Ki Praja memberi Bagas bungkusan kain merah. "Le!" panggil Ki Praja. "Ini adalah jimat pengikat perjanjianmu dengan Genderuwo!" ucap Ki Praja.
Bagas memandang benda tersebut dengan ragu. “Apa ini, Ki? Apa dari perjanjian tadi?”
Ki Praja mengangguk sambil menyerahkan jimat itu. "Bener. Ini adalah jimat yang akan melindungi perjanjianmu, Le!" ujar Ki Praja, lanjutnya, "jimat ini pengingat mu agar nggak melanggar perjanjian yang udah dibuat. Selama, memegangnya, kamu akan dilindungi oleh kekuatan dari Genderuwo, dan kekayaan yang di harapkan akan segera datang."
Bagas menerima jimat itu dan pulang saat matahari mulai terbit. Bagas langsung tertuju ke ladang di depan rumahnya, dan dia tertegun. Lahan yang dulu tandus dan gersang kini berubah menjadi hijau, dengan tanaman yang mulai tumbuh subur. Hampir tak percaya, dia berjalan mendekat dan meraba daun-daun segar yang tampak sehat.
Bagas merasakan kenikmatan hasil dari perjanjian dengan Genderuwo.
"Ratih! Ratih, cepetan ke sini!" panggil Bagas dengan antusias.
Ratih keluar dari rumah, terlihat heran mendengar panggilan suaminya yang begitu semangat. Dengan langkah cepat, dia mendekati Bagas dan mengikuti pandangan suaminya ke arah ladang.
"Mas ... Ini bener ladang kita? Ladang kita berubah," ucap Ratih sambil tersenyum lebar. "Dulu, sekeras apa pun tanah ini tetap tandus."
Bagas mengangguk dengan bangga. "Aku juga nggak menyangka, Ratih. Seperti ada keajaiban yang terjadi di sini."
Bagas menatap ladang yang kini mulai hijau. Dalam hatinya, dia merasakan kegelisahan. Dia tahu bahwa perubahan ini bukan semata hasil dari kerja keras tetapi juga perjanjiannya dengan Genderuwo.
Beberapa tetangga kebetulan lewat dan melihat perubahan di ladang Bagas. Mereka berhenti sejenak, mengamati tanaman yang tumbuh subur.
Suara riuh rendah terdengar di ladang milik Bagas. Semakin banyak yang berdatangan. Penduduk desa berkumpul, membantu Bagas memanen hasil kerja kerasnya.
Tanaman padi di ladangnya tampak sehat dan berlimpah, dengan bulir-bulir yang gemuk dan berwarna kuning keemasan. Ini adalah panen yang tak pernah dia bayangkan sebelumnya, bahkan jauh lebih banyak dari yang pernah dirasakannya.
Ratih mendekati Bagas yang sedang sibuk memotong batang padi. Wajahnya berseri-seri melihat suaminya tampak bersemangat. “Mas, lihat hasil panen kita! Semua orang desa sampai kagum melihatnya,” ucap Ratih sambil tersenyum lebar.
Bagas mengangguk sambil tersenyum kecil, meski dalam hatinya ada sesuatu yang tak tenang. “Ya, Ratih. Ini bener dii luar dugaan kita. Mungkin kerja keras kita akhirnya terbayarkan.”
Ratih menepuk bahu suaminya dengan penuh rasa bangga. “Mas, aku seneng akhirnya kita bisa merasakan hasil dari kerja keras selama ini.”
Bapak Maman, salah satu tetangga mereka yang membantu memanen, menghampiri dan memuji. “Le! aku belum pernah lihat panen sebesar ini di desa kita. Apa rahasianya, sih?”
Bagas tertawa kecil, menahan rasa gelisah yang mendesak di dalam dadanya. “Nggak ada rahasia, Pak dhe. Mungkin hanya keberuntungan dari kerja keras.”
