“Kamu nggak lupa sama janji, kan?” tanya Genderuwo dengan suara berat dan besar.
Bagas hanya mengangguk dengan wajah pucat pasi, dia meminta waktu untuk mencari celah waktu dari istrinya.
“Kalo kamu lupa, kamu akan tau akibatnya,” ujar Genderuwo itu lagi.
“Sa-saya nggak lupa, ta-tapi harus tunggu Ratih tidur dulu,” jawab Bagas terbata.
Bagas akhirnya masuk menemui Ratih. “Buatin kopi panas ya! Nanti taruh aja di kamar!” pinta Bagas.
Ratih segera ke dapur membuatkan kopi untuk suaminya. Sekembalinya Ratih ke dalam kamar, Bagas sudah tidak ada. Dia mencari Bagas keluar rumah.
“Mas, di mana? Sudah malem ini. Ayo tidur!” panggil Ratih di kegelapan malam.
Sampai sosok Bagas terlihat datang, semula Ratih sedikit takut. Dari kegelapan malam, mata Bagas menyala. Keringat dingin bercucuran. Bagas pun mendekatinya.
“Mas, aku pikir tadi apa! Aku ketakutan, Mas. Rasanya hawa malem ini dingin banget,” ujar Ratih yang sempat terkejut.
Bagas tidak menjawab sama sekali ucapan Ratih, dia hanya terus masuk. Ratih yang malas bertanya lagi dan langsung mengekori dari belakang. Dia menutup pintu rumah, lalu membuntuti Bagas ke dalam kamar.
“Mas, itu kopinya. Aku capek banget, mau tidur sekarang,” ujar Ratih. Tapi, Bagas hanya menatapnya tajam dan menyeramkan.
‘Mas Bagas kok aneh ya? Apa mungkin dia masih banyak masalah?’ tanya Ratih dalam hati.
Bagas terlihat melepaskan pakaiannya. Ratih pikir hanya ingin segera tidur. Ternyata Bagas meminta haknya malam ini sebagai suami, perlakuan Bagas tidak seperti biasa.
Ratih ingin menolak, tapi suaminya malam itu seperti tidak mau menerima penolakan. Ratih akhirnya pasrah melaksanakan tugasnya, dengan kondisi Bagas yang agresif menyeruak di kesunyian malam.
Keesokan paginya.
Ratih terkejut dengan posisi tubuhnya yang masih tanpa busana, dia seperti habis bekerja keras. Bahkan Ratih enggan turun dan bangun dari tempat tidur.
Dirabanya sebelah tempat tidur, masih nampak Bagas tertidur pulas. “Alhamdulillah, aku pikir semalam aku bersama setan. Ternyata kamu masih tidur di sampingku, mas,” gumam Ratih lirih takut membangunkan suaminya.
Tidak lama, terdengar suara berisik dari luar rumah mereka.
“Bagas!” teriak Juragan Suwandi, mengedor-gedor pintu dengan beberapa anak buahnya.
Ratih yang ketakutan membangunkan suaminya perlahan.
“Mas Bagas, ada Juragan Suwandi. Aku takut, mas. Terakhir kali dia membawa semua yang kita miliki,” bisik Ratih di telinga Bagas lembut.
Brak!
Suara tendangan pintu terdengar. Pintu itu juga terbuka paksa dan menghantam dinding rumah.
“Bagas! Bayar sisa utangmu!” Suara Suwandi yang penuh amarah, membuat Bagas terbangun dari tidurnya.Bagas mencondongkan tubuhnya, keluar dari dalam kamar.
“Berisik! Aku akan bayar semuanya, kalo perlu kamu dan anak buahmu, aku beli!” ucap Bagas, sombong.
Suwandi mengerutkan dahi, tampak naik pitam. “Sekarang sudah berani, ya?!”
“Pergi dari sini! Jangan ganggu keluargaku lagi!”
Tanpa banyak bicara, Bagas melemparkan beberapa koin emas ke arah Suwandi. Ratih yang melihat semua ini merasa aneh. Ratih belum pernah melihat suaminya seperti itu. Apalagi semalam dia melihat Bagas lebih banyak diam daripada berbicara.
“Dasar rentenir! Merusak tidur dan pintu rumahku aja! Aku sumpahi, kamu metong sepulang dari sini.” Ratih menelan saliva lagi, saat mendengar Bagas mengumpat.
