada sesuatu yang janggal—cara berdirinya terlalu kaku, dan sorot matanya terlalu tajam, lebih seperti predator yang mengincar mangsanya.Dalam hati, Bagas yakin sosok itu bukan sekadar penyamaran Ki Raden Praja. Bisa saja dia dibantu oleh Genderuwo—makhluk astral yang pernah membantunya dalam pesugihan."Apa yang kamu inginkan?!" tanya Kyai Ahmad tegas, suaranya menggema di dalam pendopo. Tangannya menggenggam tasbih erat-erat, menunjukkan keteguhan hatinya.Makhluk itu menyeringai tipis, sudut bibirnya terangkat dengan cara yang tidak wajar. Perlahan, dia mengangkat tangannya dan menunjuk lurus ke arah Bagas."Kehancuranmu!"Bagas tersentak.Jantungnya seakan berhenti berdetak. Kepalanya terasa
"Sepertinya ini sudah di luar kendali!" Kyai mulai mencium bau yang kurang sedap, seperti ada sesuatu yang telah dilakukan di pendoponya. "Saya serius, Kyai. Sejak tadi saya bicara dengan Kyai, dengan segala keluh kesah saya!" Bagas mencoba meyakinkan Kyai Ahmad. "Ya, Nak Bagas, saya percaya hal itu. Mungkin saja ini kerjaan orang iseng yang membuat kita terpecah belah," jelas Kyai sambil terus memandang kamar tersebut. Bagas mencoba mencerna setiap kejadian, namun dia tidak menemukan cela sedikit pun. Semua gaya bicara dan kebijaksanaan Kyai membuatnya bingung, tak tahu mana Kyai yang asli. "Jelas ini pasti ulah Ki Praja. Dia bisa berubah jadi apa saja—bahkan mungkin saat ini bisa saja dia berubah jadi Feri atau kembali berubah seperti Kyai!" gumamnya pelan. Feri yang merasa tatapan Bagas begitu tajam padanya langsung mengumpat."Heh, apa yang kamu lihat?" tanyanya dengan nada ketus."Tidak—" Bagas mencoba menjawab, tetapi Feri langsung memotongnya."Jangan bohong, Mas Bagas! S