Bapak Maman mengangguk setuju. “Ya, bener. Yang penting kita selalu berusaha. Tapi serius, Le, hasil panenmu ini luar biasa. Mungkin nanti kamu bisa jual sebagian ke kota.”
Bagas hanya mengangguk sambil tersenyum, berusaha menyembunyikan ketidaknyamanan yang mulai membuncah. Kemakmuran yang ia nikmati sekarang tidak datang begitu saja. Ada harga yang harus dia bayar dalam perjanjiannya dengan Genderuwo.
***
Malamnya, setelah suasana rumah mulai sepi, Bagas duduk di depan rumah, merenungi ladangnya yang kini subur. Angin malam berhembus lembut, tetapi tiba-tiba dia mendengar suara samar dari arah ladang, seperti bisikan yang memanggil namanya.
"Bagas! Ingat perjanjian kita!" suara itu terdengar berat dan serak, seakan berasal dari kedalaman bumi.
Bagas menggigil, bulu kuduknya berdiri. Dia tahu suara itu pasti dari Genderuwo yang pernah ditemuinya.
Dia bergumam pelan, "Aku nggak akan melupakan janjiku! Nggak akan!"
Ratih yang kebetulan mendengar suaminya berbicara sendiri, keluar dari rumah dan duduk di samping Bagas.
"Mas, kamu ngomong apa barusan?" tanya Ratih dengan nada lembut.
Bagas tersentak, lalu berusaha tersenyum. “Ah, nggak ada, Ratih. Mungkin aku hanya sedang memikirkan ladang kita.”
Ratih menatap suaminya dengan cemas. "Kalau ada yang kamu rasakan, Mas, jangan dipendem sendiri. Kita kan selalu bersama dalam susah maupun senang."
Bagas hanya tersenyum ragu. Malam semakin larut, Bagas bermaksud untuk beristirahat. Belum sempat terlelap, Bagas mendengar suara samar di luar jendela, seperti ada sesuatu yang bergerak di sekitar rumah mereka.
Langkah berat terdengar juga dari ruang tamunya. Terasa suara itu semakin mendekat di pintu kamar. Di atap rumahnya terdengar benda keras yang jatuh.
Dia juga melihat sekelebat bayangan dari luar rumah. Dia bangkit dari tempat tidur dan berjalan ke jendela, menatap ke luar.
Tampak dari kejauhan, bayangan hitam besar berdiri di ladang miliknya.
"Apa itu? Astaga! Itu Genderuwo!" Seketika rasa merinding menyambar tubuhnya. "Apa, ini udah mulai melakukan persyaratan itu?"
“Kamu nggak lupa sama janji, kan?” tanya Genderuwo dengan suara berat dan besar. Bagas hanya mengangguk dengan wajah pucat pasi, dia meminta waktu untuk mencari celah waktu dari istrinya.“Kalo kamu lupa, kamu akan tau akibatnya,” ujar Genderuwo itu lagi. “Sa-saya nggak lupa, ta-tapi harus tunggu Ratih tidur dulu,” jawab Bagas terbata.Bagas akhirnya masuk menemui Ratih. “Buatin kopi panas ya! Nanti taruh aja di kamar!” pinta Bagas.Ratih segera ke dapur membuatkan kopi untuk suaminya. Sekembalinya Ratih ke dalam kamar, Bagas sudah tidak ada. Dia mencari Bagas keluar rumah. “Mas, di mana? Sudah malem ini. Ayo tidur!” panggil Ratih di kegelapan malam.Sampai sosok Bagas terlihat datang, semula Ratih sedikit takut. Dari kegelapan malam, mata Bagas menyala. Keringat dingin bercucuran. Bagas pun mendekatinya. “Mas, aku pikir tadi apa! Aku ketakutan, Mas. Rasanya hawa malem ini dingin banget,” ujar Ratih yang sempat terkejut.Bagas tidak menjawab sama sekali ucapan Ratih, dia hanya ter
