“Genderuwo? Apa yang harus saya lakukan untuk mendapatkan kekayaan darinya?”
Kata Genderuwo membuat Bagas merinding. Dia pernah mendengar cerita mengerikan tentang makhluk itu. Namun, desakan utang dan himpitan hidup kemiskinan membuatnya penasaran.
Ki Praja menatap Bagas dengan serius. “Genderuwo bisa memberikan kamu kekayaan tanpa batas. Tapi sebagai harganya, dia menuntut seorang perempuan menemaninya setiap malam."
"Perempuan?" Bagas tidak mengerti. "Saya akan mencari perempuan itu secepatnya, Pak."
Ki Praja menggeleng. "Nggak, Bagas. Karena yang dia mau adalah perempuan yang tinggal di rumah kamu.”
Bagas terkejut. Dia marah. “Nggak bisa! Saya nggak bisa mengorbankan Ratih untuk pesugihan ini.”
Bagas menentang keras syarat yang diberikan Ki Praja. Dia hendak membatalkan niatnya.
“Kamu harus tau, Bagas! Kalo kamu mau memperbaiki hidupmu, maka kamu harus siap menghadapi konsekuensinya. Tanpa pengorbanan, nggak ada yang bisa bantu kamu,” ujar Ki Praja, suaranya semakin menekan.
Mata Bagas melebar. "Ada cara lain nggak, Ki? Saya nggak mau korbankan Istri. Karena dia udah cukup menderita hidup miskin sama saya."
Ki Praja menggelengkan kepala. "Pikirkan baik-baik, Bagas! Kamu harus buat keputusan secepatnya!"
Bagas merasa tertekan. Dia termenung sejenak. Dia membayangkan sosok Ratih sedang tersenyum padanya.
Beberapa menit kemudian, Bagas menarik napas dalam-dalam. Dia sudah mengambil keputusan.
Bagas menelan ludah, mencoba memberanikan diri. "Saya … terima tawaran itu, Ki.”
Bagas mencoba menutupi kegelisahan hatinya saat melihat Ki Praja tersenyum tipis.
Ki Praja bertanya sekali lagi, “Bagas, kamu udah yakin, kan?"
Hati Bagas bergetar. Dia mencoba meyakinkan dirinya, bahwa keputusan ini adalah satu-satunya pilihan yang tersisa.
“Ki Praja, nggak usah khawatir! Saya udah mempertimbangkan semuanya."
Ki Praja mengangguk. "Kamu tenang aja, Bagas!"
Ki Praja menunjuk sebuah bangku kayu di samping gubuk. Mereka duduk berhadapan. Ki Praja mulai memberikan iming-iming kekayaan kepada Bagas.
Ki Praja menatap Bagas. "Pesugihan Genderuwo ini sangat manjur. Genderuwo adalah penjaga dunia lain. Dia punya akses ke dalam dunia kegelapan yang kita nggak pahami. Kekayaan yang dia berikan berasal dari sana."
Bagas merasakan bulu kuduknya meremang mendengar penjelasan Baskoro. Jika dulu dia menganggap Pesugihan Genderuwo ini sebagai dongeng, sekarang cerita dongeng itu akan menjadi nyata.
Bagas berpikir, 'Sampai kapanpun juga, Ratih jangan sampai tau Pesugihan Genderuwo ini.'
Ki Praja mengeluarkan dupa, bunga, kain hitam dan keris dari tas hitamnya.
“Berdirilah di tengah lingkaran. Jangan keluar sampai aku memintamu keluar!" perintah Ki Praja dengan suara yang tegas.
Bagas mengikuti instruksi yang di berikan Ki Praja. Ki Praja mulai membaca mantra, “Aku memanggilmu, wahai Genderuwo!"
Ki Praja mengangkat kedua tangannya melanjutkan mantra. "Datanglah kepada kami! Hadirkan kekuatanmu, dan terimalah persembahan dari orang yang ingin mengabdi padamu!” ucap Ki Praja, suaranya bergetar namun penuh keyakinan.
