“Genderuwo? Apa yang harus saya lakukan untuk mendapatkan kekayaan darinya?”
Kata Genderuwo membuat Bagas merinding. Dia pernah mendengar cerita mengerikan tentang makhluk itu. Namun, desakan utang dan himpitan hidup kemiskinan membuatnya penasaran.
Ki Praja menatap Bagas dengan serius. “Genderuwo bisa memberikan kamu kekayaan tanpa batas. Tapi sebagai harganya, dia menuntut seorang perempuan menemaninya setiap malam."
"Perempuan?" Bagas tidak mengerti. "Saya akan mencari perempuan itu secepatnya, Pak."
Ki Praja menggeleng. "Nggak, Bagas. Karena yang dia mau adalah perempuan yang tinggal di rumah kamu.”
Bagas terkejut. Dia marah. “Nggak bisa! Saya nggak bisa mengorbankan Ratih untuk pesugihan ini.”
Bagas menentang keras syarat yang diberikan Ki Praja. Dia hendak membatalkan niatnya.
“Kamu harus tau, Bagas! Kalo kamu mau memperbaiki hidupmu, maka kamu harus siap menghadapi konsekuensinya. Tanpa pengorbanan, nggak ada yang bisa bantu kamu,” ujar Ki Praja, suaranya semakin menekan.
Mata Bagas melebar. "Ada cara lain nggak, Ki? Saya nggak mau korbankan Istri. Karena dia udah cukup menderita hidup miskin sama saya."
Ki Praja menggelengkan kepala. "Pikirkan baik-baik, Bagas! Kamu harus buat keputusan secepatnya!"
Bagas merasa tertekan. Dia termenung sejenak. Dia membayangkan sosok Ratih sedang tersenyum padanya.
Beberapa menit kemudian, Bagas menarik napas dalam-dalam. Dia sudah mengambil keputusan.
Bagas menelan ludah, mencoba memberanikan diri. "Saya … terima tawaran itu, Ki.”
Bagas mencoba menutupi kegelisahan hatinya saat melihat Ki Praja tersenyum tipis.
Ki Praja bertanya sekali lagi, “Bagas, kamu udah yakin, kan?"
Hati Bagas bergetar. Dia mencoba meyakinkan dirinya, bahwa keputusan ini adalah satu-satunya pilihan yang tersisa.
“Ki Praja, nggak usah khawatir! Saya udah mempertimbangkan semuanya."
Ki Praja mengangguk. "Kamu tenang aja, Bagas!"
Ki Praja menunjuk sebuah bangku kayu di samping gubuk. Mereka duduk berhadapan. Ki Praja mulai memberikan iming-iming kekayaan kepada Bagas.
Ki Praja menatap Bagas. "Pesugihan Genderuwo ini sangat manjur. Genderuwo adalah penjaga dunia lain. Dia punya akses ke dalam dunia kegelapan yang kita nggak pahami. Kekayaan yang dia berikan berasal dari sana."
Bagas merasakan bulu kuduknya meremang mendengar penjelasan Baskoro. Jika dulu dia menganggap Pesugihan Genderuwo ini sebagai dongeng, sekarang cerita dongeng itu akan menjadi nyata.
Bagas berpikir, 'Sampai kapanpun juga, Ratih jangan sampai tau Pesugihan Genderuwo ini.'
Ki Praja mengeluarkan dupa, bunga, kain hitam dan keris dari tas hitamnya.
“Berdirilah di tengah lingkaran. Jangan keluar sampai aku memintamu keluar!" perintah Ki Praja dengan suara yang tegas.
Bagas mengikuti instruksi yang di berikan Ki Praja. Ki Praja mulai membaca mantra, “Aku memanggilmu, wahai Genderuwo!"
Ki Praja mengangkat kedua tangannya melanjutkan mantra. "Datanglah kepada kami! Hadirkan kekuatanmu, dan terimalah persembahan dari orang yang ingin mengabdi padamu!” ucap Ki Praja, suaranya bergetar namun penuh keyakinan.
Genderuwo itu muncul di balik pohon besar, menatap tajam ke arah Bagas. Tubuhnya gemetar, napasnya berat, dia tahu pantang baginya untuk meninggalkan lingkaran.
