Malam harinya, Bagas tidak bisa tidur. Dia berbaring di samping Ratih yang sudah tertidur. Dia terus mengingat perkataan Damar pagi tadi. Solusi pesugihan yang Damar tawarkan memang menggoda sekaligus menakutkan.
Bagas tahu, jika dia mengambil jalan pesugihan, itu artinya dia harus siap menanggung segala konsekuensinya. Dia ketakutan. Namun detik berikutnya, keinginan memberikan kehidupan layak untuk Ratih membuatnya yakin akan pesugihan itu.
Bagas bangun, lalu berjalan ke arah jendela. Dia mengamati langit malam. "Malam ini, malam bulan purnama," katanya, pelan.
Bagas tersenyum tipis. Dia telah mengambil keputusan.
Setelah berganti pakaian, Bagas membuka pintu kamar dengan sangat hati-hati. Dengan cepat, dia sudah berada di luar rumah.
Bagas berjalan menembus malam menuju hutan di sisi utara desa, mengikuti petunjuk yang diberikan Damar.
Jalanan yang gelap tidak menyurutkan tekadnya. Ketika Bagas sampai di tengah hutan, dia menemukan sebuah pohon besar dengan akar menjuntai.
Bagas mengingat sesuatu. "Kata Mbah Damar, pohon besar inilah penanda lokasi persembunyian Dukun sakti itu."
Bagas berdiri di depan tersebut. Dia mengumpulkan keberanian, lalu berteriak, “ Ki Raden Praja, di mana kamu? Saya datang untuk meminta bantuan."
Tidak ada jawaban, hanya keheningan malam yang mencekam.
Bagas berteriak lagi, "Hei, Ki Praja! Keluarlah! Saya butuh bantuan kamu."
Saat itu juga, suara langkah yang berat terdengar dari balik pepohonan. Bagas menahan napas saat sosok seorang pria tua berjubah hitam muncul dari kegelapan. Dia adalah Ki Raden Praja usianya sekitar 75 tahun, dukun sakti yang dicari-cari Bagas.
Rambut Ki Raden Praja putih panjang. Mata hitamnya melotot ke arah Bagas. Dia tampak dingin dan penuh wibawa.
“Kamu mencari aku, Le?” suara Ki Praja dalam dan serak.
Bagas mengangguk, menelan ludah untuk menenangkan diri.
“Ya, Ki Praja. Saya datang karena … saya ingin kehidupan yang lebih baik.”
Ki Praja memandangi Bagas tanpa berkedip. Ki Praja mencoba menemukan kesungguhan di dasar mata Bagas.
“Siapa nama kamu, Le?" tanya Ki Praja.
"Bagas Santoso." Bagas menjawab tanpa ragu.
"Bagas Santoso, kekayaan datang dengan harga. Harga yang sangat mahal. Apa kamu siap dengan segala konsekuensinya?”
Bagas mengangguk pelan. Dia menatap Ki Praja. “Saya siap, Ki. Saya … saya nggak punya pilihan lain.”
Ki Praja tersenyum tipis, senyum yang tidak memberikan ketenangan.
Ki Praja berbalik sambil menyimpan kedua tangan di punggungnya. “Baiklah. Karena saya udah melihat kesungguhan kamu, ikuti saya!"
Bagas mengikuti Ki Praja dengan hati yang penuh keyakinan bercampur kecemasan. Di balik keputusan yang dia ambil ini, Bagas tahu bahwa kehidupan yang didambakan mungkin akan datang dengan harga yang tak terduga. Namun demi Ratih dan demi masa depan yang lebih baik, dia rela menanggung risiko apa pun.
Hutan di sekitar desa itu seakan menyimpan banyak misteri. Semakin Bagas melangkah lebih dalam, semakin kuat rasa cemas yang menyelimuti hatinya.
Sebelumnya, Bagas telah mendengar banyak cerita tentang Ki Raden Praja yang konon memiliki kekuatan luar biasa.