Genderuwo itu muncul di balik pohon besar, menatap tajam ke arah Bagas. Tubuhnya gemetar, napasnya berat, dia tahu pantang baginya untuk meninggalkan lingkaran.
“Jangan takut, Bagas!” suara Ki Praja yang keras kembali menggema. “Kamu udah mengundangnya. Jangan tunjukkan rasa takut.”
Genderuwo itu bergerak mendekat, suaranya bergetar seperti gemuruh. "Apa yang kamu inginkan dari dunia kegelapan ini, manusia?" tanyanya dengan nada seram yang menusuk hingga ke tulang.
“Saya ingin … kekayaan,” jawab Bagas dengan suara bergetar.
Genderuwo itu mengerang pelan, “Syaratnya udah kamu tau. Perempuan itu akan menjadi milikku di malam-malam mendatang. Kamu tak bisa mundur setelah ini.”
Bagas menundukkan kepala, sejenak merasa bersalah. Namun, desakan hidup mengalahkan segala keraguannya. “Saya sudah siap,” katanya dengan suara lemah tapi tegas.
Ki Praja melanjutkan ritual, mengulurkan kain hitam dan keris ke arah Genderuwo. Seketika kain itu berubah menjadi abu di tangannya. Lalu, Genderuwo merentangkan tangannya, dan koin-koin emas mulai jatuh dari atas, bergemerincing di dalam lingkaran.
“Ambil ini sebagai awal kekayaanmu!" Perintah Genderuwo. “Mulai sekarang, kekayaan akan terus mengalir. Tapi, ingat janjimu untuk persembahan nggak bisa kamu hindari!”
Bagas mengangguk, hatinya campur aduk antara ketakutan dan kelegaan.
Setelah Genderuwo menghilang, Ki Praja melepaskan lingkaran dan menepuk bahu Bagas, “Selamat, Bagas! hidupmu akan berubah. Jangan sampai kamu melanggar kesepakatan!”
Bagas mengambil koin-koin emas itu, tangannya bergetar, matanya berbinar-binar melihat banyak emas di genggamannya.
"Astaga! Apa ini benar emas, Ki?" ucap Bagas yang masih tidak menyangka.
Ki Praja tersenyum tipis sambil melirik Bagas, "Tentu saja, kamu bisa pakai itu untuk kehidupanmu," ujar Ki Praja, lanjutnya ,"tapi, ingat janjimu."
Ki Praja memberi Bagas bungkusan kain merah. "Le!" panggil Ki Praja. "Ini adalah jimat pengikat perjanjianmu dengan Genderuwo!" ucap Ki Praja.Bagas memandang benda tersebut dengan ragu. “Apa ini, Ki? Apa dari perjanjian tadi?”Ki Praja mengangguk sambil menyerahkan jimat itu. "Bener. Ini adalah jimat yang akan melindungi perjanjianmu, Le!" ujar Ki Praja, lanjutnya, "jimat ini pengingat mu agar nggak melanggar perjanjian yang udah dibuat. Selama, memegangnya, kamu akan dilindungi oleh kekuatan dari Genderuwo, dan kekayaan yang di harapkan akan segera datang."Bagas menerima jimat itu dan pulang saat matahari mulai terbit. Bagas langsung tertuju ke ladang di depan rumahnya, dan dia tertegun. Lahan yang dulu tandus dan gersang kini berubah menjadi hijau, dengan tanaman yang mulai tumbuh subur. Hampir tak percaya, dia berjalan mendekat dan meraba daun-daun segar yang tampak sehat.Bagas merasakan kenikmatan hasil dari perjanjian dengan Genderuwo."Ratih! Ratih, cepetan ke sini!" panggil
