Malam harinya, Bagas tidak bisa tidur. Dia berbaring di samping Ratih yang sudah tertidur. Dia terus mengingat perkataan Damar pagi tadi. Solusi pesugihan yang Damar tawarkan memang menggoda sekaligus menakutkan.
Bagas tahu, jika dia mengambil jalan pesugihan, itu artinya dia harus siap menanggung segala konsekuensinya. Dia ketakutan. Namun detik berikutnya, keinginan memberikan kehidupan layak untuk Ratih membuatnya yakin akan pesugihan itu.
Bagas bangun, lalu berjalan ke arah jendela. Dia mengamati langit malam. "Malam ini, malam bulan purnama," katanya, pelan.
Bagas tersenyum tipis. Dia telah mengambil keputusan.
Setelah berganti pakaian, Bagas membuka pintu kamar dengan sangat hati-hati. Dengan cepat, dia sudah berada di luar rumah.
Bagas berjalan menembus malam menuju hutan di sisi utara desa, mengikuti petunjuk yang diberikan Damar.
Jalanan yang gelap tidak menyurutkan tekadnya. Ketika Bagas sampai di tengah hutan, dia menemukan sebuah pohon besar dengan akar menjuntai.
Bagas mengingat sesuatu. "Kata Mbah Damar, pohon besar inilah penanda lokasi persembunyian Dukun sakti itu."
Bagas berdiri di depan tersebut. Dia mengumpulkan keberanian, lalu berteriak, “ Ki Raden Praja, di mana kamu? Saya datang untuk meminta bantuan."
Tidak ada jawaban, hanya keheningan malam yang mencekam.
Bagas berteriak lagi, "Hei, Ki Praja! Keluarlah! Saya butuh bantuan kamu."
Saat itu juga, suara langkah yang berat terdengar dari balik pepohonan. Bagas menahan napas saat sosok seorang pria tua berjubah hitam muncul dari kegelapan. Dia adalah Ki Raden Praja usianya sekitar 75 tahun, dukun sakti yang dicari-cari Bagas.
Rambut Ki Raden Praja putih panjang. Mata hitamnya melotot ke arah Bagas. Dia tampak dingin dan penuh wibawa.
“Kamu mencari aku, Le?” suara Ki Praja dalam dan serak.
Bagas mengangguk, menelan ludah untuk menenangkan diri.
“Ya, Ki Praja. Saya datang karena … saya ingin kehidupan yang lebih baik.”
Ki Praja memandangi Bagas tanpa berkedip. Ki Praja mencoba menemukan kesungguhan di dasar mata Bagas.
“Siapa nama kamu, Le?" tanya Ki Praja.
"Bagas Santoso." Bagas menjawab tanpa ragu.
"Bagas Santoso, kekayaan datang dengan harga. Harga yang sangat mahal. Apa kamu siap dengan segala konsekuensinya?”
Bagas mengangguk pelan. Dia menatap Ki Praja. “Saya siap, Ki. Saya … saya nggak punya pilihan lain.”
Ki Praja tersenyum tipis, senyum yang tidak memberikan ketenangan.
Ki Praja berbalik sambil menyimpan kedua tangan di punggungnya. “Baiklah. Karena saya udah melihat kesungguhan kamu, ikuti saya!"
Bagas mengikuti Ki Praja dengan hati yang penuh keyakinan bercampur kecemasan. Di balik keputusan yang dia ambil ini, Bagas tahu bahwa kehidupan yang didambakan mungkin akan datang dengan harga yang tak terduga. Namun demi Ratih dan demi masa depan yang lebih baik, dia rela menanggung risiko apa pun.
Hutan di sekitar desa itu seakan menyimpan banyak misteri. Semakin Bagas melangkah lebih dalam, semakin kuat rasa cemas yang menyelimuti hatinya.
Sebelumnya, Bagas telah mendengar banyak cerita tentang Ki Raden Praja yang konon memiliki kekuatan luar biasa.
Banyak orang datang kepadanya dengan harapan. Namun, tidak sedikit yang pulang dengan wajah pucat dan mata penuh ketakutan.