Banyak orang datang kepadanya dengan harapan. Namun, tidak sedikit yang pulang dengan wajah pucat dan mata penuh ketakutan.
Semua yang datang ke tempatnya, sekarang menjadi orang kaya raya dan memiliki kuasa.
Ki Praja tidak ingin Bagas berubah pikiran. “Bagas, kamu udah siap?” tanyanya.
Suara berat Ki Praja menghentakkan Bagas dari lamunan. Bagas merasa tubuhnya bergetar.
"Iya, Ki. Saya udah siap," jawab Bagas, berusaha menahan rasa takutnya.
Ki Praja tersenyum samar. “Jadi, apa yang kamu inginkan?"
“Saya butuh bantuan, Ki. Utang saya terus menumpuk. Ladang saya tandus. Saya nggak mau RatihーIstri saya, hidup dalam kemiskinan dan pergi meninggalkan saya."
Bagas menatap ke tanah, merasa malu mengakui ketidakberdayaannya.
"Saya nggak tau harus bagaimana lagi! Saya mendengar, Eyang bisa memberikan jalan keluar," ujar Bagas, selanjutnya.
Ki Praja mengangguk perlahan. “Pesugihan."
Bagas tercengang. "Aーapa?! Pesugihan?!"
Bagas merasa jantungnya berdegup kencang. Ya! Dia tidak salah dengar. Ki Praja mengatakan bahwa solusinya adalah Pesugihan.
Ki Praja menghela napas, lalu berjalan mendekati Bagas. “Pesugihan adalah jalan yang saya tawarkan. Tapi, ada syarat yang harus kamu penuhi."
Bagas menjadi semakin bersemangat. "Syarat apa, Ki Praja? Apapun syaratnya, saya siap."
Bagas sangat menggebu-gebu. Dia seolah lupa dengan ketakutannya tadi.
"Bagas, di dunia ini nggak ada yang gratis. Kamu akan berurusan dengan makhluk yang sangat kuat, Genderuwo.”
Mendengar nama sosok itu, Bagas merinding tidak karuan.
Bagas mengetahui, Genderuwo adalah sosok terkuat yang pernah di dengarnya. Bahkan ada yang meninggal karena tidak memenuhi tumbal yang di janjikan.
“Genderuwo? Apa yang harus saya lakukan untuk mendapatkan kekayaan darinya?” Kata Genderuwo membuat Bagas merinding. Dia pernah mendengar cerita mengerikan tentang makhluk itu. Namun, desakan utang dan himpitan hidup kemiskinan membuatnya penasaran. Ki Praja menatap Bagas dengan serius. “Genderuwo bisa memberikan kamu kekayaan tanpa batas. Tapi sebagai harganya, dia menuntut seorang perempuan menemaninya setiap malam.""Perempuan?" Bagas tidak mengerti. "Saya akan mencari perempuan itu secepatnya, Pak."Ki Praja menggeleng. "Nggak, Bagas. Karena yang dia mau adalah perempuan yang tinggal di rumah kamu.”Bagas terkejut. Dia marah. “Nggak bisa! Saya nggak bisa mengorbankan Ratih untuk pesugihan ini.”Bagas menentang keras syarat yang diberikan Ki Praja. Dia hendak membatalkan niatnya. “Kamu harus tau, Bagas! Kalo kamu mau memperbaiki hidupmu, maka kamu harus siap menghadapi konsekuensinya. Tanpa pengorbanan, nggak ada yang bisa bantu kamu,” ujar Ki Praja, suaranya semakin menekan.Ma