“Kamu nggak lupa sama janji, kan?” tanya Genderuwo dengan suara berat dan besar. Bagas hanya mengangguk dengan wajah pucat pasi, dia meminta waktu untuk mencari celah waktu dari istrinya.“Kalo kamu lupa, kamu akan tau akibatnya,” ujar Genderuwo itu lagi. “Sa-saya nggak lupa, ta-tapi harus tunggu Ratih tidur dulu,” jawab Bagas terbata.Bagas akhirnya masuk menemui Ratih. “Buatin kopi panas ya! Nanti taruh aja di kamar!” pinta Bagas.Ratih segera ke dapur membuatkan kopi untuk suaminya. Sekembalinya Ratih ke dalam kamar, Bagas sudah tidak ada. Dia mencari Bagas keluar rumah. “Mas, di mana? Sudah malem ini. Ayo tidur!” panggil Ratih di kegelapan malam.Sampai sosok Bagas terlihat datang, semula Ratih sedikit takut. Dari kegelapan malam, mata Bagas menyala. Keringat dingin bercucuran. Bagas pun mendekatinya. “Mas, aku pikir tadi apa! Aku ketakutan, Mas. Rasanya hawa malem ini dingin banget,” ujar Ratih yang sempat terkejut.Bagas tidak menjawab sama sekali ucapan Ratih, dia hanya ter
Pagi harinya, Bagas memerintahkan Ratih untuk membuang perabotan rumah dan menggantinya dengan yang baru. “Coba lihat! Ini akan terlihat bagus. Senang, kan?” tanyanya, tersenyum bangga. "Iya, Mas. Ratih senang," jawabnya ragu. Ratih fokus melihat ke arah lengannya yang membiru akibat genggaman tangan Bagas yang menekannya di tempat tidur. Hampir tiap pagi tanda biru muncul di tubuhnya. "Hasil panen kita hari ini juga banyak. Nanti aku pekerjakan orang untuk mengolah ladang kita!" ujarnya sambil bertolak pinggang. Sebelum Ratih menjawab, Bagas melanjutkan ucapannya kembali, "Oh iya, aku minta kamu jangan bersikap seperti orang susah lagi," ujarnya tajam. Ratih pun mengangguk dengan wajah menahan rasa sakit di sekujur tubuh. Herannya, Bagas tidak menyadari hal itu. Pria itu tetap fokus dengan kekayaan yang lagi dimilikinya saat ini, dia terus berbicara bagai burung beo. "Kalau ada yang menghina kamu, kasih tau aku! Aku akan urus mereka!" seru Bagas, merasa bangga.Ratih hany
“Kamu sadar, nggak? Banyak hal keberuntungan bagi mereka,” ujar seorang Ibu yang masih memotong padi. Tidak lama, pekerja lain datang berbisik di sampingnya, wajahnya tidak begitu Ratih kenal. “Kamu nggak curiga?” tanya pria itu. Ratih menatapnya dengan mengernyitkan dahi. Ratih merasa, pria itu ingin memprovokasi para warga yang bekerja padanya. Bahkan, walau semua yang dia katakan saat ini juga melanda Ratih. Perasaan penuh curiga dan gelisah yang menghantui hari-harinya. Sampai sebuah pernyataan yang menjadi kegelisahannya bertambah, suara sumbang dari warga yang menanggapi pria tersebut. “Jangan-jangan dia melakukan hal yang mistis,” ujarnya. Membuat mata Ratih mendelik, wanita itu sadar saat melihat tatapan Ratih yang menunduk ketakutan, merasa secara tidak langsung menyinggung Ratih. “Waduh, aku nggak sadar kalo ada Nyonya besar. Gimana ini?” Dia memegang tangan temannya karena panik. “Bahaya, inget jasad Juragan Suwandi!” Terasa di mata Ratih mereka saling menelan sal
"Ratih, hentikan halusinasimu!" Bagas membentak, suaranya terdengar marah, seolah-olah menyembunyikan sesuatu.Ratih gemetar, memeluk tubuhnya erat-erat, berusaha menenangkan diri meski ketakutan melingkupinya."Mas ... aku nggak bohong! Aku lihat sesuatu, aku ... aku nggak mungkin salah! Itu tadi ada di belakangmu, Mas!" suaranya bergetar, nyaris tidak terdengar.Bagas menggelengkan kepala, berusaha menenangkan Ratih. "Udahlah! Itu cuma perasaanmu. Kamu terlalu stres, Tih. Tidur aja, jangan dipikirkan!"Namun, Ratih tetap tidak bisa menutup mata. Perasaan bahwa ada sesuatu yang mengintai setiap gerakannya membuatnya tetap terjaga.'Apa ini? Kenapa aku merasa tubuhku disentuh bukan oleh suamiku? Kenapa Mas Bagas selalu terasa berbeda tiap malam?' pikir Ratih dalam kebingungan.Beberapa detik berlalu dalam keheningan yang menyesakkan. Bagas kembali mencoba tidur, tetapi waktu terasa berjalan sangat lambat bagi Ratih. Dia terus mengawasi setiap sudut kamar dengan ketegangan yang semakin