Semua yang datang ke tempatnya, sekarang menjadi orang kaya raya dan memiliki kuasa.
Ki Praja tidak ingin Bagas berubah pikiran. “Bagas, kamu udah siap?” tanyanya.
Suara berat Ki Praja menghentakkan Bagas dari lamunan. Bagas merasa tubuhnya bergetar.
"Iya, Ki. Saya udah siap," jawab Bagas, berusaha menahan rasa takutnya.
Ki Praja tersenyum samar. “Jadi, apa yang kamu inginkan?"
“Saya butuh bantuan, Ki. Utang saya terus menumpuk. Ladang saya tandus. Saya nggak mau RatihーIstri saya, hidup dalam kemiskinan dan pergi meninggalkan saya."
Bagas menatap ke tanah, merasa malu mengakui ketidakberdayaannya.
"Saya nggak tau harus bagaimana lagi! Saya mendengar, Eyang bisa memberikan jalan keluar," ujar Bagas, selanjutnya.
Ki Praja mengangguk perlahan. “Pesugihan."
Bagas tercengang. "Aーapa?! Pesugihan?!"
Bagas merasa jantungnya berdegup kencang. Ya! Dia tidak salah dengar. Ki Praja mengatakan bahwa solusinya adalah Pesugihan.
Ki Praja menghela napas, lalu berjalan mendekati Bagas. “Pesugihan adalah jalan yang saya tawarkan. Tapi, ada syarat yang harus kamu penuhi."
Bagas menjadi semakin bersemangat. "Syarat apa, Ki Praja? Apapun syaratnya, saya siap."
Bagas sangat menggebu-gebu. Dia seolah lupa dengan ketakutannya tadi.
"Bagas, di dunia ini nggak ada yang gratis. Kamu akan berurusan dengan makhluk yang sangat kuat, Genderuwo.”
Mendengar nama sosok itu, Bagas merinding tidak karuan.
Bagas mengetahui, Genderuwo adalah sosok terkuat yang pernah di dengarnya. Bahkan ada yang meninggal karena tidak memenuhi tumbal yang di janjikan.
“Genderuwo? Apa yang harus saya lakukan untuk mendapatkan kekayaan darinya?” Kata Genderuwo membuat Bagas merinding. Dia pernah mendengar cerita mengerikan tentang makhluk itu. Namun, desakan utang dan himpitan hidup kemiskinan membuatnya penasaran. Ki Praja menatap Bagas dengan serius. “Genderuwo bisa memberikan kamu kekayaan tanpa batas. Tapi sebagai harganya, dia menuntut seorang perempuan menemaninya setiap malam.""Perempuan?" Bagas tidak mengerti. "Saya akan mencari perempuan itu secepatnya, Pak."Ki Praja menggeleng. "Nggak, Bagas. Karena yang dia mau adalah perempuan yang tinggal di rumah kamu.”Bagas terkejut. Dia marah. “Nggak bisa! Saya nggak bisa mengorbankan Ratih untuk pesugihan ini.”Bagas menentang keras syarat yang diberikan Ki Praja. Dia hendak membatalkan niatnya. “Kamu harus tau, Bagas! Kalo kamu mau memperbaiki hidupmu, maka kamu harus siap menghadapi konsekuensinya. Tanpa pengorbanan, nggak ada yang bisa bantu kamu,” ujar Ki Praja, suaranya semakin menekan.Ma
Ki Praja memberi Bagas bungkusan kain merah. "Le!" panggil Ki Praja. "Ini adalah jimat pengikat perjanjianmu dengan Genderuwo!" ucap Ki Praja.Bagas memandang benda tersebut dengan ragu. “Apa ini, Ki? Apa dari perjanjian tadi?”Ki Praja mengangguk sambil menyerahkan jimat itu. "Bener. Ini adalah jimat yang akan melindungi perjanjianmu, Le!" ujar Ki Praja, lanjutnya, "jimat ini pengingat mu agar nggak melanggar perjanjian yang udah dibuat. Selama, memegangnya, kamu akan dilindungi oleh kekuatan dari Genderuwo, dan kekayaan yang di harapkan akan segera datang."Bagas menerima jimat itu dan pulang saat matahari mulai terbit. Bagas langsung tertuju ke ladang di depan rumahnya, dan dia tertegun. Lahan yang dulu tandus dan gersang kini berubah menjadi hijau, dengan tanaman yang mulai tumbuh subur. Hampir tak percaya, dia berjalan mendekat dan meraba daun-daun segar yang tampak sehat.Bagas merasakan kenikmatan hasil dari perjanjian dengan Genderuwo."Ratih! Ratih, cepetan ke sini!" panggil