Dalam waktu beberapa jam, sesuatu terjadi pada Suwandi. Warga menemukan rentenir itu tewas di kebun milik Bagas. Kepala Suwandi terputar ke belakang dan mata melotot. Semua penduduk ketakutan. Senyum tipis terlihat di wajah Bagas, seolah menikmati kejadian itu.
“Hem, siapa suruh kamu menyakitiku,” gumam Bagas yang terdengar oleh Ratih.
“Mas, nanti kalau ada yang dengar. Takutnya mereka curiga, ini masih pekarangan kita,” jelas Ratih mengingatkan.
Bukannya menerima masukan dari Ratih, Bagas malah menarik tangan istrinya itu pergi menjauh dari kerumunan warga. Bahkan sepanjang jalan Ratih dan Bagas mendengar warga saling berbisik satu sama lain.
“Kalau kalian nggak tau, jangan asal bicara!” tegur Bagas.
Warga itu ketakutan, lalu menunduk. Mereka tidak berani menatap wajah Bagas sedikit pun. Bahkan sebagian lainnya seperti bergidik melihat Bagas.
Sejak kejadian itu, Bagas semakin berubah. Di tengah malam, Ratih sering melihat suaminya bangun untuk membakar dupa dan menyiapkan bunga.
“Mas, dupa dan kembang itu buat apa?” tanya Ratih.
Bagas terkejut dan menoleh ke arah Ratih dengan wajah tidak suka.
‘Ratih tidak boleh tahu tentang ini, aku harus mencari alasan. Apalagi warga tadi membicarakan kami, perkara kematian juragan sialan itu,’ batinnya.
“Tidur sana! Kenapa kamu jam segini terbangun? Ini udah tengah malam?” Suara tinggi Bagas membuat Ratih terdiam seketika, biasanya suaminya sangat lembut, ini menjadi sangat kasar.
Sampai mata Ratih mulai terpejam lagi, dia merasakan sesuatu aneh di kamar mereka. Suasana yang terasa sangat dingin sekali. Sembari terus menutup mata karena rasa kantuk yang melanda, Ratih berusaha menarik selimut.
Baru juga dia mendapatkan selimut, sesuatu seolah membuatnya semakin kedinginan sampai dia merasakan sakit di antara kedua kakinya. Seolah merobek masuk ke dalam isi perutnya.
“Argh!” jerit Ratih sampai dia tersadar dan membuka mata. Tubuh Bagas sudah berada di sana lagi, dengan mata yang terlihat menyala.
Bahkan suaminya semakin terlihat menyeramkan, dengan reaksi gerak yang membuat tempat tidur bergetar, dengan wajah menyeringai, terlihat gigi Bagas seperti mengeluarkan taring-taring tajam.Ratih hanya bisa menangis menahan sakit yang seperti mematahkan tulang-belulang tubuhnya. Tidak seperti di saat pertama kali mereka melakukannya, Bagas sangat agresif bagaikan monster.
Malam itu terasa panjang dan menyakitkan untuk Ratih. Sampai Bagas beranjak meninggalkannya di kamar Ratih masih terkulai lemas.
“Mas, kamu kenapa kasar sekali,” rintih Ratih dalam perihnya.