"Mas! Ini sarapannya," panggil Ratih sambil menata makanan di meja, menyiapkan hidangan mewah untuk suaminya.Bagas menoleh, menatap Ratih yang tampak lebih rapi dan berdandan dari biasanya. "Mau ke mana, Tih? Tumben rapi?" tanyanya, nada curiga tersirat dalam suaranya."Ehm! I—Ini Mas, anu ... Ehm!" Ratih tergagap, berusaha menjawab tapi suaranya tersendat-sendat karena gugup.Bagas menggelengkan kepala, sedikit mendengus. "Haduh, udah-udah! Kamu ini, semakin hari makin aneh saja," sahutnya sambil mulai menyantap makanannya.Ratih hanya diam, menyaksikan suaminya yang lahap memakan daging setengah matang di piringnya. Aroma daging itu membuat perut Ratih terasa mual. Makanan itu bukanlah sesuatu yang biasanya mereka makan sehari-hari. Namun, belakangan makanan agak mentah menjadi kesukaan Bagas.'Bukannya kamu yang hari demi hari makin aneh, Mas!' batin Ratih dengan getir, tapi dia menahan kata-kata itu dalam hati.Ratih terus memandangi Bagas yang tampak berbeda, seolah sedang meni
Saat membuka kantung itu, petani tercengang dengan kilauan emas di genggamannya. "Ju—Juragan! Ju—Juragan ini buat saya?" tanyanya bergetar."Ya. Itu buatmu, hanya 2 koin emas aja aku kasih," kata Bagas sambil bertolak pinggang."I—Ini udah sangat banyak Juragan! Terima kasih ... Terima kasih!" balas petani sambil sujud di hadapan Bagas. "Udah hentikan!" Bagas melirik dengan tajam. "Nanti, anak buahku akan antar beras dan sayur ke rumahmu, jadi kamu tidak kelaparan lagi," lanjutnya berbicara."Alhamdulillah, terima kasih juragan! Terima kasih banyak!" Petani itu semakin bersujud di hadapan Bagas. Saat petani bersujud syukur pada Bagas, Ratih muncul melihat pandangan yang berbeda. "Ada apa, Mas?" tanyanya heran."Nggak ada apa-apa?" balas singkat sambil memalingkan badannya."Juragan Ratih! Saya pamit pulang, terima kasih!" ucapnya lalu pergi. Ratih menyusul Bagas yang masuk ke dalam rumah. Melihat Bagas duduk di ruang tamu sambil menggenggam handphone. Di ujung telepon dia berbica
"Ratih! Tih! Bangun!" Teriakan Bagas menggema di dapur. Tangannya mengguncang tubuh istrinya yang tergeletak lemah di lantai dingin.Mata Ratih perlahan terbuka, tapi terasa berat. Bayangan wajah suaminya terlihat samar di atasnya."Mas ... Mas Bagas? Itu kamu?" rintihnya dengan suara serak, tubuhnya terasa kaku."Iya, ini aku! Cepat bangun! Ini udah pagi. Ngapain kamu tidur di dapur kayak orang nggak waras!" Bagas mendengus kesal, nada suaranya keras.Ratih menggigil, entah karena dingin atau ketakutan. Dia mencoba berdiri, tapi tubuhnya terasa limbung, hampir jatuh lagi. Dengan susah payah, dia meraih meja untuk menopang dirinya.Tanpa berkata-kata, Ratih berjalan sempoyongan menuju kamar mandi. Saat melihat cermin, pandangannya langsung terpaku.Di wajahnya, di leher, dan di lengannya tampak memar-memar ungu kehitaman. Pergelangan tangannya penuh cap jari besar, seakan-akan telah dicengkeram dengan kekuatan luar biasa. Nafasnya tersengal, jantungnya berdegup kencang."I—ini apa? Ap