“Jangan takut, Bagas!” suara Ki Praja yang keras kembali menggema. “Kamu udah mengundangnya. Jangan tunjukkan rasa takut.”
Genderuwo itu bergerak mendekat, suaranya bergetar seperti gemuruh. "Apa yang kamu inginkan dari dunia kegelapan ini, manusia?" tanyanya dengan nada seram yang menusuk hingga ke tulang.
“Saya ingin … kekayaan,” jawab Bagas dengan suara bergetar.
Genderuwo itu mengerang pelan, “Syaratnya udah kamu tau. Perempuan itu akan menjadi milikku di malam-malam mendatang. Kamu tak bisa mundur setelah ini.”
Bagas menundukkan kepala, sejenak merasa bersalah. Namun, desakan hidup mengalahkan segala keraguannya. “Saya sudah siap,” katanya dengan suara lemah tapi tegas.
Ki Praja melanjutkan ritual, mengulurkan kain hitam dan keris ke arah Genderuwo. Seketika kain itu berubah menjadi abu di tangannya. Lalu, Genderuwo merentangkan tangannya, dan koin-koin emas mulai jatuh dari atas, bergemerincing di dalam lingkaran.
“Ambil ini sebagai awal kekayaanmu!" Perintah Genderuwo. “Mulai sekarang, kekayaan akan terus mengalir. Tapi, ingat janjimu untuk persembahan nggak bisa kamu hindari!”
Bagas mengangguk, hatinya campur aduk antara ketakutan dan kelegaan.
Setelah Genderuwo menghilang, Ki Praja melepaskan lingkaran dan menepuk bahu Bagas, “Selamat, Bagas! hidupmu akan berubah. Jangan sampai kamu melanggar kesepakatan!”
Bagas mengambil koin-koin emas itu, tangannya bergetar, matanya berbinar-binar melihat banyak emas di genggamannya.
"Astaga! Apa ini benar emas, Ki?" ucap Bagas yang masih tidak menyangka.
Ki Praja tersenyum tipis sambil melirik Bagas, "Tentu saja, kamu bisa pakai itu untuk kehidupanmu," ujar Ki Praja, lanjutnya ,"tapi, ingat janjimu."
Ki Praja memberi Bagas bungkusan kain merah. "Le!" panggil Ki Praja. "Ini adalah jimat pengikat perjanjianmu dengan Genderuwo!" ucap Ki Praja.Bagas memandang benda tersebut dengan ragu. “Apa ini, Ki? Apa dari perjanjian tadi?”Ki Praja mengangguk sambil menyerahkan jimat itu. "Bener. Ini adalah jimat yang akan melindungi perjanjianmu, Le!" ujar Ki Praja, lanjutnya, "jimat ini pengingat mu agar nggak melanggar perjanjian yang udah dibuat. Selama, memegangnya, kamu akan dilindungi oleh kekuatan dari Genderuwo, dan kekayaan yang di harapkan akan segera datang."Bagas menerima jimat itu dan pulang saat matahari mulai terbit. Bagas langsung tertuju ke ladang di depan rumahnya, dan dia tertegun. Lahan yang dulu tandus dan gersang kini berubah menjadi hijau, dengan tanaman yang mulai tumbuh subur. Hampir tak percaya, dia berjalan mendekat dan meraba daun-daun segar yang tampak sehat.Bagas merasakan kenikmatan hasil dari perjanjian dengan Genderuwo."Ratih! Ratih, cepetan ke sini!" panggil
“Kamu nggak lupa sama janji, kan?” tanya Genderuwo dengan suara berat dan besar. Bagas hanya mengangguk dengan wajah pucat pasi, dia meminta waktu untuk mencari celah waktu dari istrinya.“Kalo kamu lupa, kamu akan tau akibatnya,” ujar Genderuwo itu lagi. “Sa-saya nggak lupa, ta-tapi harus tunggu Ratih tidur dulu,” jawab Bagas terbata.Bagas akhirnya masuk menemui Ratih. “Buatin kopi panas ya! Nanti taruh aja di kamar!” pinta Bagas.Ratih segera ke dapur membuatkan kopi untuk suaminya. Sekembalinya Ratih ke dalam kamar, Bagas sudah tidak ada. Dia mencari Bagas keluar rumah. “Mas, di mana? Sudah malem ini. Ayo tidur!” panggil Ratih di kegelapan malam.Sampai sosok Bagas terlihat datang, semula Ratih sedikit takut. Dari kegelapan malam, mata Bagas menyala. Keringat dingin bercucuran. Bagas pun mendekatinya. “Mas, aku pikir tadi apa! Aku ketakutan, Mas. Rasanya hawa malem ini dingin banget,” ujar Ratih yang sempat terkejut.Bagas tidak menjawab sama sekali ucapan Ratih, dia hanya ter