Ki Praja memberi Bagas bungkusan kain merah. "Le!" panggil Ki Praja. "Ini adalah jimat pengikat perjanjianmu dengan Genderuwo!" ucap Ki Praja.Bagas memandang benda tersebut dengan ragu. “Apa ini, Ki? Apa dari perjanjian tadi?”Ki Praja mengangguk sambil menyerahkan jimat itu. "Bener. Ini adalah jimat yang akan melindungi perjanjianmu, Le!" ujar Ki Praja, lanjutnya, "jimat ini pengingat mu agar nggak melanggar perjanjian yang udah dibuat. Selama, memegangnya, kamu akan dilindungi oleh kekuatan dari Genderuwo, dan kekayaan yang di harapkan akan segera datang."Bagas menerima jimat itu dan pulang saat matahari mulai terbit. Bagas langsung tertuju ke ladang di depan rumahnya, dan dia tertegun. Lahan yang dulu tandus dan gersang kini berubah menjadi hijau, dengan tanaman yang mulai tumbuh subur. Hampir tak percaya, dia berjalan mendekat dan meraba daun-daun segar yang tampak sehat.Bagas merasakan kenikmatan hasil dari perjanjian dengan Genderuwo."Ratih! Ratih, cepetan ke sini!" panggil
“Kamu nggak lupa sama janji, kan?” tanya Genderuwo dengan suara berat dan besar. Bagas hanya mengangguk dengan wajah pucat pasi, dia meminta waktu untuk mencari celah waktu dari istrinya.“Kalo kamu lupa, kamu akan tau akibatnya,” ujar Genderuwo itu lagi. “Sa-saya nggak lupa, ta-tapi harus tunggu Ratih tidur dulu,” jawab Bagas terbata.Bagas akhirnya masuk menemui Ratih. “Buatin kopi panas ya! Nanti taruh aja di kamar!” pinta Bagas.Ratih segera ke dapur membuatkan kopi untuk suaminya. Sekembalinya Ratih ke dalam kamar, Bagas sudah tidak ada. Dia mencari Bagas keluar rumah. “Mas, di mana? Sudah malem ini. Ayo tidur!” panggil Ratih di kegelapan malam.Sampai sosok Bagas terlihat datang, semula Ratih sedikit takut. Dari kegelapan malam, mata Bagas menyala. Keringat dingin bercucuran. Bagas pun mendekatinya. “Mas, aku pikir tadi apa! Aku ketakutan, Mas. Rasanya hawa malem ini dingin banget,” ujar Ratih yang sempat terkejut.Bagas tidak menjawab sama sekali ucapan Ratih, dia hanya ter
Pagi harinya, Bagas memerintahkan Ratih untuk membuang perabotan rumah dan menggantinya dengan yang baru. “Coba lihat! Ini akan terlihat bagus. Senang, kan?” tanyanya, tersenyum bangga. "Iya, Mas. Ratih senang," jawabnya ragu. Ratih fokus melihat ke arah lengannya yang membiru akibat genggaman tangan Bagas yang menekannya di tempat tidur. Hampir tiap pagi tanda biru muncul di tubuhnya. "Hasil panen kita hari ini juga banyak. Nanti aku pekerjakan orang untuk mengolah ladang kita!" ujarnya sambil bertolak pinggang. Sebelum Ratih menjawab, Bagas melanjutkan ucapannya kembali, "Oh iya, aku minta kamu jangan bersikap seperti orang susah lagi," ujarnya tajam. Ratih pun mengangguk dengan wajah menahan rasa sakit di sekujur tubuh. Herannya, Bagas tidak menyadari hal itu. Pria itu tetap fokus dengan kekayaan yang lagi dimilikinya saat ini, dia terus berbicara bagai burung beo. "Kalau ada yang menghina kamu, kasih tau aku! Aku akan urus mereka!" seru Bagas, merasa bangga.Ratih hany
“Kamu sadar, nggak? Banyak hal keberuntungan bagi mereka,” ujar seorang Ibu yang masih memotong padi. Tidak lama, pekerja lain datang berbisik di sampingnya, wajahnya tidak begitu Ratih kenal. “Kamu nggak curiga?” tanya pria itu. Ratih menatapnya dengan mengernyitkan dahi. Ratih merasa, pria itu ingin memprovokasi para warga yang bekerja padanya. Bahkan, walau semua yang dia katakan saat ini juga melanda Ratih. Perasaan penuh curiga dan gelisah yang menghantui