Pagi harinya, Bagas memerintahkan Ratih untuk membuang perabotan rumah dan menggantinya dengan yang baru. “Coba lihat! Ini akan terlihat bagus. Senang, kan?” tanyanya, tersenyum bangga. "Iya, Mas. Ratih senang," jawabnya ragu. Ratih fokus melihat ke arah lengannya yang membiru akibat genggaman tangan Bagas yang menekannya di tempat tidur. Hampir tiap pagi tanda biru muncul di tubuhnya. "Hasil panen kita hari ini juga banyak. Nanti aku pekerjakan orang untuk mengolah ladang kita!" ujarnya sambil bertolak pinggang. Sebelum Ratih menjawab, Bagas melanjutkan ucapannya kembali, "Oh iya, aku minta kamu jangan bersikap seperti orang susah lagi," ujarnya tajam. Ratih pun mengangguk dengan wajah menahan rasa sakit di sekujur tubuh. Herannya, Bagas tidak menyadari hal itu. Pria itu tetap fokus dengan kekayaan yang lagi dimilikinya saat ini, dia terus berbicara bagai burung beo. "Kalau ada yang menghina kamu, kasih tau aku! Aku akan urus mereka!" seru Bagas, merasa bangga.Ratih hany
“Kamu sadar, nggak? Banyak hal keberuntungan bagi mereka,” ujar seorang Ibu yang masih memotong padi. Tidak lama, pekerja lain datang berbisik di sampingnya, wajahnya tidak begitu Ratih kenal. “Kamu nggak curiga?” tanya pria itu. Ratih menatapnya dengan mengernyitkan dahi. Ratih merasa, pria itu ingin memprovokasi para warga yang bekerja padanya. Bahkan, walau semua yang dia katakan saat ini juga melanda Ratih. Perasaan penuh curiga dan gelisah yang menghantui hari-harinya. Sampai sebuah pernyataan yang menjadi kegelisahannya bertambah, suara sumbang dari warga yang menanggapi pria tersebut. “Jangan-jangan dia melakukan hal yang mistis,” ujarnya. Membuat mata Ratih mendelik, wanita itu sadar saat melihat tatapan Ratih yang menunduk ketakutan, merasa secara tidak langsung menyinggung Ratih. “Waduh, aku nggak sadar kalo ada Nyonya besar. Gimana ini?” Dia memegang tangan temannya karena panik. “Bahaya, inget jasad Juragan Suwandi!” Terasa di mata Ratih mereka saling menelan sal
"Ratih, hentikan halusinasimu!" Bagas membentak, suaranya terdengar marah, seolah-olah menyembunyikan sesuatu.Ratih gemetar, memeluk tubuhnya erat-erat, berusaha menenangkan diri meski ketakutan melingkupinya."Mas ... aku nggak bohong! Aku lihat sesuatu, aku ... aku nggak mungkin salah! Itu tadi ada di belakangmu, Mas!" suaranya bergetar, nyaris tidak terdengar.Bagas menggelengkan kepala, berusaha menenangkan Ratih. "Udahlah! Itu cuma perasaanmu. Kamu terlalu stres, Tih. Tidur aja, jangan dipikirkan!"Namun, Ratih tetap tidak bisa menutup mata. Perasaan bahwa ada sesuatu yang mengintai setiap gerakannya membuatnya tetap terjaga.'Apa ini? Kenapa aku merasa tubuhku disentuh bukan oleh suamiku? Kenapa Mas Bagas selalu terasa berbeda tiap malam?' pikir Ratih dalam kebingungan.Beberapa detik berlalu dalam keheningan yang menyesakkan. Bagas kembali mencoba tidur, tetapi waktu terasa berjalan sangat lambat bagi Ratih. Dia terus mengawasi setiap sudut kamar dengan ketegangan yang semakin
"Mas! Ini sarapannya," panggil Ratih sambil menata makanan di meja, menyiapkan hidangan mewah untuk suaminya.Bagas menoleh, menatap Ratih yang tampak lebih rapi dan berdandan dari biasanya. "Mau ke mana, Tih? Tumben rapi?" tanyanya, nada curiga tersirat dalam suaranya."Ehm! I—Ini Mas, anu ... Ehm!" Ratih tergagap, berusaha menjawab tapi suaranya tersendat-sendat karena gugup.Bagas menggelengkan kepala, sedikit mendengus. "Haduh, udah-udah! Kamu ini, semakin hari makin aneh saja," sahutnya sambil mulai menyantap makanannya.Ratih hanya diam, menyaksikan suaminya yang lahap memakan daging setengah matang di piringnya. Aroma daging itu membuat perut Ratih terasa mual. Makanan itu bukanlah sesuatu yang biasanya mereka makan sehari-hari. Namun, belakangan makanan agak mentah menjadi kesukaan Bagas.'Bukannya kamu yang hari demi hari makin aneh, Mas!' batin Ratih dengan getir, tapi dia menahan kata-kata itu dalam hati.Ratih terus memandangi Bagas yang tampak berbeda, seolah sedang meni