“Kamu nggak lupa sama janji, kan?” tanya Genderuwo dengan suara berat dan besar. Bagas hanya mengangguk dengan wajah pucat pasi, dia meminta waktu untuk mencari celah waktu dari istrinya.“Kalo kamu lupa, kamu akan tau akibatnya,” ujar Genderuwo itu lagi. “Sa-saya nggak lupa, ta-tapi harus tunggu Ratih tidur dulu,” jawab Bagas terbata.Bagas akhirnya masuk menemui Ratih. “Buatin kopi panas ya! Nanti taruh aja di kamar!” pinta Bagas.Ratih segera ke dapur membuatkan kopi untuk suaminya. Sekembalinya Ratih ke dalam kamar, Bagas sudah tidak ada. Dia mencari Bagas keluar rumah. “Mas, di mana? Sudah malem ini. Ayo tidur!” panggil Ratih di kegelapan malam.Sampai sosok Bagas terlihat datang, semula Ratih sedikit takut. Dari kegelapan malam, mata Bagas menyala. Keringat dingin bercucuran. Bagas pun mendekatinya. “Mas, aku pikir tadi apa! Aku ketakutan, Mas. Rasanya hawa malem ini dingin banget,” ujar Ratih yang sempat terkejut.Bagas tidak menjawab sama sekali ucapan Ratih, dia hanya ter
Pagi harinya, Bagas memerintahkan Ratih untuk membuang perabotan rumah dan menggantinya dengan yang baru. “Coba lihat! Ini akan terlihat bagus. Senang, kan?” tanyanya, tersenyum bangga. "Iya, Mas. Ratih senang," jawabnya ragu. Ratih fokus melihat ke arah lengannya yang membiru akibat genggaman tangan Bagas yang menekannya di tempat tidur. Hampir tiap pagi tanda biru muncul di tubuhnya. "Hasil panen kita hari ini juga banyak. Nanti aku pekerjakan orang untuk mengolah ladang kita!" ujarnya sambil bertolak pinggang. Sebelum Ratih menjawab, Bagas melanjutkan ucapannya kembali, "Oh iya, aku minta kamu jangan bersikap seperti orang susah lagi," ujarnya tajam. Ratih pun mengangguk dengan wajah menahan rasa sakit di sekujur tubuh. Herannya, Bagas tidak menyadari hal itu. Pria itu tetap fokus dengan kekayaan yang lagi dimilikinya saat ini, dia terus berbicara bagai burung beo. "Kalau ada yang menghina kamu, kasih tau aku! Aku akan urus mereka!" seru Bagas, merasa bangga.Ratih hany
“Kamu sadar, nggak? Banyak hal keberuntungan bagi mereka,” ujar seorang Ibu yang masih memotong padi. Tidak lama, pekerja lain datang berbisik di sampingnya, wajahnya tidak begitu Ratih kenal. “Kamu nggak curiga?” tanya pria itu. Ratih menatapnya dengan mengernyitkan dahi. Ratih merasa, pria itu ingin memprovokasi para warga yang bekerja padanya. Bahkan, walau semua yang dia katakan saat ini juga melanda Ratih. Perasaan penuh curiga dan gelisah yang menghantui hari-harinya. Sampai sebuah pernyataan yang menjadi kegelisahannya bertambah, suara sumbang dari warga yang menanggapi pria tersebut. “Jangan-jangan dia melakukan hal yang mistis,” ujarnya. Membuat mata Ratih mendelik, wanita itu sadar saat melihat tatapan Ratih yang menunduk ketakutan, merasa secara tidak langsung menyinggung Ratih. “Waduh, aku nggak sadar kalo ada Nyonya besar. Gimana ini?” Dia memegang tangan temannya karena panik. “Bahaya, inget jasad Juragan Suwandi!” Terasa di mata Ratih mereka saling menelan sal