Pagi harinya, Bagas memerintahkan Ratih untuk membuang perabotan rumah dan menggantinya dengan yang baru. “Coba lihat! Ini akan terlihat bagus. Senang, kan?” tanyanya, tersenyum bangga. "Iya, Mas. Ratih senang," jawabnya ragu. Ratih fokus melihat ke arah lengannya yang membiru akibat genggaman tangan Bagas yang menekannya di tempat tidur. Hampir tiap pagi tanda biru muncul di tubuhnya. "Hasil panen kita hari ini juga banyak. Nanti aku pekerjakan orang untuk mengolah ladang kita!" ujarnya sambil bertolak pinggang. Sebelum Ratih menjawab, Bagas melanjutkan ucapannya kembali, "Oh iya, aku minta kamu jangan bersikap seperti orang susah lagi," ujarnya tajam. Ratih pun mengangguk dengan wajah menahan rasa sakit di sekujur tubuh. Herannya, Bagas tidak menyadari hal itu. Pria itu tetap fokus dengan kekayaan yang lagi dimilikinya saat ini, dia terus berbicara bagai burung beo. "Kalau ada yang menghina kamu, kasih tau aku! Aku akan urus mereka!" seru Bagas, merasa bangga.Ratih hany
“Kamu sadar, nggak? Banyak hal keberuntungan bagi mereka,” ujar seorang Ibu yang masih memotong padi. Tidak lama, pekerja lain datang berbisik di sampingnya, wajahnya tidak begitu Ratih kenal. “Kamu nggak curiga?” tanya pria itu. Ratih menatapnya dengan mengernyitkan dahi. Ratih merasa, pria itu ingin memprovokasi para warga yang bekerja padanya. Bahkan, walau semua yang dia katakan saat ini juga melanda Ratih. Perasaan penuh curiga dan gelisah yang menghantui hari-harinya. Sampai sebuah pernyataan yang menjadi kegelisahannya bertambah, suara sumbang dari warga yang menanggapi pria tersebut. “Jangan-jangan dia melakukan hal yang mistis,” ujarnya. Membuat mata Ratih mendelik, wanita itu sadar saat melihat tatapan Ratih yang menunduk ketakutan, merasa secara tidak langsung menyinggung Ratih. “Waduh, aku nggak sadar kalo ada Nyonya besar. Gimana ini?” Dia memegang tangan temannya karena panik. “Bahaya, inget jasad Juragan Suwandi!” Terasa di mata Ratih mereka saling menelan sal
"Ratih, hentikan halusinasimu!" Bagas membentak, suaranya terdengar marah, seolah-olah menyembunyikan sesuatu.Ratih gemetar, memeluk tubuhnya erat-erat, berusaha menenangkan diri meski ketakutan melingkupinya."Mas ... aku nggak bohong! Aku lihat sesuatu, aku ... aku nggak mungkin salah! Itu tadi ada di belakangmu, Mas!" suaranya bergetar, nyaris tidak terdengar.Bagas menggelengkan kepala, berusaha menenangkan Ratih. "Udahlah! Itu cuma perasaanmu. Kamu terlalu stres, Tih. Tidur aja, jangan dipikirkan!"Namun, Ratih tetap tidak bisa menutup mata. Perasaan bahwa ada sesuatu yang mengintai setiap gerakannya membuatnya tetap terjaga.'Apa ini? Kenapa aku merasa tubuhku disentuh bukan oleh suamiku? Kenapa Mas Bagas selalu terasa berbeda tiap malam?' pikir Ratih dalam kebingungan.Beberapa detik berlalu dalam keheningan yang menyesakkan. Bagas kembali mencoba tidur, tetapi waktu terasa berjalan sangat lambat bagi Ratih. Dia terus mengawasi setiap sudut kamar dengan ketegangan yang semakin