Saat membuka kantung itu, petani tercengang dengan kilauan emas di genggamannya. "Ju—Juragan! Ju—Juragan ini buat saya?" tanyanya bergetar."Ya. Itu buatmu, hanya 2 koin emas aja aku kasih," kata Bagas sambil bertolak pinggang."I—Ini udah sangat banyak Juragan! Terima kasih ... Terima kasih!" balas petani sambil sujud di hadapan Bagas. "Udah hentikan!" Bagas melirik dengan tajam. "Nanti, anak buahku akan antar beras dan sayur ke rumahmu, jadi kamu tidak kelaparan lagi," lanjutnya berbicara."Alhamdulillah, terima kasih juragan! Terima kasih banyak!" Petani itu semakin bersujud di hadapan Bagas. Saat petani bersujud syukur pada Bagas, Ratih muncul melihat pandangan yang berbeda. "Ada apa, Mas?" tanyanya heran."Nggak ada apa-apa?" balas singkat sambil memalingkan badannya."Juragan Ratih! Saya pamit pulang, terima kasih!" ucapnya lalu pergi. Ratih menyusul Bagas yang masuk ke dalam rumah. Melihat Bagas duduk di ruang tamu sambil menggenggam handphone. Di ujung telepon dia berbica
Brak!Pintu kayu rapuh ditendang oleh seseorang. Muncul pria berbadan besar bersama anak buahnya.“Bagas, bayar utang kamu sekarang! Ayo cepetan!” teriak si pria yang tidak lain adalah Juragan Suwandi, seorang rentenir di Desa Karang Jati.Bagas dan Ratihーistrinya, terkejut. Mereka meletakkan piring menyudahi sarapannya. Keduanya segera berdiri dengan gugup dan ketakutan. Bagas berlutut. Memohon belas kasih Juragan Suwandi, “Maaf, Juragan. Saya belum bisa bayar. Saya belum ada uang."Ekspresi Suwandi kelam. “Ah! Yang benar aja! Kamu udah menunggak 8 bulan. Bunganya udah membengkak. Gimana sih kamu, Bagas?!” "Usaha saya sepi, Juragan," kata Bagas, memberikan alasan. "Ladang saya gersang dan Istri saya lagi sakit. Mohon maaf Juragan," lanjutnya, berbicara.Suwandi semakin naik pitam saat Bagas mulai beralasan lagi. Suwandi menggosok-gosok ujung hidung. “Kamu selalu aja alasan. Kamu pikir, saya ini ngasih uang dengan cuma-cuma?!"Suwandi menatap anak buahnya. "Hei, kalian! Cepet ambi
Malam harinya, Bagas tidak bisa tidur. Dia berbaring di samping Ratih yang sudah tertidur. Dia terus mengingat perkataan Damar pagi tadi. Solusi pesugihan yang Damar tawarkan memang menggoda sekaligus menakutkan.Bagas tahu, jika dia mengambil jalan pesugihan, itu artinya dia harus siap menanggung segala konsekuensinya. Dia ketakutan. Namun detik berikutnya, keinginan memberikan kehidupan layak untuk Ratih membuatnya yakin akan pesugihan itu. Bagas bangun, lalu berjalan ke arah jendela. Dia mengamati langit malam. "Malam ini, malam bulan purnama," katanya, pelan.Bagas tersenyum tipis. Dia telah mengambil keputusan. Setelah berganti pakaian, Bagas membuka pintu kamar dengan sangat hati-hati. Dengan cepat, dia sudah berada di luar rumah. Bagas berjalan menembus malam menuju hutan di sisi utara desa, mengikuti petunjuk yang diberikan Damar. Jalanan yang gelap tidak menyurutkan tekadnya. Ketika Bagas sampai di tengah hutan, dia menemukan sebuah pohon besar dengan akar menjuntai.Baga
“Genderuwo? Apa yang harus saya lakukan untuk mendapatkan kekayaan darinya?” Kata Genderuwo membuat Bagas merinding. Dia pernah mendengar cerita mengerikan tentang makhluk itu. Namun, desakan utang dan himpitan hidup kemiskinan membuatnya penasaran. Ki Praja menatap Bagas dengan serius. “Genderuwo bisa memberikan kamu kekayaan tanpa batas. Tapi sebagai harganya, dia menuntut seorang perempuan menemaninya setiap malam.""Perempuan?" Bagas tidak mengerti. "Saya akan mencari perempuan itu secepatnya, Pak."Ki Praja menggeleng. "Nggak, Bagas. Karena yang dia mau adalah perempuan yang tinggal di rumah kamu.”Bagas terkejut. Dia marah. “Nggak bisa! Saya nggak bisa mengorbankan Ratih untuk pesugihan ini.”Bagas menentang keras syarat yang diberikan Ki Praja. Dia hendak membatalkan niatnya. “Kamu harus tau, Bagas! Kalo kamu mau memperbaiki hidupmu, maka kamu harus siap menghadapi konsekuensinya. Tanpa pengorbanan, nggak ada yang bisa bantu kamu,” ujar Ki Praja, suaranya semakin menekan.Ma