"Kyai!" panggil Bagas dengan suara keras di depan rumah Kyai Ahmad. Hembusan napasnya berat, mencerminkan keputusasaan yang menyelimuti hatinya. Terdengar suara langkah mendekat dari dalam. Gagang pintu perlahan bergerak, menandakan seseorang akan keluar. Namun, alih-alih Kyai Ahmad, sosok pria lain muncul—Feri. Bagas terkejut melihatnya. Wajah Feri pucat seketika saat mengenali Bagas. Matanya membelalak, tubuhnya gemetar, mengingat kejadian masa lalu yang membuatnya hampir kehilangan nyawa karena ulah Bagas. "Ma—Mas Bagas?" Feri tergagap, suaranya bergetar. Dia berdiri di ambang pintu, seolah ingin memastikan bahwa pria di hadapannya itu nyata. Bagas, yang masih diliputi kebingungan dan kegelisahan, hanya menatap Feri tanpa banyak bicara. Namun, sorot matanya yang penuh tekanan membuat Feri semakin cemas. Rasa trauma yang mendalam kembali menyeruak di hati Feri. Dalam sekejap, dia menarik napas panjang dan s
"Jangan!" Bagas berteriak keras, suaranya menggema di ruangan sempit itu. Keringat dingin membasahi tubuhnya, dan napasnya tersengal-sengal saat ia terbangun dari tidur yang mencekam. Tangannya gemetar hebat, tubuhnya terasa kaku, sementara matanya melotot penuh ketakutan. "Apa itu tadi? Apa—apa yang terjadi padaku?" Bagas bergumam dengan suara parau, mencoba mengumpulkan keberanian untuk memahami apa yang baru saja ia alami. Mimpi itu terlalu nyata. Dalam mimpi tersebut, tubuhnya perlahan berubah. Kulitnya menghitam, bulu-bulu kasar tumbuh di seluruh tubuhnya. Matanya memerah, kuku-kuku tangannya memanjang menyerupai cakar. Bayangannya di genangan air menunjukkan sosok mengerikan—dirinya sendiri berubah menjadi Genderuwo. Dengan tangan gemetar, Bagas menurunkan kakinya dari ranjang. Namun, tubuhnya terasa lemah, hampir tidak sanggup menopang beratnya. Dia menunduk, menatap telapak tangannya yang masih bergetar. "Bulu halus ini … kenapa tidak pernah benar-benar hilang? Tapi tadi,
"Kenapa tadi kamu terlihat murung, Nak Bagas?" tanya Kyai Ahmad, menyadari kegelisahan yang terpancar dari raut wajah Bagas. Bagas terdiam sejenak, menimbang-nimbang apakah harus menceritakan semuanya. Akhirnya, dia menghela napas panjang dan mulai bicara. "Nggak ada, Kyai ... Tapi, akhir-akhir ini saya sering mimpi tentang Mbah saya. Mimpi itu ... aneh dan terasa nyata! Di situ, Mbah saya terlihat begitu kejam, bahkan ada yang terang-terangan menunjukkan bahwa Mbah saya pernah menghabisi nyawa seseorang," jelas Bagas dengan suara bergetar. Kyai Ahmad memejamkan matanya, seperti sedang merenung dalam. "Apakah ini ada hubungannya dengan dukun yang dulu membantumu melakukan pesugihan?" tanyanya perlahan. Bagas mengangguk ragu. "Iya, Kyai! Saya merasa ada kaitannya. Tapi saya nggak ngerti maksud dari semua ini," jawabnya lirih. Kyai Ahmad menatap Bagas dengan tatapan penuh arti. "Aku memang melihat ada sesuatu antara Mbahmu dengan dukun itu," katanya sambil menghela napas panjang.