"Mas! Ini sarapannya," panggil Ratih sambil menata makanan di meja, menyiapkan hidangan mewah untuk suaminya.Bagas menoleh, menatap Ratih yang tampak lebih rapi dan berdandan dari biasanya. "Mau ke mana, Tih? Tumben rapi?" tanyanya, nada curiga tersirat dalam suaranya."Ehm! I—Ini Mas, anu ... Ehm!" Ratih tergagap, berusaha menjawab tapi suaranya tersendat-sendat karena gugup.Bagas menggelengkan kepala, sedikit mendengus. "Haduh, udah-udah! Kamu ini, semakin hari makin aneh saja," sahutnya sambil mulai menyantap makanannya.Ratih hanya diam, menyaksikan suaminya yang lahap memakan daging setengah matang di piringnya. Aroma daging itu membuat perut Ratih terasa mual. Makanan itu bukanlah sesuatu yang biasanya mereka makan sehari-hari. Namun, belakangan makanan agak mentah menjadi kesukaan Bagas.'Bukannya kamu yang hari demi hari makin aneh, Mas!' batin Ratih dengan getir, tapi dia menahan kata-kata itu dalam hati.Ratih terus memandangi Bagas yang tampak berbeda, seolah sedang meni
Saat membuka kantung itu, petani tercengang dengan kilauan emas di genggamannya. "Ju—Juragan! Ju—Juragan ini buat saya?" tanyanya bergetar."Ya. Itu buatmu, hanya 2 koin emas aja aku kasih," kata Bagas sambil bertolak pinggang."I—Ini udah sangat banyak Juragan! Terima kasih ... Terima kasih!" balas petani sambil sujud di hadapan Bagas. "Udah hentikan!" Bagas melirik dengan tajam. "Nanti, anak buahku akan antar beras dan sayur ke rumahmu, jadi kamu tidak kelaparan lagi," lanjutnya berbicara."Alhamdulillah, terima kasih juragan! Terima kasih banyak!" Petani itu semakin bersujud di hadapan Bagas. Saat petani bersujud syukur pada Bagas, Ratih muncul melihat pandangan yang berbeda. "Ada apa, Mas?" tanyanya heran."Nggak ada apa-apa?" balas singkat sambil memalingkan badannya."Juragan Ratih! Saya pamit pulang, terima kasih!" ucapnya lalu pergi. Ratih menyusul Bagas yang masuk ke dalam rumah. Melihat Bagas duduk di ruang tamu sambil menggenggam handphone. Di ujung telepon dia berbica
"Ratih! Tih! Bangun!" Teriakan Bagas menggema di dapur. Tangannya mengguncang tubuh istrinya yang tergeletak lemah di lantai dingin.Mata Ratih perlahan terbuka, tapi terasa berat. Bayangan wajah suaminya terlihat samar di atasnya."Mas ... Mas Bagas? Itu kamu?" rintihnya dengan suara serak, tubuhnya terasa kaku."Iya, ini aku! Cepat bangun! Ini udah pagi. Ngapain kamu tidur di dapur kayak orang nggak waras!" Bagas mendengus kesal, nada suaranya keras.Ratih menggigil, entah karena dingin atau ketakutan. Dia mencoba berdiri, tapi tubuhnya terasa limbung, hampir jatuh lagi. Dengan susah payah, dia meraih meja untuk menopang dirinya.Tanpa berkata-kata, Ratih berjalan sempoyongan menuju kamar mandi. Saat melihat cermin, pandangannya langsung terpaku.Di wajahnya, di leher, dan di lengannya tampak memar-memar ungu kehitaman. Pergelangan tangannya penuh cap jari besar, seakan-akan telah dicengkeram dengan kekuatan luar biasa. Nafasnya tersengal, jantungnya berdegup kencang."I—ini apa? Ap