hari-harinya. Sampai sebuah pernyataan yang menjadi kegelisahannya bertambah, suara sumbang dari warga yang menanggapi pria tersebut. “Jangan-jangan dia melakukan hal yang mistis,” ujarnya. Membuat mata Ratih mendelik, wanita itu sadar saat melihat tatapan Ratih yang menunduk ketakutan, merasa secara tidak langsung menyinggung Ratih. “Waduh, aku nggak sadar kalo ada Nyonya besar. Gimana ini?” Dia memegang tangan temannya karena panik. “Bahaya, inget jasad Juragan Suwandi!” Terasa di mata Ratih mereka saling menelan sal
"Ratih, hentikan halusinasimu!" Bagas membentak, suaranya terdengar marah, seolah-olah menyembunyikan sesuatu.Ratih gemetar, memeluk tubuhnya erat-erat, berusaha menenangkan diri meski ketakutan melingkupinya."Mas ... aku nggak bohong! Aku lihat sesuatu, aku ... aku nggak mungkin salah! Itu tadi ada di belakangmu, Mas!" suaranya bergetar, nyaris tidak terdengar.Bagas menggelengkan kepala, berusaha menenangkan Ratih. "Udahlah! Itu cuma perasaanmu. Kamu terlalu stres, Tih. Tidur aja, jangan dipikirkan!"Namun, Ratih tetap tidak bisa menutup mata. Perasaan bahwa ada sesuatu yang mengintai setiap gerakannya membuatnya tetap terjaga.'Apa ini? Kenapa aku merasa tubuhku disentuh bukan oleh suamiku? Kenapa Mas Bagas selalu terasa berbeda tiap malam?' pikir Ratih dalam kebingungan.Beberapa detik berlalu dalam keheningan yang menyesakkan. Bagas kembali mencoba tidur, tetapi waktu terasa berjalan sangat lambat bagi Ratih. Dia terus mengawasi setiap sudut kamar dengan ketegangan yang semakin
"Mas! Ini sarapannya," panggil Ratih sambil menata makanan di meja, menyiapkan hidangan mewah untuk suaminya.Bagas menoleh, menatap Ratih yang tampak lebih rapi dan berdandan dari biasanya. "Mau ke mana, Tih? Tumben rapi?" tanyanya, nada curiga tersirat dalam suaranya."Ehm! I—Ini Mas, anu ... Ehm!" Ratih tergagap, berusaha menjawab tapi suaranya tersendat-sendat karena gugup.Bagas menggelengkan kepala, sedikit mendengus. "Haduh, udah-udah! Kamu ini, semakin hari makin aneh saja," sahutnya sambil mulai menyantap makanannya.Ratih hanya diam, menyaksikan suaminya yang lahap memakan daging setengah matang di piringnya. Aroma daging itu membuat perut Ratih terasa mual. Makanan itu bukanlah sesuatu yang biasanya mereka makan sehari-hari. Namun, belakangan makanan agak mentah menjadi kesukaan Bagas.'Bukannya kamu yang hari demi hari makin aneh, Mas!' batin Ratih dengan getir, tapi dia menahan kata-kata itu dalam hati.Ratih terus memandangi Bagas yang tampak berbeda, seolah sedang meni
Saat membuka kantung itu, petani tercengang dengan kilauan emas di genggamannya. "Ju—Juragan! Ju—Juragan ini buat saya?" tanyanya bergetar."Ya. Itu buatmu, hanya 2 koin emas aja aku kasih," kata Bagas sambil bertolak pinggang."I—Ini udah sangat banyak Juragan! Terima kasih ... Terima kasih!" balas petani sambil sujud di hadapan Bagas. "Udah hentikan!" Bagas melirik dengan tajam. "Nanti, anak buahku akan antar beras dan sayur ke rumahmu, jadi kamu tidak kelaparan lagi," lanjutnya berbicara."Alhamdulillah, terima kasih juragan! Terima