"Tapi di mana aku bisa mencarinya?" gumam Bagas, berusaha mengendalikan rasa takut yang mulai merayap. "Aku harus tahu kebenaran ini. Kalau benar dia yang menghancurkan hidupku, aku harus menemukannya." Namun, Bagas sadar bahwa langkah ini sangat berbahaya. Ki Praja bukan hanya sekadar dukun. Dia adalah seseorang yang bisa membalaskan dendamnya tanpa terlihat. Meski ragu, Bagas akhirnya memutuskan untuk mencari informasi lebih lanjut tentang Ki Praja. Namun, tak ada satu pun warga desa yang mau membantunya. Setiap kali dia mencoba bertanya, mereka hanya menghindar atau memberikan jawaban singkat yang tidak memuaskan. "Dimana lagi aku harus mencari tahu?" gumam Bagas dengan langkah berat menyusuri jalan berbatu. Kepalanya tertunduk lesu, pikirannya dipenuhi kebingungan dan rasa putus asa. Tanpa sadar, dia menabrak seseorang. Ketika Bagas mendongak, dia melihat Kyai Ahmad berdiri di depannya, menatapnya dengan tatapan penuh makna. "Kyai!" Bagas terkejut, tetapi juga merasa lega mel
"Kenapa kehidupanku semakin susah begini?" keluh Bagas sambil menyandarkan tubuhnya di kursi tua yang hampir patah. Dia memandang kosong ke arah langit-langit rumah kecil yang kini menjadi tempat tinggalnya. Dari seorang yang pernah disegani karena kekayaannya, kini dia kembali hidup dalam kemiskinan. Semua itu terasa seperti hukuman yang tak pernah berakhir. Bagas merenung. Dia memang datang dari keluarga miskin. Kehidupannya yang keras memaksanya mencari jalan pintas—jalan gelap. Demi mengejar kekayaan, dia membuat perjanjian dengan makhluk halus, Genderuwo. Pesugihan itu memberinya harta melimpah untuk sementara waktu, tetapi dengan harga yang mahal. Sekarang, semuanya telah hancur. "Entah, hidupku semakin hari semakin memprihatinkan," gumamnya lirih, suara lelahnya memenuhi ruang tamu yang sunyi. Matahari sore menyelinap masuk melalui celah tirai usang, menciptakan garis-garis terang di lantai. Namun, sinar itu tak mampu menghangatkan hatinya yang dingin dan penuh penyesalan.