Pagi harinya, Bagas memerintahkan Ratih untuk membuang perabotan rumah dan menggantinya dengan yang baru. “Coba lihat! Ini akan terlihat bagus. Senang, kan?” tanyanya, tersenyum bangga. "Iya, Mas. Ratih senang," jawabnya ragu. Ratih fokus melihat ke arah lengannya yang membiru akibat genggaman tangan Bagas yang menekannya di tempat tidur. Hampir tiap pagi tanda biru muncul di tubuhnya. "Hasil panen kita hari ini juga banyak. Nanti aku pekerjakan orang untuk mengolah ladang kita!" ujarnya sambil bertolak pinggang. Sebelum Ratih menjawab, Bagas melanjutkan ucapannya kembali, "Oh iya, aku minta kamu jangan bersikap seperti orang susah lagi," ujarnya tajam. Ratih pun mengangguk dengan wajah menahan rasa sakit di sekujur tubuh. Herannya, Bagas tidak menyadari hal itu. Pria itu tetap fokus dengan kekayaan yang lagi dimilikinya saat ini, dia terus berbicara bagai burung beo. "Kalau ada yang menghina kamu, kasih tau aku! Aku akan urus mereka!" seru Bagas, merasa bangga.Ratih hany
“Kamu sadar, nggak? Banyak hal keberuntungan bagi mereka,” ujar seorang Ibu yang masih memotong padi. Tidak lama, pekerja lain datang berbisik di sampingnya, wajahnya tidak begitu Ratih kenal. “Kamu nggak curiga?” tanya pria itu. Ratih menatapnya dengan mengernyitkan dahi. Ratih merasa, pria itu ingin memprovokasi para warga yang bekerja padanya. Bahkan, walau semua yang dia katakan saat ini juga melanda Ratih. Perasaan penuh curiga dan gelisah yang menghantui hari-harinya. Sampai sebuah pernyataan yang menjadi kegelisahannya bertambah, suara sumbang dari warga yang menanggapi pria tersebut. “Jangan-jangan dia melakukan hal yang mistis,” ujarnya. Membuat mata Ratih mendelik, wanita itu sadar saat melihat tatapan Ratih yang menunduk ketakutan, merasa secara tidak langsung menyinggung Ratih. “Waduh, aku nggak sadar kalo ada Nyonya besar. Gimana ini?” Dia memegang tangan temannya karena panik. “Bahaya, inget jasad Juragan Suwandi!” Terasa di mata Ratih mereka saling menelan sal
"Ratih, hentikan halusinasimu!" Bagas membentak, suaranya terdengar marah, seolah-olah menyembunyikan sesuatu.Ratih gemetar, memeluk tubuhnya erat-erat, berusaha menenangkan diri meski ketakutan melingkupinya."Mas ... aku nggak bohong! Aku lihat sesuatu, aku ... aku nggak mungkin salah! Itu tadi ada di belakangmu, Mas!" suaranya bergetar, nyaris tidak terdengar.Bagas menggelengkan kepala, berusaha menenangkan Ratih. "Udahlah! Itu cuma perasaanmu. Kamu terlalu stres, Tih. Tidur aja, jangan dipikirkan!"Namun, Ratih tetap tidak bisa menutup mata. Perasaan bahwa ada sesuatu yang mengintai setiap gerakannya membuatnya tetap terjaga.'Apa ini? Kenapa aku merasa tubuhku disentuh bukan oleh suamiku? Kenapa Mas Bagas selalu terasa berbeda tiap malam?' pikir Ratih dalam kebingungan.Beberapa detik berlalu dalam keheningan yang menyesakkan. Bagas kembali mencoba tidur, tetapi waktu terasa berjalan sangat lambat bagi Ratih. Dia terus mengawasi setiap sudut kamar dengan ketegangan yang semakin