kasih banyak!" Petani itu semakin bersujud di hadapan Bagas. Saat petani bersujud syukur pada Bagas, Ratih muncul melihat pandangan yang berbeda. "Ada apa, Mas?" tanyanya heran."Nggak ada apa-apa?" balas singkat sambil memalingkan badannya."Juragan Ratih! Saya pamit pulang, terima kasih!" ucapnya lalu pergi. Ratih menyusul Bagas yang masuk ke dalam rumah. Melihat Bagas duduk di ruang tamu sambil menggenggam handphone. Di ujung telepon dia berbica
Bagas memandang jimat di tangannya. “Hancurkan?” pikirnya dalam hati. Sebuah ide gila muncul dalam benaknya. Jika jimat ini dihancurkan, mungkin semua perjanjian akan berakhir. Namun, dia tahu risikonya—bisa saja hidupnya berakhir seketika.Genderuwo tertawa keras, suaranya menggema di seluruh ruangan. “Kamu tak punya keberanian untuk itu, Bagas! Kamu terlalu lemah!”“Diam!” Bagas berteriak, menggenggam jimat itu erat-erat. Pikirannya berkecamuk. Jika ini satu-satunya cara untuk menyelamatkan Ratih, maka dia harus melakukannya.“Lebih baik aku hancur, daripada kehilangan dia!” teriak Bagas. Dengan sisa tenaga dan keberanian, dia melempar jimat itu ke lantai, lalu menginjaknya dengan sekuat tenaga.“Tidakkkk!” suara Genderuwo melengking, bersamaan dengan jimat yang pecah berkeping-keping. Hawa panas menyembur dari retakan lantai, dan sosok Genderuwo itu mulai bergetar, tubuhnya terdistorsi seperti asap yang terbakar.Bagas jatuh terduduk,
"Bagas, jangan biarkan jimat itu rusak atau ditemukan. Kalau terjadi, aku akan mengambil semuanya, termasuk dia."Suara itu menggema, berat dan mengerikan, memenuhi setiap sudut mimpi Bagas. Dalam kegelapan pekat, sosok Genderuwo berdiri menjulang.Genderowo mendekat dengan langkah berat yang mengguncang tanah, menciptakan retakan di bawah kaki Bagas.Bagas mundur perlahan, tubuhnya gemetar. “Nggak ... tolong jangan ambil dia! Jangan ambil Ratih!” teriaknya, suaranya pecah penuh ketakutan.“Aku sudah peringatkan berapa kali jangan rusak perjanjianmu, Bagas. Atau semuanya akan lenyap.” Genderuwo menyeringai, menunjukkan gigi-gigi tajamnya yang mengerikan. Suaranya terdengar seperti geraman seekor binatang buas.Sebelum Bagas sempat menjawab, sosok itu tiba-tiba melompat ke arahnya, menerkam dengan cakar besar. Bagas terbangun dengan teriakan keras, tubuhnya basah oleh keringat.Tak lama dia terbangun dari mimpi itu. "Hah! Mimpi be
“Aku tau,” kata Ratih pelan tapi tegas. “Aku tau ada harga yang harus dibayar. Tapi aku juga tau kalau kita tetap di jalan ini, harga yang kita bayar akan jauh lebih besar. Bahkan mungkin nyawa mu sendiri akan jadi bayarannya.”Suasana hening menyelimuti mereka. Ratih tahu perjuangannya tidak akan mudah. Bagas sudah terjerat dalam janji kekuatan gelap.Namun, Ratih tidak ingin menyerah. Dia teringat pesan Kyai Ahmad. "Kekuatan itu akan terus menuntut, hingga segalanya hancur."Bagas merasa terpojok. Dia menyadari bahwa Ratih benar, tapi ketakutannya lebih besar. Dia takut kehilangan segalanya. Kekayaan, status, bahkan nyawanya.“Aku cuma butuh waktu, Ratih,” kata Bagas akhirnya, suaranya melembut. “Berikan aku waktu untuk memikirkan semua ini.”Ratih menggeleng, ekspresinya tegas. “Aku rasa waktu yang kamu punya udah lebih dari cukup, Mas. Bahkan kamu udah menipu aku dengan amarahmu itu!”Bagas terdiam. Sorot matanya berubah, men