"Ratih, hentikan halusinasimu!" Bagas membentak, suaranya terdengar marah, seolah-olah menyembunyikan sesuatu.Ratih gemetar, memeluk tubuhnya erat-erat, berusaha menenangkan diri meski ketakutan melingkupinya."Mas ... aku nggak bohong! Aku lihat sesuatu, aku ... aku nggak mungkin salah! Itu tadi ada di belakangmu, Mas!" suaranya bergetar, nyaris tidak terdengar.Bagas menggelengkan kepala, berusaha menenangkan Ratih. "Udahlah! Itu cuma perasaanmu. Kamu terlalu stres, Tih. Tidur aja, jangan dipikirkan!"Namun, Ratih tetap tidak bisa menutup mata. Perasaan bahwa ada sesuatu yang mengintai setiap gerakannya membuatnya tetap terjaga.'Apa ini? Kenapa aku merasa tubuhku disentuh bukan oleh suamiku? Kenapa Mas Bagas selalu terasa berbeda tiap malam?' pikir Ratih dalam kebingungan.Beberapa detik berlalu dalam keheningan yang menyesakkan. Bagas kembali mencoba tidur, tetapi waktu terasa berjalan sangat lambat bagi Ratih. Dia terus mengawasi setiap sudut kamar dengan ketegangan yang semakin
"Mas! Ini sarapannya," panggil Ratih sambil menata makanan di meja, menyiapkan hidangan mewah untuk suaminya.Bagas menoleh, menatap Ratih yang tampak lebih rapi dan berdandan dari biasanya. "Mau ke mana, Tih? Tumben rapi?" tanyanya, nada curiga tersirat dalam suaranya."Ehm! I—Ini Mas, anu ... Ehm!" Ratih tergagap, berusaha menjawab tapi suaranya tersendat-sendat karena gugup.Bagas menggelengkan kepala, sedikit mendengus. "Haduh, udah-udah! Kamu ini, semakin hari makin aneh saja," sahutnya sambil mulai menyantap makanannya.Ratih hanya diam, menyaksikan suaminya yang lahap memakan daging setengah matang di piringnya. Aroma daging itu membuat perut Ratih terasa mual. Makanan itu bukanlah sesuatu yang biasanya mereka makan sehari-hari. Namun, belakangan makanan agak mentah menjadi kesukaan Bagas.'Bukannya kamu yang hari demi hari makin aneh, Mas!' batin Ratih dengan getir, tapi dia menahan kata-kata itu dalam hati.Ratih terus memandangi Bagas yang tampak berbeda, seolah sedang meni
Saat membuka kantung itu, petani tercengang dengan kilauan emas di genggamannya. "Ju—Juragan! Ju—Juragan ini buat saya?" tanyanya bergetar."Ya. Itu buatmu, hanya 2 koin emas aja aku kasih," kata Bagas sambil bertolak pinggang."I—Ini udah sangat banyak Juragan! Terima kasih ... Terima kasih!" balas petani sambil sujud di hadapan Bagas. "Udah hentikan!" Bagas melirik dengan tajam. "Nanti, anak buahku akan antar beras dan sayur ke rumahmu, jadi kamu tidak kelaparan lagi," lanjutnya berbicara."Alhamdulillah, terima kasih juragan! Terima kasih banyak!" Petani itu semakin bersujud di hadapan Bagas. Saat petani bersujud syukur pada Bagas, Ratih muncul melihat pandangan yang berbeda. "Ada apa, Mas?" tanyanya heran."Nggak ada apa-apa?" balas singkat sambil memalingkan badannya."Juragan Ratih! Saya pamit pulang, terima kasih!" ucapnya lalu pergi. Ratih menyusul Bagas yang masuk ke dalam rumah. Melihat Bagas duduk di ruang tamu sambil menggenggam handphone. Di ujung telepon dia berbica