"Mas! Ini sarapannya," panggil Ratih sambil menata makanan di meja, menyiapkan hidangan mewah untuk suaminya.Bagas menoleh, menatap Ratih yang tampak lebih rapi dan berdandan dari biasanya. "Mau ke mana, Tih? Tumben rapi?" tanyanya, nada curiga tersirat dalam suaranya."Ehm! I—Ini Mas, anu ... Ehm!" Ratih tergagap, berusaha menjawab tapi suaranya tersendat-sendat karena gugup.Bagas menggelengkan kepala, sedikit mendengus. "Haduh, udah-udah! Kamu ini, semakin hari makin aneh saja," sahutnya sambil mulai menyantap makanannya.Ratih hanya diam, menyaksikan suaminya yang lahap memakan daging setengah matang di piringnya. Aroma daging itu membuat perut Ratih terasa mual. Makanan itu bukanlah sesuatu yang biasanya mereka makan sehari-hari. Namun, belakangan makanan agak mentah menjadi kesukaan Bagas.'Bukannya kamu yang hari demi hari makin aneh, Mas!' batin Ratih dengan getir, tapi dia menahan kata-kata itu dalam hati.Ratih terus memandangi Bagas yang tampak berbeda, seolah sedang meni
Saat membuka kantung itu, petani tercengang dengan kilauan emas di genggamannya. "Ju—Juragan! Ju—Juragan ini buat saya?" tanyanya bergetar."Ya. Itu buatmu, hanya 2 koin emas aja aku kasih," kata Bagas sambil bertolak pinggang."I—Ini udah sangat banyak Juragan! Terima kasih ... Terima kasih!" balas petani sambil sujud di hadapan Bagas. "Udah hentikan!" Bagas melirik dengan tajam. "Nanti, anak buahku akan antar beras dan sayur ke rumahmu, jadi kamu tidak kelaparan lagi," lanjutnya berbicara."Alhamdulillah, terima kasih juragan! Terima kasih banyak!" Petani itu semakin bersujud di hadapan Bagas. Saat petani bersujud syukur pada Bagas, Ratih muncul melihat pandangan yang berbeda. "Ada apa, Mas?" tanyanya heran."Nggak ada apa-apa?" balas singkat sambil memalingkan badannya."Juragan Ratih! Saya pamit pulang, terima kasih!" ucapnya lalu pergi. Ratih menyusul Bagas yang masuk ke dalam rumah. Melihat Bagas duduk di ruang tamu sambil menggenggam handphone. Di ujung telepon dia berbica
Brak!Pintu kayu rapuh ditendang oleh seseorang. Muncul pria berbadan besar bersama anak buahnya.“Bagas, bayar utang kamu sekarang! Ayo cepetan!” teriak si pria yang tidak lain adalah Juragan Suwandi, seorang rentenir di Desa Karang Jati.Bagas dan Ratihーistrinya, terkejut. Mereka meletakkan piring menyudahi sarapannya. Keduanya segera berdiri dengan gugup dan ketakutan. Bagas berlutut. Memohon belas kasih Juragan Suwandi, “Maaf, Juragan. Saya belum bisa bayar. Saya belum ada uang."Ekspresi Suwandi kelam. “Ah! Yang benar aja! Kamu udah menunggak 8 bulan. Bunganya udah membengkak. Gimana sih kamu, Bagas?!” "Usaha saya sepi, Juragan," kata Bagas, memberikan alasan. "Ladang saya gersang dan Istri saya lagi sakit. Mohon maaf Juragan," lanjutnya, berbicara.Suwandi semakin naik pitam saat Bagas mulai beralasan lagi. Suwandi menggosok-gosok ujung hidung. “Kamu selalu aja alasan. Kamu pikir, saya ini ngasih uang dengan cuma-cuma?!"Suwandi menatap anak buahnya. "Hei, kalian! Cepet ambi