Beranda / Horor / Pesugihan Genderuwo / 04. Jimat Pengikat

Share

04. Jimat Pengikat

Ki Praja memberi Bagas bungkusan kain merah. "Le!" panggil Ki Praja. "Ini adalah jimat pengikat perjanjianmu dengan Genderuwo!" ucap Ki Praja.

Bagas memandang benda tersebut dengan ragu. “Apa ini, Ki? Apa dari perjanjian tadi?”

Ki Praja mengangguk sambil menyerahkan jimat itu. "Bener. Ini adalah jimat yang akan melindungi perjanjianmu, Le!" ujar Ki Praja, lanjutnya, "jimat ini pengingat mu agar nggak melanggar perjanjian yang udah dibuat. Selama, memegangnya, kamu akan dilindungi oleh kekuatan dari Genderuwo, dan kekayaan yang di harapkan akan segera datang."

Bagas menerima jimat itu dan pulang saat matahari mulai terbit. Bagas langsung tertuju ke ladang di depan rumahnya, dan dia tertegun. Lahan yang dulu tandus dan gersang kini berubah menjadi hijau, dengan tanaman yang mulai tumbuh subur. Hampir tak percaya, dia berjalan mendekat dan meraba daun-daun segar yang tampak sehat.

Bagas merasakan kenikmatan hasil dari perjanjian dengan Genderuwo.

"Ratih! Ratih, cepetan ke sini!" panggil Bagas dengan antusias.

Ratih keluar dari rumah, terlihat heran mendengar panggilan suaminya yang begitu semangat. Dengan langkah cepat, dia mendekati Bagas dan mengikuti pandangan suaminya ke arah ladang.

"Mas ... Ini bener ladang kita? Ladang kita berubah," ucap Ratih sambil tersenyum lebar. "Dulu, sekeras apa pun tanah ini tetap tandus."

Bagas mengangguk dengan bangga. "Aku juga nggak menyangka, Ratih. Seperti ada keajaiban yang terjadi di sini."

Bagas menatap ladang yang kini mulai hijau. Dalam hatinya, dia merasakan kegelisahan. Dia tahu bahwa perubahan ini bukan semata hasil dari kerja keras tetapi juga perjanjiannya dengan Genderuwo. 

Beberapa tetangga kebetulan lewat dan melihat perubahan di ladang Bagas. Mereka berhenti sejenak, mengamati tanaman yang tumbuh subur.

Suara riuh rendah terdengar di ladang milik Bagas. Semakin banyak yang berdatangan. Penduduk desa berkumpul, membantu Bagas memanen hasil kerja kerasnya. 

Tanaman padi di ladangnya tampak sehat dan berlimpah, dengan bulir-bulir yang gemuk dan berwarna kuning keemasan. Ini adalah panen yang tak pernah dia bayangkan sebelumnya, bahkan jauh lebih banyak dari yang pernah dirasakannya.

Ratih mendekati Bagas yang sedang sibuk memotong batang padi. Wajahnya berseri-seri melihat suaminya tampak bersemangat. “Mas, lihat hasil panen kita! Semua orang desa sampai kagum melihatnya,” ucap Ratih sambil tersenyum lebar.

Bagas mengangguk sambil tersenyum kecil, meski dalam hatinya ada sesuatu yang tak tenang. “Ya, Ratih. Ini bener dii luar dugaan kita. Mungkin kerja keras kita akhirnya terbayarkan.”

Ratih menepuk bahu suaminya dengan penuh rasa bangga. “Mas, aku seneng akhirnya kita bisa merasakan hasil dari kerja keras selama ini.”

Bapak Maman, salah satu tetangga mereka yang membantu memanen, menghampiri dan memuji. “Le! aku belum pernah lihat panen sebesar ini di desa kita. Apa rahasianya, sih?”

Bagas tertawa kecil, menahan rasa gelisah yang mendesak di dalam dadanya. “Nggak ada rahasia, Pak dhe. Mungkin hanya keberuntungan dari kerja keras.”

Bapak Maman mengangguk setuju. “Ya, bener. Yang penting kita selalu berusaha. Tapi serius, Le, hasil panenmu ini luar biasa. Mungkin nanti kamu bisa jual sebagian ke kota.”

Bagas hanya mengangguk sambil tersenyum, berusaha menyembunyikan ketidaknyamanan yang mulai membuncah. Kemakmuran yang ia nikmati sekarang tidak datang begitu saja. Ada harga yang harus dia bayar dalam perjanjiannya dengan Genderuwo.

***

Malamnya, setelah suasana rumah mulai sepi, Bagas duduk di depan rumah, merenungi ladangnya yang kini subur. Angin malam berhembus lembut, tetapi tiba-tiba dia mendengar suara samar dari arah ladang, seperti bisikan yang memanggil namanya.

"Bagas! Ingat perjanjian kita!" suara itu terdengar berat dan serak, seakan berasal dari kedalaman bumi.

Bagas menggigil, bulu kuduknya berdiri. Dia tahu suara itu pasti dari Genderuwo yang pernah ditemuinya.

Dia bergumam pelan, "Aku nggak akan melupakan janjiku! Nggak akan!"

Ratih yang kebetulan mendengar suaminya berbicara sendiri, keluar dari rumah dan duduk di samping Bagas.

"Mas, kamu ngomong apa barusan?" tanya Ratih dengan nada lembut.

Bagas tersentak, lalu berusaha tersenyum. “Ah, nggak ada, Ratih. Mungkin aku hanya sedang memikirkan ladang kita.”

Ratih menatap suaminya dengan cemas. "Kalau ada yang kamu rasakan, Mas, jangan dipendem sendiri. Kita kan selalu bersama dalam susah maupun senang."

Bagas hanya tersenyum ragu. Malam semakin larut, Bagas bermaksud untuk beristirahat. Belum sempat terlelap, Bagas mendengar suara samar di luar jendela, seperti ada sesuatu yang bergerak di sekitar rumah mereka. 

Langkah berat terdengar juga dari ruang tamunya. Terasa suara itu semakin mendekat di pintu kamar. Di atap rumahnya terdengar benda keras yang jatuh. 

Dia juga melihat sekelebat bayangan dari luar rumah. Dia bangkit dari tempat tidur dan berjalan ke jendela, menatap ke luar.

Tampak dari kejauhan, bayangan hitam besar berdiri di ladang miliknya.

"Apa itu? Astaga! Itu Genderuwo!" Seketika rasa merinding menyambar tubuhnya. "Apa, ini udah mulai melakukan persyaratan itu?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status