"Argh! Aku harus bicara dengan Mas Bagas!" Ratih bangkit dari duduknya, bersiap pulang ke rumah Bagas. Dia ingin suaminya sadar atas semua kesalahannya. Ratih tinggal di kontrakan, jauh dari rumah itu. Namun, setiap hari dia dihantui oleh bayangan Genderuwo. Desas-desus tentang Bagas terdengar di mana-mana. Warga sering membicarakan suaminya dengan nada sinis. Ratih hanya diam, tidak pernah menjawab. Ratih merasa iba dan kasihan pada Bagas. Jika terbongkar, Bagas bisa diusir dari desa. Bahkan, mungkin hal buruk lainnya akan terjadi. Tok! Tok! Ratih mengetuk pintu rumah sedikit keras. Pintu itu tidak terkunci, sehingga terbuka perlahan dengan sendirinya. "Mas Bagas!" panggil Ratih lembut. Tidak ada jawaban. Suasana di dalam rumah terasa sunyi dan dingin. Ratih melangkah ke kamar, tempat dia mendapati Bagas duduk di samping ranjang. Tubuhnya membungkuk, kedua tangan memegang lutut, seola
"Juragan! Ada orang dari kota mencari Juragan!" seru salah satu pekerja dengan wajah panik.Bagas segera bergegas ke ladang. Di sana, seorang pria paruh baya berpakaian rapi berdiri dengan tangan bertumpu di pinggang, ekspresinya tegas."Anda mencari saya?" tanya Bagas dari belakang, suaranya berat namun penasaran.Pria itu berbalik. "Oh, kamu Bagas?""Ya, benar. Ada apa?" Bagas merasakan firasat buruk menjalar di dadanya.Pria itu menarik napas panjang sebelum berkata, "Saya hanya ingin memberitahu, mulai hari ini ... kami menghentikan pembelian sayur dan beras dari ladangmu."Bagas terdiam sejenak, seolah waktu berhenti. Kata-kata itu menghantamnya seperti batu besar. Dengan nada tinggi, dia membalas, "Kenapa, Pak? Apakah hasil panen saya kurang baik?"Pria itu menatapnya dengan dingin. "Ya, benar. Kualitasnya buruk sekali."Bagas tidak percaya dengan apa yang didengarnya. "Tapi selama ini semuanya baik-baik saja, kan? Apa ada masalah baru?" tanyanya tak terima.Tanpa berkata banyak
"Aku harus kasih tahu warga!"Seorang petani yang baru saja menyelesaikan pekerjaannya di ladang Bagas melangkah cepat menjauh dari rumah Bagas. Keringat bercucuran di wajahnya, bukan karena lelah, tetapi karena rasa takut yang menghantuinya. Petani itu berasal dari desa seberang, cukup jauh dari Desa Karang Jati, namun malam ini dia menyaksikan sesuatu yang membuat bulu kuduknya berdiri.Bruk!Tak sengaja, beberapa gentong air yang berada di dekatnya terjatuh. Suara keras itu memecah kesunyian malam. Seketika, jantung petani itu berdetak kencang, lebih cepat dari sebelumnya. Dia mendengar suara Bagas dari dalam rumah."Siapa itu?!" teriak Bagas dengan nada curiga.Petani itu panik. Dengan cepat, dia bersembunyi di bawah tumpukan karung goni di samping gudang kecil yang ada di dekat rumah Bagas. Nafasnya berat, dan tangannya gemetar. Dia memejamkan mata, berharap kehadirannya tidak terendus.“Huff, aku nggak boleh ketahuan!” gumamnya pelan, berusaha menenangkan dirinya sendiri.Namu