"Tolong ada orang di sini?" Bagas berteriak dengan kencang, suaranya bergema tanpa jawaban. Bagas terbangun di sebuah tempat yang aneh. Di sekelilingnya hanyalah kabut putih tebal yang bergerak pelan seiring hembusan angin. Kakinya menginjak tanah dingin, tapi dia tidak tahu di mana dia berada. Saat dia berjalan perlahan, sosok-sosok mulai bermunculan dari balik kabut. Wajah mereka terlihat jelas—semuanya mirip dengan kakeknya, Wartono. Bagas terpaku, tubuhnya kaku seperti membeku. "Kalian siapa?" suaranya bergetar, hampir tidak keluar dari tenggorokan. Mereka hanya berdiri mematung, tatapan dingin mereka menusuk ke arah Bagas. Salah satu dari mereka melangkah maju. Wajahnya sangat identik dengan kakeknya, hingga Bagas tak bisa membedakan. "Mbah... Mbah Warto? Kenapa banyak sekali?" Bagas bertanya, suaranya nyaris tidak terdengar. Sosok yang mirip Wartono itu tidak menjawab. Sebaliknya, angin tiba-tiba berhembus di telinga Bagas, membawa bisikan lembut namun menyeramkan
"Aku harus segera pergi!" Ratih mulai mengemas pakaiannya dengan tergesa-gesa. Tangannya gemetar saat melipat setiap helai baju, tetapi dia berusaha tetap fokus. Setelah selesai, dia mengintip dari balik gorden, memastikan situasi di luar aman sebelum meninggalkan kontrakannya. Ketika dia merasa tidak ada yang mencurigakan, Ratih berjalan cepat menuju persimpangan jalan. Di sana, dia melihat seorang pengayuh becak yang sedang duduk termenung di bawah lampu jalan yang remang-remang. "Bang, antarkan saya ke Desa Sumberarum, ya!" pinta Ratih dengan nada yakin. Mamang becak menatapnya dengan ragu. "Yakin, Neng? Ini udah malam banget loh. Disana gelap banget kalau udah malam begini!" katanya, terlihat khawatir. Ratih tersenyum kecil, mencoba menenangkan kegelisahan si tukang becak. "Udah tenang aja, Bang. Saya udah pernah ke sana. Nggak seseram itu kok." Meskipun masih ragu, Mamang becak akhirnya mengangguk dan mulai mengayuh becaknya perlahan. Roda becak berderit pelan, mengiringi p
"Ratih, tunggu!"Bagas berteriak, suaranya menggema di antara pepohonan. Namun, Ratih tak sedikit pun menoleh. Langkahnya semakin cepat, hampir seperti berlari. Dia menggenggam erat keranjang di tangannya, matanya lurus ke depan, mengabaikan panggilan suaminya yang semakin lirih di kejauhan."Maafkan aku, Mas! Aku nggak bisa dekat sama kamu!" bisiknya pelan, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada Bagas.Hatinya gelisah, tapi dia tahu ini adalah keputusan yang harus diambil. Sesekali dia menoleh ke belakang, memastikan Bagas tidak mengikutinya. Napasnya memburu, bukan hanya karena langkahnya yang cepat, tetapi juga karena perasaan bersalah yang menyesakkan dadanya."Nggak bisa! Aku nggak bisa!" Begitu yang dia ucapkan pada dirinya sendiri.Setibanya di rumah, Ratih segera menutup pintu dengan tergesa-gesa, mengunci semua jendela dengan tangan gemetar. Dia menyandarkan tubuhnya pada pintu kayu itu, mencoba menenangkan detak jantung yang berpacu tak beraturan. Keringat dingin memb
"Ampun, Mbah Warto!"Seorang wanita bersimpuh, menangis dengan suara parau. Tubuhnya gemetar, memohon di hadapan sosok tua dengan wajah tanpa ekspresi. Bagas berdiri di dekatnya, menatap pemandangan itu dengan rasa campur aduk—iba dan ngeri bercampur jadi satu."Mbah!" seru Bagas, mencoba menghentikan tindakan kakeknya. Namun, teriakannya hanya menggema tanpa hasil. Wartono tetap diam, wajahnya seperti topeng tanpa emosi, sementara wanita itu terus menangis.“Mbah, hentikan!” Bagas mencoba mendekat, tapi tubuhnya terasa kaku, seperti ada kekuatan tak terlihat yang menahannya. Tiba-tiba, dia merasakan sesuatu yang hangat menetes di pipinya."Weh, Bagas! Kamu mati?"Suara nyaring itu menggema, memaksa Bagas membuka matanya perlahan. Pandangannya samar, tapi dia bisa mengenali suara itu. Dia berada di pondok ladangnya, terduduk di lantai bambu yang dingin."Ah... ada apa ini?" gumamnya sambil mengusap wajah."Kaya orang mati kamu tadi! Dipanggil nggak bangun-bangun!" sahut salah satu war