"Mas, nggak ikut ngelayat ke rumah Bu Sunar?" tanya Ratih pelan sambil melepas selendang yang dikenakannya. Dia baru saja pulang dari pemakaman, tetapi pemandangan di ruang tamu membuat langkahnya terhenti. Di depan meja kecil, Bagas sedang meletakkan kemenyan dan menyalakan dupa."Untuk apa? Kalau udah mati, ya mati aja," jawab Bagas datar tanpa sedikit pun menoleh. Suaranya dingin, tanpa empati.Ratih terpaku. Perasaan takut bercampur bingung menyelimutinya. 'Sejak kapan Mas Bagas berubah seperti ini?' pikirnya. Perlahan, dia mencoba memberanikan diri."Mas ... dupa itu untuk apa? Mas sebenarnya melakukan apa, sih?" tanyanya, mencoba terdengar setenang mungkin meskipun suaranya bergetar.Tangan Bagas, yang tengah sibuk menyiapkan dupa, berhenti seketika. Dia mengangkat wajahnya perlahan, menatap Ratih dengan pandangan tajam yang membuat nyalinya ciut."Ratih, jangan ikut campur urusan ini!" suaranya rendah, tetapi penuh ancaman.Namun, Ratih tidak menyerah. Rasa takutnya kalah oleh
"Mas, apa yang kamu lakukan?" Bagas berdiri di pojok rumah dengan tubuh besarnya. Cahaya redup dari lampu minyak membuat bayangannya tampak semakin menyeramkan. Namun, dia tidak menjawab ucapan Ratih. "Mas, kamu kenapa?" suara Ratih bergetar, mencoba mendekati suaminya. Bagas hanya menggeram. Suaranya terdengar berat dan dalam. Tubuhnya semakin tinggi, lebih besar dari sebelumnya. Ratih mencoba meraih tangan besar itu, tapi Bagas malah menghempaskannya dengan kasar. Hrgh! Erangan itu menggema di ruangan. Ratih mundur selangkah, dadanya berdebar kencang. Lalu, tiba-tiba, Bagas menghilang begitu saja ke balik dinding kayu rumah mereka. Ratih terperangah. Matanya membelalak tidak percaya. "Mas ... Mas!" Dia menggedor dinding itu, berharap Bagas kembali muncul. Tidak ada jawaban. Ratih meremas rambutnya. Napasnya tersengal. Dia benar-benar tidak menyangka Bagas bisa menghilang begitu saja. Tangannya gemetar, menggigit jarinya sendiri sambil mondar-mandir tidak karuan.
"Mas Bagas!"Ratih terbangun dengan napas memburu. Tangannya terulur seolah ingin meraih sesuatu yang tidak ada di sana. Matanya membelalak, keringat dingin membasahi dahinya."Kenapa aku mimpi seperti itu?" gumamnya, masih berusaha menenangkan detak jantungnya yang tidak beraturan.Dalam mimpi itu, dia melihat suaminya berdiri di tepi sungai dengan tubuh yang tidak lagi seperti manusia. Matanya merah menyala, kulitnya ditumbuhi bulu lebat, dan tubuhnya membesar seperti raksasa. Dia tidak mengenali Bagas dalam sosok itu.Ratih turun dari tempat tidur. Perasaan gelisah semakin menguasainya. Rumah terasa begitu sunyi, hanya suara jangkrik dan burung hantu yang terdengar. Dia membuka pintu depan dan melangkah keluar. Angin malam yang dingin menerpa kulitnya, tapi itu tidak menghentikan langkahnya untuk memandang ke sekeliling."Mas Bagas mana, ya? Kenapa sudah malam begini belum pulang?" suaranya terdengar gemetar.Dia kembali masuk ke dalam rumah dan melihat jam dinding. Sudah pukul set