“Panas… Panas!”Bagas terus mengguyur tubuhnya dengan air dingin dari ember. Namun, rasa terbakar itu tidak kunjung hilang. Kulitnya merah seperti habis dijilat api. Napasnya tersengal-sengal, keringat bercucuran di antara siraman air. Tapi ini bukan hanya panas fisik, melainkan ketakutan yang merayap di benaknya.Dia tahu, apa yang dia lakukan tadi telah membuka pintu bahaya yang lebih besar. Genderuwo itu tidak akan pernah puas—tidak sampai mendapatkan apa yang telah dijanjikan."Aku yakin … pasti ada yang tolong Ratih!" gumamnya penuh amarah. Matanya merah menatap bayangan dirinya di air.Tiba-tiba, suara berat dan serak terdengar di belakangnya.“Bagas … Kamu telah lama tidak memberikan aku persyaratan itu.”Suara itu seperti gemuruh, membuat tubuh Bagas gemetar. Dia menoleh cepat, dan di sana berdiri sosok besar dengan tubuh berbulu hitam legam, mata merah menyala seperti bara api. Genderuwo itu melangkah mendekat, setiap langkahnya mengguncang lantai kayu rumah.“T—tunggu! Beri
"Astaga, kamu siapa?!" Ratih terkejut melihat sosok anak kecil di depannya. Tubuh anak itu dipenuhi bulu tebal, pendek, namun matanya menyala merah seperti bara api. Senyumnya lebar, terlalu lebar untuk wajahnya yang kecil.Ratih mundur dengan napas tersengal, tapi sebelum dia bisa berkata lebih banyak, sosok itu mendekat dengan langkah lambat, tangannya terulur ke arah Ratih.Seketika, Ratih tersentak bangun. Napasnya memburu, keringat dingin membasahi wajahnya. Dia memegang dadanya yang berdegup kencang, mencoba mengatur pernapasannya."Astagfirullah... aku tadi mimpi?" gumamnya, suaranya terdengar gemetar. Dia mengusap wajahnya dengan tangan yang masih bergetar, berharap bisa menghapus sisa ketakutan dari mimpi buruknya.Ratih duduk di tepi tempat tidurnya, mencoba menenangkan diri. Tapi perasaan tidak nyaman itu belum hilang. Seolah bayangan mimpi tadi masih menempel di pikirannya.Dia bangkit perlahan, berjalan menuju jendela kamar. Langit sudah gelap, hanya diterangi oleh bulan
“Anakku… Kenapa begini!”Ratih terhenti. Suara itu terdengar dekat, dipenuhi kesedihan yang mendalam. Dia menoleh ke kanan dan ke kiri, mencoba mencari sumber suara. Di kejauhan, dia melihat bayangan seorang wanita yang duduk di tanah. Wanita itu menangis tersedu, tubuhnya berguncang, sementara di pelukannya ada sosok kecil yang tampak tak bergerak.Hati Ratih berdebar. Dia ragu untuk mendekat, tapi langkah kakinya seolah bergerak sendiri.“Bu, kenapa?” tanyanya dengan suara pelan, nyaris berbisik.Wanita itu tidak menjawab. Tangisannya semakin keras, seperti membelah keheningan malam. Ratih mencoba lebih dekat, tapi setiap kali dia melangkah, jaraknya tetap sama. Seolah-olah hutan itu tidak ingin dia mencapai wanita itu.Ratih mencoba lagi. “Bu, saya bisa bantu. Apa yang terjadi dengan anakmu?”Namun, wanita itu hanya menggeleng, masih menangis tersedu. “Dia… anakku… aku tidak bisa melindunginya…”Ratih tertegun. Ada rasa sakit yang begitu kuat dalam suara itu, seperti sebuah luka y