"Bagas, rumah itu buat anak setanmu, ya?" Suara itu terdengar begitu familiar. Bagas mengernyit. Sejak dulu, mereka—warga desa yang selalu mencaci makinya—tak pernah berubah. Saat dia miskin, mereka menghinanya. Saat dia kaya, mereka tetap merendahkannya. Bagas berusaha mengabaikan mereka. Tangannya sibuk menggergaji kayu, mencoba fokus pada pekerjaannya. "Hei, urus saja hidup kalian sendiri! Jangan ikut campur urusan orang lain!" teriak Bagas. Namun, bukannya pergi, warga malah semakin berani. "Sombong banget! Miskin tapi belagu!" seseorang berteriak lantang. Bagas mengepalkan tangan, mencoba menahan emosi. Namun, kesabarannya kini hampir habis. Matanya yang tadinya cokelat perlahan berubah merah. Dia berdiri, menatap mereka satu per satu. Napasnya mulai memburu, ada sesuatu yang bergolak dalam dirinya. Buk! Tanpa sadar, kepalan tangannya melayang dan mendarat di wajah salah satu warga. Warga yang lain langsung terperanjat. Mereka tak menyangka Bagas akan melawan. "Kurang
"Apa yang harus ku lakukan sekarang?" Bagas duduk di kursi kayu di depan rumah Ratih, menatap kosong ke arah kegelapan malam. Tangannya terangkat, menyibak lengan bajunya. Mata Bagas membelalak saat melihat bulu halus di lengannya yang semakin lebat dan tebal. Jantungnya berdebar. "Mau dicukur sampai kapan pun, bulu ini selalu tumbuh lebih banyak. Bagaimana sekarang?" gumamnya pelan. Angin malam berembus pelan, membuat helaian bulu di tangannya bergerak perlahan. Bagas meremas ujung bajunya dengan kuat, seolah berusaha menahan gemetar tubuhnya. Kegelisahan di hatinya semakin besar. Dulu, dia masih bisa menyembunyikannya dengan pakaian panjang—baju lengan panjang, celana panjang, bahkan sarung tangan saat bepergian. Tapi kini, tubuhnya semakin sulit dikendalikan. "Sampai kapan aku bisa menutupi ini?" bisiknya. Bagas mengusap wajahnya. Kulitnya terasa kasar, seperti ada sesuatu yang tumbuh di bawah permukaannya. Dia meraba pipinya dan merasakan bulu-bulu halus yang mulai menjalar
"Nak Bagas, kamu harus berhati-hati mulai sekarang!"Bagas mendongakkan kepala. Kejadian seseorang yang dapat mengubah dirinya menjadi Kyai Ahmad membuatnya sulit percaya kepada siapa pun yang ada di pendopo."Bagaimana aku bisa membedakan kalian dengan tipuan?" tanya Feri, yang juga merasakan kebingungan.Bagas mengangguk setuju. "Ya, Kyai! Bagaimana cara membedakannya? Karena tidak ada celah untuk mengetahui yang asli dan yang palsu!"Kyai Ahmad mendekat, lalu membisikkan sesuatu kepada mereka. Setelah itu, beliau memberikan sebuah gelang emas yang akan terlihat hanya ketika mereka membacakan doa. Itu akan menjadi tanda bahwa mereka adalah manusia asli."Gelang ini tidak bisa dilihat oleh orang lain, Bah?" tanya Feri, masih ragu. "Lalu bagaimana dengan yang lain? Apa mereka juga akan diberi gelang seperti ini?"Kyai Ahmad menghela napas, tampak tenang. "Tenang saja! Abah akan memberikannya juga kepada mereka."Saat gel
Bab XII – Rahasia yang Kian Gelap"Mas, kamu ke mana aja?"Ratih menatap tajam ke arah Bagas yang baru saja tiba di rumah. Wajahnya memerah, sorot matanya penuh kemarahan."Kamu tahu nggak sih, Mas? Mereka semua bawa obor dan celurit! Mereka melihat anak kita seperti melihat iblis! Begitu kejamnya!" Ratih naik pitam, suaranya meninggi.Bagas terdiam sejenak. Dia menghela napas berat, jelas ada sesuatu yang mengganjal pikirannya."Maafkan aku, tadi di hutan aku mengalami kejadian aneh," jawab Bagas akhirnya.Ratih tetap cemberut. Dia bahkan tidak tertarik menanyakan kejadian yang dialami Bagas. Tanpa banyak bicara, dia langsung menarik tangan suaminya, menyeretnya ke dalam rumah."Lihat sendiri anak-anak kita!"Saat matanya jatuh pada Jagat, Bagas terkejut. Kulit anaknya tidak seperti biasanya. Ada sesuatu yang berbeda, sesuatu yang tidak seharusnya terjadi."Loh, kenapa dengan Jagat?"Ratih men
"Kalian di sini saja, biar aku dan Kadir yang ke Desa Sumberarum!"Seorang warga berkata lantang, bersiap berangkat ke desa tempat Ratih dan anak kembarnya tinggal. Malam semakin larut, dan obor yang mereka bawa menari-nari ditiup angin."Kenapa juga ya Ratih pergi dari Desa Karangjati?" tanya salah seorang warga, suaranya penuh rasa ingin tahu.Kadir, pria yang lebih tua dan cukup dihormati, mendengus. "Kalian ini bagaimana sih? Bagas dan Ratih sudah pisah rumah sejak lama!" Dia menyalakan obornya, cahayanya menerangi wajah seriusnya.Beberapa warga saling berpandangan. Salah satu dari mereka berbisik, "Kurasa karena Bagas sudah nggak kaya lagi."Bisikan itu memicu percakapan."Iya juga, dulu dia hidup berkecukupan. Tapi sekarang?""Kalian masih ingat kan, dulu ada desas-desus kalau Bagas pakai pesugihan?""Benar! Apalagi kakeknya juga pernah dituduh melakukan hal yang sama!"Obrolan itu semakin memana
Bab XI: Ancaman yang Menghilang“Anda siapa?”Bagas bergegas mengejar Mbah Sarni yang tiba-tiba meninggalkan kerumunan warga. Napasnya memburu, kakinya melangkah cepat di atas tanah yang berdebu. Tatapan matanya tajam, menatap penuh intimidasi ke arah wanita tua itu.Mbah Sarni tidak berhenti. Dia tetap berjalan dengan tenang seolah tak mendengar panggilan Bagas."Tunggu! Jangan pergi! Saya tidak akan membiarkan Anda pergi begitu saja!" seru Bagas keras.Wanita tua itu akhirnya berhenti. Dia berbalik perlahan, dan untuk pertama kalinya, mereka bertemu pandang dalam jarak dekat. Mata Bagas dipenuhi amarah, sementara mata Mbah Sarni kosong, seolah melihat sesuatu yang tak kasatmata.Bagas mendekat, suaranya bergetar karena emosi yang tertahan."Kenapa Anda berbicara seperti itu kepada warga?" suaranya meninggi. "Jelas-jelas Anda tidak ada di sana saat istri saya melahirkan! Anda bahkan baru muncul di desa ini! Apa tujuan A
"Kalian sudah dengar belum? Ratih melahirkan!" Suara gemuruh memenuhi warung kopi di sudut desa Karangjati. Warga berkumpul, saling berbisik dan bertukar cerita, seolah membicarakan hal yang lebih menarik daripada panen tahun ini. "Serius? Bukannya Ratih sudah lama meninggalkan Bagas?" "Nah, itu dia yang aneh! Tiba-tiba dia pulang, hamil, lalu melahirkan anak kembar! Bagaimana bisa?" Bagas yang kebetulan sedang melewati warung hanya diam. Dia sudah mendengar banyak bisikan serupa selama beberapa minggu terakhir. Langkahnya tetap tenang, meskipun di dalam dadanya ada bara yang siap menyala. Namun, warga tak berhenti berbicara. "Bagas! Hebat juga, ya, si Ratih bisa hamil!" seru seorang lelaki bertopi caping dengan nada mengejek. Bagas pura-pura tak mendengar. Dia sibuk menyusun kayu di hadapannya, memukul paku dengan keras, berusaha mengabaikan suara-suara yang semakin mendekatinya. Tuk! Tuk! "Gas, gimana bisa Ratih hamil? Bukannya dia sudah lama pergi?" Bagas masih m